A. Pengertian Ibadah
Kalimat ibadah berasal daripada kalimat `abdun’. Ibadah dari segi bahasa bererti patuh, taat, setia, tunduk, menyembah dan memperhambakan diri kepada sesuatu. Dari segi istilah agama Islam pula ialah tindakan, menurut, mengikut dan mengikat diri dengan sepenuhnya kepada segala perkara yang disyariatkan oleh Allah dan diserukan oleh para Rasul-Nya, sama ada ia berbentuk suruhan atau larangan. Ibnu Taimiah pula memberi takrif Ibadah, yiaitu nama bagi sesuatu yang disukai dan kasihi oleh Allah swt.
Pengertian Ibadah Menurut Al-Qur’an Islam sebagai agama mengandung sistem kepercayaan dan peribadatan. Islam tidak saja memiliki pokok-pokok kepercayaan tetapi juga memiliki sistem ibadah. Al-Qur’an sebagai sumber dan dasar utama Islam mengandung ajaran tentang berbagai hal yang terkait dengan peribadatan yang tujuan pokoknya adalah kemulyaan dan kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan melakukan hubungan dengan Allah dan manusia.
Ibadah adalah ketundukan hamba yang tak terhingga kepada Allah dengan cara melakukan tindakan apapun disertai mengharap ridlo Allah, ibadah adalah tugas pokok manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. "Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi (ibadah) kepada-Ku."(QS. Adz-Dzariyat: 56).
Diantara redaksi Al-Qur’an juga terdapat rangkaian ibadah kepada Allah diiringi larangan menyekutukan kepada-Nya (QS. Ali-Imran: 64; QS. An-Nur: 55; QS. An-Nisa’: 38 dan lain-lain) dan diiringi oleh perintah untuk sabar, teguh dalam menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah semata (QS. Maryam: 65), diiringi syukur kepada Allah (QS. Al-Ankabut: 17), dan terkadang diiringi perintah tawakal kepada-Nya (QS. Hud: 123), dan ada pula yang disertai perintah bertaqwa kepada-Nya (QS. Al-Ankabut: 16), diiringi perintah bersujud kepada-Nya (QS. Al-Hajj: 77; QS. An-Najm: 62), dan diiringi larangan menyembah dan perintah menjauhi thaghut (QS. An-Nahl: 36). Secara umum, perintah untuk beribadah kepada Allah adalah bermuara pada sikap ikhlas (QS. Az-Zumar: 2), karena hanya amal yang ikhlas saja yang diterima di sisi-Nya. Perhatikan ayat berikut:
"Sesungguhnya kami menurunkan al-Qur'an kepadamu dengan sebenarnya, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya." (QS.az-Zumar: 2)
Sesetengah ulama mengatakan bahawa perhambaan (ibadah) kepada Allah hendaklah disertai dengan perasaan cinta serta takut kepada Allah swt. dan hati yang sihat dan sejahtera tidak merasa sesuatu yang lebih manis, lebih lazat, lebih seronok dari kemanisan iman yang lahir dari pengabdian (ibadah) kepada Allah swt. Dengan ini maka akan bertautlah hatinya kepada Allah dalam keadaan gemar dan reda terhadap setiap perintah serta mengharapkan supaya Allah menerima amalan yang dikerjakan dan merasa bimbang serta takut kalau-kalau amalan tidak sempurna dan tidak diterima oleh Allah seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya yang bermaksud:
“(Ia itu) Orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat”. (Qaf: 33).
Orang yang memperhambakan dirinya (beribadah) kepada Allah mereka akan sentiasa patuh dan tunduk kepada kehendak dan arahan Tuhannya, sama ada dalam perkara yang ia suka atau yang ia tidak suka dan mereka mencintai dan mengasihi Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain-lainnya. Mereka mengasihi makhluk yang lain hanyalah kerana Allah semata-mata, tidak kerana yang lain Kasihkan kepada Rasulullah saw. pula kerana ia membawa Risalah Islam, cintakan kepada Rasulullah saw. hendaklah mengikuti sunahnya sebagaimana firman Allah swt. maksudnya:
“Katakanlah (wahai Muhammad) sekiranya kamu kasihkan Allah maka ikutilah aku (pengajaranku) nescaya Allah akan mengasihi kamu dan mengampunkan dosa- dosa kamu”. (Al-Imran: 31)
Dan andainya kecintaan kamu kepada selain Allah dan Rasul-Nya itu mengatasi dan melebihi dari kencintaan dan kasih kepada yang lain; Allah akan turunkan keseksaan-Nya kepada manusia yang telah meyimpang dari ketentuan-Nya. Firman Allah swt. maksudnya:
“Katakanlah (Muhammad) jika ibu bapa kamu, anak-anak kamu, saudara mara kamu, suami isteri kamu, kaum keluarga kamu, harta benda yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu bimbangkan kerugiannya, dan rumahtangga yang kamu sukai itu lebih kamu kasihi daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad untuk agama Allah, maka tunggulah (kesiksaan yang akan didatangkan) oleh Allah. Dan Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang fasik”. (At-Taubah: 24).
