Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan.
Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Solusi Fundamental
Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru di mana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya; (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung; dan, (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif.
Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.
Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orangtua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.
Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media massa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Solusi Pada Tataran Paradigmatik
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum, dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.
Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Solusi Pada Tataran Strategi Fungsional
Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus, dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Dalam pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama. Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi.
Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik; (2) guru/dosen yang profesional, amanah, dan kafa’ah; (3) proses belajar mengajar secara Islami; dan, (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam. Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas — seperti tampak pada Bagan Skematis Fakta dan Solusi Problematika Pendidikan di Sekolah, yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumber daya guru/dosen.
Klik Kanan
Jumat, 12 Agustus 2011
Filosofi Pembiayaan Pendidikan
Berangkat dari filosofis “Jer Basuki Mawa Beya” bahwa segala kegiatan yang dilakukan sekolah perlu dana. Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan perlu uang, oleh karenanya pendidikan terkesan mahal. Hal ini disebabkan pengelolaan pendidikan di sekolah dalam segala aktivitasnya perlu sarana dan prasarana untuk proses pengajaran, layanan dan pelaksanaan program supervisi, penggajian dan kesejahteraan para guru dan staf lainnya, kesemuanya itu memerlukan anggaran dan keuangan. Sehubungan dengan itu kepala sekolah dalam mengelola sekolah perlu memahami manajemen biaya pendidikan.
Hal paling krusial yang dihadapi pendidikan kita adalah masalah pembiayaan/keuangan, karena seluruh komponen pendidikan di sekolah erat kaitannya dengan komponen pembiayaan sekolah. Meskipun masalah pembiayaan tersebut tidak sepenuhnya berpengaruh langsung terhadap kualitas pendidikan, namun pembiayaan berkaitan dengan sarana-prasarana dan sumber belajar. Berapa banyak sekolah-sekolah yang tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar secara optimal, hanya masalah keuangan, baik untuk menggaji guru maupun untuk mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun tuntutan reformasi adalah pendidikan yang murah dan berkualitas, namun pendidikan yang berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup banyak.
Biaya merupakan elemen yang sangat penting walaupun bukan satu-satunya komponen yang paling penting. Bagaimanapun bagusnya rancangan kurikulum, matangnya perencanaan pendidikan, akan tetapi ketika sampai pada tahap operasional dan terbentur adanya keterbatasan biaya maka perencanaan yang bagus tersebut kurang memiliki makna yang berarti, bahkan mungkin program pendidikan yang direncanakan sulit terealisasikan.
Secara umum pembiayaan pendidikan adalah sebuah kompleksitas, yang didalamnya akan terdapat saling keterkaitan pada setiap komponennya, yang memiliki rentang yang bersifat mikro (satuan pendidikan) hingga yang makro (nasional), yang meliputi sumber-sumber pembiayaan pendidikan, sistem dan mekanisme pengalokasiannya, efektivitas dan efisiensi dalam penggunaanya, akuntabilitas hasilnya yang diukur dari perubahan-perubahan yang terjadi pada semua tataran, khususnya sekolah, dan permasalahan-permasalahan yang masih terkait dengan pembiayaan pendidikan, sehingga diperlukan studi khusus untuk lebih spesifik mengenal pembiayaan pendidikan ini.
Hal paling krusial yang dihadapi pendidikan kita adalah masalah pembiayaan/keuangan, karena seluruh komponen pendidikan di sekolah erat kaitannya dengan komponen pembiayaan sekolah. Meskipun masalah pembiayaan tersebut tidak sepenuhnya berpengaruh langsung terhadap kualitas pendidikan, namun pembiayaan berkaitan dengan sarana-prasarana dan sumber belajar. Berapa banyak sekolah-sekolah yang tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar secara optimal, hanya masalah keuangan, baik untuk menggaji guru maupun untuk mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun tuntutan reformasi adalah pendidikan yang murah dan berkualitas, namun pendidikan yang berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup banyak.
Biaya merupakan elemen yang sangat penting walaupun bukan satu-satunya komponen yang paling penting. Bagaimanapun bagusnya rancangan kurikulum, matangnya perencanaan pendidikan, akan tetapi ketika sampai pada tahap operasional dan terbentur adanya keterbatasan biaya maka perencanaan yang bagus tersebut kurang memiliki makna yang berarti, bahkan mungkin program pendidikan yang direncanakan sulit terealisasikan.
