baca selengkapnya di : http://www.poetra-anoegrah.co.cc/2010/04/cara-mengubah-judul-blog-dengan-judul.html#ixzz1Ie8isVZF

Klik Kanan

Jumat, 17 Desember 2010

Pemikiran cerdas Ki Hajar Dewantara

Mendekati proses pendidikan dalam sebuah pemikiran cerdas untuk mendirikan sekolah taman siswanya, jauh sebelum Indonesia mengenal arti kemerdekaan. Konsepsi Taman Siswa pun coba dituangkan Ki Hajar Dewantara dalam solusi menyikapi kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan yang terjadi saat itu, sebagaimana digambarkan dalam asas dan dasar yang diterapkan Taman Siswa.
Apakah pendidikan Indonesia sekarang sudah menggambarkan pola pikir pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara dahulu?
Orientasi Asas Dan Dasar Taman Siswa Dari Ki Hajar Dewantara Pernyataan asas Taman Siswa di tahun 1922 diupayakan sebagai asas perjuangan yang diperlukan pada waktu itu menjelaskan sifat taman siswa pada umumnya.
Asas Taman Siswa memuat 7 pasal, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut.

Pasal ke-1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya. Pasal 1 juga menerangkan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati.
Hak mengatur diri sendiri berdiri (Zelfbeschikkingsrecht) bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei). Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan bagi anak-anak yang disebut “among metode” (sistem-among) yang salah satu seginya ialah mewajibkan guru-guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi dengan memberi kesempatan anak didik untuk berjalan sendiri. Inilah yang disebut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”.

Pasal ke-3 menyinggung masalah kepentingan sosial, ekonomi dan politik kecenderungan dari bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan ke barat-baratan telah menimbulkan kekacauan. Sistem pengajaran yang terlampau memikirkan kecerdasan pikiran yang melanggar dasar-dasar kodrati yag terdapat dalam kebudayaan sendiri.

Pasal ke-4 menyangkut tentang dasar kerakyatan untuk memepertinggi pengajaran yang dianggap perlu dengan memperluas pengajarannya.

Pasal ke-5 memiliki pokok asas untuk percaya kepada kekuatan sendiri.

Pasal ke-6 berisi persyarat dalam keharusan untuk membelanjai sendiri segala usaha Taman Siswa.

Dan pasal ke-7 mengharuskan adanya keikhlasan lahir-batin bagi guru-guru untuk mendekati anak didiknya.

Pernyataan asas yang berisi 7 pasal tersebut, sesungguhnya merupakan pengalaman dan pengetahuan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan barat yang mengusahakan kebahagian diri, bangsa dan kemanusiaan.
Adapun Dasar Taman Siswa di tahun 1947 merupakan susunan dasar yang memuat perincian dasar-dasar yang terpakai di dalam Taman Siswa sejak berdirinya di 1922 hingga seterusnya, baik yang terkandung di dalam keterangan asas-asasnya maupun yang terdapat di dalam segala peraturannya.
Dasar Taman Siswa tahun 1947 terkenal dengan nama Panca Dharma yang memuat :
1. Dasar Kemerdekaan
2. Dasar Kebangsaan
3. Dasar Kemanusiaan
4. Dasar Kebudayaan
5. Dasar Kodrat Alam
Kesemua dasar ini sama sekali tidak bertentangan dengan asas 1922 yang menjadi pijakan awal Ki Hajar Dewantara dalam merintis pendidikan di Indonesia, karena poin-poin penting yang termaktub dalam dasar Taman Siswa ini hanyalah mempertegas dari hal-hal yang telah dikemukan dalam Asas Taman Siswa.
Pemikiran cerdas di dalam memberikan tuntunan dasar akan pentingnya keteladanan, keuletan dan kesabaran di dalam belajar telah menjadi esensi penting di dalam modal utama untuk memperbaiki kualitas pendidikan saat ini. Contoh lainnya adalah Keikhlasan lahir batin bagi pendidik untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kurang begitu ditanamkan dewasa ini, mengingat semua pengabdian mesti tereprisalkan dalam bentuk materi (uang).
Oleh karena itu, dalam era sekarang eksistensi roh pendidikan seperti yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara hendaknya tetap menjadi pola-pola pikir yang terus didayakan oleh generasi muda, karena bagaimanapun juga mengubah Indonesia menjadi lepas dari belenggu penjajahan tidak lain adalah karena pendidikan. Maka berhati-hatilah dalam menyusun kebijakan pendidikan.
Upaya menjunjung derajad bangsa akan berhasil, apabila dimulai dari bawah, karena Rakyat sebagai sumber kekuatan, sehingga harus mendapatkan pengajaran agar pandai melakukan upaya bagi kemakmuran negeri.
Pengajaran berarti mendidik anak untuk mencari sendiri ilmu pengetahuan yang perlu dan baik untuk lahir, batin, dan umum, guru harus mampu mendidik anak-anak untuk mandiri dan merdeka. Karena pendidikan harus bisa memerdekakan manusia dari ketergantungan kepada orang lain dan bersandar pada kekuatan sendiri.
Pendidikan merupakan tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak dalam segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu (hidup batin dan hidup lahir), agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Sehingga para pendidik hanya dapat menuntun tumbuh dan hidupnya kekuatan-kekuatan itu agar dapat memperbaiki lakunya, (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya.
Pertumbuhan anak-nak tergantung kodrat dan keadaan masing-masing. Anak yang tak baik dasar jiwanya dan tidak mendapat tuntunan pendidikan, dikhawatirkan akan menjadi orang jahat kalau tidak ada tuntunan. Dengan tuntunan tersebut seorang anak akan mendapat kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan menjauhnya dirinya dari pengaruh jahat, buruk.
Bibit yang tidak baik,
tetapi selalu dipelihara dengan baik
hasilnya akan lebih baik daripada yang tidak baik lainnya (tidak dipelihara).
memperbaiki lakunya, bukan dasarnya hidup dan tumbuhnya.
Ia dengan tegas menolak pendidikan yang terlalu mengutamakan intelektualisme dan mengorbankan aspek kerohanian atau jiwa para siswa. akhirnya beliau memutuskan untuk mendirikan sebuah sekolah yang menawarkan pendidikan berorientasi kepada kebudayaan timur dan mengedepankan nilai-nilai kerohanian yang dibarengi dengan kekuatan intelektual.

Etika, Islam, dan Materialisme Subjektif

Ada tiga unsur yang terdapat dalam tema diatas yaitu unsur etika, Islam dan ilmu pengetahuan komunikasi. Ketiga komponen ini memiliki basis yang sama yaitu subjektivitas. Dan dalam tataran subjektivitas inilah logika manusia dapat menemukan sarangnya. Disini saya hanya membahas tentang dua hal yaitu etika dan Islam. Ilmu komunikasi tidak dapat saya bahas secara panjang lebar karena akan tidak relevan, sebab objek material ilmu komunikasi adalah manusia. Dan subjeknya juga tentu manusia, bukan mesin atau angka-angka positivisme. Artinya ilmu komunikasi adalah permasalahan antara sesama ciptaan.
Saya yakin logika objektif yang utopis dan kering manapun tidak akan mungkin membongkarnya. Dan itulah fungsi adanya rukun iman. Tanpa kepercayaan terhadap sesuatu, tidak mungkin kita dapat hidup. Dalam buku Krisis Manusia Modern yang saya lupa pengarang serta tahunnya, dikatakan bahwa bukankah untuk dapat bermain catur – yang kata orang permainan paling objektif-rasional – kita harus mengimani dulu aturan main ? Setelah itu barulah kita bisa berimprovisasi dalam melakukan langkah-langkah strategis. Dan untuk membuat suatu penelitian ilmiah, bukankah kita juga harus mengimani dulu metode penelitian?
Dan saya tidak percaya bahwa tujuan diskursus ini bukan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Yang saya percaya adalah kebenaran mutlak itu ada, tetapi kebenaran mutlak itu tidak bisa selalu digeneralisir.
EtikaSeorang Socrates pernah mengatakan, kehidupan yang tidak diperiksa adalah kehidupan yang tidak layak dijalani. Begitu juga etika, sebagai sebuah dinamika peradaban ia pun masih pantas untuk dipertanyakan.
Etika merupakan persoalan sistem kepercayaan, benar salah, baik buruk. Hal ini selalu menjadi permasalahan yang belum menemui titik temu. Pada suatu saat kita “diajak” percaya kalau membunuh, aborsi atau potong tangan itu salah, tapi pada saat lain ada juga suatu masyarakat yang “membolehkan” pembunuhan, asal disaksikan beramai-ramai (yang sekarang asal disiarkan media massa) seperti pada jaman kerajaan-kerajaan dahulu atau sekarang, misalnya hukum gantung, potong tangan, pancung atau kursi listrik.

