baca selengkapnya di : http://www.poetra-anoegrah.co.cc/2010/04/cara-mengubah-judul-blog-dengan-judul.html#ixzz1Ie8isVZF

Klik Kanan

Jumat, 29 April 2011

Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Raden Mas Soewardi Suryaningrat, atau yang biasa kita kenal dengan Ki Hadjar Dewantara, lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ia merupakan Bapak Pendidikan Nasional Bangsa Indonesia dan seorang pendiri Nationaal Onderwijs Intituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa). Karena buah pemikirannya, bangsa ini memiliki warisan pemikiran dasar pendidikan untuk memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status sosial, dan sebagainya. Tidak salah, jika tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara ini kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Namun berbagai masalah masih menghantui dunia pendidikan kita di Hardiknas kali ini, mulai dari lembaga persekolahan yang menjadi tumpuan untuk mendidik individu-individu berkualitas dinilai masih tertinggal dalam menjawab tantangan zaman. Kontroversi pemberlakuan ujian nasional yang tiada henti, berbagai tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya. Sampai sinetron sinetron televisi Indonesia yang dengan baik mendidik para siswa SMA sampai SD tentang hasrat cinta lawan jenis dan menjadikan pelajaran sekolah menjadi pekerjaaan sampingan, selain itulah lahirlah komunitas kosmopolitan dan hedonis macam dance street clubs, dugem club, hippies, anak nongkrong, yang padat oleh aktivitas seni namun jauh dari usaha memperbaiki bangsa. Komunitas yang lahir dengan parameter moralnya sendiri. Generasi yang kebudayaannya dijajah kebudayaan bangsa lain. Generasi yang tercerabut dari akar budayanya. Memposisikan agama dan moral sebagai sesuatu yang teralienasi. Pertarungan kebudayaan yang bukan kitalah pemenangnya. Pendidikan kita pun ternyata bukan lagi menjadi tameng pelindung. Padahal, perubahan global yang pesat menuntut sumber daya manusia cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, serta peduli terhadap persoalan lingkungan sekitarnya.
Pendidikan yang sejatinya diyakini sebagai salah satu jalan dan prioritas terpenting untuk memajukan warga negara Indonesia. Akan tetapi, realitas yang ada, tiap kali membicarakan pendidikan di negara yang sudah 63 tahun merdeka ini, ada rasa gamang yang mengganggu optimisme untuk keluar dari belitan masalah sumber daya manusia yang bermutu.
Desakan supaya bangsa ini kembali kepada ”roh” pendidikan seperti yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara dalam tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat, paradigma yang sesuai dengan kepribadian bangsa kita, menempatkan siswa sebagai subjek pendidikan dan telah di copy paste oleh Malaysia dan Singapura. Namun realitanya, pendidikan kita dirasakan belum keluar dari paradigma lama yang menempatkan siswa sebagai obyek pendidikan.
Praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah malah meninmbulkan banyak ironi. Penekanan pendidikan belumlah membekali siswa menjadi manusia yang berkembang dalam multi-intelegensia. Anak-anak dihargai dari nilai-nilai akademis semata. Sekolah pun akhirnya masih dipandang sebagai lembaga yang membelenggu kebebasan siswa untuk bisa memaksimalkan potensi dan kreativitasnya. Bolehlah pemerintah mengklaim dalam lima tahun terakhir ini, sejak diberlakukannya ujian nasional tahun 2004, terjadi peningkatan mutu yang signifikan. Data statistik yang disodorkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memperlihatkan bahwa nilai rata-rata ujian nasional mengalami kenaikan dari rata-rata 5,5 menjadi 7,3.
Persoalan bahwa angka-angka tersebut dicapai dengan cara belajar drilling atau penyiapan siswa secara ”mati-matian” di tingkat akhir setiap jenjang pendidikan tak membuat pusing petinggi negara ini. Pokoknya anak-anak sekolah Indonesia bisa lulus mendekati 100 persen. Tak peduli apakah konsep-konsep dasar dari setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa itu sungguh-sungguh dipahami dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan.
Polemik bagaimana menjalankan pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan tiap warga memang tidak akan berhenti, bahkan di negara maju sekalipun. Namun, pendidikan di Indonesia secara umum dinilai masih belum memberikan optimisme yang cukup kuat untuk penyiapan sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, kritis, berkarakter kuat, dan memiliki pengabdian bagi bangsanya.
Bisa dikatakan sistem pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan rohnya. Demikian banyak wacana, kritik, dan koreksi dari berbagai kalangan, tetapi belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan pendidikan. Kalau toh ada upaya perbaikan, sering tidak produktif pada tataran aplikasi karena ujung-ujungnya sebatas pada pembangunan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan substansi.
Kita tidak perlu meratapi kebodohan dan ketertinggalan sumber daya kita ketika dibandingkan dan disandingkan dengan negara lain. Apalagi kemudian dengan emosional kita mencoba mengejar ketertinggalan tersebut dengan semangat bersaing. Kegiatan gugat-menggugat siapa yang paling bersalah dalam membuat kebijakan pendidikan juga sebaiknya segera dihentikan karena tidak akan menemukan ujung pangkalnya. Jauh lebih bermanfaat adalah melakukan sesuatu daripada sekadar berpangku tangan membiarkan keterpurukan pendidikan yang akhirnya juga menjadi keterpurukan generasi Indonesia secara berkesinambungan.
Pendidikan yang seharusnya tidak hanya dimaknai dari nilai-nilai semata, apalagi selembar ijazah. Nyatanya, dengan memaknai pendidikan melampaui dari batas dinding-dinding sekolah, anak-anak jenius seperti Albert Einstein dan Thomas Alfa Edison bisa berhasil mewujudkan apa yang mereka inginkan.
Selama ini dari sekian banyak Peraturan Pemerintah dan perangkat hukum tentang pendidikan nasional, kita masih belum menemukan blue print yang bisa menunjukkan ke mana arah dunia pendidikan kita akan dibawa. Pasalnya, setiap pemerintahan berganti maka kebijakan terhadap pendidikan pun turut berganti. Lihat saja, bagaimana kurikulum yang dulunya dianggap sangat sesuai dengan semangat otonomi yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), begitu mudahnya ditarik kembali ke sarangnya oleh pemerintah dengan alasan tidak dapat diterapkan. Padahal, tidak sedikit dana yang dikeluarkan untuk melaksanakan ujicoba kurikulum tersebut. Kini, kurikulum baru bernama KTSP yang di terapkan.
Ketidakpuasan pada apa yang ditawarkan sistem pendidikan yang didesain pemerintah hingga saat ini memang relatif. Akan tetapi, dari realitas inilah harusnya lahir upaya-upaya dan kreativitas menciptakan pola-pola pendidikan masa depan yang tidak membuat anak terbebani saat menemukan kata belajar Mesti diakui secara obyektif tidak semua langkah dan kebijakan pemerintah itu buruk sama sekali. Namun, apa yang diputuskan pemerintah terkait pendidikan diyakini belumlah menyentuh pada hal mendasar yang seharusnya diperbaiki dalam sistem pendidikan nasional. dan menurut saya, ada beberapa kebijakan yang harus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah tapi juga oleh semua elemen masyarakat untuk mewujudkan bentuk pendidikan masa depan yang inovatif dan adaptif;
Pertama, susunlah Sistem Pendidikan Nasioanl yang komprehensif dan aplikatif. Dengan sistem yang komprehensif, diharapkan proses dan praktik pendidikan mengalami perbaikan berkelanjutan pada semua aspek dan perangkatnya. Sistem yang aplikatif mampu mendorong proses pendidikan bermutu demi peningkatan daya saing bangsa serta pada saat yang sama bisa mendorong terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya. Tidak terjebak pada persoalan-persoalan cabang semata, semisal polemik UN yang berkepanjangan. Sebagai acuan kurikulum bernama KTSP yang menyatakan konsep penilaian seorang siswa berdasarkan pada tiga aspek: Kognitif , afektif, dan psikomotorik. Nah tenyata aplikasinya? Mereka hanya mementingkan aspek kognitif (lewat soal-soal UN) sebagai "penilaian akhir" siswa. Ibarat peribahasa: bak menelan ludah sendiri. Berarti juga sebenarnya mereka melakukan pembodohan dengan memaksa membebani siswa dengan aspek selain aspek kognitif, yang sebenarnya itu tidak akandipertanyakan/diujikan.

Kedua, segera selesaikan program Wajib Belajar 9 Tahun dan meningkatkannya menjadi Wajib Belajar 12 tahun. Implikasi dari kebijakan ini adalah pemerintah wajib menyediakan segala fasilitas demi terpenuhinya kesempatan belajar bagi seluruh rakyat Indonesia. Juga diselenggarakan sistem pendidikan murah, tapi berkualitas semisal sekolah terbuka atau sekolah rakyat, termasuk pendidikan darurat di daerah rawan konflik plus rawan bencana alam.
Ketiga, meningkatkan kesejahteraan dan penghargaan terhadap peran guru sebagai pilar utama pendidikan dan pembangunan bangsa. Hingga tidak ada lagi guru yang mempunyai pekerjaan sampingan di sekolah maupun di luar sekolah. Namun, peningkatan kesejahteraan guru ini tidak hanya meningkatkan besaran gaji saja, melainkan pada saat yang sama meningkatkan mutu pendidikan. Karena itu, sistem penggajian harus dikaitkan dengan peningkatan kinerjanya.
Keempat, melaksanakan amanat pasal 31 ayat (4) Perubbahan UUD 1945 tentang alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD secara efektif dan efisien yang disertai peningkatan pengawasan penggunaan anggaran pendidikan, agar tidak mengalami penyelewengan anggaran. Isu yang terakhir didapat adalah rencana pemerintah untuk menurunkan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2010. Anggaran pendidikan yang justru seharusnya dinaikkan karena banyak persoalan pendidikan yang mesti dibenahi. Anggaran pendidikan tahun 2010 ditargetkan senilai Rp 195,63 triliun atau berkurang Rp 11,7 triliun dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp 207,41 triliun. Dengan anggaran Rp 195,63 triliun, anggaran pendidikan 2010 setara dengan 20,6 persen dari total RAPBN 2010. Anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 21 persen dari APBN. Penurunan ini karena anggaran 2010 difokuskan untuk pemulihan perekonomian nasional dan pemeliharaan kesejahteraan rakyat. Nah, kalau sudah begini kita perlu tanyakan kem bali komitmen pemerintah untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia.
Kelima, mengefektifkan proses pendidikan yang menanamkan jiwa kebebasan dan kemandirian melalui peningkatan keterampilan hidup (life skills). Kurikulum diarahkan kepada pengembangan pengalaman belajar yang seimbang dari aspek intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ), sehingga peserta didik memiliki kecakapan hidup yang relevan dengan kebutuhan mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Kerinduan untuk bisa menghadirkan belajar yang menyenangkan buat anak dan mengembangkan potensi unik setiap anak mendorong semakin tumbuhnya sekolah rumah atau homeschooling serta pendidikan alternatif lainnya. Belajar dipahami tidak mesti di sekolah, tetapi di mana saja, kapan saja, dan bersama siapa saja, dengan meletakkan tanggung jawab utama pelaksanaannya oleh keluarga. Kegelisahan dan keresahan pada sistem pendidikan nasional yang andal untuk melahirkan sumber daya manusia berbobot bagi mereka yang peduli pada masa depan bangsa ini memang bisa membuat frustrasi. Namun, di tengah situasi tersebut, bertindak nyata yang bisa menginspirasi perbaikan pendidikan saat ini sangat dibutuhkan anak-anak kita.
Keenam, melakukan perbaikan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan menuju menajemen pendidikan yang lebih adil antara desa dan kota untuk mengembangkan kemampuan dan potensi daerah. Dengan ini diharapkan terjadi peningkatan partsisipasi masyarakat luas yang pada gilirannya akan memunculkan tanggung jawab terhadap hasil dan dampak pendidikan di Indonesia yang lebih bermakna secara merata dari pusat hingga pelosok daerah.
Kalau kita mau melihat kembali ke belakang, saking besarnya komitmen pemerintah Jepang terhadap dunia pendidikan di negaranya, setelah mengalami kekalahan pada Perang Dunia II, yang pertama kali dibangkitkan pemerintahan Jepang adalah sektor pendidikan. Bahkan, hal yang ditanyakan kaisar Jepang pasca-PD II itu adalah berapa banyak jumlah guru yang tersisa. Bukan, berapa banyak tank atau persenjataan lainnya yang tersisa.
Bisakah kita memiliki komitmen dan tekad yang bulat untuk membawa dunia pendidikan kita lebih maju? Setidaknya, untuk memperoleh komitmen dan tekad guna memajukan dunia pendidikan bangsa ini, kita harus mau dan berani untuk belajar dari negara mana pun yang lebih maju.
Kurangnya komitmen kita dalam mengelola pendidikan 15 - 20 tahun silam, berdampak buruk pada kinerja pendidikan kita saat ini. Jika saat ini kita masih tidak sungguh-sungguh mengelola pendidikan, bangsa ini akan merasakan akibatnya pada 15 - 20 tahun ke depan. Itu sebabnya, kita harus berani membenahi pendidikan nasional kita sekarang juga. Untuk bisa melakukan perubahan, pemerintah bersama-sama seluruh elemen masyarakat harus mampu berkomitmen dengan serius dan benar-benar untuk bisa membawa pendidikan kita bisa lebih maju, serta membuang rasa komitmen setengah hati seperti yang terjadi saat ini. Semoga peringatan Hardiknas bukan hanya ritual tahunan semata tetapi jadikanlah Hardiknas momentum untuk memperbaharui potret buram pendidikan kita. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan.