Secara umum pembiayaan pendidikan adalah sebuah kompleksitas, yang didalamnya akan terdapat saling keterkaitan pada setiap komponennya, yang memiliki rentang yang bersifat mikro (satuan pendidikan) hingga yang makro (nasional), yang meliputi sumber-sumber pembiayaan pendidikan, sistem dan mekanisme pengalokasiannya, efektivitas dan efisiensi dalam penggunaanya, akuntabilitas hasilnya yang diukur dari perubahan-perubahan yang terjadi pada semua tataran, khususnya sekolah, dan permasalahan-permasalahan yang masih terkait dengan pembiayaan pendidikan, sehingga diperlukan studi khusus untuk lebih spesifik mengenal pembiayaan pendidikan ini.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Sejak Pemerintah Indonesia terlibat menjadi anggota pada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 1994 dan menandatangani perjanjian General Agreement on Trade in Services (GATS) pada 2004, pendidikan nasional menjadi salah satu bagian sektor jasa. Pendidikan merupakan komoditas (barang yang bebas diperjualbelikan) yang tata perdagangannya diatur lembaga internasional, bukan oleh otoritas suatu negara.
Dalam konteks liberalisasi pendidikan (baca: pasar), peran negara dalam sektor pendidikan diminimalisasi agar tidak menghambat proses liberalisasi, termasuk meminimalisasi subsidi pemerintah untuk pendidikan di perguruan tinggi BHMN. Maka, upaya konkret yang dilakukan pemerintah untuk meminimalisasi perannya, termasuk meminimalisasi subsidi di bidang pendidikan khususnya di perguruan tinggi, adalah menciptakan otonomi pendidikan.
Kian hari, biaya masuk perguruan tinggi BHMN yang mahal akan semakin menciptakan diskriminasi dan kesenjangan sosial dalam mengakses pendidikan di perguruan tinggi BHMN akan semakin membesar di kalangan masyarakat. Hal itu tentu berdampak negatif bagi perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Ancamannya, masyarakat semakin tidak percaya dan tidak peduli terhadap kehidupan sosial dan bernegara.
Upaya saat ini yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh untuk menekan biaya masuk kuliah di perguruan tinggi BHMN yang mahal dengan cara menyusun kebijakan baru sistem penganggaran, termasuk di dalamnya membahas tentang mekanisme terkait dengan pembiayaan di perguruan tinggi BHMN, merupakan langkah yang patut diapresiasi dan didukung.
Kebijakan baru tentang sistem penganggaran yang memuat mekanisme pembiayaan di perguruan tinggi BHMN adalah upaya menekan biaya masuk kuliah yang mahal dan menghilangkan diskriminasi di masyarakat dalam mengakses pendidikan. Penerapan kebijakan pemerintah (Mendiknas) mengenai sistem penganggaran yang akan dilaksanakan pada 2012 diharapkan memiliki keberpihakan terhadap masyarakat marginal (miskin), sehingga akan semakin banyak masyarakat marginal yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi BHMN. Maka, kebijakan baru mengenai sistem penganggaran yang akan diterapkan pada 2012 harus berlandaskan pada nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Dalam konteks liberalisasi pendidikan (baca: pasar), peran negara dalam sektor pendidikan diminimalisasi agar tidak menghambat proses liberalisasi, termasuk meminimalisasi subsidi pemerintah untuk pendidikan di perguruan tinggi BHMN. Maka, upaya konkret yang dilakukan pemerintah untuk meminimalisasi perannya, termasuk meminimalisasi subsidi di bidang pendidikan khususnya di perguruan tinggi, adalah menciptakan otonomi pendidikan.
Kian hari, biaya masuk perguruan tinggi BHMN yang mahal akan semakin menciptakan diskriminasi dan kesenjangan sosial dalam mengakses pendidikan di perguruan tinggi BHMN akan semakin membesar di kalangan masyarakat. Hal itu tentu berdampak negatif bagi perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Ancamannya, masyarakat semakin tidak percaya dan tidak peduli terhadap kehidupan sosial dan bernegara.
Upaya saat ini yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh untuk menekan biaya masuk kuliah di perguruan tinggi BHMN yang mahal dengan cara menyusun kebijakan baru sistem penganggaran, termasuk di dalamnya membahas tentang mekanisme terkait dengan pembiayaan di perguruan tinggi BHMN, merupakan langkah yang patut diapresiasi dan didukung.
Kebijakan baru tentang sistem penganggaran yang memuat mekanisme pembiayaan di perguruan tinggi BHMN adalah upaya menekan biaya masuk kuliah yang mahal dan menghilangkan diskriminasi di masyarakat dalam mengakses pendidikan. Penerapan kebijakan pemerintah (Mendiknas) mengenai sistem penganggaran yang akan dilaksanakan pada 2012 diharapkan memiliki keberpihakan terhadap masyarakat marginal (miskin), sehingga akan semakin banyak masyarakat marginal yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi BHMN. Maka, kebijakan baru mengenai sistem penganggaran yang akan diterapkan pada 2012 harus berlandaskan pada nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)