Keikhlasan Dalam Beribadah
Dalam konteks ikhlas beribadah didasarkan pada kesadaran diri untuk melakukannya tanpa mengharapkan imbalan apapun, hanya karena Allah semata. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus” (QS.Al-Bayyinah: 5).
Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusairy An-Naisabury di dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab paling shahih diantara kitab-kitab hadits).
1. Cinta
Seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah, Rabi'ah Al- Adawiyah (w. 165H) ketika berziarah ke makam Rasul Saw. pernah mengatakan: "Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada Allah Swt". Tentang cinta itu sendiri Rabiah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabiah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai Rasulullah Saw. sudah dihitung dalam mencintai Allah Swt. Seorang mukmin pecinta Allah pastilah mencintai apa apa yang di cintai-Nya pula. Rasulullah pernah berdoa: "Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu. Jadikanlah dzat-Mu lebih aku cintai dari pada air yang dingin."
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat lalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya. (QS. Al Baqarah: 165).
2. Harapan
Pengharapan kepada Allah sungguh indah dan tidak mengecewakan. Pengharapan kepada manusia hanya sia sia dan bersifat sementara tetapi di dalam Tuhan, kita menemukan pertolongan.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al Baqarah: 218).
Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’: Dari kecintaan kepada selain Alloh menuju kecintaan kepada-Nya, dari peribadahan kepada selain-Nya menuju peribadahan kepada-Nya, dari takut kepada selain Alloh menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Alloh menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Alloh menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Alloh menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Alloh menuju tunduk kepada-Nya. Inilah makna Alloh, “Maka segeralah kembali pada Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illalloh.
3. Takut
Takut kepada Allah adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak terlalu diperhatikan oleh sebagian orang-orang mukmin, padahal itu menjadi dasar beribadah dengan benar. Seseorang yang takut kepada Allah mempunyai kekhawatiran atau ketakutan sekiranya lisannya mengucapkan perkataan yang mendatangkan murka Allah. Sehingga dia menjaganya dari perkataan dusta, ghibah (bergosip) dan perkataan yang berlebih-lebihan dan tidak bermanfaat. Bahkan selalu berusaha agar lisannya senantiasa basah dan sibuk dengan berdzikir kepada Allah, dengan bacaan Al Qur’an, dan mudzakarah ilmu.
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka. (QS. Al Mukminun: 57-59).
Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah 'Azza wajalla berfirman, "Anak Adam mendustakan Aku padahal tidak seharusnya dia berbuat demikian. Dia mencaci Aku padahal tidak seharusnya demikian. Adapun mendustakan Aku adalah dengan ucapannya bahwa "Allah tidak akan menghidupkan aku kembali sebagaimana menciptakan aku pada permulaan". Ketahuilah bahwa tiada ciptaan (makhluk) pertama lebih mudah bagiku daripada mengulangi ciptaan. Adapun caci-makinya terhadap Aku ialah dengan berkata, "Allah mempunyai anak". Padahal Aku Maha Esa yang bergantung kepada-Ku segala sesuatu. Aku tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun setara dengan Aku." (HR. Bukhari).
Laksanakan segala apa yang diwajibkan Allah, niscaya kamu menjadi orang yang paling bertakwa. (HR. Ath-Thabrani).