Rabu, 27 April 2011

Teori Sosiologi Klasik

Teori sederhana biasanya selalu terungkap di dalam kehidupan kita sehari-hari. Sering kali tanpa sadar kita sesungguhnya telah berteori. Teori muncul karena adanya suatu kebutuhan manusia untuk memberikan penjelasan akan berbagai kenyataan yang ada. Teori lahir karena manusia membutuhkan pengetahuan.

Secara kategoris dapat dikatakan bahwa pengetahuan terdiri atas unsur experiental reality dan agreement reality. Experiental realitiy adalah pengetahuan yang kita dapat berdasar pengalaman kita sehari-hari, sedangkan agreement reality adalah pengetahuan yang kita dapat berdasar kesepakatan bersama.

Jika dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mendapatkan pengetahuan dari salah satu unsur yang ada, maka dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan didapat dengan mengombinasikan kedua unsur tersebut. Dalam ilmu pengetahuan, pengembangan pengetahuan dilakukan bukan hanya dari pengamatan langsung pada kenyataan, namun melalui proses pengujian dalam pikiran manusia sendiri. Dalam konteks sosiologi, teori diklasifikasi ke dalam tiga paradigma utama, yaitu order paradigm, pluralist paradigm, serta conflict paradigm. Perbedaan dari masing-masing paradigma dilandaskan pada asumsi dasar yang menyertainya dalam hal hakikat dasar manusia, masyarakat, serta ilmu pengetahuan.

Konstruksi Teori

Teori terbentuk berdasar beberapa komponen, yaitu konsep, variabel, serta indikator. Teori sendiri diartikan sebagai sejumlah pernyataan yang terangkai secara sistematis, dan dapat digunakan untuk memberikan penjelasan tentang suatu fenomena atau gejala. Komponen yang ada dengan demikian terangkai di dalam pernyataan. Konsep diartikan sebagai lambang, simbol atau kata yang berarti tentang sesuatu.

Konsep ada yang memiliki unidimensional (dimensi tunggal) dan ada yang multidimensional. Dengan beragamnya konsep, maka perlu adanya definisi dari konsep, yang bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam definisi konsep tersebut terkandung dimensi konsep dan juga kelompok konsep (concept cluster). Variabel adalah konsep yang telah memiliki variasi nilai. Variasi nilai dari konsep tersebut kita sebut sebagai kategori. Variabel adalah konsep yang sudah terukur dan bersifat lebih empirik dibanding konsep. Ukuran-ukuran yang bisa digunakan untuk mengukur konsep adalah indikator.

Teori juga dibedakan ke dalam beberapa klasifikasi, yaitu berdasar arah penalarannya kita bedakan antara teori yang menggunakan pendekatan induktif dan teori yang menggunakan pendekatan deduktif, berdasar tingkat kenyataan sosial teori dibedakan menjadi teori mikro, meso, dan makro. Berdasar bentuk penjelasannya, teori dibedakan menjadi teori yang menggunakan penjelasan kausal, teori yang menggunakan penjelasan struktural, serta teori yang menggunakan penjelasan interpretif.

SEJARAH TEORI SOSIOLOGI KLASIK

Kekuatan Sosial dalam Perkembangan Teori Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan sekaligus menjadi fokus perhatian para ahli sosial, di antaranya adalah revolusi politik, revolusi industri, perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi, perubahan agama, serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi di beberapa negara terutama yang terjadi di kawasan Eropa Barat, di antaranya adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.

Perubahan berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa dampak-dampak yang tidak saja bersifat positif tetapi juga memunculkan masalah-masalah sosial baru. Hal ini telah memacu para ahli sosial dan filsafat untuk menemukan kaidah-kaidah baru yang terkait dengan perkembangan teori sosial dan sekaligus sebagai suatu upaya dalam memahami dan menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk masyarakat yang diharapkan di kemudian hari. Seperti perkembangan kehidupan politik (revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal perkembangan teori sosiologi di Prancis. Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme di Inggris telah memacu munculnya pemikiran-pemikiran baru di bidang sosial.

Kekuatan Intelektual Lahirnya Teori Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan sekaligus menjadi fokus perhatian para ahli sosial, di antaranya adalah revolusi politik, revolusi industri, perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi, perubahan agama, serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi di beberapa negara terutama yang terjadi di kawasan Eropa Barat, di antaranya adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.

Perubahan berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa dampak-dampak yang tidak saja bersifat positif tetapi juga memunculkan masalah-masalah sosial baru. Hal ini telah memacu para ahli sosial dan filsafat untuk menemukan kaidah-kaidah baru yang terkait dengan perkembangan teori sosial dan sekaligus sebagai suatu upaya dalam memahami dan menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk masyarakat yang diharapkan di kemudian hari. Seperti perkembangan kehidupan politik (revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal perkembangan teori sosiologi di Prancis. Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme di Inggris telah memacu munculnya pemikiran-pemikiran baru di bidang sosial.

PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI ABAD KE-20

Teori Sosiologi Menjelang Abad Ke-20
Perkembangan teori sosiologi pada abad ke-20 terjadi cukup pesat di Amerika. Hal ini terdorong oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah perubahan sosial masyarakat yang membutuhkan pemecahan berdasarkan bidang ilmu tertentu secara cepat, dan didorong oleh perkembangan ilmu terutama di bidang kemasyarakatan yang mampu mengkaji masyarakat secara ilmiah.

Perkembangan teori sosiologi di Amerika diawali oleh perkembangan keilmuan di dua universitas, yaitu di Chicago University dan Harvard University. Namun demikian, dalam perjalanan waktu, sejalan dengan persebaran para tokoh sosiologi ke beberapa universitas di seluruh negeri, muncul pula universitas-universitas lain yang dianggap mampu melahirkan beberapa teori penting dalam bidang sosiologi, seperti Columbia University dan University of Michigan.

Di Chicago University dikenal adanya sekelompok pemikir sosial yang disebut kelompok Chicago School. Tokoh-tokoh sosiologi yang penting dari tempat ini adalah W.I. Thomas, Robert Park, Charles Horton Cooley, George Herbert Mead, dan Everett Hughess. Di Harvard University, sosiologi berkembang melalui tokoh-tokoh seperti Talcott Parsons, Robert K. Merton, Kingsley Davis, dan George Homans. Di samping itu, perkembangan teori sosiologi di Amerika juga sedikitnya terpengaruh oleh sebuah teori yang sering disebut-sebut sebagai teori di luar mainstream sosiologi di Amerika, yaitu khasanah pemikiran dari kelompok teori Marxian.

Pengetahuan perkembangan teori di Amerika sangat penting mengingat teori-teori yang berkembang di Amerika ini kemudian menjadi pusat perhatian dunia pada tahun 1960-an dan 1970-an. Sejalan dengan teori interaksionisme simbolik, bangkit pula teori pertukaran (exchange theory) yang dikembangkan oleh George Homans berdasarkan pemikiran psychological behaviorism dari B.F. Skinner.

Teori Sosiologi Setelah Pertengahan Abad 20
Perkembangan teori struktural-fungsional terlihat dari hasil karya para penerus Parsons yang diakui telah menyumbang teori struktural fungsional, seperti karya Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Pandangannya menerangkan bahwa stratifikasi adalah suatu struktur yang secara fungsional diperlukan bagi keberadaan masyarakat. Merton pun (1949) menjelaskan bahwa struktural fungsional harus menangani fungsi positif dan konsekuensi yang negatif (disfunctions).

Seperti teori umumnya, teori struktural fungsional pun mendapat kritikan dari beberapa ahli lainnya. Bahkan menjelang tahun 1960, dominasi struktural fungsional dianggap telah mengalami kemerosotan. Puncak dan kemerosotan dominasi struktural fungsional sejalan dengan kedudukan (dominasi) masyarakat Amerika di dalam tatanan dunia.

Sejalan dengan perkembangan teori sturktural-fungsional, terdapat teori konflik sebagai karya Peter Blau, yang dianggap menjadi cerminan dari teori struktural-fungsional. Padahal pada awalnya Blau dapat dikatakan sebagai pengembang teori marxian. Hampir mirip dengan karya Blau, dalam analisis marxian, adalah karya Mill mengenai sosiologi radikal.

Pada tahun 1950-an, Mills menulis sebuah buku yang mengkaji masalah revolusi komunis di Kuba dan pada tahun 1962 menerbitkan buku berjudul The Marxists. Keradikalan Mills dalam mengungkap fenomena sosial menjadikannya ia tersingkir dan menjadi ahli pinggiran dalam kancah sosiologi Amerika. Bukunya yang terkenal adalah The Sociological Imagination (1959). Isi buku tersebut diantaranya adalah upaya kritik Mills terhadap Talcott Parsons.

Perkembangan selanjutnya adalah teori pertukaran (exchange theory) yang dikembangkan berdasarkan pemikiran psychological behaviorism. Dalam suasana kemunduran teori interaksionisme simbolik Goffman mampu menempatkan pemikirannya sebagai awal kemunculan analisis dramaturgi yang dianggap sebagai varian dari interaksionisme simbolik.

Pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an muncul teori-teori sosiologi yang dikenal dengan perspektif sosiologi kehidupan sehari-hari (sociology of everyday life), yang dikenal pula dengan nama sosiologi fenomenologis dan etnometodologi. Sedangkan perkembangan teori sosiologi pada dekade 1980-an dan 1990-an di antaranya adalah teori integrasi mikro-makro (micro-macro integration), integrasi struktur-agensi (agency-structure integration), sintesis teoritis (theoritical syntheses), dan metateori (metatheorizing).

MENGENAL DIRI DAN PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE (1798-1857)

Perjalanan Hidup dan Karya Comte serta Pandangannya tentang Ilmu Pemgetahuan. Auguste Comte adalah seseorang yang untuk pertama kali memunculkan istilah “sosiologi” untuk memberi nama pada satu kajian yang memfokuskan diri pada kehidupan sosial atau kemasyarakatan. Saat ini sosiologi menjadi suatu ilmu yang diakui untuk memahami masyarakat dan telah berkembang pesat sejalan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal itu, Auguste Comte diakui sebagai “Bapak” dari sosiologi.

Auguste Comte pada dasarnya bukanlah orang akademisi yang hidup di dalam kampus. Perjalanannya di dalam menimba ilmu tersendat-sendat dan putus di tengah jalan. Berkat perkenalannya dengan Saint-Simon, sebagai sekretarisnya, pengetahuan Comte semakin terbuka, bahkan mampu mengkritisi pandangan-pandangan dari Saint-Simon. Pada dasarnya Auguste Comte adalah orang pintar, kritis, dan mampu hidup sederhana tetapi kehidupan sosial ekonominya dianggap kurang berhasil.