Ada beberapa pendapat yang dapat dikemukakan disini. Garis besarnya terbagi dua, menolak etika dan menerima etika sebagai sesuatu yang sudah seharusnya.
Pada orang-orang yang menolak, ada beberapa paham yang mendukungnya antara lain dapat disimpulkan, pertama, moralitas berasal dari otoritas atau kelas dominan atau para pemilik kapital yang memiliki daya untuk mengendalikan komunitas agar mau mempercayai bahwa otoritas merupakan sebuah panutan masyarakat yang seakan-akan alami dan berpikiran sehat. Ini disebabkan tingkat relativitas moral yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan otoritas untuk melestarikan kekuasaannya.
Kedua, dan atas otoritas apa dan siapa yang dapat menghentikan kebebasan individu agar patuh pada kesepakatan nurani yang tak pernah ia ikuti itu ? Apakah kita ini lebih bersifat individu atau lebih merupakan anggota suatu masyarakat (C. John Sommerville, 1999). Paham yang menentang ini bermula dari aliran filsafat eksistensialisme dan lantas “disempurnakan” oleh posmodernisme. Yang terakhir malah lebih ekstrim lagi dengan mengatakan moralitas sudah mati. Etika yang diciptakan ciptaan mungkin saja tidak lagi hanya sekedar menjadi pembawa nilai baru, kini ia berbalik menjadi pencipta, creator, yang mengakibatkan gairah sejati abad kedua puluh adalah (tetap) membudak (Albert Camus, 2000).
Dan ada beberapa argumen yang menerima moralitas sebagai sesuatu fitrahnya manusia. Unsur genetika altruistik dan instink genetik sosial dipakai sebagai alasan untuk membenarkan adanya moralitas. Selain itu sebagian filosof menekankan pentingnya komunitas dalam mempengaruhi individu, dan mereka semua merujuk pada satu hipotesis, adanya suatu kesepakatan bawah sadar yang mengharuskan seluruh anggota masyarakat tunduk kepadanya. Dalam buku Etika, seri for beginner, mereka memberi contoh tentang dipahaminya perbedaan makna yang dalam antara dilarang mencuri dengan dilarang menggunakan mesin pemotong kayu tanpa kaca mata pelindung.
Permasalahan etika dalam mata kuliah Etika dan Hukum Pers menyebutkan ada enam jenis atau hirarki etika yaitu etika normatif, etika umum, etika khusus, etika individual, etika sosial dan etika profesi. Tapi itu tidak dapat dijelaskan disini, karena akan terlalu melebar. Etika sebagai persoalan hitam-putih, akan tidak pernah kunjung selesai. Sementara proses dialektika itu masih berlangsung, tidak ada seorang pun sebenarnya yang berhak menetapkan secara sepihak tentang “aturan nurani”-yang gampang diplintir oleh penguasa. Diantara ketidakjelasan itu, kompromi dan negosiasi harus selalu hadir diantara sesama komunitas manusia. Dan dasar dari kemampuan dan pengetahuan tentang “aturan nurani” dalam berbuat baik hanyalah bisa didapat di rumah, dari ibu dan bapak kita. Bukankah filosofi kita mengajarkan buah itu tidak jatuh jauh dari pohonnya?
Islam, Intervensi Objektivitas Terhadap SubjektivitasRasanya semua orang tahu bahwa ada sesuatu yang putus dari pemikir-pemikir muslim. Pemikiran-pemikiran cemerlang pernah datang dari Islam. Tapi sepertinya ada pergolakkan pemikiran intern dalam intelektual. Etika yang berkaitan dengan nilai-nilai, salah benar, baik buruk, terkesan mengkristal dalam ruang dan waktu pemikiran. Padahal Al-Quran itu merupakan buku abstraksi. Namun ada beberapa orang yang kemudian merasa berhak – entah dari otoritas apa, tapi mungkin tradisi yang mengeras – untuk memegang otoritas penafsiran Al-Quran, dengan melembagakan Islam. Seakan-akan Tuhan berada dibelakang mereka.
Mitos-mitos penyembahan material – tuhan-tuhan yang tampak seperti berhala, animisme, animisme dan gengsi status sosial – pada jaman dahulu tergeser oleh buku Alqur’an. Dan itulah yang menjadi tonggak pencerahan manusia di abad 11 di
Baghdad. Iman terhadap logika non-material berhasil mengambil alih posisi materialisme dalam memimpin pemikiran.
Dulu orang Islam mengkaji apa-apa yang baru dan serius, yaitu Al Qur’an. Kini orang Islam tidak menghiraukan apa-apa yang menantang dan serius yaitu Materialisme Dialektika. Bukankah ketika orang mau mempelajari Al Qur’an, itu karena mencari kebenaran. Begitu juga dengan materialisme dialektika. Dan toh tidak ada yang bertentangan antara materialisme – entah itu dengan dialektika atau historisnya Karl Marx atau dialektika logikanya Tan Malaka – dengan eksistensi dan esensi Tuhan.
Ketika kita mau mempelajari sesuatu, apa yang kita pikirkan ketika itu ? Bukankah kita melihat ada sesuatu yang menarik ? Dan kita percaya bahwa kita tertarik. Keyakinan kalau sesuatu itu menarik adalah subjektif. Begitu juga dengan materialisme dialektika. Ketika kita membutuhkan persoalan yang dapat dianalisis logika dari panca-indera, kita mengambilnya dari hal-hal yang nyata dan kelihatan, agar dapat diperiksa dan dieksperimenkan.
Itulah materialisme dialektika, bahwa yang tampaklah yang mempengaruhi pikiran, keadaan masyarakat menjadi alat adanya paham sosial, tetapi paham tadi pada satu ketika membalik mempengaruhi masyarakat. Pada tingkat ini memang benda menentukan pikiran, tetapi sesudah itu pikiran berbalik mempengaruhi benda (Karl Marx). Artinya tetap saja kita membutuhkan keyakinan kita untuk percaya kepada prosedur, atau metode. Kita percaya pada media. Kita percaya pada peralatan yang dapat mengantarkan kita mencapai kebenaran ketika kita berhubungan dengan manusia beserta alam. Artinya tetap subjektif. Dan metode inilah yang dipakai Alvin Toffler dalam membuat kategori peradaban manusia secara tajam.
Lantas apa bedanya dan hubungannya dengan Tuhan ? Yang saya lihat malah kesamaan bahwa untuk memahami adanya Tuhan pun dibutuhkan keyakinan berupa rukun iman. Kita percaya kepada media yang mengantarkan kita kepadaNya yaitu Al Qur’an. Dibutuhkan berpikir agar dapat memahamiNya, yaitu ketika kita sedang tidak berhubungan dengan manusia. Ia berkarakter vertikal, yang berarti pola berpikir yang menuju keatas, ke Pencipta, yang ditopang oleh subjektivitas.
Jika Al Qur’an adalah metode berpikir untuk melihat kebesaran pemikiran Tuhan, maka materialisme adalah metode berpikir yang horizontal, yang berusaha membongkar misteri kehidupan antar manusia dan alam. Metode ini lahir dari manusia dan untuk manusia beserta alam. Serangan ciptaan ke pencipta dari materialisme bahwa Tuhan itu harus ada sebelum ia menciptakan dirinya sendiri, sebagaimana kata Feuerbach, terbukti terbantahkan oleh lantai metode itu sendiri, yaitu subjektivitas. Mampukah kita membantah materialisme dialektika atau Al Qur’an ? Kenapa permasalahan antar manusia harus menyeret-nyeret performance singgasana Tuhan ? Bagaimana mungkin ciptaan menyeret-nyeret Pencipta untuk berpihak menyalahkan ciptaannya yang lain ?
Dan yang benar tentu hanya Pencipta, namun itu jika kita bertanya vertikal, tentang esensi ciptaan. Sementara untuk urusan kehidupan manusia, logika esensi seperti itu tidak akan relevan. Menurut saya iman kepada materialisme dialektika harus dilakukan ketika kita berpikir horizontal, sesama ciptaan. Dan Siapa yang berhak meyakinkan keyakinannya bahwa tafsiran dialah yang paling benar dalam mengaplikasikannya ke dunia ini ? Padahal dia hanyalah satu orang dari enam milyar penduduk bumi. Ketika kita membuang salah satu atau keduanya atau mengimani salah satu saja, kita akan terlihat seperti patung atau dewa, yang telah tercerabut dari subjektivitas, yang merasa dirinya dapat bebas nilai.
Pengungkungan terhadap subjektivitas manusia pastilah akan menyimpan benih-benih pemberontakan, yang tidak menginginkan kemapanan tertutup dari pertanyaan. Semangat pemberontakan itu hanya dapat muncul dalam suatu masyarakat dimana kesamaan hak secara teoritis menyembunyikan ketidaksamaan harkat yang cukup besar secara faktual (Albert Camus).
Seorang revolusioner pastilah dimulai dari pengamatan yang mengakibatkan ia berontak, dan menurut Albert Camus, biasanya pemberontakan itu menghasilkan nilai-nilai baru. Artinya ia juga masih berada dalam cakupan subjektivitas. Dan mampukah objektivitas ditandingkan dengan subjektivitas? Jelas tidak mungkin karena metode berpikir yang kita percaya ini tidak memungkinkannya. Satu-satunya yang objektif atau mutlak hanyalah Tuhan. Dan tidak ada seorang pun yang memiliki otoritas menyeretnya untuk pembenaran, karena saya yakin belum pernah ada yang bertemu Tuhan.
Banyak orang sering melembagakan sesuatu yang datang dari Tuhan, yang sebenarnya digunakan sebagai alas kaki kepentingan manusia. Ketika itu terjadi maka inteligensia adalah kemampuan untuk menghambat pemikiran agar tetap percaya pada realitas (Albert Camus).
Pengekalan relatif yang disebut-sebut objektif itulah yang membuat kaum Islam hanya menjadi pionir peradaban pemikiran yang sangat sebentar, yang dalam grafik Fritjof Capra digambarkan hanya berjaya lebih kurang seperempat milenium pertama (Fritzof Capra, 1997). Ketergantungan terhadap induktif sangat terasa membodohkan. Kita ditakut-takuti jika kita belajar yang bukan (tradisi) Islam nanti akan sesat.
Satu yang perlu diingat, dialektika materialisme merupakan ciptaan manusia dan itu perlu dihargai, sebagai unjuk kekuatan manusia bahwa akal itu luar biasa. Bukankah itu kebesaran Tuhan ? Akal ciptaan dapat berkembang sedemikian rupa, sedemikian dalam.Dapat diakui bahwa Alqur’an adalah media kita untuk mempercayai Tuhan. Dan Tuhan adalah Maha Subjektivitas (Al Ghazali). Maha subjektif artinya tentu objektif karena ia sesuatu yang paling bebas dari jangkauan, yang juga paling bebas nilai. Dan hanya Dialah yang objektif.
Kita ternyata dibantu oleh materialisme dialektika, dan penempatannya adalah tepat. Subjektivitas-subjektivitas kita ambil dari imajiner kita yang bagaimana pun terbaca atau tampak oleh pikiran kita. Dan materialisme dialektika adalah hasil ciptaan, yang berarti juga subjektif. Dan artinya objektivitas haruslah subjektif (Al-Ghazali), dan objektif dalam hubungan manusia tidak boleh dikekalkan dan digeneralisir, karena ketika itu terjadi kita adalah tiran-tiran pemikiran dan terlihat begitu primitif. Dan jika sudah ada pengetahuan yang mutlak, maka akan berakhirnya perselisihan antara esensi dan eksistensi, antara kebebasan dan keharusan (Karl Marx).
Logika Sejarah RevisionisDengan turunnya Al-Quran sebagai kitab revisi / penyempurna yang bersifat liberal – karena memiliki peluang menafsirkan yang sangat besar –, tentu Tuhan telah menyesuaikan bukunya dengan kemajuan atau tingkat pencerahan pikiran manusia, baik dari fungsi atau cara kerja. Penyesuaian itu dimulai semenjak Yahudi mengkristalkan ajarannya, seperti surat yang berkata; Kami berikan kepada Musa Kitab dan Kami jadikan ia petunjuk bagi Bani Israil, supaya janganlah kamu angkat wakil, selain daripada Aku (Al-Quran,
surat Al-Isra’, ayat 2). Dan Muhammad adalah orang yang paling beruntung mendapat tempat tersendiri di sisi Tuhan yaitu sebagai penyampai revisi ajarannya, yang secara otomatis menjadikannya mulia.
Namun revisi ini tidak serta merta berbentrokkan dengan kitab-kitab prarevisi, yaitu Taurat dan Injil. Semuanya kitab adalah benar, yang salah dimata Tuhan adalah yang tidak berbuat baik seperti tidak memberi makan fakir miskin serta yang menyekutukan atau tidak percaya pada eksistensi dan esensi Allah dengan mensakralkan manusia, walaupun itu Nabi Muhammad. Berita tentang itu berbunyi … Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair anak Allah. Orang Nasrani berkata pula: Al-Masih anak Allah. Demikianlah perkataan mereka dengan mulutnya, menyerupai perkataan orang-orang kafir sebelumnya. Allah mengutuki mereka. Bagaimanakah mereka berpaling ? (Al-Quran,
surat At-Taubah, ayat 30). Yang dimaksud mereka disini tentunya adalah kaumnya Musa dan Isa atau Yesus.
Pada surat selanjutnya Tuhan kembali berkata: Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan alim ulamanya menjadi Tuhan, selain dari pada Allah, begitu juga Al-Masih anak Maryam; sedang mereka tiada disuruh melainkan supaya menyembah Tuhan Yang Esa, tiada Tuhan kecuali Dia. Maha Suci Tuhan dari pada apa yang mereka persekutukan itu (Al-Quran, surat At-Taubah, ayat 31).
Semua itu ada di Alquran dengan maksud merevisi kitab sebelumnya atau menambahkan sesuatu. Entah apa maksud Tuhan dengan menyesuaikan ajaran dengan ciptaan. Tapi perdebatan itu akan membelok kepada permasalahan takdir dan tabula rasa yang sia-sia itu. Kita hanya mampu menebak-nebak. Contoh kasus ini juga bisa saya masukkan dalam kategori intervensi pola pikir “objektif” terhadap eksistensi subjektivitas manusia.Berbeda dengan kedua kitab prarevisi, kitab revisi ini tidak mengizinkan seorang manusia pun untuk ikut berbicara, bahkan Nabi Muhammad. Seluruh isi kitab ini adalah perkataan Tuhan. Kitab ini memang sungguh aneh, luar biasa dan ganjil, karena entah siapa pengarangnya. Sementara di Taurat dan Injil, perkataan-perkataan nabinya bahkan pakar-pakarnya ikut berbicara dalam kitab suci.
Walaupun manusia telah mendapat pesan demikian, masih saja kultur mentuhankan pembawa ajaran – dari Kaum Musa dan kaum Isa – masih terbawa dan mengkristal dalam bentuk etika dan pada gilirannya menjadi tradisi, yang kadang-kadang menyingkirkan pemilik ajaran. Dan itulah yang kembali diulangi lagi oleh kaum Muhammad. Akal pikiran diredam oleh manusia-manusia yang mengatasnamakan agama – dan lebih sering berdasarkan sunah nabi –, yang akan terlihat “berat” jika dilembagakan.Mungkin banyak
surat yang memerintahkan kita untuk mengikuti rasul, mungkin berupa sunahnya itu. Tetapi seluruh sunah nabi menurut saya adalah untuk berbuat baik, dan tentu itu diizinkan oleh Tuhan, yang berarti tidak dilarang. Namun ingat, Tuhan hanya menjamin keabadian dan kesucian kitab Al-Quran, dan tidak ada jaminan bagi sunah rasul. Bukankah tanda ini sedemikian jelasnya ? Ini menunjukkan perintah Tuhan agar kaumnya respect dan tidak anti terhadap pembawa ajaran revisi ini, namun tetap tidak mensakralkannya, yang akan membawa konsekuensi meremehkan atau menyeimbangkan kesucian pemilik ajaran, seperti yang dilakukan oleh kaum Musa dan Isa.