Diantara masalah aqidah yang banyak diabaikan dan tidak diperhatikan oleh banyak orang adalah masalah takut kepada Allah, Hal ini dikarenakan jauhnya mereka dari tuntunan agama dan sedikitnya pengetahuan yang mereka miliki. Sehingga tidak heran jika didapati mereka dengan begitu mudahnya melakukan dosa dan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya baik siang maupun malam. Takut kepada Allah Ta'ala merupakan keharusan bagi setiap hamba, karena ia merupakan syarat keimanan, tanpanya keimanan seseorang tidak berarti apa-apa, bahkan hati yang kosong ari rasa takut kepada Allah dapat dipastikan kosong pula dari keimanan kepadanya. Allah Ta'ala berfirman,"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karena-Nya)." (QS al-Anfal : 2)
Disamping itu, takut kepada Allah mempunyai keutamaan yang sangat banyak sekali, diantaranya, didapatnya naungan Allah dihari akhir, sebagai sebab terlindunginya diri dari segala keburukan, sebab diraihnya kejayaan, didapatnya rasa aman kelak dihari akhir, dan lain sebagainya. Rasa takut kepada Allah dapat ditumbuhkan dengan cara melatihnya, faktor yang dapat menumbuhkan rasa takut antara lain dengan mengingat kematian, siksa kubur, peristiwa-peristiwa mengerikan di hari Akhir, dahsyatnya siksa api Neraka.
Generasi salaf merupakan teladan dan contoh yang baik bagi kita dalam masalah ini, berbagai kisah menakjubkan tentang rasa takut mereka kepada Allah akan anda jumpai didalam buku ini, dan dengan membacanya kita akan dapat bercermin dan mengukur sampai sejauh mana rasa takut kita kepada Allah.
“Puncak kebijaksanaan ialah takut kepada Allah. Sebaik-baik yang tertanam dalam hati adalah keyakinan. Keragu-raguan (dalam beriman) termasuk kekufuran. Kepemudaan termasuk kelompok kegilaan (radikal). Orang bahagia adalah yang dapat mengambil pelajaran dari (peristiwa) orang lain, dan orang yang sengsara ialah yang sengsara sejak dalam kandungan ibunya. Tiap perkara yang akan datang adalah dekat. (HR. Al-Baihaqi)”
Pahala Duniawi dan Ukhrowi
Pembalasan pahala dari Allah kepada para hamba-Nya, tidak harus diperoleh kelak di negeri akhirat. Akan tetapi Allah Ta’ala secara tunai dapat membalasnya langsung di dunia ini juga, terutama untuk para hamba Allah yang saleh dan sangat dekat dengan Allah (para Waliyullah) dengan anugerah dan keagungan Allah mengizinkan memperoleh pembalasan pahala sebagai rahmat dunia.
Pada dasarnya amal ibadah hanya diniatkan untuk meraih kenikmatan akhirat. Namun terkadang diperbolehkan beramal dengan niat untuk tujuan dunia disamping berniat untuk tujuan akhirat, dengan syarat apabila syariát menyebutkan adanya pahala dunia bagi amalan tersebut. Amal yang tidak tercampur niat untuk mendapatkan dunia memiliki pahala yang lebih sempurna dibandingkan dengan amal yang disertai niat duniawi. Semua ini adalah karena dekatnya seorang hamba dengan Tuhannya. Ia mendapat kehormatan untuk menerima rahmat dan anugerah Allah di dunia ini juga dan kelak akan memperolehnya berlipat ganda di akhirat.
Bagi seorang hamba Allah yang saleh, ia merasa bersyukur dan berbahagia apabila di dunia ini ia dapat menerima anugerah Allah, sebelum ia memasuki negeri akhirat. Pemberian Allah itu dimaksudkan agar seorang hamba selalu meningkat taqarrub-nya kepada Allah serta memanfaatkan semua rahmat Allah untuk melaksanakan muamalah bagi sesama hamba¬-Nya. Allah Ta’ala tidak memberi pahala seorang hamba di dunia ini juga apabila si hamba bukan termasuk manusia yang sangat dekat dengan Allah. Taqarrub dan ketaatan si hamba telah memberinya rahmat yang besar dari Allah Swt. Syekh Ahmad Ataillah mengingatkan:
“Cukup Allah yang memberi pahala karena ketaatanmu, karena Ia telah rida kepadamu sebagai ahli ibadah. “
Inilah karunia besar dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang ahli ibadah. Hamba yang mendahulukan Allah Ta’ala dari kepentingan duniawinya. Selain itu, ketaatan kepada Allah dengan tulus dan tekun itu sendiri sudah menjadi suatu kenikmatan bagi si hamba, dan kenikmatan itulah pahala dan rahmat yang besar bagi si hamba yang saleh.