Pemikirannya yang dikenang orang secara luas adalah filsafat positivisme, serta memberikan gambaran mengenai metode ilmiah yang menekankan pada pentingnya pengamatan, eksperimen, perbandingan, dan analisis sejarah.

Pemikiran Auguste Comte Tentang Individu, Masyarakat, dan Perubahan Sosial
Perkembangan masyarakat pada abad ke-19 menurut Comte dapat mencapai tahapan yang positif (positive stage). Tahapan ini diwarnai oleh cara penggunaan pengetahuan empiris untuk memahami dunia sosial sekaligus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.

Sosiologi adalah menyelidiki hukum-hukum tindakan dan reaksi terhadap bagian-bagian yang berbeda dalam sistem sosial, yang selalu bergerak berubah secara bertahap. Hal ini merupakan hubungan yang saling menguntungkan (mutual relations) di antara unsur-unsur dalam suatu sistem sosial secara keseluruhan.

Penjelasan mengenai gejala sosial, menurut Comte dapat diperoleh melalui 1) kajian terhadap struktur masyarakat berdasarnya konsep statika sosial, dan 2) kajian perubahan atau perkembangan masyarakat berdasarkan konsep Comte yang disebut dinamika sosial (social dynamics). Comte mendefinisikan statika sosial sebagai kajian terhadap kaidah-kaidah tindakan (action) dan tanggapan terhadap bagian-bagaian yang berbeda dalam suatu sistem sosial (Ritzer, 1996). Sedangkan dinamika sosial adalah studi yang berupaya mencari kaidah-kaidah tentang gejala-gejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda. Berbeda dengan itu, statika sosial hanya mencari kaidah- kaidah gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya.

HERBERT SPENCER

Riwayat HIdup dan Awal Karir Herbert Spencer
Herbert Spencer adalah seorang filsuf, sosiolog pengikut aliran sosiologi organis, dan ilmuwan pada era Victorian yang juga mempunyai kemampuan di bidang mesin. Pemuda Spencer pada usia 17 tahun diterima kerja di bagian mesin untuk perusahaan kereta api London dan Birmingham. Kariernya bagus sehingga dipercaya sebagai wakil kepala bagian mesin. Setelah beberapa waktu lamanya bekerja di perusahaan kereta api, kemudian pindah pekerjaan menjadi redaktur majalah The Economist yang saat itu terkenal.

Spencer mempunyai sebuah kemampuan yang luar biasa dalam hal mekanik. Hal ini akan ikut serta mewarnai seluruh imajinasinya tentang biologi dan sosial di masa yang akan datang. Spencer adalah seorang pembaca yang luar biasa, kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai masyarakat di manapun di dunia ini, dan penulis yang produktif. Ia mengembangkan sistem filsafat dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme jeremy Bentham. Spencerlah yang menggunakan istilah Survival of the fittest pertama kali dalam karyanya Social Static (1850) yang kemudian dipopulerkan oleh Charles Darwin. Spencer selain menerbitkan buku lepas, juga menerbitkan buku dan artikel berseri. Beberapa diantaranya adalah Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896) yang meliputi biologi, psikologi, dan etika.

Spencer mempopulerkan konsep ‘yang kuatlah yang akan menang’ (Survival of the fittest) terhadap masyarakat. Pandangan Spencer ini kemudian dikenal sebagai ‘Darwinisme sosial’ dan banyak dianut oleh golongan kaya (Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Jilid 2 1989: 208).

Terbitnya buku Principles of Sociology karya Herbert Spencer yang berisi pengembangan suatu sistematika penelitian masyarakat telah menjadikan sosiologi menjadi populer di masyarakat dan berkembang pesat. Sosiologi berkembang pesat pada abad 20, terutama di Perancis, Jerman, dan Amerika

Pandangan Herbert Spencer tentang Sosiologi
Spencer adalah orang yang pertama kali menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret. Tindakan ini kemudian diikuti oleh para sosiolog sesudahnya, baik secara sadar atau tidak sadar.

Spencer memperkenalkan pendekatan baru sosiologi yaitu merekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dengan agama dalam bukunya First Prinsciple. Dalam bukunya ini Spencer membedakan fenomena tersebut dalam 2 fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahui dan fenomena yang tidak dapat diketahui. Di sini Spencer kemudian mencoba menjembatani antara ilham dengan ilmu pengetahuan.

Selanjutnya Spencer memulai dengan 3 garis besar teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran universal, yaitu adanya materi yang tidak dapat dirusak, adanya kesinambungan gerak, dan adanya tenaga dan kekuatan yang terus menerus.

Di samping tiga kebenaran universal tersebut di atas, menurut Spencer ada 4 dalil yang berasal dari kebenaran universal, yaitu kesatuan hukum dan kesinambungan, transformasi, bergerak sepanjang garis, dan ada sesuatu irama dari gerakan.

Spencer lebih lanjut mengatakan bahwa harus ada hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda di dalam proses evolusioner. Sedang sistem evolusi umum yang pokok menurut Spencer seperti yang dikutip Siahaan, ada 4 yaitu ketidakstabilan yang homogen, berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris, kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan atau segregasi, dan adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.

Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi di dalam bentuknya yang paling kompleks. Di dalam karyanya, Prinsip-prinsip Sosiologi, Spencer membagi pandangan sosiologinya menjadi 3 bagian yaitu faktor-faktor ekstrinsik asli, faktor intrinsik asli, faktor asal muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan, hukum dan lembaga-lembaga.

Giddings pada tahun 1890 meringkas ajaran sistem sosial yang telah disepakati oleh Spencer sendiri adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat adalah organisme atau superorganis yang hidup berpencar-pencar.
2. Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi tenaga agar kekuatannya seimbang.
3. Konflik menjadi suatu kegiatan masyarakat yang sudah lazim.
4. Rasa takut mati dalam perjuangan menjadi pangkal kontrol terhadap agama.
5. Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama menjadi militerisme.
6. Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok sosial kecil menjadi kelompok sosial lebih besar dan kelompok-kelompok tersebut memerlukan integrasi sosial.
7. Kebiasaan berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka hidup tenteram dan penuh rasa setia kawan.

Teori Herbert Spencer tenang Evolusi Masyarakat, Etika, dan Politik
Evolusi secara umum adalah serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan sendirinya, dan memerlukan waktu lama. Sedang evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Perspektif evolusioner adalah perspektif teoretis paling awal dalam sosiologi. Perspektif evolusioner pada umumnya berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903).

Menurut Spencer, pribadi mempunyai kedudukan yang dominan terhadap masyarakat. Secara generik perubahan alamiah di dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat sekitarnya. Kumpulan pribadi dalam kelompok/masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi.

Spencer menempatkan individu pada derajat otonomi tertentu dan masyarakat sebagai benda material yang tunduk pada hukum umum/universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam masyarakat.

Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859), 9 tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya. Ia memandang evolusi sosial sebagai serangkaian tingkatan yang harus dilalui oleh semua masyarakat yang bergerak dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen.

Semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen). Evolusi terjadi pada tingkat organis, anorganis, dan superorganis.

Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya. Pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan ilmu biologi, terutama beberapa ahli biologi berikut ini dan pandangannya:

1. Pelajaran tentang sifat keturunan (descension) Lamarck (1909).
2. Teori seleksi dari Darwin (1859).
3. Teori tentang penemuan sel.

Membandingkan masyarakat dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detil pada semua masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada 3 kecenderungan perkembangan masyarakat dan organisme:

1. pertumbuhan dalam ukurannya,
2. meningkatnya kompleksitas struktur, dan
3. diferensiasi fungsi.

Teori tentang evolusi dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori yaitu:

1. Unilinear theories of evolution.
2. Universal theory of evolution.
3. Multilined theories of evolution.

Spencer telah menggabungkan secara konsisten tentang etika, moral dan pekerjaan, terutama dalam bukunya The Principles of Ethics (1897/1898). Isu pokoknya adalah apakah etika dan politik menguntungkan atau merugikan sosiologi. Idenya adalah untuk memperluas metodologi individunya dan memfokuskan diri pada fernomena level makro berdasarkan pada fenomena individu sebagai unit.

Karakteristik orang dalam asosiasi negara diperoleh dari yang melekat pada tubuh, hukum, dan lingkungannya. Kedekatan individu adalah pada moral sosial dan yang lebih jauh adalah ketuhanan. Oleh karena itu orang melihat moral sebagai jalan hidup kebenaran yang hebat.

KARL MARX

Marx, Kapitalisme, dan Komunisme
Karl Marx tidak semata-mata menjadi seorang komunis dengan begitu saja. Banyak tokoh yang ikut andil dan berperan dalam menjadikan Marx seorang yang berpandangan komunisme, antara lain Hegel, Feuerbach, Smith, juga Engels. Keempatnya, terutama filsafatnya Hegel, Feuerbach dan Engels, sangat kental mewarnai pemikiran Marx. Secara spesifik memang filsafatnya Hegel, yaitu yang berkaitan dengan konsep dialektik, menjadi titik tolak pemikiran Marx meskipun Marx mengkritisi filsafat itu karena dianggapnya sangat idealistik dan memiliki konsep yang terbalik. Marx sendiri mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada berbagai struktur sosial yang di dalamnya tercermin konflik sosial dan juga menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh dalam semua proses produksi.

Marx, juga menyoroti perkembangan dan kebangkitan kapitalisme, di mana pandangan-pandangannya dianggap identik dengan gerakan pembebasan kaum buruh yang miskin dan tertindas oleh mereka yang memiliki berbagai sarana produksi, yaitu kaum borjuis. Konflik atau pertentangan kelas serta upaya-upaya pembebasan inilah yang menjadi titik sentral ajarannya Marx.

Dialektika dan Struktur Masyarakat Kapitalis
Perkembangan pemikiran Marx memang tidak lepas dari pengaruh filsuf-filsuf hebat seperti Hegel, Feuerbach, Smith, juga Engels. von Magnis membagi lima tahap perkembangan pemikiran marx yang dibedakan ke dalam pemikiran ‘Marx muda’ (young Marx) dan ‘Marx tua’ (mature Marx). Gagasan dan pemikirannya terutama diawali dengan kajiannya terhadap kritik Feuerbach atas konsep agamanya Hegel yang berkaitan dengan eksistensi atau keberadaan Tuhan. Marx yang materialistik benar-benar menolak konsep Hegel yang dianggapnya terlalu idealistik dan tidak menyentuh kehidupan keseharian.

Bagi Marx, agama hanya sekedar realisasi hakikat manusia dalam imajinasinya belaka, agama hanyalah pelarian manusia dari penderitaan yang dialaminya. Agama inilah yang merupakan simbol keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Marx mengadopsi sekaligus mengkritisi dialektikanya Hegel yang dianggapnya tidak realistik itu. Marx juga menganggap filsafatnya Hegel, yang idealistik itu, memiliki konsep yang terbalik.

Atas hal ini, Marx mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada berbagai konsep struktur sosial. Dimana di dalamnya tercermin konflik sosial dengan yang menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh dalam semua proses produksi yang melibatkan dua kelas sosial yang berbeda, proletar dan borjuis. Kelas sosial inilah yang nantinya harus tidak ada karena, menurut Marx, pada suatu saat akan terwujud masyarakat komunisme; yaitu masyarakat sosialis karena runtuhnya kapitalisme, di mana di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas sosial dan tidak ada lagi hak kepemilikan pribadi. Inilah masyarakat yang menjadi obsesi Marx. Untuk mewujudkan hal ini, menurutnya, perlulah dilakukan analisis terhadap sistem ekonomi kapitalis.