Kamis, 09 Desember 2010

BELAJAR DAN KEMAMPUAN KOGNITIF DI DAERAH KONTEN

Write at 9 th Desember, 10
Pengetahuan Pedagogik adalah pengetahuan tentang cara efektif mengajar sebuah disiplin tertentu (Shulman, 1987). guru Ahli mengetahui struktur disiplin ilmu dan pengetahuan ini memberi mereka kemampuan membuat peta jalan ti kognitif yang memandu tugas mereka berikan kepada siswa, mereka penilaian mereka gunakan untuk mengevaluasi siswa, kemajuan AOS, dan jenis pertanyaan dan jawaban yang mereka hasilkan di kelas (National Research Council, 1999).MEMBACA
 
Membaca ahli Steve Stahl (2002) percaya bahwa tiga tujuan utama dari membaca instruksi harus membantu childrent.1. Secara otomatis mengenali kata-kata2. Memahami teks3. Menjadi termotivasi untuk membaca dan menghargai membacaA. Perkembangan Model MembacaDalam satu tampilan, mengembangkan keterampilan membaca dalam lima tahap (Chall, 1979). Batas-batas usia adalah perkiraan dan tidak berlaku untuk setiap anak. Sebagai contoh; childrent beberapa belajar membaca sebelum mereka masuk kelas satu.Pendekatan MembacaChildrent tidak bisa dikatakan membaca jika semua yang mereka bisa lakukan adalah responed untuk flash card, seperti di beberapa program pelatihan anak dini. Awal membaca memerlukan menguasai aturan dasar bahasa fonologi, morfologi, sintaksis dan anak semantics.a yang memiliki keahlian gramatika buruk untuk berbicara dan mendengarkan dan tidak mengerti apa yang artinya, Äúthe mobil didorong oleh truk, Äù ketika diucapkan akan tidak mengerti artinya dalam cetak baik.Pendekatan KognitifPendekatan kognitif menekankan pada proses kognitif yang terlibat dalam decoding dan compreheading kata-kata. Penting dalam hal ini adalah ketrampilan metakognitif tertentu dan otomatisitas umum pengolahan informasi p. 272.Guru dapat membantu siswa mengembangkan strategi metakognitif baik untuk membaca dengan mengajak mereka untuk memantau membaca mereka sendiri, terutama ketika mereka mengalami kesulitan dalam membaca mereka.Pendekatan Konstruktivis SosialPendekatan Konstruktivis Sosial membawa aspek-aspek sosial dari membaca ke garis terdepan (Hiebert & Raphael, 1996; Slavin & Madden, 2001).Kontribusi dari konteks sosial dalam membantu childrent belajar membaca termasuk faktor suchs sebagai berapa banyak penekanan tempat budaya membaca, sejauh mana orang tua terkena anak-anak mereka untuk buku sebelum mereka masuk resmi schooling.the komunikasi guru keterampilan, sejauh mana guru memberikan kesempatan siswa untuk mendiskusikan apa yang mereka telah membaca dengan guru abd rekan-rekan mereka, dan districtmandated membaca kurikulum.MENULISPerkembangan PerubahanPada usia dini, anak-anak, kemampuan motorik AOS biasanya menjadi cukup baik dikembangkan bagi mereka untuk mulai latters pencetakan dan nama mereka. di Amerika Serikat, paling empat tahun dapat mencetak nama pertama mereka. lima tahun dapat mereproduksi huruf dan menyalin beberapa kata-kata pendek.Ketika mereka mengembangkan keterampilan percetakan, mereka secara bertahap belajar untuk membedakan antara karakteristik khas dari huruf, seperti apakah garis melengkung atau lurus, terbuka atau tertutup, dan sebagainya. Pemikiran SD kelas awal, banyak childrent masih terus surat cadangan seperti b dan d, p dan q (candi & orang lain, 1993).Guru dan orang tua harus mendorong anak-anak, AOS awal menulis tanpa terlalu khawatir tentang pembentukan yang tepat dari huruf atau ejaan konvensional yang benar. Seperti menjadi pembaca yang baik, menjadi penulis yang baik membutuhkan bertahun-tahun dan banyak practive (Bruning & tanduk,, 2001 2005).Pendekatan Kognitifpendekatan kognitif untuk menulis tema yang sama menekankan bahwa kita discucced berkaitan dengan membaca, seperti membangun makna dan mengembangkan strategi (Kellog, 200, D, Oslon, 2001). Perencanaan, pemecahan masalah, merevisi, dan strategi metakognitif yang trought untuk secara khusus penting dalam meningkatkan studen, AOS menulis.Perencanaan, yang meliputi menentukan dan mengatur informasi konten, merupakan aspek penting dari menulis (Levy & Randsel, 1996; Mayer, 2004). Mahasiswa harus menunjukkan bagaimana garis besar dan mengatur kertas, dan mereka perlu umpan balik yang diberikan tentang kompetensi upaya mereka (Huston, 2004).Pendekatan Konstruktivis SosialSeperti dalam membaca, pendekatan konstruktivis sosial menekankan bahwa menulis adalah paling baik dipahami sebagai budaya tertanam dan sosial dibangun bukannya internal. Strategi konstruktivis sosial juga dapat diterapkan untuk menulis (Dauite, 2001; Schultz & Fecho, 2001).Perkembangan perubahanChildrent alredy memiliki substansial di bawah Gartner dari keluarga berpenghasilan menengah dapat menghitung pas 20 dan banyak dapat menghitung melampaui 100; paling akurat dapat menghitung jumlah subyek dalam satu set, dapat menambah dan substact digit tunggal, dan mengetahui besaran relatif dari satu digit nomor (misalnya, bahwa 18 adalah grather dari 6) (Siegler & robinson, 1982).Kontroversi dalam Pendidikan MatematikaPendidik saat ini perdebatan apakah matematika harus pemikiran manusia dengan menggunakan pendekatan kognitif atau praktek, pendekatan (Batchelder, 2000, Stevenson, 2000) komputasi. Beberapa pendukung dari pendekatan kognitif menentang menghafal dan praktek dalam mengajar matematika.Teknologi dan Instruksi MatematikaSatu masalah dalam pendidikan matematika adalah bagaimana teknologi intensif harus (Heid & Blume, 2002). Beberapa kritik yang mengatakan bahwa Amerika penekanan pada penggunaan awal dari bantuan teknologi mencegah siswa dari mendapatkan pengalaman dalam memanipulasi objek konkret yang perlu untuk mempelajari konsep matematika (Stevenson, 2001).Conecting dengan orang tuaDalam bab 9, kami menjelaskan matematika keluarga, sebuah program yang membantu orang tua matematika pengalaman dengan anak-anak mereka dengan cara yang positif mendukung. Selain memberitahu orang tua tentang matematika fmily, pertimbangkan malam keluarga memiliki matematika, terutama pada awal tahun ajaran.Berpikir IlmiahChildrent pemecahan masalah sering dibandingkan dengan ilmuwan. Baik childrent dan ilmuwan mengajukan pertanyaan mendasar tentang sifat realitas. Keduanya diberikan oleh masyarakat waktu dan kebebasan untuk porsue jawaban atas masalah yang mereka anggap menarik. Äúchild ini, sebagai ilmuwan, methapor Äù telah menyebabkan para peneliti sebagai apakah childrent menghasilkan hipotesis, melakukan eksperimen, dan mencapai kesimpulan tentang arti data mereka dengan cara yang menyerupai orang-orang ilmuwan (Clinchy, Mansfield, dan Schott, 1995).Ilmu EdicationIlmuwan biasanya melakukan jenis incertain berpikir dan perilaku. Misalnya, mereka secara teratur melakukan observasi Hati-hati, mengumpulkan, mengorganisir, dan menganalisa data; ukuran, grafik, dan memahami hubungan spasial dan mengatur mereka berpikir sendiri: tahu kapan dan bagaimana menerapkan pengetahuan mereka untuk memecahkan masalah (Chapman, 2000).Anak-anak memiliki banyak kesalahpahaman yang tidak cocok dengan ilmu pengetahuan dan kenyataan. Mereka mungkin pergi trought mental Senam mencoba mendamaikan informasi baru yang tampaknya bertentangan dengan kepercayaan baru mereka (Miller, 2000).Pengajaran konstruktivis StrategiWhit penekanan pada penemuan dan tangan-hasil pemeriksaan laboratorium, guru sains sekarang banyak membantu siswa mereka membangun pengetahuan mereka ilmu (Chiappeta & Koballa, 2002; Martin & orang lain, 2005). Pada setiap langkah dalam sejak belajar, mereka perlu impret pengetahuan baru dalam konteks dari apa yang mereka sudah mengerti.Tengah biologi manusia kelas kurikulum (humbio) telah dikembangkan oleh ilmuwan universitas Stanford yang bekerja sama dengan guru sekolah menengah di seluruh negara bersatu (Carnegie Council Pada Remaja Pembangunan,, 1995 Heller, 1993).Pendekatan konstruktivisBanyak studi kelas sosial terus pemikiran manusia dengan cara atraditional menggunakan sebuah buku teks tunggal, dengan guru mengajar dan mengendalikan strategi pertanyaan-dan-jawaban. Pendekatan konstruktivis juga menekankan kebermaknaan studi sosial (Ellis, 2002; Trner, 2004). Siswa manfaat ketika mereka menemukan bahwa ketika mereka belajar di kelas studi sosial yang berguna baik di dalam maupun di luar sekolah.