Seorang hamba Allah yang saleh dan taqarrub kepada-Nya sudah menerima rahmat dari-Nya. Sebab, kalau tidak karena rahmat dan hidayah-Nya, tidak seorang pun yang dapat mengerjakan amal ibadah dengan tekun dan hati tulus ikhlas. Mereka mendapatkan kebahagiaan dalam ketaatan mereka sendiri. Syekh Ahmad Ataillah menjelaskan:
“Kiranya cukuplah sebagai pembalasan, dari apa yang Al¬lah Ta’ala bukakan ke dalam hati nurani mereka kegemaran melaksanakan 1badah, dan memberikan mereka kenikmat¬an dari amal ibadahnya itu. “
Inilah suatu pemberian dari Allah sebagai pahala yang sangat mulia, agar dapat dinikmati dalam hatinya pembalasan Allah tersebut, suatu perasaan halus yang bernilai. Itulah keridaan Allah yang besar, karena begitu taqarrubnya si hamba dan ketaatannya. Pemberian rahmat Allah sebenar¬nya adalah surga. Tidak ada yang melebihi surga itu, hanyalah nikmat seorang yang beribadah sajalah yang akan melebihi surga tersebut.
Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. Al Imran: 148).
Orang yang merasakan nikmat dan lezatnya beribadah adalah orang yang beribadah semata-mata tidak hanya mencari kenikmatan surga. Ia memperbagus ibadahnya dan merasakan pula kenikmatan ibadah di dunia ini juga sebelum ia merasakan kenikmatan surga di akhirat. Memperbagus ibadahnya itu termasuk kesempatan yang diberikan Allah kepada hamba-hamnba Nya. Seperti di waktu munajah tengah malam pada shalat lail akan memberi kekhususan nikmat bagi hamba yang melakukannya. Ia akan memperoleh hawalah dari munajah itu. Dalam munajah malam, orang akan mendapatkan sesuatu kelezatan yang jarang ia temui. Kenikmatan itu akan memberi bimbingan baginya terus mendekati Allah Jalla Jalaluh.
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Al Imran: 145).
Tujuan Beribadah
Tujuan utama ibadah ialah "Taqwa".
Firman Allah :
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah: 21).
Seorang yang bertaqwa, akan selalu mengikuti sifat-sifat Nya. Ia akan terhindar dari gangguan kehidupan, goncangan jiwa dan apa saja yang bertalian dengan benda. Itu artinya bahwa ia beribadah kepada Allah. Manusia diberi sarana oleh-Nya. Diberi bumi untuk tinggal dan beribadah kepada-Nya. Allah memberi kewajiban-kewajiban. Karenanya Allah meminta hak agar manusia beribadah kepada-Nya, dengan tujuan, agar manusia dapat terhindar diri dari siksa neraka akherat.
Ekspresi Kepatuhan
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS. An Nisa: 65).”
Implementasi dari kepatuhan kepada Allah ini bukan saja berlaku bagi bumi, bulan, matahari, bintang-bintang, planet-planet dan benda-benda ruang angkasa lain tetapi juga untuk seluruh ciptaan Allah di jagad raya ini termasuk: gunung-gunung, pohon-pohon sampai binatang melata sekalipun melakukan kepatuhannya kepada Allah SWT sehingga tercipta harmoni keteraturan kehidupan.
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki (QS Al Hajj: 18).”
Ketaatan pada Allah adalah suatu yang sangat sakral karena pentingnya sebuah ketaatan meningkatkan iman kita kepada ketakwaan banyak dalil yang menerangkan tentang kepatuhan ketaatan dan ketakwaan dalam sebuah syiir di jelaskan bahwa patuh dan takwa adalah salahsatu dari sekian banyaknya simbul keimanan yang meningkatkan drajat setiap pelaku kepada derajad yang mulya di sisi Allah. Dan Allah telah menjelaskan dalam firmanya yang artinya (dan tidak aku ciptakan jin dan manusi kecuali untuk beribadah/menyembahku)
“Tidak ada ketaatan kepada orang yang tidak taat kepada Allah. (Abu Ya'la)”
Dan dalam ayat lain juga di jelaskan yg artinya:
“dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (QS Al Hajj:34)
(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka.(QS Al Hajj:35)
Ekspresi Pengagungan
Kalau semua manusia sadar bahwa hanya Allah yang memiliki sifat Agung dan diagungkan, maka selesailah sudah permasalahan yang mengenai konteks ini, bisa dilihat dan dirasakan bukti penciptaan-Nya baik dibumi dan dilangit, sehingga hanya Allah yang Pantas diAgungkan. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan “(permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Qs Al Baqarah:185)”
Ekspresi Bersyukur
Dalam berbagai konteks telah dipaparkan tentang bersyukur, namun bersyukur yang sebenarnya adalah hanya kepada Allah, ketika manusia mensyukuri ni’mat yang telah Allah berikan kepadanya, dan menjadikan rasa syukur sebagai refleksi dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu perlu adanya kesadaran diri untuk meresapi akan makna bersyukur tersebut dengan hati tulus. “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Qs Al Baqarah:185)”
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Qs Ali imran:123)”
Kenapa kita diperintahkan untuk bersyukur kepada Allah, karena secara tidak langsung Allah mengajari kita bagaimana tata cara melakukan sesuat dan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, misalnya penjelasan ayat dibawah ini.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.(Qs Al Maa-iddah:6)”
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur kepada-Nya. (Qs Al Maa-iddah:6)”
Ekspresi Ketaqwaan
Kewajiban manusia sebagai hamba adalah menyembah Allah Yang Maha Esa, karena pada dasarnya Allah menciptakan manusia dan jin hanya untuk menyembah kepada-Nya, namun banyak dari manusia dan jin yang berpaling dari kewajibannya yaitu menyembah kepada Allah.