EMILE DURKHEIM

Durkheim dan Fakta Sosial
Durkheim yang dikenal taat pada agama tetapi sekuler itu, dalam perjalanan ‘karirnya’ dipengaruhi oleh tokoh-tokoh filsafat dan sosiologi, seperti Montesquieu, Rosseau, Comte, Tocquueville, Spencer, dan Marx. Durkheim menyoroti solidaritas sosial sampai patologi sosial yang juga mengkaji tentang kesadaran bersama, morfologi sosial, solodaritas mekanik dan organik, perubahan sosial, fungsi-fungsi sosial, termasuk solidaritas dan patologi sosial. Durkheim memang berangkat dari asumsi bahwa sosiologi itu merupakan studi mengenai berbagai fakta sosial di mana di dalamnya ia menguraikan mengenai konsep sosiologinya serta berbagai karakteristik dari fakta-fakta sosial dimaksud.

Ia juga menjelaskanmengenai cara-cara mengobservasi berbagai fakta sosial dengan melakukan analisi sosiologis. Sedangkan mengenai fenomena moralitas yang menyangkut berbagai keyakinan, nilai-nilai, dan dogma-dogma (yang membentuk realitas metafisik) ia dekati juga dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan. Durkheim memang sepaham dengan pemikiran Comte bahwa ilmu pengetahuan itu haruslah dapat membuat manusia hidup nyaman. Upayanya untuk memahami berbagai fenomena bunuh diri melahirkan salah satu karya besarnya Suicide (’Bunuh Diri’)

Bunuh Diri, Agama, dan Moralitas
Bagi Durkheim, bunuh diri, yang bermacam-macam bentuk (egoistic suicide, altruistic suicide, anomic suicide, dan fatalistic suicide), itu memang merupakan penyimpangan perilaku seseorang. Bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, menurut Durkhiem, disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan orang melakukan bunuh diri.

Di sinilah, begitu Durkheim menekankan, pentingnya agama bagi seseorang untuk menghindarkan dari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi. di mana unsur-unsur esensial dari agama itu mencakup berbagai mitos, dogma, dan ritual, yang kesemuanya merupakan fenomena religius yang dihadapi manusia. Dalam kaitan ini, ada hal-hal yang sifatnya ’suci’ (sacred) dan juga ada hal-hal yang sifatnya ‘tidak suci’ (profane) yang pemisahan antara keduanya menunjukkan kepada pemikiran-pemikiran religius yang dilakukan manusia. Harus diperhatikan bahwa di dalam agama, khususnya yang menyangkut ritual keagamaan, ada yang dinamakan ritual negatif dan juga ritual positif. Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu aturan yang merupakan patokan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi). Konsepnya mengenai moralitas ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma) dan rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan dalam berinteraksi.

MAX WEBER

Riwayat Hidup dan Sosiologi Max Weber
Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.

Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya.

Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat.

Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.

Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri.

Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.

Guru Sebagai Agen Pembentukan Akhlak Dan Moral Pelajar

Pendahuluan
Pemasalahan akhlak masa kini menjadi semakin ketara di kalangan pelajar sekolah. Sering terjadi pelajar terlibat dengan dadah, peras ugut, lepak atau berkeliaran di tempat hiburan dan pasaraya. Sekolah memainkan peranan yang penting selepas keluarga di dalam pembentukan akhlak dan ini jelas termaktub di dalam Falsafah Pendidikan Negara dan melalui penerapan nilai dalam KBSM.Sejak kebelakangan ini, apabila orang berbicara dan mengaitkan soal pendidikan, maka tidak terlepas isu moral di kalangan pelajar atau remaja dibicarakan sebagai satu topik besar. Kalau pada suatu masa dahulu, zaman sebelum perluasan pengaruh media komunikasi, terutama sebelum meluasnya pengaruh media elektronik, sedikit sangat orang yang berbicara dan mempersoal tentang moral. Malah pada zaman itu para pemimpin, cendiakawan atau orang biasa banyak yang berbicara tentang kepasifan pelajar-pelajar dan remaja kita. Pelajar-pelajar kita dikatakan kaku dan tidak berani tampil ke hadapan berhujah untuk membentangkan pendapat. Pelajar-pelajar kita gagal berkomunikasi dengan baik. Dengan kata lain, pelajar kita tidak agresif dan berani seperti sekarang.Tetapi keadaan masa kini sudah jauh berubah. Pelajar-pelajar dan remaja kita sudah menerjah keluar daripada kepompong kepasifan yang membelenggukan. Era baru dalam pembentukan sahsiah golongan ini terpapar di hadapan mata kita. Era baru sahsiah golongan pelajar dan remaja kita yang dulunya pasif, malangnya bukan berubah atau bertukar menjadi manusia yang aktif malah memaparkan model kerosakan dan keruntuhan moral yang semakin menjadi-jadi sehingga mengancam masa depan Negara.Di manakah silapnya? Salahkah para guru mengasuh dan mendidik benih-benih muda ini? Atau apakah Dasar Pendidikan Negara tidak berkesan? Mungkinkah unsur-unsur luaran amat berpengaruh dan berkesan sehingga dapat mengubah halatuju dan pendirian serta sikap para pelajar atau remaja kita? Segala-galanya berkemungkinan menjadi punca dan menjadi sebab akibat menularnya kepincangan moral yang berleluasa dan akan berterusan jika tidak dibendung secepat mungkin.Tetapi sebelum kita berbicara lebih lanjut tentang salah silap yang berada di mana-mana, yang memungkinkan berlakunya kerosakan dan keruntuhan moral, elok kita menyelak sejenak dan menghayati Falsafah Pendidikan Negara yang menjadi dasar yang kuat bagi para pendidik dalam menghadapi tugas seharian mereka.Pendidikan di Malaysia adalah suatu usaha berterusan kearah memperkembangkan potensi individu secara menyeluruh dan bersepadu untuk mewujudkan insan yang seimbang dan harmonis dari segi intelek, rohani, emosi dan jasmani berdasarkan kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan. Usaha ini adalah bagi melahirkan rakyat Malaysia yang berilmu, bertanggungjawab dan berkeupayaan mencapai kesejahteraan diri serta memberi sumbangan terhadap keharmonian dan kemakmuran masyarakat dan Negara.2.0 Moral dan Akhlak: Latarbelakang IsuSistem Pendidikan Negara sekarang boleh dikatakan terbaik dan mungkin ia diakui oleh dunia. Walupun wujud sistem dualisme dalam pendidikan kita namun kelihatan semacam kesepaduan antara ilmu naqliah dan aqliah. Sistem pendidikan masih menekankan pendidkan moral, nailai dan aqidah melalui Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Moral dan penerapan nilai-nilai murni dalam pengajaran. Untuk menjayakan pendidikan moral dan nilai dalam sistem pendidikan negara kita, setiap orang harus berusaha ke arah memperbaiki kerosakan dan keruntuhan akhlak yang menjadi-jadi, di samping terus menerapkan nilai-nilai akhlak yang baik selaras dengan tuntutan agama.Isu keruntuhan akhlak telah menjadi perbincanagn hangat di kalangan masyarakat sekaramg. Isu ini telah dibincangkan di semua peringkat masyarakat, dari kedai kopi, kaki-kaki lima, sekolah, IPT hatta di Dewan Negeri dan Parlimen. Ini menunjukkan betapa seriusnya masalah keruntuhan akhlak dalam masyarakat serta betapa pentingnya masalah keruntuhan ini ditangani dengan sebaik-naiknya agar ia tidak menjadi lebih parah.Keruntuhan akhlak telah berlaku di kalangan pemimpin peringkat atasan dalam bentuk penyalahgunaan kuasa, pecah amanah, rasuah, minum arak dan berpoya-poya. Gejala ini juga terdapat di kalangan remaja seperti pergaulan bebas, bohsia, lari dari rumah, bersekedudukan dan lain-lain lagi. Selain itu, keruntuhan moral di kalangan masyarakat dapat juga dilihat dalam bentuk putusnya hubungan kekeluargaan, hilangnya rasa kasih sayang serta wujudnya sikap pulau memulau dan benci membenci terutama di kalangan masyarakat Islam.Gejala keruntuhan akhlak pada umumnya adalah disebabkan oleh kealpaan dan kelalaian masa lampau tentang betapa pentingnya Pendidikan Akhlak Islam di ajar, disemai dan disuburkan dalam diri anak-anak kita. Kesedaran terhadap pentingnya pengukuhan akhlak ummah dan moral masyarakat telah diberi perhatian yang serius oleh kerajaan. Pada hari ini, beberapa program telah dilancarkan yang bertujuan melahirkan rakyat berakhlak dan bermoral tinggi.3.0 Konsep Moral dan AkhlakSecara kasar dan pada laras bahasa yang biasa kedua-dua istilah di atas menampakkan maksud yang sama. Kedua-dua membawa maksud perlakuan atau tingkah laku yang baik. Walau bagaimanapun kalau dihalusi akan terserlah perbezaannya.Menurut T.Iskandar (1970) dalam Kamus Dewan mengatakan moral adalah sesuatu yang berkaitan dengan apa yang betul dan adil. Moral bermaksud perlakuan baik mengikut norma, peraturan dan ketetapan yang dibuat dan dipersetujui oleh satu komuniti manusia. Pengertian ini betul untuk komuniti tersebut, masa tersebut dan lingkungan yang tertentu sahaja. Dengan keadaan yang lain persetujuan tersebut mungkin tidak berlaku. Dengan kata lain moral walaupun baik dan betul tetapi tidak universal. Kebiasaannya moral lebih menekankan perhubungan yang harmoni di antara manusia sesama manusia (disiplin-disiplin kemanusiaan) dan hubungan yang harmoni di antara manusia dengan alam sekitar (disiplin-disiplin sains tabii). Moral menekankan kepentingan dan keselesaan individu serta masyarakat tetapi bersifat peribadi. Moral tidak membenarkan berlakunya krisis atau pertentangan peribadi. Oleh sebab itulah nilai moral biasanya tidak dikaitkan dengan Maha Pencipta atau dengan soal-soal metafizik.Kolhbeg (1981) dalam menghuraikan perkembangan prinsip asas moral memberi penegasan seperti berikut:“…..the main factors which have been shown to correlate with the development of a principled, predictable morality are intelligence, moral knowledge (that is, knowledge of the rules of a society) the tendency to anticipate future events, the ability to maintain focused attention, thecapacity to control unsocialised fantasies, and self-esteem.”Goleman (1995) telah memberikan konsep baru tentang “emotional intelligence (EI)” atau kecerdasan emosi yang boleh dikaitkan dengan amalan nilai dan moral individu yang boleh berjaya dalam kehidupan sejagat atau ‘global village’.Moral berbeza dangan akhlak dari segi sumber yang menentukan sesuatu perlakuan yang baik. Sesungguhnya akhlak bersumberkan wahyu, iaitu hubungan dengan Maha Pencipta.Firman Allah S.W.T. yang bermaksud ;“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berakhlak mulia”.Dalam hal yang sama Nabi Muhammad SAW bersabda yang maksudnya “Sesungguhnya aku diutuskan demi menyempurnakan akhlak”. Aishah pernah ditanya tentang akhlak Nabi SAW maka dia menjawab; “Akhlaknya adalah Al-Quran”.Menurut Abdul Raof Dalip (1986), akhlak dapat diertikan sebagai kelakuan tatatertib, maruah dan merangkum seluruh perbuatan lahiriah yang dihasilkan daripada dorongan batiniah di dalam diri manusia. Ini bermaksud akhlak berakar umbi daripada sifat kerohanian yang suci. Dengan ini jelaslah bahawa akhlak bersumberkan wahyu daripada Maha Pencipta. Justeru, pendidikan akhlak akan membawa insan semakin dekat dengan Penciptanya.Persoalan akhlak dan moral ada kaitannya dengan iman. Orang yang beriman kepada Allah ialah orang yang sentiasa takut untuk melakukan perbuatan yang terlarang di samping mengerjakan yang disuruh Allah. Iman ini harus dimiliki dan menjadi benteng penghalang pengaruh-pengaruh negatif. Orang yang beriman ialah orang yang berakhlak mulia ( bermoral dan memiliki nilai murni ), orang yang sentiasa melakukan yang baik dan menjauhi dosa iaitu tidak melakukan perbuatan negatif yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat.Sekiranya hal ini tidak diberi perhatian yang serius, maka pembentukan moral dan insan yang murni akhlak tidak akan berhasil. Walaupun kita berjaya melahirkan manusia berilmu tinggi namun tanpa disertai pendidikan moral dan akhlak, kita juga akan melahirkan insan yang akan menjadi perompak, perogol, pembunuh dan penjenayah yang lain di kalangan orang yang berijazah atau berpendidikan tinggi.4.0 Moral dan Akhlak Dalam Sistem Pendidikan di Malaysia. Matlamat pendidikan di Malaysia yang asalnya adalah rujukan daripada barat telah diubahsuai kepada konsep pendidikan bersepadu. Kurikulum pendidikan barat yang diasaskan daripada falsafah humanisme menekankan keharmonian dan keseimbangan di antara manusia dengan manusia, dan di antara manusia dengan alam sekitar. Kedua-dua hubungan ini adalah perlu dan baik tetapi ia masih berkisar dan bertitiktolak pada ilmu akal. Mana mungkin ilmu akal semata-mata dapat memahami hukum alam yang dicipta oleh Maha Pencipta. Justeru, untuk lebih memahami hukum-hukum alam yang dicipta oleh Tuhan, maka satu lagi dimensi yang paling penting perlu dimasukkan iaitu hubungan manusia dan alam sekitar dengan Maha Pencipta. Bagi hubungan dengan Maha Pencipta mestilah dirujuk kepada ilmu wahyu iaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan wujudnya kurikulum tiga dimensi ini, maka ia bolehlah dikatakan sebagai kurikulum bersepadu.Pengubahsuaian kepada bidang-bidang matlamat pendidikan perlu dilakukan agar ia bersesuaian dengan konsep bersepadu. Pengubahsuaian ini boleh dilihat dalam rajah 1 yang ditunjukkan di bawah.KognitifAqidah Akhlak Nilai Murni AfektifPsikomorRajah 1 : Kesepaduan ilmu Akal dan +ilmu WahyuMatlamat Pendidikan mestilah dimulakan dengan kekuatan aqidah. Kemurnian aqidah akan menjelmakan akhlak yang baik. Dari akhlak yang baik ini akan terpancarlah nilai murni yang akan dimanifestasikan oleh tingkah laku yang baik. Dan seterusnya dihayati dalam bidang-bidang kognitif, afektif dan psikomotor. Oleh yang demikian, matlamat pendidikan akan tercapai iaitu dapat melahirkan pelajar yang berintelek, berakhlak dan bertaqwa.Bagaimana mengaplikasikan konsep sepadu dalam pengajaran dan pembelajaran? Pengajaran menurut tradisi barat adalah bersifat sekular. Terdapat beberapa model atau pendekatan pengajaran seperti pendidikan kognitif, pendekatan aktiviti-aktiviti motivasi dan jaya diri, pendekatan pembinaan tingkah laku, pendekatan interaksi sosial dan pendekataan penggunaan ilmu. Guru boleh memilih mana-mana pendekatan yang sesuai dengan matlamat pendidikan yang telah ditentukan. Kelima-lima pendekatan ini hanyalah mencakupi ilmu akal.. Ilmu akal mempunyai had dan batasan tertentu. Kekangan ini akan menyebabkan kita gagal memahami ilmu dengan sebenarnya. Oleh yang demikian setiap pendekatan atau model pengajaran yang disebutkan di atas mestilah disasarkan kepada konsep-konsep ilmu wahyu. Ini dapat ditunjukkan oelh rajah 2 di bawah.Kognitif Motivasi & Tingkah Interaksi PenggunaanJaya Diri Laku Sosial IlmuAl-Guran Konsep Konsep Konsep KonsepAs-Sunnah Insan Fitrah Keseimbangan IbadahMODEL (Nilai Murni)AkhlakAqidahRajah 2 Menunjukkan Kesepaduan Dalam Pendidikan PengajaranSetiap pendekatan pengajaran mestilah dimulakan dengan aqidah. Seterusnya dikembangkan ke dalam akhlak dan moral. Nilai-nilai moral ini dihayati ke dalam konsep-konsep daripada ilmu wahyu iaitu konsep insan, konsep fitrah, konsep keseimbangan dalam hukum-hukum Allah swt dan konsep ibadah. Konsep-konsep daripada ilmu wahyu ini seterusnya disepadukan dan dihayati ke dalam kelima-lima pendekatan pengajaran yang akan digunakan iaitu kognitif, motivasi dan jaya diri, tingkahlaku, interaksi sosial dan penggunaan ilmu.Apakah tindakan selanjutnya yang perlu dilakukan? Untuk memastikan matlamat pendidikan tercapai seperti yang termaktub di dalam Falsafah Pendidikan Kebangsaan dan Wawasan 2020, maka:· Kepentingan manusia (insan) mestilah lebih utama dan istimewa daripada kepentingan ekonomi, sains, teknologi dan industri. Nilai dan harga diri manusia mesti berada pada tempat yang tertinggi. Dengan cara yang demikian, nilai dan moral dapat dilaksanakan dalam pendidikan negara.· Untuk memastikan wujudnya acuan Malaysia yang berasaskan nilai, guru dan para pemikir hendaklah bersedia untuk mengubah suai dan menilai semula seluruh komponen pendidikan supaya benar-benar mengikut nilai, sejarah, budaya, agama dan tamadun bangsa kita.· Kita perlu kembali kepada sumber wahyu yang hakiki dan benar untuk rujukan nilai kerana niali-nilai ciptaan manusia adalah bersifat subjektif dan tidak universal. Dalam konteks ini konsep bersepadu adalah yang paling sesuai diterapkan.· Pembinaan acuan Malaysia yang berasaskan moral dan nilai perlulah dimulakan dengan anjakan paradigma terhadap konsep dan falsafah ilmu. Kalau dulunya kita bertunjangkan barat dan kini sudah sampai masanya kita kembali kepada ilmu yang bersifat sepadu di antara ilmu akal dan ilmu wahyu.· Usaha untuk membina acuan Malaysia dengan fokus pembangunan manusia sebagai agenda istimewa perlulah dilaksanakan serentak dengan konsep pembinaaan masyarakat madani. Ini bermaksud persoalan moral, nilai dan manusia mestilah selari dengan konsep Ad-Din sebagai satu cara hidup. Ini bermakna setiap aktiviti kemajuan negara sama ada pendidikan, ekonomi, pengurusan,, perundangan, politik, kesenian dan sebagainya mestilah dilaksanakan secara bersepadu di antara ilmu akal dan ilmu wahyu. Inilah asas atau teras pembinaan acuan Malaysia.Penekanan kepada moral dan nilai direalisasikan dengan menjadikan Pendidikan Islam dan Pendidikan Moral sebagai mata pelajaran wajib, dan selaras dengan wawasan 2020 di mana diharapkan masyarakat Malaysia dalam abad ke-21 akan mempunyai warga yang bukan sahaja mampu berdaya saing dalam Negara perindustrian, juga menekankan penerapan nilai-nilai murni melalui pendekatan pendidikan nilai merentasi kurikulum, termasuk kurikulum tersirat, iaitu kegiatan kokurikulum dan amalan tingkah laku di sekolah, yang diharapkan menghasilkan budaya sekolah yang beretika.Sebenarnya jika dikaji dengan teliti, pendidikan nilai ini mendasari falsafah pendidikan Negara kita kerana matlamat FPN adalah untuk menghasilkan insan yang seimbang dari semua aspek iaitu aspek emosi, intelek, rohani dan jasmani. Tanpa memasukkan program pendidikan nilai dalam kurikulum, cita-cita untuk melahirkan generasi cemerlang dari semua segi tidak akan berhasil. Hanya penerapan nilai dan pendidikan moral sahaja yang mampu mendidik dan membentuk individu menjadi seorang yang benar-benar rasional, amanah, bertimbang rasa, bertanggungjawab dan memiliki sifat-sifat mulia yang lain yang dipersetujui masyarakat.Di antaranya, Taylor (1961) mengemukakan pandangan bahawa nilai adalah darjah dan peraturan yang secara tergabung membina cara hidup manusia. Nilai menggariskan iadea-idea dan matlamat-matlamat hidup. Nilai adalah darjah normative dan peraturan kerana ia menjadi asas pegangan yang mempengaruhi pemikiran manusia semasa ia menjadi asas pegangan yang mempengaruhi pemikiran mnusia semasa membuat pertimbangan dalam menentukan cara dan gaya bertindak serta bertingkahlaku sebaik-baiknya untuk mengekalkan kesejahteraan dirinya (dalam Sufean Hussin, 1989).Mengikut seorang penulis lain dari India, Radharkaman Mukerjee (1965), beliau menyatakan bahawa nilai terbit daripada keinginan dan motif yang dibentuk serta diperakukan oleh budaya dan masyarakat. Nilai mengikat indidividu secara halus dan senyap. Bagi Allporrt (1961) pula, beliau menyebut bahawa nilai ialah kepercayaan yang mengakibatkan manusia memilih sesuatu tingkah laku. Wiliams (1968), mentafsirkan nilai sebagai apa saja yang dipegang oleh seseorang yang menjadi kriteria untuk membuat keputusan bagi memilih tingkah laku dalam angka mencapai hasrat dan keinginan.Model Pendidikan Nilai 3KModel ini dikemukakan berasaskan kepada anggapan dan keyakinan bahawa ;I(a) Manusia terbina dari tiga komponen iaitu akal, roh dan jasad (Al Ghazali (1967) Maslow,A.H. (1954), Taylor,P.W.(1961), Fathi Yakan (1988).(b) Penerapan nialai adalah satu proses yang berjalan secara tabie (Abdullah,N.U.(1988), Ismail Jusoh, (1993).(c) Manusia harus mengenali dirinya dan hubungannya dengan sistem alam dan Pencipta alam (Al Ghazali (1967), A.A.Maududi (1984). Dengan andaian dan kesedaran di atas maka model penerapan nilai digambarkan seperti berikut (Rajah 3) .NILAI MURNIINSAN SEIMBANGTAAT DAN PATUHKEPERCAYAAN KEPADA TUHANPENERAPAN KEFAHAMAN,KESEDARAN DAN KEYAKINAN (3K)TOPIK PELAJARANRajah 3Model Penerapan Nilai 3KRajah 3 di atas menunjukkan fasa-fasa yang harus berlaku atau diwujudkan dalam proses penerapan nilai. Individu yang menghayati niali-nilai murni akan terbina sekiranya pendidikan yang dijalani itu melibatkan ketiga-tiga bidang iaitu akal, roh dan jasad. Dalam model 3K di atas, penerapan nilai secara langsung boleh dilaksanakan melalui mata pelajaran yang diajar dalam kelas (Ismail Jusoh, 1993). Ia boleh dilakukan semasa membuat rumusan atau penutup pengajaran.Guru boleh mengaitkan isi pelajaran geografi, apabila belajar tentang tajuk kejadian hujan, kondensasi, proses sejatan, tekanan rendah dan tekanan tinggi dan sebagainya. Proses-proses tersebut tidak berlaku secara kebetulan. Semua kejadian ada Pencipta dan Penguasanya. Begitu juga dalam pelajaran Biologi, pelajaran mengenai sel, menunjukkan kekuasaan Tuhan. Sel yang seni itu mustahil wujud dengan sendiri tanpa ada sebab dan akibat disebaliknya. Tindak blas yang berlaku dalam sel tidak mungkin terjadi tanpa ada kawalan. Siapakah yang mengawalnya? Hakikat inlah yang patut ditonjolkan dalam pengajaran dalam rangka memberi kesedaran, kefahaman dan keyakinan (3K) kepada pelajar supaya mereka dapat menginsafi kewujudan Tuhan.Proses penerapan nilai melalui model ini boleh dilaksanakan secara langsung atau secara tidak langsung. Secara langsung, guru boleh menghubungkan terus isi pelajaran dengan nilai kepercayaan kepada Tuhan yang mana dengan nilai ini akan tersemai nilai-nilai murni yang dihajati seperti kerjasama, jujur, bersikap positif dan lain-lain seperti yang tersurat dalam Falsafah Pendidikan Negara.. Proses penerapan ini bukan terhad kepada jangka masa tertentu (semasa pelajar berada di alam persekolahan), bahkan ianya berjalan sepanjang hayat dan di setiap tempat. Proses ini juga bergantung kepada persekitaran, iaitu yang terdiri daripada keluarga, pendidik, masyarakat, media dan rakan sebaya. Jadi, penerapan nilai yang berkesan hanya terhasil jika terdapat persekitaran yang positif.Falsafah Moral dan Tingkah LakuFalsaafh yang relevan kepada profesion keguruan dan perkembangan pendidikan di negara ini ialah falsafah moral dan tingkah laku. Falsafah ini memerlukan peranan positif dan konstruktif profesion keguruan ke arah membina moral dan tingkah laku pelajar. Guru yang baik perlu mempunyai komitmen moral yang tinggi dan menjadikan diri mereka teladan yang baik kepada pelajar.Contohnya, guru tidak seharusnya mendenda dan melarang pelajar merokok sedangkan pada masa yang sama guru merokok di kawasan sekolah dan di mana-mana sahaja.Falsafah moral dan tingkah laku juga mendasari perkembangan pendidikan, perkembangan profesion keguruan dan perkembangan institusi sekolah. Bagaimanapun, pengaruh lain seprti agama, budaya, etika, pemodenan, sekularisme, dasar dan peraturan sekolah seringkali menimbulkan konflik dan percanggahan dari segi falsafah moral dan tingkah laku. Oleh sebab itu, pengajaran dan pembelajarn di sekolah sering kali berhadapan dengan isu kontroversi dan menyulitkan peranan guru serta peranan sekolah menangani krisis yang berlaku dalam masyarakat.Ideologi buku teks yang digunakan di sekolah-sekolah di Malaysia begitu kuat dipengaruhi oelh aliran falsafah moral dan tingkah laku bagi tujuan mengawal tindakan dan tingkah laku golongan muda. Pada masa yang sama terdapat unsur-unsur pemodenan dan revolusi moral dan tingkah laku yang menyebabkan berlakunya tingkah laku baharu iaitu agresif, konfrontasi, kecenderungan untuk mencabar dan mengkritik dan sebagainya.Falsafah moral dapat menolak fahaman kebendaan yang menguasai masyarakat dan memberikan kesan tertentu kepada dunia pendidikan dan profesion keguruan. Bersifat kebendaan memanglah penting dalam kehidupan, terutama isu kemiskinan dan kemunduran dalam masyarakat Malaysia yang masih begitu kuat menghalang berlakunya perubahan dan menjejaskan kualiti pendidikan golongan miskin. Semangat berusaha kuat untuk mencapai perubahan perlu ditanamkan kepada anak-anak golongan miskin supaya kemajuan kebendaan dapat membantu dan membentuk mereka mencapai kehidupan yang lebih baik dan menyediakan peluang pelajaran dan kemudahan belajar di rumah yang mendorong kemajuan mereka.5.0 Guru: Agen Pembentukan Akhlak dan Moral.Guru adalah satu golongan masyarakat yang khas. Atan Long (1980) mendefinisikan guru sebagai satu golongan masyarakat untuk memberikan pendidikan secara formal dan bersistematik kepada generasi muda dalam masyarakat itu. Memang dikatakan guru memainkan peranan penting dalam menjayakan pendidikan moral dan nilai kerana ketika anak-anak berada di sekolah guru-gurulah yang memainkan peranan sebagai ibu bapa. Oleh itu peranan guru dan ibu bapa sama penting dalam pendidikan.Sebagaimana ibu bapa, guru-guru juga dipandang oleh anak-anak didiknya sebagai contoh atau ‘role model’. Kalau tidak masakan ada pepatah berbunyi “ Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Oleh itu, setiap guru mesti memiliki akhlak yang mulia agar sifat-sifat mulia itu dapat diteladani dan diikuti. Apa kata kalau guru sendiri tidak dapat menjadi sebagai ‘role model’ yang baik, bak kata pepatah tadi, muridnya tentu tidak berguna. Tegasnya, anak-anak didik akan menjadi lebih biadap lagi.Sebagai ‘role model’ bukan mudah. Segala gerak geri, tingkah laku dan perwatakan menjadi ikutan. Cara guru bercakap, berjalan, berpakaian dan paling utama dari segi akhlaknya diperhatikan. Guru yang baik disenangi anak-anak didiknya. Apatah lagi kalau guru ini jujur dan ikhlas, segala tunjuk ajar, ingatan atau nasihat serta bimbingan yang diberikan mudah diterima.Kejayaan dalam menerapkan nilai-nilai murni bergantung kepada kesabaran guru kerana guru merupakan orang yang paling berpengaruh dalam pembentukan sahsiah dan ‘mind set’ seseorang individu pada tahun-tahun formatif anak-anak didiknya. Anak-anak ini memerlukan asuhan dan belaian kasih saying sebagaimana yang dicurahkan oleh ibu bapa mereka.Guru merupakan orang paling penting dalam mewujudkan suasana pembelajaran yang harmonis sehingga anak-anak didiknya akan berasa sekolah seperti rumah keduanya. Sekaligus suasana yang harmonis itu dapat pula membentuk apa yang dikatakan “Sekolah tanpa takut (No fear school)”. Kalau dapat diwujudkan suasana seperti itu maka sudah tentu anak-anak didik dapat memperkembangkan potensi dan mengawal emosi secara menyeluruh dan seimbang. Dan yang pastinya suasana pembelajaran yang sedemikian dapat membantu guru-guru atau pihak sekolah mewujudkan sekolah penyayang.Guru juga dapat memberi tunjuk ajar yang berkesan dan bertanggungjawab membentuk minda, sikap dan kelakuan anak-anak didiknya yang bakal menjadi anggota masyarakat selepas tamat persekolahan, sama ada menjadi pemimpin politik, pegawai kerajaan, ahli korporat, atau setidak-tidaknya menjadi isteri atau suami yang berakhlak mulia.Untuk mewujudakan sekolah penyayang atau sekolah tanpa takut, maka guru seharusnya berupaya menjadi contoh dan teladan yang baik, pendorong yang berkesan, pembimbing yang bertimbang rasa, pendengar yang penuh rasa simpati dan menjadi sumber inspirasi kepada anak-anak didiknya. Selain itu, guru juga seharusnya menunjukkan sikap dedikasi dalam menjalankan tugas sehariannya dan mengamalkan apa yang disampaikan kepada anak-anak didiknya dengan penuh tanggungjawab dan beretika.Hubungan guru dengan masyarakat juga menjadi perhatian. Selain mewujudkan sekolah penyayang guru juga berperanan dalam mewujudkan permuafakatan dengan masyarakat setempat. Ini kerana guru telah sekian lama dikanali sebagai pemimpin kecil yang dapat menyatupadukan masyarakat melalui jalinan mesra dalam pergaulan mereka dengan masyarakat.Setiap guru harus komited terhadap kerjaya pendidikan, berperibadi tinggi an bersikap terbuka tanpa memilih kaum atau keturunan dalam menyampaikan ilmu pengetahuan terutamanya dalam menjayakan pendidikan moral. Dalam masyarakat majmuk di Malaysia ini, anak-anak didik terdiri daripada pelbagai keturunan dan fahaman keagamaan. Jadi dalam menangani masalah moral atau menjayakan pendidikan moral, guru mestilah menjauhi sikap prejudis. Keikhlasan dan kejujuran patut wujud dalam diri guru dan menampilkan pengajaran mengikuti aspirasi Negara. Dalam hal ini guru-guru yang dedikasi dan komited terhadap tugasnya ialah guru yang sejati, berinovatif dan kreatif.Dengan kata lain, falsafah yang mengemudikan amalan pendidikan di sekolah ialah bahawa semua guru merupakan guru dalam Pendidikan Moral dan Pendidikan Nilai. Lebih penting ialah guru diperlukan menerap nilai-nilai murni, sepertimana yang dikenalpasti sebagai nilai inti (core values) dalam pengajaran mereka masing-masing. Selain dari itu, guru juga ialah role model, kepada pelajar mereka dan tingkahlaku guru melambangkan keprofesionalan profesion itu.Dengan penekanan nilai di sekoah, dan guru diharapkan melambangkan diri sebagai agen pendidikan moral di sekolah, maka kepentingan Pendidikan Moral dan Nilai dalam profesion perguruan tidak perlu dipersoalkan.Martabat profesion perguruan biasanya dibayangkan daripada perspektif bagaimana seseorang guru menjalankan tugasnya iaitu membantu peajar-pelajar mereka belajar. Tugas guru ialah menyampaikan pengetahuan kepada pelajarnya, berbentuk isi kandungan yang ditetapkan dalam mata-mata pelajaran tertentu. Tetapi, lebih dari itu, tugas guru ialah mendidik, dan dengan ini bermakna membantu perkembangan individu pelajar mereka, bukan sahaja dari segi penguasaan ilmu tetapi juga perkembangan individu itu sendiri, pembangunan insan pelajar itu mengikut lunas-lunas nilai masyarakat dalam konteks masyarakat Malaysia. Kejayaan pendidikan sukar diukur tetapi boleh dikatakan adalah diharapkan lebih dari semata-mata pelajar mencapai dalam peperiksan awam. Yang penting ialah sama ada guru berjaya memberi: pertama (i) pengetahuan kepada pelajarnya dengan menanamkan nilai “mencari ilmu” di kalangan mereka, menanamkan semangat “pembelajaran sepanjang hayat” dan kedua (ii) membentuk peribadi mulia, manusia berilmu dan berketrampilan serta mempunyai nilai-nilai masyarakat Malaysia, khususnya mencapai matlamat yang dimaktubkan dalam Falsafah Pendidikan Kebangsaan.Martabat profesion perguruan juga dibayangkan dari perspektif bagaimana seorang guru bertindak sebagai seorang agen moral, dan contoh moral kepada murid-murid mereka. Personaliti guru dan nilai-nilai tersendiri yang dipamerkan melalui tingkahlakunya, mempengaruhi peranannya sebagai agen moral dan contoh kepada murid-murid. Dalam pengajarannya, seorang guru mungkin secara tidak langsung menerapkan nilai tersendiri dalam situasi pengajaran dan pembalajaran melalui pemilihan isi kandungan, prosedur dan bahan untuk pengajaran dan pembelajaran. Ini akan membawa kesan yang negatif jika nilai tersendiri tidak selaras dengan nilai-nilai murni masyarakat Malaysia, seperti yang digariskan dalam panduan penerapan nilai murni merentasi kurikulum. Kegagalan guru untuk mempraktikkan nilai-nilai yang seharusnya mereka terapkan kepada pelajar mereka akan merendahkan martabat profesion itu sendiri.Profesion keguruan pada abad ke-21 terdedah kepada berbagai-bagai cabaran baharu. Setengah cabaran adalah berbentuk kebendaan, intelektual, pemikiran, kerohanian, kebudayaan, ideologi baru dan isu-isu yang berkaitan degan masalah etika. Cabaran penting profesion keguruan ialah membina dan membentuk masyarakat beretika yang mampu membangun dan membina kekuatan sendiri serta menentukam masa depan yang bebas daripada berbagai-bagai krisis sosial dan moral.Fenomena sosial seperti merokok, gangguan seksual, pesta seks di kalangan pelajar, lari dari rumah, menagih dadah, bergaduh, gengterisme, mencuri, membuli adalah gejala juvana dan delinkuen yang meluas di kalangan remaja di sekolah.Masalah ini mencerminkan kelemahan sekolah dan profesion keguruan dalam membendung dan menangani masalah sosial di sekolah. Oleh sebab itu, timbul berbagai-bagai penulisan yang mencerminkan kelemahan sekolah yang dikaitkan dengan masalah sosial seperti sekolah melahirkan jenayah, sekolah tanpa roh dan watak. Pengurusan tingkah laku yang tidak berkesan di sekolah menunjukkan kelemahan peranan guru-guru di sekolah. Dengan bertambah ramainya guru perempuan, peranan bapa di sekolah semakin lenyap. Kesan daripada masalah ini ialah meningkatnya masalah disiplin dan sosial di kalangan pelajar. Wawasan pembangunan dan pendidikan di sekolah tidak berkesan kerana asas kerangka tindakan pengurusan tingkah laku yang tidak berkesan.Kualiti pendidikan yang diterima oleh pelajar-pelajar bergantung kepada kualiti pengajaran dan ini bergantung kepada guru-guru mereka. Untuk mendapatkan kualiti pendidikan yang sewajarnya, maka seseorang guru itu mestilah bersikap professional. Professional bukan bermakna mendapat gaji yang lumayan tetapi ia termasuk penetapan standard yang tinggi untuk memasuki kerjaya perguruan, calon guru yang terbaik, persediaan dan pendidikan guru yang berkualiti, pendidikan berterusan semasa bekerja, suasana kerja yang selesa yang cukup dengan peralatan mengajar, peluang untuk berinteraksi dengan rakan sekerja dan boleh membuat keputusanMohd Sani Ibrahim merumuskan bahawa guru yang professional ialah (Rujuk rajah 4):· Guru yang berilmu (content knowledge)o Ilmu yang berkaitan isi kandungan mata pelajaran, pengetahuan pedagogi, bahan, kaedah dan teknologi.· Guru yang mempunyai kemahiran dan ketrampilan dalam proses pengajaran pembelajaran (Pedagogical knowledge and pedagogical content knowledge)o Meliputi merancang, mengurus, memilih starategi dan meransang pengajaran pembelajaran, kemahiran teknologi, kemahiran generik, kemahiran kaunseling dan menilai p-p· Guru yang mempunyai sahsiah yang boleh menjadi contoh teladan dan ikutan kepada golongan yang dipimpin. Antara ciri-ciri sahsiah yang perlu dimiliki ialah peribadi dan tingkah laku yang mulia, menggunakan bahasa yang standard dan mempunyai komitmen yang tinggi untuk menjayakan usaha yang dilakukan.o Meliputi taqwa, akhlak, peribadi mulia, komitmen, sopan, positif dan budaya ilmu.Rajah 4 : Model Guru Yang Profesional6.0 Pembentukan Akhlak Dan Moral: Aplikasi Di Bilik Darjah6.1 Pendekatan langsung melalui pengajaran Pendidikan Islam dan MoralPendekatan langsung membabitkan pengajaran dua mata pelajaran yang khusus di peringkat sekolah rendah dan menengah, yang bertumpu secara langsung terhadap perkembangan moral, etika, akhlak, dan pendidikan nilai, iaitu mata pelajaran Pendidikan Islam bagi pelajar Islam dan Pendidikan Moral bagi pelajar bukan Islam.6.2 Pendekatan tak langsungPendekatan tak langsung membabitkan penggunaan mata pelajaran-mata pelajaran dalam kurikulum sekolah sebagai alat untuk merealisasikan pendidikan nilai dan moral. Sebagai contoh, pengajaran Bahasa Melayu dan Sejarah membekalkan peluang atau sumber yang baik bagi pendidikan nilai dan moral. Para pelajar boleh mengenalpasti dilema moral, penaakulan moral dan membuat keputusan moral dalam novel dan penulisan sejarah. Pendekatan tak langsung adalah sebahagiannya berlandaskan andaian bahawa pemahaman tentang manusia dan kemanusiaan memerlukan perkembangan daya imaginasi dan intuisi yang membolehkan seseorang meningkatkan kepekaan moral dan kepekaan intelektual (Gambell 1988).Penerapan nlai murni telah diwajibkan di dalam semua mata pelajaran. Persoalannya sejauhmanakah guru berjaya mengimplimentasikan penerapan nilai tersebut dan adakah penilaian dibuat tentang proses dan produknya. Satu kaedah yang dapat memupuk beberapa nilai murni ialah pengajaran secara kooperatif. Pembelajaran ini bukan setakat pelajar duduk dalam kumpulan kecil tetapi kumpulan itu ada semangat kekitaan yang mana murid dapat bantu membantu ahli kumpulan belajar dan meningkatkan prestasi sendiri dan kumpulan.6.3 Aktiviti KokurikulumKita maklum bahawa di sekolah masa kini terdapat pelbagai aktiviti kokurikulum seperti unit beruniform, persatuan dan kelab serta sukan permainan. Pada umumnya di sekolah satu hari pada hujung minggu dikhususkan untuk kegiatan ini dan semua pelajar diwajibkan terlibat. Begitu juga untuk guru, mereka perlu hadir sekolah pada hari Sabtu. Bila guru tidak datang maka pelajar pun begitu juga dan akhirnya aktiviti tidak berjalan langsung. Pengetua / guru besar haruslah berhikmah dan memujuk guru-guru agar memenuhi tanggungjawab mendidik anak bangsa melalui kokurikulum. Aktiviti ini perlu dijalankan dengan menarik. Apabila semua pelajar sudah senang hati dan seronok, mereka tidak akan terfikir atau berpeluang untuk keluar ke tempat-tempat awam. Dengan cara ini mereka terhindar dari gejala sosial yang meruntuhkan akhlak.6.4 Pendekatan Pendidikan Rasulullah SAWPendidikan Rasulullah SAW bergantung kepada beberapa faktor. Satu daripadanya ialah objektif pengajaran itu sendiri sama ada untuk menanam keimanan, mengajar ibadah atau akhlak. Di dalam mengajar akhlak yang terpenting ialah akhlak beliau sendiri. Perkataan dan perbuatan beliau adalah contoh untuk diikuti. Beliau mempunyai sifat terpuji iaitu tabah, pemaaf, pemurah, sopan santun, belas kasihan, rendah diri, adil, amanah, pendiam, takut dan taat kepada Allah serta banyak beribadat.Rasulullah SAW mengajar ibadat ialah melalui demontrasi atau tauladan seperti cara beliau sembahyang, berpuasa dan menunaikan haji. Baginda juga membetulkan kesalahan yang dibuat oleh pengikutnya dengan cara yang betul. Begitu jugalah di sekolah, guru-guru hendaklah selalu menggunakan kaedah demontrasi atau tunjukajar selain daripada kaedah soaljawab dan bertukar-tukar fikiran. Akhlak dan kewibawaan Rasulullah telah menyebabkan umatnya sayang dan hormat kepadanya. Sahsiah beginda inilah yang dapat menarik musuh menjadi kawan dan yang bukan Islam memeluk Islam. Guru-guru juga dapat menukar akhlak murid dengan dirinya sendiri dahulu mengamalkan nilai murni yang bakal diterapkan kepada murid. Murid berada di sekolah selama sebelas tahun dan dari 6-8 jam sehari. Ini adalah masa yang lama untuk membentuk sahsiah dan guru adalah model yang sentiasa diperhatikan oleh murid.6.5 Sokongan daripada Pentadbir sekolahUntuk membentuk akhlak para pelajar, pihak pentadbir sekolah khasnya pengetua dan guru besar harus memainkan peranan ini dengan bersungguh-sungguh. Mereka boleh menekankannya dengan memberi ucapan mingguan di samping pengumuman yang lain. Ucapan yang diberi hendaklah yang memberi penekanan kepada moral dan akhlak pelajar. Dengan cara yang demikian pelajar akan merasa mereka diberi perhatian. Selain itu program berbentuk pendidikan akhlak diadakan di sekolah atau di luar sekolah contohnya kem motivasi. Aktiviti perlulah menarik minat remaja seperti sukan, nyanyian dan di samping itu diberi pendidikan moral dan agama.6.6 Kepimpinan “inspirational”Guru sering dilihat sebagai pemimpin yang penting dalam memberikan dorongan dan membina watak serta sahsiah pelajar. Kepimpinan “inspirational” berperanan memberi dan membina semangat, mempunyai kekuatan bagi mengubah dan mendorong kejayaan pelajar, dapat memberi keinsafan dan menanamkan kesedaran diri, memulihkan moral dan keyakinan diri pelajar, memberi inpirasi serta mengilhamkan perubahan yang dinamik serta positif kepada pelajar. Golongan pendidik seharusnya mempunyai inpirasi dan aspirasi yang tinggi untuk memimpin ke arah perubahan. Inpirasi boleh dicetuskan melalui pemikiran dan idea-idea, sentuhan emosi atau perasaan serta stail dan gaya kepimpinan yang berpotensi dan berwibawa mempengaruhi orang lain.6.7 Kepimpinan KerohanianGuru harus mempunyai corak kepimpinan ini kerana ia penting untuk membina sahsiah pelajar. Kepimpinan kerohanian ialah kepimpinan yang menekankan soal-soal moral, agama, ibadah, tingkahlaku yang baik, adab dan hubungan yang bersopan santun. Guru perlu membina sikap toleransi antara kaum dan budaya dalam kepimpinan pendidikan agar dapat membentuk budaya dinamik sekolah terutamanya keadaan sekolah yang mempunyai pelajar dan guru berbilang kaum, agama dan kepercayaan. Peranan kepimpinan kerohanian amat penting dalam pembentukan watak dan sahsiah seterusnya dapat membina kekuatan moral di kalangan pelajar dan guru. Tanpa agama dan moral yang baik, pendidikan akan gagal membentuk warganegara yang mempunyai asas-asas moral yang baik untuk dijadikan panduan dalam kehidupan mereka.6.8 Pembelajaran koperatifPembelajaran koperatif merupakan pembelajaran kumpulan kecil yang diperkenalkan dengan meluas sebagai sesuatu strategi pengajaran yang dapat meningkatkan pembelajaran dan sosialisasi (Cohen 1994). Pembelajaran koperatif adalah satu strategi pengajaran di mana pelajarnya bekerja secara koperatif dalam sesuatu kumpulan kecil yang heterogenus.Menurut Slavin (1995) pembelajaran koperatif membabitkan pelajar bekerja bersama untuk menyelesaikan masalah secara berkongsi. Beliau menyatakan pembelajaran koperatif membantu pelajar untuk mengembangkan perasaan “satu kumpulan” dalam memperkenalkan keperluan saling membantu dan saling menyokong situasi pembelajaran. Pelajar akan bekerja bersama-sama, belajar untuk saling memberi dan menerima, bantu-membantu, berkongsi idea dan mencari cara baru bagi menyelesaikan masalah. Ahli-ahli kumpulan dalam pembelajaran koperatif terdiri daripada pelajar yang mempunyai kebolehan dan sosioekonomi yang berbeza, berbeza etnik, jantina dan pencapaian akademik. Setiap pelajar dalam kumpulan boleh meningkatkan pencapaian, meningkatkan harga diri pelajar, memiliki kemahiran berkolaborasi sesama rakan dan pergaulan sekitarnya.Kaedah pembelajaran ini memerlukan usaha guru melatih murid bekerja dalam kumpulan dengan betul, iaitu bersikap mahu mendengar pendapat orang lain, memberi pengukuhan, menjadi pemimpin / ketua yang demokratik, membantu rakan sekumpulan dan berusaha mendapat kejayaan. Guru harus bersedia memupuk semangat kekitaan terlebih dahulu sebelum mengajar perkara akademik. Kajian Kooperatif di Amerika (Nor Azizah 1992) dan di Malaysia (Jamilah Karim 1992), Ida Fadil (1995) menunjukkan bahawa beberapa nilai murni dapat dipupuk seperi sayangkan sekolah dan rakan-rakan, bekerjasama, berani bersuara dan berinteraksi antara kaum. Kajian Yee Cheng Teik (1995) menunjukkan di dalam kaedah Matematik kaedah ini dapat empertingkatkan kebolehan murid dalam menyelesaikan masalah dan meninggikan pencapaian.7.0 PenutupPengajaran dan pemupukan nilai-nilai murni ke dalam diri pelajar merupakan tugas suci (mission) sekolah sejak zaman berzaman. Namun dewasa ini, baik di negara barat ataupun di negara timur persoalan ini jugalah yang menjadi isu hangat kerana ternyata sekolah begitu berjaya mencungkil dan mengembangkan hamper seluruh potensi yang ada pada diri pelajar yang bersifat kognitif dan psikomotor tetapi kurang mampu untuk turut sama mempertingkatkan nulai-nilai moral dan akhlak. Sejaka zaman dahulu lagi iaitu para filosof Greek, golongan skolastik dan ahli-ahli fikir tradisional tanpa merasa jemu membuat penegasan bahawa fungus utama pendidikan adalah ke arah membangun peribadi diri, khususnya aspek–aspek yang berkaitan dengan perkembangan moral dan akhlak.Di samping kepentingan peribadi, perwatakan dan sahsiah guru yang menjadi role model kepada murid-murid yang memberi sumbangan yang besar dalam menerapkan budaya moral dan akhlak yang baik, peranan Pendidikan Moral dan Agama Islam itu sendiri juga tidak boleh dipertikaikan. Secara teori, kerangka konseptual, matlamat dan organisasi kandungan, kurikulum Pendidikan Moral di Malaysia adalah sesuatu yang ideal, lengkap dan senpurna.Pelaksanaan Pendidikan Moral menuntut sekolah menyempurnakan dua tanggungjawab yang besar dan berat iaitu yang pertama:sekolah terpaksa mengajar nilai-nilai murni kepada peljar yang mana nilai-nilai tersebut tidak di ajar di rumah dan kedua: demi untuk menjamin proses pengajaran dan pembelajaran berlaku dengan berkesan, sekolah mesti berperanan sebagai “caring moral communities” yang boleh membantu kanak-kanak yang terabai dan sugul dari rumah agar mereka dapat dimotivasi dan dipupuk minat mereka kepada pelajaran, dapat mengawal perasaan marah dan kecewa, serta dapat merasai bahawa diri mereka sebenarnya masih disayangi dan berpotensi menjadi insan yang bertanggungjawab.Dalam menjayakan pendidikan moral dan akhlak sepenuhnya, semua pihak mesti melakukan reformasi terhadap diri masing-masing serta memandang ke hadapan dengan fikiran yang terbuka dan positif, mengamalkan cara hidup yang bermoral, berhemah tinggi serta sanggup menjadi ’model’ dalam masyarakat. Guru terutamanya amatlah penting memahami bahawa penghayatan moral, nilai dan akhlak merupakan asas kepada kehidupan manusia dan asas martabat sesuatu profesion khasnya profesion keguruan yang bertanggungjawab untuk memanjangkan tradisi dan budaya masyarakat Malaysia. Di samping itu, penghayatan amalan moral dan akhlak yang baik di harap dapat merealisasikan matlamat pendidikan seperti yang telah termaktub dalam Falsafah Pendidikan Kebangsaan serta mencapai Wawasan 2020.

Senin, 18 April 2011

Bimbingan dan konseling

1. Pengertian bimbingan.
Berdasarkan pasal 27 peraturan pemerintah nomor 29/90,”bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kedalam siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungannya dan merencanakan masa depan”. (depdikbud,1994).
Bimbingan dalam rangka menemukan pribadi dimaksudkan agar peserta didik mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri, serta menerimanya secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan diri lebih lanjut. Bimbingan dalam rangka mengenal lingkungan dimaksudkan agar peserta didik mengenal secara objektif lingkungan, baik lingkungan social maupun lingkungan lingkungan fisik, dan menerima sebagai berbagai kondisi lingkungan itu secara positif dan dinamis pula.
Bimbingan dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan supaya individu tersebut dapat memahami dirinya sendiri, hingga ia sanggup mengarahkan dirinya dan bertindak secara wajar, keluarga, dan masyarakat dan kehidupan pada umumnya. Bimbingan membantu individu mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk social. (rochman natawidjaja, 1987:31)
Dengan membandingkan pengertian tentang bimbingan yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa: bimbingan adalah merupakan proses pemberian bantuan kepada seseorang atau kelompok orang secara terus-menerus dan sistematis oleh guru bimbingan agar individu atau kelompok individu menjadi pribadi yang mandiri. Kemandirian yang menjadi tujuan usaha bimbingan ini mencakup lima fungsi pokok yamg hendaknya dijalankan oleh pribadi mandiri, yaitu:
• Mengenal diri sendiri dan lingkunga sebagaimana adanya,
• Menerima diri sendiri dan lingkungan bagaimana adanya.
• Menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis,
• Mengambil keputusan,
• Mengarahkan dirinya sendiri, dan
• Mewujudkan diri mandiri.

2. Pengertian konseling.
Konseling sebagai terjemahan dari “counseling” merupakan bagian dari bimbingan, baik sebagai layanan maupun sebagai teknik,” layanan konseling adalah jantung hati layanan bimbingan secara keseluruhan (konseling is the heart of guidance)”, (dewa ketut sukardi, 1985:11).
Konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada konseli supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri, untuk dimanfaatkan olehnya dalam memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan dating. Dalam bantuan konsep yang sewajarnya mengenai:
• Dirinya sendiri
• Orang lain
• Pendapat orang lain tentang dirinya
• Tujuan-tujuan yang hendak di capai, dan
• Kepercayaan (moh. Surya, 1988: 38)

Fungsi, Tujuan dan Asas-Asas Bimbingan Konseling.
3. Fungsi dan bimbingan konseling.
Ditinjau dari sifatnya, layanan bimbingan, dan konseling dapat berfungsi:
1.1 pencegahan (preventif)
Layanan bimbingan dapat berfungsi pencegahan artinya merupakan usaha pencegahan terhadap timbulnya masalah. Dalam fingsi pencegahan ini layanan yang diberikan bantuan bagi para siswa agar terhindar dari berbagai masalah yang dapat menghambat perkembangannya. Kegiatan yang berfungsi pencegahan dapat berupa program orientasi, program bimbingan karier, inventarisasi data, dan sebagainya.
1.2 fungsi pemahaman
Fungsi pemahaman yang dimaksudkan yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan pemahaman tentang sesuatu oleh pihak-pihak tertentu sesuai dengan keperluan pengembngan siswa. Pemahaman ini mencakup:
a. pemahaman tentang diri siswa, terutama oleh siswa sendiri, orang tua, guru, dan guru pembimbing.
b. Pemahaman tentang lingkungan siswa (termasuk didalamya lingkungan keluarga dan sekolah), terutama oleh siswa sendiri, orang tua, guru, dan guru pembimbing.
c. Pemahaman tentang lingkungan yang lebih luas termasuk dalam informasi pendidikan, jabatan, pekerjaan, dan atau karier dan informasi budaya nilai-nilai, terutama oleh siswa.
1.3 fungsi perbaikan
walaupun fungsi pencegahan dan pemahaman telah dilakukan, namun mungkin saja siswa masihmenghadapi masalah-masalah tertentu. Di sinilah fungsi perbaikan itu berperan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan terpecahkannya atau teratasinya berbagai permasalahan yang dialami siswa.
1.4 fungsi pemeliharaan dan pengembangan
fungsi ini bereti bahwa layanan bimbingan dan konseling yang diberikan dapat membantu para siswa dalam memelihara dan mengembangkan keseluruhan pribadinya secara mantap, terarah dan berkelanjutan. Dalam fungsi ini hal-hal yang dipandang positif dijaga agar tetap baik dan mantap.
4. Asas-asas bimbingan dan konseling
Dalam menyelenggarakan bimbingan dan konseling di sekolah hendaknya selalu mengacu pada asas-asas bimbingan dan konseling dan diterpkan sesuai dengan asas-asas bimbingan dan konseling. Asas-asas ini dapat diterpkan sebagai berikut:
a. Asas kerahasiaan
b. Asas kesukarelaan.
c. Asas keterbukaan.
d. Asas kekinian
e. Asas kemandirian
f. Asas kegiatan
g. Asas kedinamisan
h. Asas keterpaduan
i. Asas kenormatifan
j. Asas keahlian
k. Asas alih tangan
l. Asas tut wuri handayani
Bidang bimbingan dan konseling.
Secara umum tujuan penyelenggaraan bantuan pelayanan bimbingan dan konseling adalah berupaya membnatu siswa menemukan pribadinya, dalam hal mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya, serta menerima dirinya secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan diri lebih lanjut.
1. Bidang bimbingan pribadi-sosial.
Dalam bidang bimbingan pribadi, membantu siswa menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, mantap dan mandiri serta sehat jasmani dan rohani. Dalam bidang bimbingan social, membantu siswa mengenal dan berhubungan dengan lingkungan social yang dilandasi budi pekerti luhur, tanggung jawab masyarakat dan kenegaraan.bimbingan pribadi social berarti bimbingan dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri mengatasi bergumulan-bergumulan hatinya sendiri dalam mengatur dirinya sendiri dibidang kerohaniaan, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesame di berbagai lingkungan (pergaulan social). (W.S. Winkel, 1991:127)
2. Bidang bimbingan belajar.
` Bimbingan belajar atau akademik ialah bimbingan dalam hal menemukan cara belajar yang tepat, dalam memilih program studi yang sesuai dan dalam mengatasi kesukaran-kesukaran yang timbul berkaitan dengan tuntutan belajar disuatu institusi pendidikan.
3. Bidang bimbingan dan karir.
Dalam bidang bimbingan karier, membantu siswa merencanakan dan mengembangkan masa depan karier.
Pedoman bimbingan dan penyuluhan belajar.
1. Pentingnya bimbingan dan penyuluhan pada segi pelajaran.
Tujuan bimbingan dan penyuluhan dalam pelajaran ialah untuk memberikan bantuan kepada anak didik agar supaya dapat menemukan caranya sendiri untuk belajar dengan metode yang lebih mudah dan efisien.
Disamping itu juga supaya anak didik mengenal diri, yaitu mengetahui kekurangan-kekurangan atau kelebihan-kelebihannya dalam mempelajari tiap-tiap mata pelajaran. Sehingga ia mampu dengan berangsur-angsur menyesuaikan diri dengan jenis studi apa yang yang setepatnya bagi dirinya itu pada waktu yang akan datang.
Mengingat bahwa pengajaran adalah alat dari pendidikan, maka tujuan bimbingan dan penyuluhan dari segi pelajaran tidak boleh terlepas dari tujuannya secara umum, yaitu untuk membantu anak didik dalam bentuk wataknya sebagai jalan pembentukan kepribadian yang berpancasila. Mengingat hal-hal tersebut diatas ternglah bahwa bimbingan dan umumnya dan bimbingan dan penyuluhan dalam pelajaran khususnya mempunyai arti yang sangat penting.
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
Bimbingan adalah merupakan suatu proses yang oleh karenanya memerlukan kesabaran dan pengabdian diri dari pihak pembimbing.bimbingan hendaknya bergerak secara operasionil terutama dalam bdang prefentif (pencegahan), oleh karena itu bimbingan harus aktif, kreatif, konstruktif dan kontinyu. Karena bimbingan bertugas membnatu anak didik agar dapat mengatasi kesukarannya dalam belajar sehingga dapat lebih mudah, lebih efektif dan efisien. Maka hendaknya meneliti factor-faktor luar apa yang mungkin pada hakikatnya sudah merupakan factor kesukaran umum.
Konsep bimbingan dan konseling.
Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah,
bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-
undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut
upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebutkons eli, agar mampu
mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya
(menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).
Konseling sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak
selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-
nilai yang dianut.
Perkembangan konseling tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup warga masyarakat.
Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan,
maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya
stagnasi perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan
perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan
kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk
yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat,
revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan
struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang
mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang
administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang
bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif
dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan
menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang
memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.
upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan
masalah-masalah konseling. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar
kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan
dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar
dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseling, dan pihak-pihak terkait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.
Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah
diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi
as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi
konseli sebagai makhluk yang berdimensibiopsikososiospiritua l (biologis, psikis, sosial,
dan spiritual).

Daftar Rujukan
Drs. DEWA KETUT SUKARDI pengantar pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah.jakarta:penerbit rineka cipta, 2000
Drs. DEWA KETUT SUKARDI bimbingan dan penyuluhan belajar di sekolah Jakarta:ghalia Indonesia, 1987
Asosiasi bimbingan dan konseling Indonesia.standart kompetensi konselor Indonesia bandung:ABKIN