Kamis, 02 Desember 2010

IMPLEMENTASI KURIKULUM PAI

PELAKSANAAN ATAU PENERAPAN KURIKULUM PAI

A.    Pengertian Implementasi
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa.”
             Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata implementasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh obyek berikutnya yaitu kurikulum.
             Dalam kenyataannya, implementasi kurikulum menurut Fullan merupakan proses untuk melaksanakan ide, program atau seperangkat aktivitas baru dengan harapan orang lain dapat menerima dan melakukan perubahan.
              Dalam konteks implementasi kurikulum pendekatan-pendekatan yang telah dikemukakan di atas memberikan tekanan pada proses. Esensinya implementasi adalah suatu proses, suatu aktivitas yang digunakan untuk mentransfer ide/gagasan, program atau harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk kurikulum desain (tertulis) agar dilaksanakan sesuai dengan desain tersebut. Masing-masing pendekatan itu mencerminkan tingkat pelaksanaan yang berbeda.
               Dalam kaitannya dengan pendekatan yang dimaksud, Nurdin dan Usman (2004) menjelaskan bahwa pendekatan pertama, menggambarkan implementasi itu dilakukan sebelum penyebaran (desiminasi) kurikulum desain. Kata proses dalam pendekatan ini adalah aktivitas yang berkaitan dengan penjelasan tujuan program, mendeskripsikan sumber-sumber baru dan mendemosntrasikan metode pengajaran yang diugunakan.
               Pendekatan kedua, menurut Nurdin dan Usman (2002) menekankan pada fase penyempurnaan. Kata proses dalam pendekatan ini lebih menekankan pada interaksi antara pengembang dan guru (praktisi pendidikan). Pengembang melakukan pemeriksaan pada program baru yang direncanakan, sumber-sumber baru, dan memasukan isi/materi baru ke program yang sudah ada berdasarkan hasil uji coba di lapangan dan pengalaman-pengalaman guru. Interaksi antara pengembang dan guru terjadi dalam rangka penyempurnaan program, pengembang mengadakan lokakarya atau diskusi-diskusi dengan guru-guru untuk memperoleh masukan. Implementasi dianggap selesai manakala proses penyempurnaan program baru dipandang sudah lengkap.
               Sedangkan pendekatan ketiga, Nurdin dan Usman (2002) memandang implementasi sebagai bagian dari program kurikulum. Proses implementasi dilakukan dengan mengikuti perkembangan dan megadopsi program-program yang sudah direncanakan dan sudah diorganisasikan dalam bentuk kurikulum desain (dokumentasi).
B.     Analisis terhadap Implementasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam  (MA)

Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar yang dilakukan guru pendidikan Agama Islam melalui kegiatan bimbingan, dan atau latihan untuk menyiapkan peserta didik meyakini dan memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan seharti-hari. Tujuan yang hendak dicapai dari Pendidikan agama Islam ini adalah untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan  ajaran Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. serta  berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih inggi.
Atas dasar itu, maka suatu upaya yang dilakukan dalam kegiatan pendidikan menuju standar komptensi isi dan lulusan adalah kesiapan guru sebagai tenaga pendidik dalam mengimplementasikan sebuah kurikulum. dalam kegiatan implementasi kurikulum ini, apakah berjalan atau tidak bisa kita lakukan evaluasi terhadap aspek pelaksanaanya. Aspek ini merupakan perwujudan dari suatu perencanaan disain model pembelajaran dalam bentuk kegiatan atau dengan istilah lain implementasi pembelajaran. Pelaksanaan perencanaan dalam kegiatan nyata di depan kelas tentunya didasarkan pada pertimbangan yang matang, baik menyangkut pendidik, peserta didik ,sumber belajar, kondisi lingkungan dan aspek lain yang mendukung dalam pembelajaran.
Kegiatan implementasi kurikulum pendidikan agama Islam di Madrasah Aliyah (MA) mata pelajaran Fiqih dapat dievaluasi dengan melihat 4 aspek yaitu : tujuan, strategi, isi materi pelajaran dan kegiatan evaluasi. Dibawah ini merupakan hasil observasi tentang kegitan pembelajaran di kelas.
(a)    Aspek tujuan
 Tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar tidak dikemukakan sehingga guru seakan-akan berjalan tanpa arah yang benar. Oleh karena itu tujuan pembelajaran mesti  dirancang sampai pada tingkat operasional artinya tujuan tersebut bersipat operasioanl, terukur dan teramati sampai tingkat keberhasilannya. Tujuan yang dirumuskan lebih berorentasi kepada pengembangan potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
 (b) Aspek materi
 Uraian materi sebagai bahan ajar kurang mendapatkan pengembangan, guru cukup mengandalkan buku yang ada pada diri siswa, sehingga ruang lingkup pembahasannya sangat terbatas. Padahal materi tersebut bisa dikembangkan dengan melihat berbagai dimensi lain serta literature yang ada diperpustakaan. Oleh karena aspek materi merupakan salah satu bagian terpenting dalam pengembangan proses pembelajaran maka, guru dapat merumuskan secara sistematis sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Dalam pengembangan aspek materi pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan “Concept Map” (Peta konsep).
(c)  Aspek strategi
 Dalam proses belajar mengajar mereka mampu menggunakan salah satu strategi aktif, sehingga siswa dapat belajar dengan penuh semangat dan antusias untuk mengikuti pembelajaran di kelas. Secara umum penggunaan strategi aktif sudah terlaksana walaupun masih ada kekurangannya. Penggunaan strategi aktif dalam proses pembelajaran merupakan suatu kaharusan dalam kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu Strategi merupakan komponen yang menentukan terhadap keberhasilan kegiatan belajar mengajar disamping tujuan, materi dan evaluasi. Strategi yang digunakan adalah betul-betul dapat membangkitkan semangat peserta didik dalam belajar. Strategi yang dapat melayani kebutuhan peserta didik, baik secara individu maupun kelompok merupakan suatu hal yang diharapkan saat ini. Penggunaan strategi yang tepat dapat berpengaruh terhadap efektivitas kegiatan belajar mengajar.
(d) Aspek evaluasi
      Aspek ini tidak terlaksana dengan sempurna. Kegiatan evaluasi hanya terbatas pada test tulisan dan lisan sedangkan aspek yang lain yaitu evaluasi bentuk non test tidak pernah dilaksanakan. Nampaknya persoalan evaluasi tidak terlalu diperhatikan, padahal evaluasi merupakan komponen yang tidak kalah penting dengan komponen lain dalam pelaksanaan pembelajaran. Kegiatan evaluasi ini berguna untuk melihat keberhasilan proses pembelajaran. Dengan evaluasi dapat diketahui baik dan tidaknya mutu suatu pendidikan. Kegiatan evaluasi sekaligus dapat melihat tepat atau tidaknya tujuan yang dirumuskan, materi yang diajarkan dan strategi yang digunakan.

Bab II
PENDIDIKAN AGAMA PADA PERGURUAN TINGGI UMUM

A.    Posisi Pendidikan Agama dalam Perguruan Tinggi Umum Sebagai Fakultas

             Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum (PTU) merupakan kelanjutan dari pengajaran yang diterima oleh peserta didik mulai dari Tingkat Dasar, Sekolah Menegah Pertama dan Atas. Pada November 1947 dibentuk Panitia Perbaikan STI, yang dalam sidangnya sepakat mendirikan Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Pada 20 Februari 1951 Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII), yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950, bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta. Sebagai wujud penghargaan pemerintah bagi Yogyakarta sebagai Kota Revolusi, kepada golongan nasionalis diberikan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949 tanggal 16 Desember 1949. Sementara itu, kepada golongan Islam diberikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), yang diambil dari Fakultas Agama UII berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950. Peresmian PTAIN dengan jurusan Da’wah (kelak Ushuluddin), Qodlo (kelak menjadi Syari’ah) dan Pendidikan (Tarbiyah) menjadi Perguruan Tinggi Negeri dilakukan pada 26 September 1951. Sementara di Jakarta, enam tahun kemudian berdiri pula Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) pada 14 Agustus 1957 berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957.
              Karena pentingnya arti dan fungsi pendidikan agama di pendidikan tinggi, pemerintah mengambil langkah strategis dalam merumuskan dan memasukkan pendidikan agama pada kebijakan negara di bidang pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat pada amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 3 yaitu “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa”.
               Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 telah diamanatkan dalam bab IX pasal 39, ”Isi kurikulum pada setiap jenis dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan agama”. Hal yang sama juga termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 bab V pasal 12 bagian 1 (a) menyebutkan bahwa “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Di dalam Kurikulum Pendidikan Agama di PTU dan UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, pendidikan agama merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agam lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Berdasarkan pengertian pendidikan agama yang tertuang dalam kurikulum PTU dan UUSPN tersebut, pendidikan agama yang diselenggarakan di PTU diharapkan dapat membentuk kesalehan peserta didik baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial, sehingga pendidikan tidak menumbuhkan semangat fanatisme, menumbuhkan sikap intoleran di kalangan mahasiswa dan masyarakat Indonesia dan memperlemah kerukunan hidup beragama serta kesatuan nasional.
Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi baru dimulai sejak tahun 1960 dengan adanya ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 yang berarti pendidikan agama sebelum itu secara formalnya baru diberikan di Sekolah Rakyat sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat atas saja. Adapun dasar operasionalnya, pelaksanaan pendidikan Agama di Perguruan Tinggi tersebut ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Dalam BAB III Pasal Psal 9ayat 2 sub b, terdapat ketentuan sebagai berikut:”Pada Perguruan Tinggi Negeri di berikan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran dengan pengertian bahwa mahasiswa berhak tidak ikut serta apabila menyatakan keberatan”.
               Setelah meletusnya G.30.S.PKI pada tahun 1965, kemudian diadakan siding umum MPRS pada tahun 1966, maka mulai saat itu status pendidikan agama di sekolah-sekolah berubah dan bertambah kuat. Dengan adanya ketetapan MPRS XXVII/ MPRS/1966 Bab I pasal 1 berbunyi: “Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai dengan Universitas- Universitas Negeri.”

                Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik memang sangat rentan munculnya konflik dan perpecahan masyarakat, sehingga pendidikan agama dalam kalangan mahasiswa, dapat dipandang sebagai pisau bermata dua, menjadi faktor pemersatu sekaligus faktor pemecah belah. Fenomena semacam ini, menurut Muhaimin paling tidak, akan ditentukan oleh : (1) teologi agama dan doktrin ajarannya, (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut, (3) lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya, dan (4) peranan dan pengaruh dosen yang mengarahkannya. Jadi, tujuan pendidikan agama yang diberikan pada mahasiswa secara umum dalam rangka membentuk pribadi-pribadi yang saleh, baik saleh kepada Tuhan maupun saleh kepada sesamanya. Dalam konteks ini, pendidikan agama ingin membentuk mahasiswa agar menciptakan kebaikan baik untuk dirinya maupun untuk masyarakatnya dan mencetak calon-calon pemimpin yang memiliki kepribadian yang penuh tauladan.
               Tujuan pendidikan agama tersebut sangat ideal dalam membentuk karakter (character building) para mahasiswa yang tidak semata-mata landasan teologis, tetapi dilandasi oleh tiga landasan, yaitu dasar yuridis, dasar religius dan dasar psikologis. Dasar yuridis terdiri dari: (1) dasar ideal Pancasila (sila pertama), (2) dasar struktural atau konstitusional UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2, (3) dasar opersional Tap MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN, bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Dasar religius, antara lain QS. Al-Nahl/16: 125 , Ali Imran/3: 104 , dan hadis Nabi saw: “sampaikanlah ajaran kepada orang lain walaupun hanya sedikit saja.” Sedangkan dasar psikologis didasarkan bahwa dalam kehidupannya manusia dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tenteram akibat dari rasa frustasi, konflik dan kecemasan sehingga memerlukan adanya pegangan hidup (agama). Berdasarkan landasan penyelenggaraan pendidikan agama di perguruan tinggi, maka pendidikan agama sesuai UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan YME sesuai dengan agama yang dianut para peserta didik.
            Pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan bentuk penyelenggaraan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, manusia yang beriman kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
             Tujuan Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi ini amat sesuai dengan dasar dan tujuan pendidikan nasional dan pembangunan nasional. GBHN 1988 menggariskan bahwa pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila “bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, terampil serta sehat jasmani dan rohani. Dengan demikian pendidikan nasional akan membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.
Kualitas manusia yang ingin dicapai adalah kualitas seutuhnya yang mencakup tidak saja aspek rasio, intelek atau akal budinya dan aspek fisik atau jasmaninya, tetapi juga aspek psikis atau mentalnya.

B. Posisi Pendidikan Agama sebagai Bagian Dari Kurikulum

               Tujuan dan landasan pendidikan agama akan lebih gamblang jika sudah tertuang dalam kurikulum dan silabus kurikulum. Tidak mudah memang mendefinisikan kurikulum, karena masing-masing mendefinisikan dari perspektif dan penekanan tertentu oleh masing-masing pembuat definisi. Secara umum, pendefinisian kurkulum dapat dilihat dari tiga landasan filosofisnya. Menurut aliran perrenialisme dan essensialisme, kurikulum lebih ditekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dalam arti sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai ijazah, termasuk dalam UUSPN No. 20/2003. Penekanan kurikulum yang menekankan pada aspek isi bertolak dari asumsi bahwa masyarakat bersifat statis, sedangkan pendidikan berfungsi memelihara dan mewariskan pengetahuan, konsep dan nilai yang telah ada baik nilai insani maupun nilai ilahi, yang disusun secara sistematis oleh kelompok ahli tanpa melibatkan guru/dosen apalagi mahasiswa. Bagi aliran progresivisme dan eksistensialisme, kurikulum lebih ditekankan pada proses atau pengalaman bertolak dari asumsi bahwa peserta didik sejak dilahirkan telah memiliki potensi-potensi, baik potensi untuk berpikir, berbuat, memecahkan masalah, belajar dan berkembang sendiri.
               Pendidikan berfungsi menciptakan situasi atau lingkungan yang menunjang perkembangan potensi-potensi tersebut. Karena itu, kurikulum dikembangkan dengan bertolak pada kebutuhan dan minat peserta didik. Materi ajar dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan mahasiswa. Posisi guru atau dosen hanya sebagai psikolog yang memahami segala kebutuhan dan masalah peserta didik. Pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru dan dosen dengan melibatkan mahasiswa.
                Selain dua aliran tersebut, muncul aliran yang berusaha mensinergikan pandangan dua aliran sebelumnya yang disebut aliran rekonstruksi sosial. Aliran ini berusaha menekankan kurikulum, baik pada isi maupun proses pendidikan atau pengalaman belajar sekaligus. Aliran ini berasumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya selalu membutuhkan manusia lain, selalu hidup bersama, berinteraksi dan bekerja sama. Melalui penghidupan bersama itulah manusia dapat hidup, berkembang dan mampu memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan masalah yang dihadapi. Pendidikan bertujuan membantu peserta didik menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan dan pengembangan masyarakatnya. Berdasarkan asumsi tersebut, maka isi pendidikan terdiri dari problem-problem aktual yang dihadapi dalam kehidupan nyata di masyarakat. Proses pendidikan dan pengalaman belajar peserta didik berbentuk kegiatan belajar kelompok yang mengutamakan kerja sama, baik mahasiswa maupun dosen. Oleh karena itu, penyusunan kurikulum atau program pendidikan bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat sebagai isi pendidikan. Adanya berbagai aliran, termasuk aliran yang mensinergikan dua aliran lainnya, menunjukkan bahwa dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan aspek relevansi (relevansi pendidikan dengan lingkungan peserta didik, relevansi pendidikan dengan kehidupan sekarang dan akan datang dan relevansi pendidikan dengan perkembangan iptek), efektivitas dan efisiensi, kontinuitas (kesinambungan) dan fleksibilitas.
               Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, kurikulum tidak harus bersifat statis, tetapi bersifat dinamis. Bahkan, yang paling penting kurikulum dan isi pendidikan tidak harus bersifat indoktrinasi. Sejauh ini belum ada kurikulum baku yang dapat dipedomani untuk pendidikan agama di perguruan tinggi umum, sehingga sulit diidentifkasi untuk mengukur apakah kurikulum tersebut sudah relevan dengan tujuan pendidikan agama atau tidak.
Terlepas dari itu semua, mengacu kepada tujuan UUSPN No. 2/1989 mengenai penyelenggaraan pendidikan agama di perguruan tinggi, maka muatan kurikulum pendidikan agama untuk PTU paling tidak dapat meliputi: (1) al-Quran dan Hadis sebagai sumber ajaran, (2) keimanan sebagai basis segala perbuatan manusia, (3) akhlak sebagai sistem nilai, dan (4) masalah-masalah kemanusiaan. Empat aspek ini merupakan materi umum bagi pengembangan materi-materi lainnya. Materi-materi ini, sesuai prinsip dan asas kurikulum bukan mengulang materi yang sudah dipelajari dan dialami di tingkat-tingkat sebelumnya, melainkan lebih dikembangkan pada aspek-aspek yang lebih bersifat filosofis dan mengarah pada wilayah-wilayah partisipatoris, sebagaimana dapat dilihat dalam metodologi pendidikan agama.
               Indonesia yang tengah terjangkit penyakit sosial begitu menahun seperti KKN, misalnya, kurikulum yang dikembangkan tidak terbatas pada materi mencuri (syirqah), sebagaimana dalam fikih selama ini. Materi ini harus dikembangkan dengan melibatkan ilmu sosial, ilmu politik, etika, dan lain-lain. Hal ini sangat berkaitan dengan keteladanan, kemiskinan, tingkat pendidikan, akhlak, politik dan sebagainya, sehingga mengajarkan agama tidak cukup ilmu agama, tetapi bagaimana mendialektikakan fenomena-fenomena tersebut dengan realitas empiris, sehingga agama bukan dijadikan satu-satunya faktor yang disalahkan ketika terjadi berbagai krisis tersebut. Oleh karena itu, pendidikan agama harus mencakup pula masalah-masalah kontemporer yang urgen di masyarakat.

            Mencari terhadap Metodologi yang Relevan: Paradigma Sistemik-Organism
Kurikulum sebaik apapun tidak akan dapat terealisasi dengan baik tanpa didukung oleh metodologi yang tepat. Beberapa hal yang pelu dicatat, bahwa dalam studi agama tidak ada pemisahan antara istilah “pendidikan” dan “pengajaran”. Keduanya merupakan satu kesatuan integral, hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Pengajaran merupakan strategi untuk mengaktualkan pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan suatu nilai (value) yang terus berjalan agar dapat diwujudkan. Pendidikan harus diprogramkan ke dalam target-target atau level-level tertentu, seperti diwujudkan dalam rencana-rencana pelajaran, cara-cara mengajar, praktikum, dan percobaan-percobaan. Inilah yang disebut dengan “pengajaran” sebagai teknologi atau kiat merealisasikan pendidikan. Dengan demikian, dalam istilah pengajaran dapat dibuat terminal-terminal atau paket-paket yang harus dilalui sesuai dengan kebutuhan dan taraf anak didik. Oleh karena itu, pengajaran selalu dilandasi dengan nilai-nilai kependidikan dan kependidikan selalu diwujudkan melalui kegiatan pengajaran.
             Dalam melaksanakan metodologi pendidikan dan pengajaran agama harus dipergunakan paradigma holistik, yaitu memandang kehidupan sebagai satu kesatuan, mulai sesuatu yang konkret dan dekat dengan kepentingan hidup sehari-hari sampai dengan hal-hal abstrak dan transendental. Dengan kata lain, materi pelajaran agama harus selalu terintegrasi dengan disiplin ilmu umum, dan ilmu umum harus disajikan dalam paradigma nilai agama. Paradigma kedua mekanisme yang memandang bahwa kehidupan terdiri dari berbagai aspek dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut komponen dan elemen-elemen yang masing-masing menjalankan fungsinya, tidak saling berkonsultasi. Relasi hanya sebatas lateral-sekuensial, berarti masing-masing mata kuliah mempunyai relasi sederajat. Paradigma tersebut masih umum di berbagai lembaga pendidikan tinggi umum, yang di dalamnya diberikan perangkat mata kuliah yang di dalamnya mata kuliah agama hanya diberikan 2 hingga 3 mata pelajaran per minggu dan diposisikan sebagai mata kuliah MKDU dalam rangka pembentukan kepribadian yang religius.
Paradigma pertama dan kedua masih menyimpan resistensi, sehingga ada tawaran paradigma ketiga, yaitu paradigma sistematik-organism. Paradigma ini secara umum menjelaskan sistem pendidikan itu harus mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik serta mampu melahirkan manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, memiliki kematangan profesional dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama. Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, menurut Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 38/DIKTI/Kep/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, merupakan salah satu mata kuliah kelompok pengembangan kepribadian (MPK). Misi mata kuliah tersebut menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan peserta didik mengembangkan kepribadiannya. Sedangkan misinya membantu peserta didik agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang diuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan. Berdasarkan visi dan fungsi pendidikan agama di PTU, maka secara konseptual pendidikan agama di PTU dikembangkan ke arah paradigma organisme. Akan tetapi, realitas di lapangan PTU pada umumnya masih berkutat pada paradigma dikotomis atau mekanisme.
Dalam rangka mengimpelementasikan paradigma organisme itulah, maka dalam pembelajaran perlu dipergunakan model penjelasan yang rasional, di samping pelatihan dan keharusan melaksanakan ketentuan-ketentuan doktrin spiritual dan norma peribadatan.