“Barangsiapa mengucapkan "Laa ilaaha illallah" dengan ikhlas, masuk surga. Para sahabat bertanya, "Apa keikhlasannya, ya Rasulullah?" Nabi Saw menjawab, "Memagarinya (melindunginya) dari segala apa yang diharamkan Allah." (HR. Ath-Thabrani)”
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.(Qs Al Baqarrah:21)”
Dan masih banyak lagi kandungan Al-Quran yang menjelaskan tentang kewajiban manusia menyembah kepada Allah sebagai refleksi dirinya pada konteks ketaqwaan.
“Tiap orang yang bertaqwa termasuk keluarga Muhammad (umat Muhammad). (HR. Ath-Thabrani dan Al Baihaqi)”
Fungsi Ibadah
Adapun salah satu fungsi ibadah adalah agar manusia tidak lupa dengan Penciptanya, karena kesibukan manusia dengan urusan duniawi, terkadang ia lupa akan Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang ada disekelilingnya, oleh karena itu mengapa manusia hendaknya selalu beribadah kepada Allah agar senantiasa ingat kepada Allah.
Mengingat Allah
Sebagi seorang muslim hendaknya senantiasa selalu mengingat Allah sebagai refleksi diri atas Penciptaan-Nya, dan ditegaskan dalam Al-Quran, hendaknya seorang hamba itu senantiasa Mengingat Allah (Sang Khaliq) dalam berbagai situasi dan kondisi. Banyak
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.(Qs Thaahaa:14)”
“Allah Azza Wajalla berfirman (hadits Qudsi): "Hai anak Adam, luangkan waktu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku menghindarkan kamu dari kemelaratan. Kalau tidak, Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan kerja dan Aku tidak menghindarkan kamu dari kemelaratan." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)”
Media Penyucian
Banyak sekali tujuan ibadah, diantaranya adalah penyucian, sedangkan penyucian sendiri bukan hanya suci dari hadats besar atau hadats kecil dan sebaginya, namun mensucikan jiwa, dan segala sesuatu yang melekat dalam jiwa tersebut, serta ruang lingkup jiwa itu sendiri. Tujuannya adalah agar lebih dekat kepada Allah (sang pencipta).
Jiwa
Mengapa beribadah sebagai penyucian jiwa, karena dengan komitmen yang kuat dalam proses ibadah, manusia selalu berhati-hati dalam segala tindakan dan perbuatan, dalam bergaul dan berumah tangga, disamping itu mereka tidak pernah keluar dari garis prosedur yang telah ditentukan oleh syari’at.
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.( Qs Al Baqarah:222)”
Harta Benda
Dewasa ini kita sering lalai karena harta, karena dengan berkelimang harta, manusia merasa kecukupan karena hadirnya harta tersebut, padahal sebenarnya harta inilah yang menjajah diri manusia, dan ketika hartanya telah bertumpuk-tumpuk, mereka lupa akan segalanya, lupa kepada yang member harta tersebut. Sebenarnya harta yang mereka cari selama ini belum tentu bersih, adakalanya melalui berbagai cara yang merugikan orang lain, oleh karena itu direkomendasikan kepada orang muslim (khusunya) untuk membersihkan hartanya yaitu dengan cara zakat fitrah atau zakat mal dan lain-lain.
“Dari Ibnu Abbas r. bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus Mu'adz ke negeri Yaman --ia meneruskan hadits itu-- dan didalamnya (beliau bersabda): "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan mereka zakat dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.”
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui (QS. At Taubah: 103).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar