Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap 'cepat' karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun.
Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat. Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan dan kemasyuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China, Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu.
Dalam pengertian umum, revolusi mencakup jenis perubahan apapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut. Misalnya Revolusi Industri yang mengubah wajah dunia menjadi modern. Dalam definisi yang lebih sempit, revolusi umumnya dipahami sebagai perubahan politik.
Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula pada Revolusi Perancis, kemudian Revolusi Amerika. Namun, Revolusi Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang bersifat domestik seperti pada Revolusi Perancis. Begitu juga dengan revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia. Maka konsep revolusi kemudian sering dipilah menjadi dua: revolusi sosial dan revolusi nasional.
Pada abad 20, terjadi sebuah perubahan bersifat revolusi sosial yang kemudian dikenal dengan Revolusi Rusia. Banyak pihak yang membedakan karakter Revolusi Rusia ini dengan Revolusi Perancis, karena karakter kerakyatannya. Sementara Revolusi Perancis kerap disebut sebagai revolusi borjuis, sedangkan Revolusi Rusia disebut Revolusi Bolshevik, Proletar, atau Komunis. Model Revolusi Bolshevik kemudian ditiru dalam Perang Saudara Tiongkok pada 1949
Karakter kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai akibat dari situasi ketika perubahan tata nilai dan norma yang mendadak telah menimbulkan kekosongan nilai dan norma yang dianut masyarakat.
Perang Revolusi Amerika
Perang Revolusi Amerika (1775–1783) juga dikenal sebagai Perang Kemerdekaan Amerik adalah sebuah perang yang terjadi antara Britania Raya dan para pendukung revolusi dari 13 koloni Britania di Amerika Utara. Ke-13 koloni itu adalah koloni New Hampshire, koloni Massachusetts, koloni Rhode Island, koloni Connecticut, koloni New York, koloni New Jersey, koloni Pennsylvania, koloni Delaware, koloni Maryland, koloni Virginia, koloni North Carolina, koloni South Carolina, dan koloni Georgia. Perang yang kemudian meluas ke luar Amerika Utara Britania (British North America) ini berakhir dengan dihapuskannya kekuasaan Britania terhadap ketiga belas koloni tersebut dan dibentuknya negara Amerika Serikat.
Istilah Perang Revolusi atau Revolusi Amerika juga sering digunakan untuk merujuk pada peristiwa ini meski yang terakhir juga termasuk perkembangan politik dan sosial sebelum dan sesudah perang tersebut.
Latar Belakang terjadinya disebabkan karena Perang Tujuh Tahun antara Britania Raya dan Perancis (1756-1763) memperebutkan Quebec yang dimenangkan oleh Britania.
Peta pusat industri dan pertambangan Inggris
E. Revolusi Industri Kedua
Setelah berjalan satu abad, sekitar tahun 1860, Revolusi Industri memasuki fase baru yang berbeda dari apa yang sudah lalu, yang dikenal sebagai Revolusi Industri tahap kedua. Kejadian-kejadian yang terjadi pada periode itu terutama ada tiga hal : perkembangan proses Bessemer dalam membikin baja pada tahun 1856; penyempurnaan dinamo kira-kira pada tahun 1873; dan penciptaan mesin pembakaran di dalam pada tahun 1876. Perbedaan antara Revolusi Industri tahap kedua ini dibanding tahap pertama adalah, (1) adanya penggantian baja ditempat besi sebagai bahan industri pokok; (2) penggantian batu arang dengan gas dan minyak sebagai sumber pokok tenaga dan penggunaan listrik sebagai bentuk pokok tenaga industri; (3) perkembangan mesin otomatis dan peningkatan yang tinggi spesialisasi buruh; (4) penggunaan campuran dan metal yang ringan dan hasil industri kimia; (5) perubahan radikal dalam transportasi dan komunikasi; (6) pertumbuhan bentuk-bentuk baru organisasi kapitalis; (8) dan (7) tersiarnya industrialisasi di Eropa Tengah dan Timur dan bahkan di Timur Jauh.
F. Dampak – Dampak Revolusi Industri
Dampak revolusi industri bagi umat manusia terasa dalam
berbagai bidang, yaitu :
1. Munculnya industri secara besar-besaran.
2. Peningkatan mutu hidup, hidup menjadi lebih dinamis, manusia bisa menciptakan berbagai produksi untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Harga barang menjadi murah. Mengapa bisa murah? Coba bayangkan berapa ongkos produksi sehelai baju yang diproduksi dengan mesin dibandingkan produksi dengan alat-alat tradisional!
4. Meningkatnya urbanisasi ke kota-kota industri.
5. Berkembangnya kapitalisme modern.
6. Golongan kapitalis mendesak pemerintah untuk menjalankan imperialisme modern.
Dampak negatif revolusi industri khususnya di Inggris adalah upah buruh yang murah menyebabkan timbulnya keresahan yang berakibat pada munculnya kriminalitas dan kejahatan.
Upaya untuk memperbaiki nasib buruh dan masalah sosial di Inggris melahirkan aliran sosialisme dan revolusi sosial yang ditandai dengan keluarnya undang-undang berikut ini:
1.Catholic Emancipation Bill (1829) menetapkan hak yang sama
bagi umat protestan dan katolik untuk menjadi pegawai negeri dan anggota parlemen . Sebelumnya berlaku Test Act sejak tahun 1673 yang melarang umat katolik menjadi pegawai negeri dan anggota Parlemen, sehingga mereka banyak yang pindah terutama ke Amerika.
9
2.Abolition Bill (1833) berisi penghapusan system perbudakan di
daerah jajahan Inggris.
3.Factory Act (1833) yang menetapkan:
a.Anak-anak yang berusia 9 tahun tidak boleh dipekerjakan sebagai buruh perusahaan dan tambang. Buruh Anak -anak
b. Anak -anak di atas usia 9 tahun boleh bekerja 9 jam sehari dengan 2 jam mendapat pendidikan dari majikan.
Pada tahun 1842 muncul undang-undang yang melarang kaum wanita dan anak-anak untuk bekerja di perusahaan tambang. Mengapa demikian? karena keadaan yang
menyedihkan seperti pada gambar 1.6, mereka bekerja di lorong- lorong pertambangan yang gelap di bawah tanah dengan badan dirantai. Bekerja lebih dari 10 jam per hari dengan gaji rendah.
4.Poor Law (1834) berisi pendirian rumah-rumah bagi pengemis dan
penganggur agar tidak berkeliaran. Bantuan bagi yang berusia lanjut serta perawatan bagi penganggur dan pengemis yang cacat atau sakit.
Klik Kanan
Rabu, 12 Januari 2011
PENDIDIKAN HUMANISME
A. Indikator
Makna kata ‘pendidikan’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Secara singkat, pendidikan dapat dimaknai sebagai sebuah proses rekayasa pemikiran melalui kegiatan terencana dan sistematis untuk mengubah tingkah laku seseorang melalui pengalaman nyata.
Andrias Harefa, dalam bukunya Menjadi Manusia Pembelajar, menyatakan bahwa dengan pendidikan, peserta didik hendaknya bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri, semakin mengenal ‘diri’, semakin jujur dengan diri sendiri, semakin otentik, dan menjadi semakin unik tak terbandingkan. Inilah seharusnya produk utama profil peserta didik yang dihasilkan dari proses penyelenggaraan sistem pendidikan bangsa kita.
Idealnya, profil sumber daya manusia Indonesia yang tangguh hanya dapat terwujud melalui misi pendidikan yang berfokus pada pemberdayaan 3 keterampilan (skill) peserta didik, yaitu learning skill, thinking skill, living skill.
Learning skill yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kemampuan untuk mengembangkan diri melalui proses belajar berkelanjutan menuju kualitas pribadi yang lebih baik. Thinking skill merupakan keterampilan untuk pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dengan menggunakan keterampilan berpikir untuk menghasilkan sosok sumber daya manusia dengan karakter kuat. Living skill merupakan keterampilan hidup yang terdiri dari sikap bertanggung jawab, memiliki daya juang, terampil membangun dan memelihara hubungan sosial, kematangan emosi, serta kemampuan untuk mengelola potensi diri.
Kabar buruknya, kegiatan pembelajaran yang seharusnya menjadi tempat beraktualisasi diri bagi peserta didik untuk menjadi manusia pembelajar dan pemecah masalah kurang dikembangkan secara optimal.
Ada beberapa catatan menarik yang mesti dicermati terkait adanya kesenjangan sistem pembelajaran di sekolah yang bertolak belakang dengan tuntutan dunia nyata yang kelak akan dihadapi peserta didik. Pertama, kecenderungan umum yang sering terjadi, proses pembelajaran didominasi dengan aktivitas komunikasi satu arah, dari guru kepada siswa. Hampir jarang sekali guru mendesain kegiatan pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan melalui pengalaman nyata. Implikasinya, siswa menjadi sangat menguasai teori tanpa mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Kedua, keberhasilan atau kegagalan anak ditentukan oleh skor dan nilai mata pelajaran. Ketika proses mengevaluasi prestasi siswa sesuai prosedur yang benar, hal itu masih dapat diterima dan dipertanggungjawabkan. Kenyataannya, tidak jarang proses mengevaluasi siswa tidak mampu mencerminkan kompetensi siswa yang otentik. Padahal, fakta lapangan hanya akan mengakui siswa yang mampu menunjukkan performa yang sebenarnya di dunia nyata. Pastikan, nilai di buku laporan prestasi siswa mampu mencerminkan kompetensi siswa yang sesungguhnya.
Ketiga, Biro Pusat Statistik SUSENAS 2003, melaporkan bahwa semakin tinggi seseorang menempuh jenjang pendidikan, maka semakin rendah kemandirian dan semangat kewirausahaannya. Apakah pembelajaran di kelas mampu menghadirkan semangat positif bagi siswa untuk belajar hidup mandiri? Mampukah kegiatan pembelajaran mengarahkan siswa mampu memecahkan masalah hidup yang akan dihadapinya kelak? Hal ini terkait dengan proses mengasah living skill. Perlu praktik nyata dalam mengarahkan siswa menggali keterampilan ini, bukan teori semata.
Proses Dehumanisasi dalam Pembelajaran
Banking concept of education, istilah Paulo Freire bagi proses dehumanisasi pendidikan. Ciri utamanya adalah komunikasi bersifat antidialogis, guru mengajar-murid belajar, guru tahu segalanya-murid tidak tahu apa-apa, guru bicara-murid mendengarkan, guru adalah subjek proses belajar-murid objek belajar.
Paul MacLean, pengkaji Triune Theory, menjelaskan adanya pengaruh cara kerja otak dalam pembelajaran. Ada 3 bagian otak dengan fungsi masing-masing yang berbeda, yaitu otak besar (neokorteks), otak tengah (sistem limbik), dan otak kecil (otak reptil).
Otak besar berfungsi untuk kegiatan berbicara, berpikir, belajar, memecahkan masalah, merencanakan, dan mencipta. Otak tengah berfungsi untuk kegiatan yang melibatkan aspek sosial dan emosional, serta untuk mengingat jangka panjang (long term memory). Otak kecil berfungsi untuk bereaksi, kegiatan yang bersifat mengulang, mempertahankan diri, dan ritualis.
Sungguh tidak dapat dibayangkan jika pembelajaran masih didominasi oleh kegiatan menghafal, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin, dan mengedepankan komunikasi satu arah semata. Jika aktivitas pembelajaran tersebut dominan dilakukan di kelas, maka siswa-siswa kita hanya memfungsikan otak kecilnya saja. Bagaimana dengan nasib optimalisasi otak besar dan otak tengahnya? Bukankah ini merupakan proses menafikan eksplorasi potensi diri siswa yang sebenarnya sangat luar biasa?
Penyelenggaraan pendidikan kritis yang lebih mencerdaskan siswa dan mampu memberdayakan seluruh potensi siswa perlu dikembangkan secara tepat guna di ruang-ruang kelas. Terinspirasi oleh pemikiran Freire, ada 3 fokus utama yang dapat dijadikan landasan bertindak untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih humanis, yaitu (1) Siswa belajar dari realitas atau pengalaman, dimana siswa tidak hanya menelan teori semata, tetapi otoritas pengetahuan siswa dibangun dari realitas yang ada di lingkungan sekitar siswa, (2) Dalam situasi pembelajaran, tak ada guru dan tak ada murid yang digurui, siswa dan guru sama-sama belajar, guru belajar untuk mengajar dan siswa belajar untuk belajar, (3) Dialogis adalah ciri utama yang dikembangkan dalam situasi pembelajaran, dimana guru-siswa dan siswa-siswa terlibat aktif dalam kegiatan transfer of learning positif sebagai sebuah komunitas belajar produktif.
B. Ansos
Dikutip dari : Fiona Carnie. Alternative Approach to Education: a Guide for Parents and Teachers. NY:RoutledgeFalmer, 2003. hal. 9).
Kegundahan sang penulis surat agaknya menjadi kegundahan dan keresahan banyak pihak yang menjadi stakeholders pendidikan. Ketika anak-anak mereka disekolahkan di sebuah sekolah, perilaku mereka justru semakin buruk, mereka lebih piawai berbohong dan memanipulasi uang, mengalami penurunan sisi afeksinya, dan tidak lagi memiliki sensitifitas sosial dan kultural. Budaya kekerasan menjadi karakter utama ciri khas sekolah nasional. Murid sekolah dasar yang terlibat tawuran, narkoba, dan kecanduan film porno agaknya sudah jamak. Bahkan menurut keponakan saya yang masih duduk di kelas enam sebuah SD di pinggiran Jakarta, diantara kawan-kawannya, terdapat sekelompok siswi SD yang memiliki kebiasaan jalan-jalan di mall berlagak bagai perempuan nakal. Tidak hanya itu mereka memiliki 'gang' eksklusif penikmat film biru yang sepatutnya ditonton oleh orang dewasa.
Kaum akademisi dan intelektual ternyata pun membuang cagar intelektualitas dan menginjak-injak nilai-nilai akademik demi ekspresi anarkis. Sisi humanis dalam koridor pendidikan nasional kita sudah semakin luntur. Di tingkat perguruan tinggi, fenomena kekerasan semakin marak. Brutalisme dan vandalisme sudah biasa dipertontonkan oleh para mahasiswa kita. Beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa merusak fasilitas kampus gara-gara mereka di-DO (drop-out) oleh pihak universitas karena prestasi mereka yang jeblok dan melebihi waktu studi yang digariskan universitas. Dalam atmosfere politik kampus, sering pula mahasiswa bentrok gara-gara terlibat dukung-mendukung calon pimpinan fakultas atau universitas. Kampus yang sudah tercemar dengan maraknya 'ayam kampus' dan transaksi narkoba adalah wajah buram generasi muda Indonesia. Apa yang terjadi dengan mereka?
Sungguh sulit untuk menunjuk hidung penyebab semua ini. Kalau ada orang bertanya, "Siapa yang harus dipersalahkan?", maka salahkanlah kita semua sebagai sebuah sistem dan pranata hidup yang sistemik. Institusi pendidikan hanyalah partikel kecil dari sistem makro sebuah bangsa. Karena posisinya yang sentral sebagai penjamin denyut nadi kehidupan bangsa, maka institusi pendidikan selalu dituding sebagai biang keladi permasalahan sosial di masyarakat. Institusi pendidikan tidaklah berdiri sendiri dan ia tak mungkin tumbuh dan berkembang tanpa ada proses dialektika terhadap perubahan zaman yang mengitarinya. Sangat susah untuk menjawab apakah institusi pendidikan yang mampu merubah haluan hidup masyarakat, ataukah masyarakat sendiri yang merubah arah tujuan pendidikan? Pertanyaan ini sama halnya dengan mana yang duluan telor ataukah ayam. Jika anak-anak yang dididik di institusi pendidikan malah menjadi tidak lebih baik, maka minimal kita harus menganalisa melalui beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, faktor internal. Faktor internal merupakan pengejawantahan kekuatan sebuah bangsa. Faktor sosialisasi dan pewarisan nilai sebagai bentuk pendidikan non-formal sudah tak berfungsi lagi. Pola dan norma hidup yang telah berubah menyebabkan perilaku manusia menjadi semakin tercabut dari akar lamanya. Proses pencabutan ini terjadi ketika masyarakat sudah tak patuh lagi dengan koridor nilai yang dihormati. Seorang anak yang tidak memiliki kenyamanan dalam rumah, cenderung untuk bertindak frontal dan aharmonis dengan lingkungannya. Watak asosial terjadi karena faktor pewarisan nilai negatif dalam rumah. Seorang anak yang terbiasa dengan fenomena judi menjadikan dia tak lagi melihat judi sebagai bentuk penyakit masyarakat. Renganggnya hubungan anak dengan orang tua berimbas kepada renggangnya kehidupan masyarakat. Individualisme terus menggerogoti intimasi kelompok masyarakat. Mereka seolah hidup di dalam sangkar besi (iron cage). Penguatan nilai-nilai lokal yang arif sudah tak laku lagi.