C. Analisis Persoalan Pendidikan Agama Di Perguruan Tinggi Umum

             Realitas Pendidikan Agama di PTU secara umum masih berada di pinggiran (marjinal), meskipun secara ideal dan semboyan mata kuliah agama berada di “pusat”. Berkaitan dengan ini, nilai mata kuliah agama sering mendapat predikat “nilai dongkrakan” dan tidak menentukan bobot kelulusan akademik, sebagaimana mata kuliah-mata kuliah lain. Jika nilai agama terlalu rendah dan karena itu mahasiswa tidak lulus, maka nilai agama itu didongkrak agar mahasiswa yang bersangkutan lulus. Di beberapa perguruan tinggi di bagian timur Indonesia, pengajaran agama disejajarkan dengan pengajian di majlis ta’lim . Kesan marjinalisasi mata kuliah agama itu dikukuhkan dengan oleh sebagian para pimpinan perguruan tinggi yang menganggap mata kuliah agama sebagai mata kuliah pelengkap. Perkuliahan agama biasanya dilaksanakan secara masal dalam jumlah mahasiswa yang “overload” dalam satu ruangan yang diikuti oleh                mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan dengan alasan efisiensi.
              Nasib mata kuliah agama tidak hanya sampai di situ, akibat rasio jumlah mahasiswa yang tidak ideal dan proporsional, mahasiswa tidak dapat diperhatikan lagi. Bahkan, perkuliahan agama ditempatkan pada semester pendek yang hanya dilakukan beberapa pertemuan saja, hanya untuk menghilangkan kesan sebagai perguruan tinggi yang sekuler. Menurut Muhammad Alim , ada beberapa perguruan tinggi yang justeru menghilangkan perkuliahan agama. Di samping itu, materi mata kuliah agama terasa belum mampu berperan sebagai sumber pengembangan iptek dan pedoman perilaku keseharian, baik dalam kerja sebagai ilmuwan maupun dalam pergaulan sosial. Materi kuliah agama dipelajari secara parsial dan lepas kaitannya dengan mata kuliah-mata kuliah lainnya. Dengan kata lain, mata kuliah agama belum menunjukkan link and match dengan mata kuliah-mata kuliah lain . Dampak dari marjinalisasi mata kuliah agama itu, standar kompetensi dosen kurang diperhatikan. Dalam kaitan ini, dosen agama sering mendapat predikat “cepat minggir dan parkir”. Sebaliknya, jika ada kekuarangan moral segenap civitas akademika, tuduhan justeru sering diarahkan kepada dosen agama. Masa depan dan karir dosen agama tampak masih belum prospektif. Di beberapa perguruan tinggi, masih jarang dosen agama lulusan S2 atau S3. Bahkan banyak di antara mereka belum memiliki gelar akademik, kecuali pengalaman dan pengetahuan agama, yang sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk mengajar. Beberapa pengamat justeru melihat bahwa orientasi pendidikan agama memang sudah jauh dari idealisme pendidikan agama yang dapat membentuk manusia saleh. Harun Nasution (1995) mensinyalir bahwa pendidikan agama hanya diberikan dalam konteks “pengajaran” semata.
            Dalam terminologi Mohtar Bukhari (1992), pendidikan agama itu hanya berorientasi pada aspek kognitif semata dan mengabaikan pembinaan aspek-aspek apektif dan konatif-volitif (kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam). Dari sinilah terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengalaman, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Pendapat serupa dikemukakan oleh Komarudin Hidayat dalam Fuadudin Hasan Bisri (1999), demikian juga Maftuh Basyuni (2004).
            Dalam bahasa berbeda, M. Amin Abdullah menyebut pendidikan agama dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif, dan kurang concern terhadap persoalan-persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik melalui berbagai cara, media dan forum. Dalam bahasa yang sederhana, realitas pendidikan agama masih berorientasi to have Religion daripada Being Religious Oriented.
             Dilihat dari segi metodologi, mata kuliah agama belum banyak yang diintrodusir oleh sisi-sisi rasionalitas ajaran agama. Pada umumnya mata kuliah agama diberikan segi tradisionalnya dan terkesan adanya pengulangan-pengulangan dengan tingkat sebelumnya, sehingga mata kuliah agama tidak diterima sebagai sesuatu yang hidup dan responsif dengan kebutuhan mahasiswa dan tantangan zaman. Hal ini, antara lain, disebabkan belum adanya kejelasan pembagian kerja dan kurikulum pengajaran agama di tingkat-tingkat sebelumnya dan perguruan tinggi. Dengan demikian, modal dasar pengetahuan agama mahasiswa beragam, dan mutu dosen masih perlu ditingkatkan . Furchan (1993) menambahkan bahwa penggunaan metode pembelajaran agama masih menggunakan cara-cara pembelajaran tradisional, normatif ahistoris dan akontektual. Di sisi lain, Towaf (Muhaimin, 2007) menambahkan bahwa kompetensi tenaga pengajar yang minim dapat menghambat pendidikan agama di perguruan tinggi. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa banyak tenaga pengajar yang kurang mampu melakukan elaborasi, inovasi dan kreasi materi yang sebenarnya dapat didialogkan dengan konteks sosial budaya, tetapi justeru kembali mengajar dengan menggunakan sistem tradisional-normatif.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka realitas pendidikan agama masih sangat memprihatinkan baik dari segi pengertian pendidikan yang disalahartikan, orientasi, kurikulum yang terbatas pada aspek normatif dan kurang menyentuh realitas, materi dan muatan yang belum jelas, metodologi yang parsial, dan dosen yang kurang mendapatkan perhatian dari lembaga pendidikan bersangkutan. Hal ini perlu dicarikan solusi untuk memecahkannya.
Persoalan lain yang terdapat pada pendidikan agama di perguruan tinggi umum adalah peranan pengelolaan pendidikan agama serta dampak implikasinya terhadap poltisi. Maksudnya adalah, kebijakan lama yang sampai sekarang masih berlaku yaitu memisahkan antara pendidikan Islam (keagamaan) yang dikelola dan dibina oleh Departemen Agama dan pendidikan umum yang dibina dan dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional, harus ditinjau kembali.
            Upaya peninjauan kembali peranan Depag sebagai pengelola pendidikan Islam memerlukan pikiran jernih, dengan menghilangkan kegamangan dari para elite muslim dan menanggalkan beban politis ideologis masa lalu yang selama ini menggelayutinya, serta memfokuskan pada pertimbangan pedagogis dan akademis. Jika hal ini dapat dilakukan, maka akan lahir kebijakan yang reformatif, yaitu : pengelolaan pendidikan Islam yang selama ini berada di tangan Departemen Agama diserahkan kepada Departemen Pendidikan Nasional, dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah. Kalau kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah. Kalau para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama merupakan keharusan sejarah (dlaruri), maka tidak demikian halnya di waktu sekarang. Sekarang Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah merupakan common platform. Aspirasi politik umat Islam sudah menyebar ke semua partai politik yang ada dan tidak utuh lagi. Bahkan parpol yang berlabel Islam tidak memiliki kekuatan penentu. Oleh karena itu klaim bahwa Departemen Agama sebagai representasi kumpulan semua kekuatan sosio-politik Islam dan sebagai satu-satunya penyangga pilar pendidikan Islam sudah tidak relevan lagi. Kedua, dualisme sistem kelembagaan pendidikan di Indonesia (pendidikan keagamaan oleh Departemen Agama dan pendidikan umum oleh Depdiknas) menurut Zamahsyari Dhofir merupakan suatu keunikan. Menurut hemat saya dualisme semacam itu dalam kondisi sekarang merupakan suatu keanehan yang perlu diluruskan. Manajemen modern mengenalkan prinsip efektivitas, efisiensi, dan fungsional sebagai kunci keberhasilan manajemen. Oleh karena itu, penyerahan otoritas pengelolaan pendidikan Islam ke Depdiknas berarti melaksanakan prinsip ini. Ketiga, secara teoritis pengembangan ilmu pengetahuan akan optimal, manakala bebas dari tekanan berbagai kepentingan lain terutama politik, sebagaimana kata syair Al-’ilmu la yumkinu an yanhadladla illa idza kana khurran (ilmu tak akan berkembang kecuali ada kebebasan). Kehidupan modern mengenal adanya bermacam-macam institusi seperti politik, ekonomi, budaya, agama, dan pendidikan. Masing-masing memiliki wilayah garapan dan penataan sendiri-sendiri. Lembaga pendidikan sebagai pranata ilmu pengetahuan harus terlepas dari tekanan institusi lain. Keempat, wilayah garapan pendidikan yang selama ini dikelola oleh Depag sudah sedemikian luas, tidak hanya pendidikan agama dan keagamaan, tetapi mencakup hamper semua bidang ilmu pengetahuan, sehingga kelebihan beban (over loaded). Kalau hal ini diteruskan berarti pemaksaan diri karena memberikan beban tugas di luar batas kemampuannya. Kelima, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan Depdiknas. Depag sebagai pengikut konsekuensinya selalu di belakang, artinya menunggu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas. Di kalangan dosen hal ini sangat dirasakan karena kenaikan pangkat lektor kepala dan guru besar ditentukan oleh Depdiknas. Sedangkan contoh paling mutakhir adalah mengenai pengembangan kurikulum dengan pendekatan kompetensi (KBK). Dengan demikian berarti Depag tidak memiliki otoritas, sehingga inovasi dan kreativitas menjadi terbatas. Keenam, kalau kita sepakat perlunya mewujudkan pendidikan nondikotomik, maka dengan menempatkan pendidikan Islam pada satu atap di Depdiknas berarti sudah menghilangkan pendidikan dikotomik, sekurang-kurangnya dari aspek kelembagaan.










Bab III
KESIMPULAN

             Secara operasional religiositas didefinisikan sebagai praktik hidup berdasarkan ajaran agamanya, tanggapan atau bentuk perlakuan terhadap agama yang diyakini dan dianutnya serta dijadikannya sebagai pandangan hidup dalam kehidupan. Religiositas dalam bentuknya dapat dinilai dari bagaimana sikap seseorang dalam melaksanakan perintah agamanya dan menjauhi larangan agamanya. Dengan pemaknaan tersebut, religiositas bisa dipahami sebagai potensi diri seseorang yang membuatnya mampu menghadirkan wajah agama dengan tampilan insan religius yang humanis.

             Religiositas yang seharusnya menjadi tampilan setiap manusia terdidik sesudah mereka mengikuti pendidikan dan pengajaran agama Islam nampaknya mengalami kegagalan.  Sehingga ketidakmampuan praktik pendidikan agama dalam menumbuhkan sikap religiositas akan bisa mendorong tumbuhnya sifat negatif manusia dalam hubungan sosial yang lebih luas, seperti perilaku kekerasan atau tindakan brutal lainnya. Kegagalan pendidikan agama Islam dalam menumbuhkan religiositas, diduga bahwa praktik pembelajaran PAI pada sekolah diselenggarakan kurang berkualitas. Pembelajaran yang dikembangkan selama ini adalah selalu menempatkan guru sebagai pusat belajar sehingga target pembelajaran adalah pemberian ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), dengan penyampaian pembelajaran lebih bersifat teks normatif.  Materi pendidikan agama Islam masih banyak terjadi pengulangan-pengulangan dengan tingkat sebelumnya dan materi pendidikan agama Islam dipelajari tersendiri dan lepas kaitannya dengan bidang-bidang studi lainnya. Metodologi pembelajaran disampaikan sebagian guru secara statis-indoktrinatif-doktriner dengan fokus utama kognitif yang sibuk mengajarkan pengetahuan dan peraturan agama. Pola pendidikan agama saat ini masih mementingkan huruf dari pada ruh, lebih mendahulukan tafsiran harfiah di atas cinta kasih. Sehingga pembelajaran religiositas atau keberagamaan yang seharusnya terbentuk melalui pendidikan agama terabaikan atau gagal diwujudkan.

               Realita tersebut memberikan sinyal bahwa pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah menghadapi sejumlah permasalahan yang mendesak untuk dipecahkan agar misi utama yang hendak diemban oleh pendidikan agama Islam dapat mencapai sasaran. Gagasan yang ditawarkan adalah mengkonstruksi pembelajaran religiositas dengan memperhatikan unsur-unsur yang sangat dominan, antara lain :
  1. Perumusan mengenai pentahapan atau klasifikasi pencapaian tujuan pembelajaran yang lazim disebut taksonomi harus dirumuskan dengan konkret, tidak hanya tetap berakar pada al Qur’an dan Sunnah, tetapi juga mewujudkan sosok kehidupan masa kini yang mampu menunjukkan arah, memberikan motivasi dan menjadi tolok ukur dalam evaluasi kegiatan.
  2. Unsur bahan pembelajaran dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan, bersumber pada wahyu dan yang selanjutnya memberikan penyelesaian praktis permasalahan umat. Tawaran yang bisa menjadi pijakan adalah model scientific cum doktriner dengan teknik koherensi esensi dalam keterbukaan tampilan praktis. Model ini berpangkal dan bersumber pada al Qur’an dan Sunnah, namun pada saat yang sama menyikapi tampilan empiris. Potensi yang akan tumbuh lebih mengarah pada munculnya perilaku religiositas.
3.      Proses Implementasi kurikulum 2004 yang telah mendapatkan penyesuaian menjadi model pengelolaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006 di Madarasah Aliyah (MA) belum secara keseluruhan menjangkau tiap guru bidang studi pendidikan agama Islam. Hal ini diperkuat oleh suatu kenyataan bahwa perangkat konseptual kebijakan kurikulum ini justru belum dimiliki secara utuh oleh sekolah. Persoalan lain dalam proses implementasi kurikulum ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, sikap dan ketrampilan guru yang beragam, termasuk paktor kualifikasi, latar belakang pendidikan, pengalaman inservice training atau pelatihan serta pembinaan yang diterima guru di madasah aliyah.
4.      Persoalan lain yang menjadi kendala dalam implementasi isi kurikulum menyangkut waktu yang disediakan belum memadai untuk muatan materi yang begitu padat dan memang penting; yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan keperibadian. Kelemahan lain, bidang studi pendididkan agama yang terdiri bdari aqidah akhlak, al-qur’an hadist, piqih, bahasa arab dan sejarah kebudayaan islam lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik). Dalam implementasinya juga lebih didominasi pencapaian kemampuan kognitif. Kurang mengakomodasikan kebutuhan afektif dan psikomotorik. Kendala lain adalah kurangnya keikutsertaan  guru mata pelajaran lain dalam memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Lalu lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya peran serta orang tua peserta didik. Ini semua sangat berpengaruh terhadap proses implementasi sebuah kurikulum.

  1. Pembelajaran agama harus relatif adaptif dengan perkembangan dan realitas masyarakatnya yaitu dengan membebaskan diri dari dikte-dikte sejarah masa lalu, membaca dan memahami ayat-ayat suci beserta sebab-sebab turunnya, dan mengeluarkan makna etisnya.
  2. Pembelajaran agama perlu sinkronisasi, kerjasama dan diinteraksikan dengan pendidikan non agama, sehingga memudahkan peserta didik mengamalkan agama ke dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini dioperasionalkan secara lebih teknis dengan cara setiap jam kegiatan pendidikan agama memperkaya program pendidikan umum, sedangkan setiap jam kegiatan pendidikan umum akan memantapkan program pendidikan agama.


Pengembangan Kurikulum Secara Teori dan Praktik


A.    Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip – prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas; (2) prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian. Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu :[1]
  1. Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
  2. Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
  3. Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
  4. Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
  5. Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu :
  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
  2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
  3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
  4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
  5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
  6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
  7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu boleh dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum
Dalam mensikapi suatu perubahan kurikulum, banyak orang lebih terfokus hanya pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum . Padahal jauh lebih penting adalah perubahan kutural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum.
B.     ASAS-ASAS KURIKULUM
Dalam pengembangan kurikulum, banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan. Apa pun jenis  kurikulumnya yang pasti membutuhkan asas-asas yang harus dipegang. Asas-asas tersebut cukup kompleks dan tidak jarang memiliki hal-hal yang bertentangan, karena memerlukan seleksi.
Pengembangan kurikulum pada suatu Negara, baik dinegara-negara berkembang (developing countries), Negara terbelakang (developed underdeveloping countries), dan Negara-negara maju (developed countries), bisa dipastikan mempunyai perbedaan-perbedaan yang mungkin mendasar, tetapi tetap ada persamaannya.
Falafah yang berlainan, bersifat otoriter, demokrasi, sekuler atau religious, akan memberikan warna yang berbeda dengan kurikulum yang dimiliki oleh bangsa bersangkutan. Begitu juga apabila dilihat dari perbedaan masyarakat, organisasi bahan yang digunakan, dan pilihan psikologi yang digunakan, dan pilihan psikologi belajar dalam mengembangkan kurikulum tersebut. Lebih lanjut akan diungkapkan asas-asas pengembangan kurikulum tersebut.[2]
1. Asas Filosopi
Asas berkaitan dengan sistem nilai. Sistem nilai merupakan pandanagan seseorang tentang sesuatu terutama berkaitan dengan arti kehidupan. Perbedaan pandangan dapat menyebabkan timbulnya perbedaan arah pendidikan  berlandaskan kepada filsafat  yang dianut, seorang guru harus merinci arti pandangannya itu dalam suatu rumusan jelas. Dengan demikian, dapat kita katakan bahawa keyakinan tententang kebenaran sebagai pegangan dapat  menuntun guru mengerjakan tugas sehari hari dengan  lebih berarti bagi murid, oleh karena itu wajar apabila kurikulum  senantiasa  bertalian erat dengan filsafat pendidikan, karena filsafat menentukan tujuan yang hendak dicapai dengan alat yang disebut kurikulum.[3]
2. Asas Fisikologis
Asas ini berkaitan dengan perilaku manusia.sehubungan dengan pengembangan kurikulum dan pengajaran, perilaku manusia  yang menjadi landasan dengan fisikologi belajar dan fisikologi anak. Sekolah diberikan kepercayaan sebagai lembaga yang dapat mendidik anak-anak. Anak-anak diharapkan dapat belajar, Dapat menguasai sejumlah pengetahuan, dapat mengubah sikapnya, dapat menerima norma norma dan dapat mempelajari bermacam macam keterampilan.Teori yang kita anut mengenai perkembangan anak dan proses  belajar turut dapat  menentukan bahan pelajaran yang disajikan, juga metode untuk mengajarkan seperti penyusunan bahan pelajaran dari yang kongkrek ke yang lebih abstrak, penggunaan metode SAS dalam membaca permulaan, dan sebagainya jadi, terdapat hubungan yang erat antara kurikulum dengan fisikologi beljar. Sedangkan dalam fisikologi anak sekolah dibri wewenang untuk memberi situasi-situasi  belajar kepada anak-anak agar mereka dapat mengembangkan bakatnya. Oleh karena itu, sudah sewajarnyalah  anak itu sendiri merupakan faktor yang tak dapat diabaikan dalam pengembanagan kurikulum.
3. Asas Sosiologi
Asas ini berkaitan dengan penyampaian kebudayaan, Proses sosialisasi individu dan rekontruksi masyrakay. Dalam membina korikulum, kita sering kali menemui kesulitan tentang bentuk-bentuk kebudayaan mana yang patut disampaikan serta kearah mana proses sosialisai tersebut ingin dikontruksi sesuai dengan tuntutan masyrakat. Masyrakat mempunyai norma-norma, ada kebiasaan yang mau tidak mau harus dikenal dan diwujudkan anak-anak dalam kelakuannya. Disini juga harus dijaga keseimbangan antara kepentingan  anak sebagai individu dengan kepentingan anak sebagai anggota masyarakat, dan ini dapat dicapai apabila dicegah kurikulum yang semata mata bersifat suciety-centered. Landasan sosial budaya ternyata bukan hanya semata-mata digunakan dalam mengembangkan kurikulum pada tingkat nasional, melainkan juga bagi guru dalam pembinaan kurikulum tingkat sekolah atau bahkan tingkat pengajaran.
4. Asas Organisatoris
Asas ini berkaitan dengan organisasi kurikulum. Dilihat dari orgaqnisasinya, ada tiga kemungkinan tipe bentuk kurikuluma;
a. Kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, ( separatet subjec curriculum ).
b. Kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang sejenis dihubung-hubungkan ( correlated curiculum ).
c. Kurikulum yang terdiri dari peleburan semua / hampir semua maka pelajaran ( integrated curriculum ).
C. TAHAP-TAHAP PENGEMBANGAN KURIKULUM.
Tahap-tahap pengembangan kurikulum yang dibahas adalah merupakan suatu model pengembangan kurikulum yang diterapkan diIndonesia. Pemilihan suatu model haruslah didahului dengan pengkajian situasi kerja serta keperluan kita. Seperti yang umum terjadi, apabila kita dihadapkan kepada beberapa alternatif pilihan, maka kita akan memilih beberapa model tersebut sekaligus yaitu dengan mengambungkan beberapa model tersebut secara sekaligus.
Pengembangan kurikulum di Indonesia , khususnya yang berorientasi pada tujuan,  akan melalui tahap-tahap perkembangan pada tingkat lembaga, pengembangan program tiap mata pelajaran, dan pengembangan program pengajaran disekolah.
  1. Pengembangan Program Tingkat Lembaga.
Pengembangan program tingkat lembaga meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu perumusan tujuan Intruksional, penetapan isi dan struktus program, serta  penyusunan strategi pelaksanaan kurikulum secara keseluruhan.
  1. Perumusan Tujuan Institusional.
Tujuan intruksional dimaksudkan tujuan yang diharapkan dikuasai para lulusan suatu jenis dan tingkatan sekolah setelah mereka menyelesaikan pendidikan sekolah
  1. Penetapan Isi dan Struktur Program.
Kegiatan menetapkan isi dan struktur program dilakukan setelah perumusan tujuan institusional selesai. Penetapan isi program berupa penetapan mata pelajaran yang akan diajarkan disekolah yang dapat menopang untuk mencapai tujuan .
  1. Penyusunan Strategi Pelaksanaan Kurikulum.
Strategi pelaksanaan kurikulum berkaitan dengan pelaksanaan kurikulum dilapangan atau disekolah yang termasuk dalam strategi ini adalah masalah pengajaran yang berupa paket-paket pelajaran, pelaksanaan pengajaran dengan model SP atau modul, kemudian apa metode dan media yang dipergunakan.
  1. Pengembangan Program Setiap Mata Pelajaran.
Langkah –langkah pengembangan program tiap mata pelajaran mencakup beberapa kegiatan yaitu :
  1. Merumuskan Tujuan Kurikuler.
Dalam tujuan kurikuler dirumuskan tujuan-tujuan yang mencakup aspek pengetahuan , ketrampilan dan sikap-sikap serta nilai yang diharapkan dimiliki oleh setiap mata pelajaran. Perumusan tujuan kurikuler harus mendasarkan diri pada tujuan instituasional yang telah dirumuskan.
  1. Merumuskan Tujuan Instruksional.
Perumusan tujuan instruksional adalah tujuan instruksional umu, yaitu tujuan yang diharapkan dimiliki oleh siswa untuk tiap pokok bahasan setelah mereka menyelesaikan program tersebut.
  1. Menetapkan pokok dan sub Pokok Bahasan
Kegiatan menetapkan pokok dan sub pokok bahasan dilakukan setelah perumusan tujuan instruksional. Hal ini disebabkan penetapan pokok bahasan harus mendasarkan diri pada tujuan karena pada hakekatnya pokok-pokok bahasan itulah yang dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu.
  1. Menyusun Garis-garis Besar Program Pengajaran.
Jika tiga kegiatan telah selesai, kegiatan berikutnya adalah menyusun GBPP yang merupakan pedoman pengajaran disekolah oleh para staf pengajar dan untuk menyusun buku pelajaran.
Dalam setiap GBPP akan dijumpai rumusan tujuan-tujuan kurikuler, tujuan intruksional, poko-pokok bahasan dan uraian-uraian pelajaran.
  1. Pengembangan Program Pengajaran di Kelas.
Kegiatan pengembangan kurikulum yang berupa program pengajaran dikelas dilakukan oleh masing-masing guru mata pelajaran yang berupa pembuatan satuan pelajaran (SP) yang terdiri dari :
1.Tujuan Intruksional Umum (TIU)
2. Tujuan Intruksional khusus (TIK)
3. Uraian Bahan Pelajaran
4. Perencanaan Kegiatan Belajar mengajar
5. Pemilihan metode, alat atau media
6. Penilaian.

D. Kurikulum Pendidikan Islam
Definisi Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam adalah bahan-bahan pendidikan Islam berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Atau dengan kata lain kurikulum pendidikan Islam adalah semua aktiviti, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan secara sistematis diberikan oleh pendidik kepada anak didik dalam rangka tujuan pendidikan Islam (H.syamsul Bahri Tanrere, 1993).
Berdasarkan keterangan di atas, maka kurikulum pendidikan Islam itu merupakan satu komponen pendidikan agama berupa alat untuk mencapai tujuan. Ini bermakna untuk mencapai tujuan pendidikan agama (pendidikan Islam) diperlukan adanya kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam dan bersesuaian pula dengan tingkat usia, tingkat perkembangan kejiwaan anak dan kemampuan pelajar.
Materi Pokok Dalam Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam meliputi tiga perkara iaitu masalah keimanan (aqidah), masalah keislaman (syariah) dan masalah ihsan (akhlak). Bahagian aqidah menyentuh hal-hal yang bersifat iktikad (kepercayaan). Termasuklah mengenai iman setiap manusia dengan Allah,Malaikat,Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Qiamat dan Qada dan Qadar Allah swt.
Bahagian syariah meliputi segala hal yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari yang berpandukan kepada peraturan hukum Allah dalam mengatur hubungan manusia dengan Allah dan antara sesama manusia.
Bahagian akhlak merupakan suatu amalan yang bersifat melengkapkan kedua perkara di atas dan mengajar serta mendidik manusia mengenai cara pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketiga-tiga ajaran pokok tersebut di atas akhirnya dibentuk menjadi Rukun Iman,Rukun Islam dan Akhlak. Dari ketiga bentuk ini pula lahirlah beberapa hukum agama, berupa ilmu tauhid, ilmu fiqeh dan ilmu akhlak. Selanjutnya ketiga kelompok ilmu agama ini kemudian dilengkapi dengan pembahasan dasar hukum Islam, iaitu al-Quran dan al-Hadis serta ditambah lagi dengan sejarah Islam.
Sementara itu menurut Dr. Hj. Maimun Aqsa, perkara yang perlu didahulukan dalam kurikulum pendidikan Islam ialah al-Quran, Hadis dan juga Bahasa Arab. Kedua ialah bidang ilmu yang meliputi kajian tentang manusia sebagai individu dan juga sebagai anggota masyarakat. Menurut istilah moden hari ini, bidang ini dikenali sebagai kemanusiaan (al-ulum al-insaniyyah). Bidang-bidangnya termasuklah psikologi, sosiologi, sejarah, ekonomi dan lain-lain.         Ketiga bidang ilmu mengenai alam tabie atau sains natural ( al-ulum al-Kauniyyah), yang meliputi bidang-bidang seperti astronomi, biologi dan lain-lain.
Ruang lingkup materi pendidikan Islam sebenarnya ada terkandung di dalam al-Quran seperti yang pernah dicontohkan oleh Luqman ketika mendidik anaknya. Bagi Negara Brunei Darussalam Keluasan ruang lingkup pendidikan Islam tertakluk kepada pihak Kementerian Pendidikan, Kementerian Hal Ehwal Ugama, Jabatan Perkembangan Kurikulum, tingkat kelas, tujuan dan tingkat kemampuan pelajar. Bagi sekolah Arab dan agama khas tentunya mempunyai pembahasan yang lebih luas dan lebih terperinci berbanding sekolah umum. Begitu juga terdapat perbezaan yang jelas di antara peringkat rendah, menengah dan peringkat tinggi dan universiti.
Sedangkan mengenai sistem pengajaran dan teknik penyampaian adalah terserah kepada kebijakan guru melalui pengalamannya dengan cara memperhatikan bahan yang tersedia,waktu serta jadual yang sudah ditetapkan oleh pihak tertentu.
“Bagi pengajian tinggi, Pengajaran Agama Islam hendaklah dijadikan suatu mata pelajaran khas yang juga merupakan suatu pengajian yang mendalam mengenai sesuatu hukum dan difahamkan maksud-maksud pengajaran Agama Islam itu supaya mereka dapat mengamalkan pengajaran itu menjadi sebagai suatu cara hidup dan menjadi panduan semasa mempelajari ilmu-ilmu yang lain terutama sekali ilmu Sains” (Hj.Mohd. Jamil Al-SufrI, 1982)
Bagi merumuskan maksud prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam kita lihat pandangan Prof. Mohd. Athiyah (Tajul Ariffin Noordin, 1990). Beliau menjelaskan;
“Pendidikan moden sekarang ini memerlukan pendidikan Islam. Iaitu pendidikan idealis yang bersifat kerohanian, moral dan keagamaan. Ini membuatkan kita belajar untuk ilmu dan kelazatan ilmiah. Dengan demikian kita terlepas daripada keruntuhan, kejahatan dan kemiskinan, penjajahan dan keangkaramurkaan, serta peperangan-peperangan dengan segala bencana yang ditimbulkannya. Demi untuk mendapat bersama menikmati suatu kehidupan yang abadi hidup bersama saling bantu-membantu dan dalam suasana demokrasi dan bahagia”.
Selanjutnya, oleh kerana matlamat kurikulum dan pendidikan Islam untuk melahirkan individu yang sempurna, samaada dari segi rohani mahupun jasmani, mata pelajaran dalam kurikulum itu hendaklah bersifat sepadu. Dengan kata lain mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan Islam tidaklah terbatas kepada ilmu-ilmu yang berbentuk teoritis sahaja, baik bersifat naqli mahupun aqli tetapi juga berbentuk praktis, seperti pendidikan jasmani,latihan ketenteraan, teknik, pertukangan, pertanian dan perniagaan. Kurikulum yang semata-mata membekalkan pelajaran yang berbentuk spiritual boleh menyulitkan sesuatu institusi pengajian khususnya dari segi pembangunan material ( Hj. Abdullah Ishak, 1989).




Dr. Abullah Idi, M. Ed. Pengembangan Kurikulum Secara Teori Dan Praktik, hlm 179.

Dr. Abullah Idi, M. Ed. Pengembangan kurikulum secara teori dan praktik, hlm 67.
Dr. Abullah Idi, M. Ed. Pengembangan kurikulum secara teori dan praktik, hlm 68-92.