baca selengkapnya di : http://www.poetra-anoegrah.co.cc/2010/04/cara-mengubah-judul-blog-dengan-judul.html#ixzz1Ie8isVZF

Klik Kanan

Selasa, 01 Februari 2011

Haruskah Kita Merayakan Tahun Baru Imlek?

Apa yang saya sampaikan dalam tulisan ini hanya sebuah observasi amatir pihak ketiga dari berbagai sumber dan berdasarkan pengamatan pribadi selama bertahun-tahun menjalani hidup saya yang selalu dekat dengan kelompok etnis Tionghoa.Walau saya seorang Muslim dan bukan seorang Tionghoa, namun hampir setiap tahun menjelang Tahun Baru Imlek saya sering merasa risih bila mendengar seseorang mengajukan pertanyaan, "Apakah orang Tionghoa yang sudah beragama Kristen boleh merayakan Imlek?" atau pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis.Bila kita perhatikan bentuk perayaan hari-hari raya lain yang kita kenal di negara ini, ada dua aspek yang terdapat dalam setiap hari raya tersebut. Aspek pertama adalah aspek Agama, dan yang kedua adalah aspek Sosial-Budaya. Untuk aspek pertama, sudah jelas bahwa aspek tersebut berkaitan erat dengan agama yang terkait dan bersifat unik bagi setiap individu yang percaya pada agama yang bersangkutan. Undang-undang negara kita menjamin kebebasan setiap individu untuk memeluk agama yang dipercayai masing-masing, termasuk kebebasan untuk merayakan hari-hari raya keagamaan masing-masing.Namun bagaimana dengan aspek kedua, yaitu Sosial-Budaya? Bentuk perayaan hari raya berdasarkan aspek Sosial-Budaya sebenarnya tidak berbeda dengan kegiatan sosial sehari-hari, seperti menghadiri pesta ulang tahun seorang teman, mengunjungi saudara, reuni sekolah dan lain-lain. Kita tidak dapat menyetarakan antara aspek Agama dan aspek Sosial-Budaya dari sebuah perayaan hari raya. Keduanya saling berhubungan, tapi implementasi dan sifatnya berbeda. Sebagai contoh, sering kita lihat suasana bersahabat saat menjelang hari raya Idul Fitri, dimana orang-orang saling mengirim makanan khas Lebaran kepada tetangga atau kenalan, tanpa memperdulikan agama yang dipercaya oleh orang yang menerima kiriman tersebut. Contoh lain adalah, suasana akrab saat orang-orang saling mengucapkan selamat Natal pada teman atau kenalan yang merayakannya, walau orang-orang yang mengucapkan selamat tersebut menganut agama lain yang tidak merayakan Natal berdasarkan aspek Agama. Dua contoh ini menggambarkan bahwa hari raya Idul Fitri dan Natal memiliki aspek Sosial-Budaya selain aspek Agama, yang diterima secara wajar oleh masyarakat lintas agama. Tapi kenapa masih ada orang yang tidak dapat melihat aspek Sosial-Budaya dari perayaan Imlek? Bukankah seharusnya Imlek sebagai hari raya juga dapat disikapi berdasarkan aspek Agama dan Sosial-Budaya sendiri seperti hari raya lainnya? Inilah hal yang mengusik hati nurani saya, dan saya harap para pembaca dapat memahami kenapa saya risih terhadap pertanyaan di atas. Saya perhatikan ada kesalah-pahaman dan pengertian yang keliru tentang tahun baru Imlek di masyarakat kita, yaitu Imlek hanya dirayakan oleh penganut agama Budha dan pemeluk keperyaan budaya Cina lain, sedangkan orang Tionghoa Kristen atau Muslim seharusnya tidak lagi ikut merayakan Imlek karena sudah tidak relevan atau bertentangan dengan agama yang dianut. Saya ingat perkataan seorang pendeta Kristen beberapa waktu lalu, tentang ajakan pada jemaatnya untuk tidak merayakan Imlek karena perayaan ini tidak 'sejalan dengan ajaran Yesus' dan dinilai 'sesat' oleh pendeta tersebut. Saya juga masih ingat bagaimana sengitnya perdebatan yang terjadi antara pendeta tersebut dengan saya saat itu, karena saya bertanya apakah pendeta tersebut dapat membuktikan dua argumen yang diajukannya di atas untuk menentang perayaan Imlek.Ada baiknya kita tinjau ulang sejarah tahun baru Imlek dan latar belakang sejarah etnis Tionghoa di Indonesia, agar kita dapat memahami apa yang menyebabkan konsep Imlek yang keliru di masyarakat. SEJARAH TAHUN BARU IMLEKSaya tidak berhasil menemukan dokumen yang mengemukakan fakta kapan perayaan Imlek terjadi pertama kali. Mungkin memang sudah tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan tahun baru Imlek bermula. Namun berdasarkan perhitungan jumlah tahun, perayaan Imlek pertama kali mungkin terjadi sekitar tahun 2700 sebelum masehi. Oleh sebab itu, tahun 2009 berdasarkan penanggalan Cina (kalender lunisolar atau kalender bulan) adalah tahun 4706 (versi lain adalah tahun 2560).Perayaan Imlek di daratan Cina sebenarnya berawal dari perayaan datangnya musim semi. Berbeda dengan di Indonesia, di daratan Cina orang-orang mengalami empat musim setiap tahun yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Orang-orang merasakan musim dingin adalah musim paling berat dari keempat musim tersebut, karena matahari terbit dan terbenam lebih cepat dari musim lainnya, serta cuaca yang sangat dingin. Tibanya musim semi setelah musim dingin yang berat dirasakan sebagai suatu berkah yang membawa kegembiraan bagi semua orang. Oleh karena itu, untuk menyambut musim semi ini, anggota-anggota keluarga berkumpul bersama, handai-taulan saling mengunjungi dalam suasana yang bahagia dan orang-orang terlibat dalam satu perayaan masal yang terjadi ribuan tahun lalu. Inilah awal dari perayaan Imlek yang kita kenal sekarang, yaitu sebuah perayaan yang bersifat Sosial-Budaya antara keluarga, kenalan-kenalan, dan masyarakat di Cina pada saat itu.Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan atas datangnya musim semi yang membawa kebahagiaan bagi semua orang ini, timbul suatu bentuk upacara religius dalam masyarakat Tionghoa untuk menyampaikan rasa terima kasih kasih kepada Tuhan berdasarkan agama yang mereka anut saat itu. Bangsa Cina adalah bangsa yang religius, mereka percaya akan kuasa omnipoten Tuhan yang berkuasa mempengaruhi kehidupan mereka di dunia. Bentuk kepercayaan ini tertuang dalam berbagai agama yang dianut oleh masyarakat Tionghoa, ada yang percaya pada kuasa Dewa-dewa dari langit, ada yang menganut agama Budha, Tao, Zoroaster, Islam dan lainnya (catatan: agama Kristen adalah agama yang paling terakhir dikenal di Cina). Masing-masing penganut agama tersebut menyampaikan rasa terima kasih pada Tuhan atas tibanya musim semi, sebagai suatu aktifitas pelengkap kegiatan Sosial-Budaya yang terjadi dan ungkapan kebahagiaan atas karunia yang telah diterima setelah berhasil melalui musim dingin yang berat. Inilah aspek Agama dari perayaan Imlek, yang timbul setelah adanya aspek Sosial-Budaya berupa berkumpulnya keluarga dan handai-taulan dalam menyambut musim semi. SEJARAH ETNIS TIONGHOA DI INDONESIATidak ada bukti otentik kapan pertama kali etnis Tionghoa berkembang di Indonesia. Yang saya ketahui adalah hubungan dagang dan sosial antara bangsa Cina dengan masyarakat kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia telah berlangsung lama. Hal ini dapat kita lihat dari besarnya pengaruh-pengaruh budaya Cina dalam beberapa kebudayaan suku-suku yang terdapat di Indonesia. Bahkan, pedagang-pedagang dari Cina juga terlibat dalam proses penyebaran agama Budha dan Islam di Indonesia, seperti melalui ekspedisi Cheng Ho maupun kiprah Wali Songo di tanah Jawa.Sampai dengan pertengahan abad 19, kebanyakan orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia adalah mereka yang sudah beberapa generasi menetap di nusantara. Hingga masa ini, kebanyakan pendatang dari daratan Cina adalah laki-laki yang pergi merantau ke negara lain untuk mengadu nasib dan berdagang di luar daratan Cina. Para pendatang ini banyak yang menikah dengan wanita setempat, kemudian keturunan mereka saling menikah dan berkembang menjadi etnis Tionghoa yang dikenal sebagai 'Cina Peranakan'. Pernikahan dengan warga setempat mengakibatkan timbulnya integrasi budaya dalam etnis Tionghoa ini. Umumnya, keturunan kelompok Peranakan ini sudah tidak bisa lagi menggunakan bahasa Mandarin atau dialek Cina lainnya, mereka lebih banyak menggunakan bahasa penduduk setempat (bahasa daerah) yang membantu mereka dalam melakukan usaha dagang dalam masyarakat tersebut. Namun, etnis Tionghoa ini masih tetap menjalankan tradisi Tionghoa, walaupun tidak terlalu kuat.Setelah pertengahan abad 19, muncul gelombang baru kedatangan orang Tionghoa dari daratan Cina. Dalam masa ini, banyak terdapat etnis Tionghoa yang telah berhasil membangun usaha dagang di Nusantara, dan mampu menanggung biaya kedatangan keluarga serta sanak saudara dari daratan Cina ke Indonesia. Saat itu, banyak laki-laki dan perempuan Tionghoa yang datang ke Indonesia, sehingga mulai banyak terjadi pernikahan antara sesama orang Tionghoa di sini. Gelombang kedatangan baru ini membawa budaya Cina yang masih kental, mereka memegang teguh tradisi Cina dan banyak menggunakan bahasa Mandarin atau dialek Cina lainnya dalam pergaulan sosial sehari-hari. Mereka inilah yang disebut sebagai 'Cina Totok' atau Cina asli.Di akhir abad ke-19, terjadi perubahan politik di daratan Cina, berupa sebuah gerakan Nasionalisme yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen. Gerakan ini membawa semangat mengembalikan eksistensi budaya dan kedaulatan bangga Tionghoa (bangsa Han) di daratan Cina, yang akhirnya membawa aspirasi anti-imperialisme untuk menentang pemerintahan asing yang ada (dinasti Qing, bangsa Manchu) dan menolak pengaruh budaya asing (terutama bangsa Barat) dalam kehidupan masyarakat. Gerakan ini mencapai puncaknya pada tahun 1912 dengan runtuhnya dinasti Qing dan diproklamasikannya negara Cina baru dengan bentuk pemerintahan republik.Gerakan Nasionalisme Dr. Sun Yat Sen ini sendiri dipicu oleh gerakan Pemberontakan Boxer yang terjadi sejak November 1899 hingga 7 September 1901. Nama 'Boxer' digunakan karena bangsa Barat saat itu tidak memiliki padanan kata yang tepat untuk mengartikan seni beladiri Kung Fu. Karena banyak tokoh-tokoh ahli Kung Fu yang terlibat dalam gerakan ini, maka kata 'Boxer' atau Tinju diambil untuk mengartikan gerakan ini dalam bahasa yang dimengerti masyarakat Barat. Gerakan Boxer menentang meningkatknya kekuasaan monopoli asing di bidang perdagangan, politik, agama dan teknologi yang terjadi di Cina di tahun-tahun terakhir kekuasaan Dinasti Qing. Gerakan Boxer dimulai sebagai gerakan anti-asing, anti-imperialisme dan berubah menjadi pergerakan masal masyarakat petani di Cina utara. Mereka menyerang orang asing yang membangun jalur kereta api dan melanggar Feng Shui, serta menentang gerakan penyebaran agama Kristen yang dijadikan topeng dominasi ekonomi dan politik bangsa Barat di Cina. Pada Juni 1900, gerakan Boxer menyerang Beijing dan membunuh 230 orang misionaris Barat. Banyak orang Tionghoa Kristen dan Katolik yang ikut terbunuh di provinsi Shandong dan Shanxi sebagai korban dari pemberontakan tersebut. Walau tidak terlibat secara langsung dalam gerakan ini, tokoh karismatik yang mengilhami timbulnya gerakan Boxer ini adalah Wong Fei Hung, seorang dokter, guru dan ahli Kung Fu dari Fushan yang kisah hidupnya diabadikan dalam berbagai film Mandarin, antara lain Once Upon A Time in China yang diperankan oleh Jet Li. Wong Fei Hung dikenal dengan jurus 'Tendangan Tanpa Bayangan (Shadowless Kick)' adalah tokoh utama dalam sejarah dan peletak dasar-dasar seni bela diri Kung Fu moderen. Lahir tahun 1847, pria dengan julukan 'Tiger after the Ten Tigers of Canton' ini memutuskan untuk berhenti menurunkan ilmu Kung Fu yang dimilikinya setelah klinik pengobatan Po Chi Lam miliknya dibakar dan anaknya, Wong Hawn Sum, tewas terbunuh karena ditembak mati oleh lawannya pada tahun 1890. Gerakan Boxer sendiri dipatahkan oleh Aliansi Delapan Negara (Austria, Prancis, Jerman, Itali, Jepang, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat) dengan dikalahkannya kota Tianjin oleh pasukan aliansi.Semangat Nasionalisme Dr. Sun Yat Sen, romantisme Pemberontakan Boxer dan karisma Wong Fei Hung menyebar luas hingga keluar daratan Cina melalui imigran-imigran yang pergi merantau ke negeri asing. Semangat 'Kebangkitan Nasional' ini juga menyebar di kalangan orang-orang Tionghoa di Indonesia, baik yang Peranakan maupun yang Totok. Tahun 1900, golongan Peranakan mendirikan Tiong Hoa Hwe Koan/Zhonghua Huiguan (THHK) yang mengangkat kembali nilai-nilai budaya Cina dan mempromosikan penggunakan bahasa Mandarin pada golongan Peranakan di Nusantara. Bahkan, pengaruh gerakan orang-orang Tionghoa ini juga menyebar cepat seperti api yang membakar semangat nasionalisme kaum elit politik di Indonesia untuk merdeka. Saat itu, orang Tionghoa dan orang Indonesia merasakan nasib yang sama, yaitu sama-sama hidup di bawah tekanan bangsa Barat yang memonopoli berbagai aspek kehidupan masyarakat dengan menggunakan modus operandi yang sama seperti yang terjadi di daratan Cina. Hal ini menimbulkan rasa simpati yang tinggi terhadap perjuangan dan usaha untuk merdeka yang dilakukan oleh bangsa Cina dan bangsa Indonesia. Seperti yang kita ketahui dari sejarah, Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia ditandai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, yang bertujuan untuk meningkatkan nasib dan martabat bangsa Indonesia.Pengaruh gerakan Nasionalisme di Cina dan tumbuhnya kesadaran politik serta gerakan Kebangkitan Nasional di Indonesia ini sangat menakutkan bagi prospek eksistensi bangsa Barat (Belanda) di Nusantara. Solidaritas antara orang Tionghoa dan Indonesia dalam menentang dominasi Belanda di Indonesia saat itu akan berpengaruh luas pada peta kekuatan ekonomi-politik bangsa Barat di Asia. Kekuatiran akan timbulnya persatuan Tionghoa-Indonesia ini berubah menjadi fobia bagi bangsa Barat yang menguasai (menjajah) banyak negara Asia saat itu. Untuk mengantisipasi hilangnya dominasi ekonomi-politik mereka, bangsa Barat (termasuk Belanda di Indonesia) berusaha mencegah terjadinya solidaritas Tionghoa-Indonesia dengan doktrinasi sosial-budaya yang sejalan dengan kepentingan mereka. Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda dalam hal doktrinasi sosial-budaya ini adalah dengan menerapkan Passenstelsel dan Wijkenstelsel, sebuah aturan yang menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda, terpisah dari permukiman suku-bangsa lain. Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa, dengan menciptakan kamp konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Di Jakarta (Batavia), etnis Tionghoa pada masa penjajahan hanya boleh tinggal di daerah Glodok, Jakarta Barat, yang namanya berasal dari suara air pancuran (glodok pancoran) dari sebuah gedung kecil persegi delapan di tengah-tengah halaman gedung Balai Kota (Stadhuis).Pemerintah kolonial Belanda juga membentuk kelas sosial dalam masyarakat. Pada saat itu, Belanda membagi penduduk menjadi tiga kelas, yang paling tinggi adalah golongan bangsa Barat, kelas menengah adalah kelompok orang timur asing (Arab, Cina, India), dan kelas yang paling rendah / terakhir adalah orang pribumi asli. Semakin tinggi kelas sosial seseorang, semakin besar kekuasaan dan hak-hak sipil yang dimiliki seseorang. Perbedaan kelas sosial ini menciptakan jurang pemisah antara orang Tionghoa dan orang pribumi. Jurang ini menimbulkan kecemburuan dan konflik sosial antara orang Tionghoa dan orang pribumi yang dampaknya masih dapat kita rasakan hari ini.Usaha lain yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda dalam mewujudkan doktrinasi sosial-budaya ini adalah dengan mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS), sebuah sekolah khusus untuk orang Tionghoa Peranakan dengan bahasa pengantar Belanda, yang ditujukan sebagai lawan dari THHK. Pemerintah kolonial Belanda memberi kemudahan dalam memperoleh pekerjaan bagi lulusan HCS, dan opini publik mulai dibentuk bahwa model pendidikan Barat dianggap lebih baik serta modern dibandingkan dengan model pendidikan Timur yang diperoleh oleh kelompok Totok dan pribumi. Di sekolah ini, Tionghoa Peranakan dididik secara Belanda dan sengaja tidak diperkenalkan kebudayaan Tionghoa. Selain perbedaan kelas sosial di atas, pendidikan di HCS menimbulkan perbedaan kelas lagi dikalangan orang Tionghoa sendiri! Kaum Peranakan yang sudah mengecap pendidikan Barat merasa lebih bermartabat dibandingkan kaum Totok yang tetap menjalani tradisi Cina dan tidak mengalami pendidikan gaya Barat.Untuk semakin memecah persatuan Tionghoa-Indonesia dan mengadu-domba antara orang-orang Tionghoa sendiri, pada tahun 1907 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang yang memberi kesempatan pada Tionghoa Peranakan untuk naik kelas sosial dan mendapat status sama dengan orang-orang Barat, dengan syarat harus fasih berbahasa Belanda dan harus membuat surat pernyataan bahwa mereka tidak mau tinggal bersama masyarakat Tionghoa lain, atau berarti mereka harus menanggalkan ke-Tionghoa-an mereka!Karena pada jaman penjajahan Belanda, orang Tionghoa yang beralih menjadi pemeluk agama Kristen kebanyakan adalah Tionghoa Peranakan yang pada umumnya tidak begitu mengenal tradisi dan budaya Cina serta hanya mengenyam nilai-nilai pendidikan Barat, maka tidak heran bila timbul kesan di masyarakat bahwa orang Tionghoa Kristen sudah tidak perlu bahkan tidak boleh lagi menjalankan tradisi Cina seperti merayakan tahun baru Imlek.Keberhasilan doktrinasi sosial-budaya pemerintah kolonial Belanda ini semakin menjadi dengan adanya peraturan-peraturan pemerintahan Orde Baru yang diskriminatif. Bahkan, bila kita diam dan mengamati dengan hati lebih lanjut, doktrinasi sosial-budaya ini masih ada dan fobia bangsa Barat terhadap persatuan Tionghoa-Indonesia ini masih terasa kental saat ini di negara kita yang sudah merdeka sejak tahun 1945. KESIMPULANKita tidak boleh melupakan adanya aspek Sosial-Budaya perayaan Tahun Baru Imlek, yang berupa perayaan bersifat budaya dan tidak berkaitan dengan agama apapun. Perayaan Tahun Baru Imlek sama pentingnya seperti tradisi budaya yang terdapat dalam suku-suku lain di Indonesia. Oleh karena itu, perayaan ini seharusnya tetap dipelihara oleh semua orang yang tinggal di Indonesia apapun agama dan suku-bangsanya, karena keberadaan perayaan ini telah memperkaya kebudayaan bangsa kita yang Bhineka Tunggal Ika.Salah kaprah pemahaman tradisi perayaan Tahun Baru Imlek adalah warisan doktrinasi sosial-budaya yang keliru dari penjajah negara kita dulu, yaitu pemerintah kolonial Belanda. Kedok agama telah dipakai sebagai salah satu cara untuk memecah kekuatan Tionghoa-Indonesia, sehingga timbul kesalah-pahaman bahwa Tionghoa pemeluk agama selain Budha dan kepercayaan Cina lainnya tidak perlu atau tidak boleh merayakan Tahun Baru Imlek.Jurang pemisah atau kelas sosial antara kelompok Peranakan dan Totok adalah nyata, dan masih dapat kita rasakan hingga hari ini.Fobia bangsa Barat akan timbulnya kekuatan Tionghoa-Indonesia adalah nyata, dan telah ada sejak akhir abad ke 19 hingga sekarang. Coba renungkan hal ini, gabungan sumber daya RRC dan Indonesia berpotensi untuk menguasai lebih dari separuh kekuatan politik, sosial-budaya dan ekonomi dunia. Bagaimana mereka tidak jadi fobia bila menyadari fakta menakutkan ini?Merdeka! Gong Xi Fa Cai!