Kedua, faktor eksternal. Gempuran nilai dan budaya yang berasal dari luar membuat sebuah bangsa kehilangan identitasnya. Pasca reformasi sebagai pintu gerbang kebebasan manusia Indonesia ternyata mengakibatkan panen buah simalakama. Kebebasan yang tak dibatasi malah melanggengkan watak anarkisme dalam jiwa anak bangsa. Hal ini disebabkan kebebasan sekelompok orang boleh jadi merugikan sekelompok yang lainnya. Penzaliman menjadi tradisi unik bangsa ini, kezaliman lawan kezaliman. Demokrasi diterjemahkan secara serampangan, yakni kebebasan individu. Bangsa Indonesia dipaksa mencaplok idiologi yang tidak sesuai dengan kultur dan kepribadian bangsa. Kita lebih suka terperangkap dalam adagium "think locally, act globally". Dari hal ini, maka yang terjadi adalah manusia yang suka berpenampilan luar negeri, tapi otak dan perilaku merefleksikan selera rendah dan hina.
Di luar dua faktor itu adalah faktor negara yang belum maksimal memanggul palu hukum. Komitmen pemerintah untuk membangun generasi muda Indonesia ke depan harus dimulai dengan payung hukum yang jelas. Semua komponen dan potensi bangsa harus diarahkan demi tercapainya bangsa yang cerdas. "Mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai cita-cita nasional akan menjadi isapan jempol belaka kalau tak didukung oleh komitmen riil para penyelenggara pemerintahan. Komponen hukum digunakan untuk mendidik anggota bangsa yang bersalah. Komponen informasi disediakan untuk menambah wawasan para anak bangsa, bukan untuk menikmati fitnah duniawi. Komponen aparatur negara disiapkan untuk mengawasi dan memberi contoh yang baik bagi rakyatnya. Kalau negara tak memiliki komitmen, maka yang ada adalah penghambaan para penyelenggara negara kepada para pemilik modal. Para pemimpin akan mengemis kepada para cukong dan membiarkan para rakyat semakin bodoh oleh proses pembodohan yang teratur dan sistemik. Para pemimpin takut tidak populis apabila harus berdiri atas nama rakyat. Di sinilah awal mula hilangnya humanisme di kalangan manusia Indonesia. Agama tak mampu lagi menjadi sumber inspirasi dan bertindak, karena insan agamanya pun terseret oleh kepentingan politis yang menghamba pada para pemilik rupiah.
Humanisme dalam pendidikan itu perlu agar para peserta didik mampu membangun empati dan simpati atas penderitaan orang lain. Pendidikan harus lebih mampu menggali kearifan lokal dan ajaran agama yang mendukung konsep 'rahmatan lil-alamin' bagi semua makhluk. Pelajaran bahasa seharusnya diarahkan bagi kelembutan perasaan para peserta didik. Pendidikan matematika seharusnya diorientasikan bagi penyiapan anak-anak yang jujur dan mandiri. Pendidikan agama seharusnya lebih menitikberatkan pada bagaimana peserta didik mampu menghormati dan menghargai satu sama lain dalam wadah kerukunan umat. Agama diajarkan agar manusia menjadi lebih manusia, bukan terjerembab dalam kubangan hewani. Pendidikan adalah memanusiakan manusia. Di atas itu semua, adalah kultur kondusif sebuah negara dan sekolah dimana peserta didik nyaman belajar harus diciptakan. Untuk menggali potensi humanisme pendidikan, maka filsafat pendidikan harus mampu merenungi sebuah pertanyaan yang mendasar, yakni "Kemana arah pendidikan nasional Indonesia." Apakah pendidikan bisa dianalogikan sebagai usaha menanam tanaman, membuat kompor, menyalakan api ataukah, menuang air ke dalam botol?
Makna kata ‘pendidikan’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Secara singkat, pendidikan dapat dimaknai sebagai sebuah proses rekayasa pemikiran melalui kegiatan terencana dan sistematis untuk mengubah tingkah laku seseorang melalui pengalaman nyata.
Andrias Harefa, dalam bukunya Menjadi Manusia Pembelajar, menyatakan bahwa dengan pendidikan, peserta didik hendaknya bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri, semakin mengenal ‘diri’, semakin jujur dengan diri sendiri, semakin otentik, dan menjadi semakin unik tak terbandingkan. Inilah seharusnya produk utama profil peserta didik yang dihasilkan dari proses penyelenggaraan sistem pendidikan bangsa kita.
Idealnya, profil sumber daya manusia Indonesia yang tangguh hanya dapat terwujud melalui misi pendidikan yang berfokus pada pemberdayaan 3 keterampilan (skill) peserta didik, yaitu learning skill, thinking skill, living skill.
Learning skill yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kemampuan untuk mengembangkan diri melalui proses belajar berkelanjutan menuju kualitas pribadi yang lebih baik. Thinking skill merupakan keterampilan untuk pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dengan menggunakan keterampilan berpikir untuk menghasilkan sosok sumber daya manusia dengan karakter kuat. Living skill merupakan keterampilan hidup yang terdiri dari sikap bertanggung jawab, memiliki daya juang, terampil membangun dan memelihara hubungan sosial, kematangan emosi, serta kemampuan untuk mengelola potensi diri.
Kabar buruknya, kegiatan pembelajaran yang seharusnya menjadi tempat beraktualisasi diri bagi peserta didik untuk menjadi manusia pembelajar dan pemecah masalah kurang dikembangkan secara optimal.
Ada beberapa catatan menarik yang mesti dicermati terkait adanya kesenjangan sistem pembelajaran di sekolah yang bertolak belakang dengan tuntutan dunia nyata yang kelak akan dihadapi peserta didik. Pertama, kecenderungan umum yang sering terjadi, proses pembelajaran didominasi dengan aktivitas komunikasi satu arah, dari guru kepada siswa. Hampir jarang sekali guru mendesain kegiatan pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan melalui pengalaman nyata. Implikasinya, siswa menjadi sangat menguasai teori tanpa mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Kedua, keberhasilan atau kegagalan anak ditentukan oleh skor dan nilai mata pelajaran. Ketika proses mengevaluasi prestasi siswa sesuai prosedur yang benar, hal itu masih dapat diterima dan dipertanggungjawabkan. Kenyataannya, tidak jarang proses mengevaluasi siswa tidak mampu mencerminkan kompetensi siswa yang otentik. Padahal, fakta lapangan hanya akan mengakui siswa yang mampu menunjukkan performa yang sebenarnya di dunia nyata. Pastikan, nilai di buku laporan prestasi siswa mampu mencerminkan kompetensi siswa yang sesungguhnya.
Ketiga, Biro Pusat Statistik SUSENAS 2003, melaporkan bahwa semakin tinggi seseorang menempuh jenjang pendidikan, maka semakin rendah kemandirian dan semangat kewirausahaannya. Apakah pembelajaran di kelas mampu menghadirkan semangat positif bagi siswa untuk belajar hidup mandiri? Mampukah kegiatan pembelajaran mengarahkan siswa mampu memecahkan masalah hidup yang akan dihadapinya kelak? Hal ini terkait dengan proses mengasah living skill. Perlu praktik nyata dalam mengarahkan siswa menggali keterampilan ini, bukan teori semata.
Proses Dehumanisasi dalam Pembelajaran
Banking concept of education, istilah Paulo Freire bagi proses dehumanisasi pendidikan. Ciri utamanya adalah komunikasi bersifat antidialogis, guru mengajar-murid belajar, guru tahu segalanya-murid tidak tahu apa-apa, guru bicara-murid mendengarkan, guru adalah subjek proses belajar-murid objek belajar.
Paul MacLean, pengkaji Triune Theory, menjelaskan adanya pengaruh cara kerja otak dalam pembelajaran. Ada 3 bagian otak dengan fungsi masing-masing yang berbeda, yaitu otak besar (neokorteks), otak tengah (sistem limbik), dan otak kecil (otak reptil).
Otak besar berfungsi untuk kegiatan berbicara, berpikir, belajar, memecahkan masalah, merencanakan, dan mencipta. Otak tengah berfungsi untuk kegiatan yang melibatkan aspek sosial dan emosional, serta untuk mengingat jangka panjang (long term memory). Otak kecil berfungsi untuk bereaksi, kegiatan yang bersifat mengulang, mempertahankan diri, dan ritualis.
Sungguh tidak dapat dibayangkan jika pembelajaran masih didominasi oleh kegiatan menghafal, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin, dan mengedepankan komunikasi satu arah semata. Jika aktivitas pembelajaran tersebut dominan dilakukan di kelas, maka siswa-siswa kita hanya memfungsikan otak kecilnya saja. Bagaimana dengan nasib optimalisasi otak besar dan otak tengahnya? Bukankah ini merupakan proses menafikan eksplorasi potensi diri siswa yang sebenarnya sangat luar biasa?
Penyelenggaraan pendidikan kritis yang lebih mencerdaskan siswa dan mampu memberdayakan seluruh potensi siswa perlu dikembangkan secara tepat guna di ruang-ruang kelas. Terinspirasi oleh pemikiran Freire, ada 3 fokus utama yang dapat dijadikan landasan bertindak untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih humanis, yaitu (1) Siswa belajar dari realitas atau pengalaman, dimana siswa tidak hanya menelan teori semata, tetapi otoritas pengetahuan siswa dibangun dari realitas yang ada di lingkungan sekitar siswa, (2) Dalam situasi pembelajaran, tak ada guru dan tak ada murid yang digurui, siswa dan guru sama-sama belajar, guru belajar untuk mengajar dan siswa belajar untuk belajar, (3) Dialogis adalah ciri utama yang dikembangkan dalam situasi pembelajaran, dimana guru-siswa dan siswa-siswa terlibat aktif dalam kegiatan transfer of learning positif sebagai sebuah komunitas belajar produktif.
B. Ansos
Dikutip dari : Fiona Carnie. Alternative Approach to Education: a Guide for Parents and Teachers. NY:RoutledgeFalmer, 2003. hal. 9).
Kegundahan sang penulis surat agaknya menjadi kegundahan dan keresahan banyak pihak yang menjadi stakeholders pendidikan. Ketika anak-anak mereka disekolahkan di sebuah sekolah, perilaku mereka justru semakin buruk, mereka lebih piawai berbohong dan memanipulasi uang, mengalami penurunan sisi afeksinya, dan tidak lagi memiliki sensitifitas sosial dan kultural. Budaya kekerasan menjadi karakter utama ciri khas sekolah nasional. Murid sekolah dasar yang terlibat tawuran, narkoba, dan kecanduan film porno agaknya sudah jamak. Bahkan menurut keponakan saya yang masih duduk di kelas enam sebuah SD di pinggiran Jakarta, diantara kawan-kawannya, terdapat sekelompok siswi SD yang memiliki kebiasaan jalan-jalan di mall berlagak bagai perempuan nakal. Tidak hanya itu mereka memiliki 'gang' eksklusif penikmat film biru yang sepatutnya ditonton oleh orang dewasa.
Kaum akademisi dan intelektual ternyata pun membuang cagar intelektualitas dan menginjak-injak nilai-nilai akademik demi ekspresi anarkis. Sisi humanis dalam koridor pendidikan nasional kita sudah semakin luntur. Di tingkat perguruan tinggi, fenomena kekerasan semakin marak. Brutalisme dan vandalisme sudah biasa dipertontonkan oleh para mahasiswa kita. Beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa merusak fasilitas kampus gara-gara mereka di-DO (drop-out) oleh pihak universitas karena prestasi mereka yang jeblok dan melebihi waktu studi yang digariskan universitas. Dalam atmosfere politik kampus, sering pula mahasiswa bentrok gara-gara terlibat dukung-mendukung calon pimpinan fakultas atau universitas. Kampus yang sudah tercemar dengan maraknya 'ayam kampus' dan transaksi narkoba adalah wajah buram generasi muda Indonesia. Apa yang terjadi dengan mereka?
Sungguh sulit untuk menunjuk hidung penyebab semua ini. Kalau ada orang bertanya, "Siapa yang harus dipersalahkan?", maka salahkanlah kita semua sebagai sebuah sistem dan pranata hidup yang sistemik. Institusi pendidikan hanyalah partikel kecil dari sistem makro sebuah bangsa. Karena posisinya yang sentral sebagai penjamin denyut nadi kehidupan bangsa, maka institusi pendidikan selalu dituding sebagai biang keladi permasalahan sosial di masyarakat. Institusi pendidikan tidaklah berdiri sendiri dan ia tak mungkin tumbuh dan berkembang tanpa ada proses dialektika terhadap perubahan zaman yang mengitarinya. Sangat susah untuk menjawab apakah institusi pendidikan yang mampu merubah haluan hidup masyarakat, ataukah masyarakat sendiri yang merubah arah tujuan pendidikan? Pertanyaan ini sama halnya dengan mana yang duluan telor ataukah ayam. Jika anak-anak yang dididik di institusi pendidikan malah menjadi tidak lebih baik, maka minimal kita harus menganalisa melalui beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, faktor internal. Faktor internal merupakan pengejawantahan kekuatan sebuah bangsa. Faktor sosialisasi dan pewarisan nilai sebagai bentuk pendidikan non-formal sudah tak berfungsi lagi. Pola dan norma hidup yang telah berubah menyebabkan perilaku manusia menjadi semakin tercabut dari akar lamanya. Proses pencabutan ini terjadi ketika masyarakat sudah tak patuh lagi dengan koridor nilai yang dihormati. Seorang anak yang tidak memiliki kenyamanan dalam rumah, cenderung untuk bertindak frontal dan aharmonis dengan lingkungannya. Watak asosial terjadi karena faktor pewarisan nilai negatif dalam rumah. Seorang anak yang terbiasa dengan fenomena judi menjadikan dia tak lagi melihat judi sebagai bentuk penyakit masyarakat. Renganggnya hubungan anak dengan orang tua berimbas kepada renggangnya kehidupan masyarakat. Individualisme terus menggerogoti intimasi kelompok masyarakat. Mereka seolah hidup di dalam sangkar besi (iron cage). Penguatan nilai-nilai lokal yang arif sudah tak laku lagi.
Kedua, faktor eksternal. Gempuran nilai dan budaya yang berasal dari luar membuat sebuah bangsa kehilangan identitasnya. Pasca reformasi sebagai pintu gerbang kebebasan manusia Indonesia ternyata mengakibatkan panen buah simalakama. Kebebasan yang tak dibatasi malah melanggengkan watak anarkisme dalam jiwa anak bangsa. Hal ini disebabkan kebebasan sekelompok orang boleh jadi merugikan sekelompok yang lainnya. Penzaliman menjadi tradisi unik bangsa ini, kezaliman lawan kezaliman. Demokrasi diterjemahkan secara serampangan, yakni kebebasan individu. Bangsa Indonesia dipaksa mencaplok idiologi yang tidak sesuai dengan kultur dan kepribadian bangsa. Kita lebih suka terperangkap dalam adagium "think locally, act globally". Dari hal ini, maka yang terjadi adalah manusia yang suka berpenampilan luar negeri, tapi otak dan perilaku merefleksikan selera rendah dan hina.
Di luar dua faktor itu adalah faktor negara yang belum maksimal memanggul palu hukum. Komitmen pemerintah untuk membangun generasi muda Indonesia ke depan harus dimulai dengan payung hukum yang jelas. Semua komponen dan potensi bangsa harus diarahkan demi tercapainya bangsa yang cerdas. "Mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai cita-cita nasional akan menjadi isapan jempol belaka kalau tak didukung oleh komitmen riil para penyelenggara pemerintahan. Komponen hukum digunakan untuk mendidik anggota bangsa yang bersalah. Komponen informasi disediakan untuk menambah wawasan para anak bangsa, bukan untuk menikmati fitnah duniawi. Komponen aparatur negara disiapkan untuk mengawasi dan memberi contoh yang baik bagi rakyatnya. Kalau negara tak memiliki komitmen, maka yang ada adalah penghambaan para penyelenggara negara kepada para pemilik modal. Para pemimpin akan mengemis kepada para cukong dan membiarkan para rakyat semakin bodoh oleh proses pembodohan yang teratur dan sistemik. Para pemimpin takut tidak populis apabila harus berdiri atas nama rakyat. Di sinilah awal mula hilangnya humanisme di kalangan manusia Indonesia. Agama tak mampu lagi menjadi sumber inspirasi dan bertindak, karena insan agamanya pun terseret oleh kepentingan politis yang menghamba pada para pemilik rupiah.
Humanisme dalam pendidikan itu perlu agar para peserta didik mampu membangun empati dan simpati atas penderitaan orang lain. Pendidikan harus lebih mampu menggali kearifan lokal dan ajaran agama yang mendukung konsep 'rahmatan lil-alamin' bagi semua makhluk. Pelajaran bahasa seharusnya diarahkan bagi kelembutan perasaan para peserta didik. Pendidikan matematika seharusnya diorientasikan bagi penyiapan anak-anak yang jujur dan mandiri. Pendidikan agama seharusnya lebih menitikberatkan pada bagaimana peserta didik mampu menghormati dan menghargai satu sama lain dalam wadah kerukunan umat. Agama diajarkan agar manusia menjadi lebih manusia, bukan terjerembab dalam kubangan hewani. Pendidikan adalah memanusiakan manusia. Di atas itu semua, adalah kultur kondusif sebuah negara dan sekolah dimana peserta didik nyaman belajar harus diciptakan. Untuk menggali potensi humanisme pendidikan, maka filsafat pendidikan harus mampu merenungi sebuah pertanyaan yang mendasar, yakni "Kemana arah pendidikan nasional Indonesia." Apakah pendidikan bisa dianalogikan sebagai usaha menanam tanaman, membuat kompor, menyalakan api ataukah, menuang air ke dalam botol?
Langganan:
Postingan (Atom)