Menurut PIAGET Perkembangan KOGNITIF ANAK dikelompokkan dalam 4 tahapan:
1. Sensori Motor (usia 0-2 tahun)
Dalam tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam diri anak.
Keinginan terbesarnya adalah keinginan untuk menyentuh/memegang, karena didorong oleh keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya.
Dalam usia ini mereka belum mengerti akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah 'menangis'.
Menyampaikan cerita/berita Injil pada anak usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan menggunakan gambar sebagai alat peraga, melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak (panggung boneka akan sangat membantu).
2. Pra-operasional (usia 2-7 tahun)
Pada usia ini anak menjadi 'egosentris', sehingga berkesan 'pelit', karena ia tidak bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Anak tersebut juga memiliki kecenderungan untuk meniru orang di sekelilingnya. Meskipun pada saat berusia 6-7 tahun mereka sudah mulai mengerti motivasi, namun mereka tidak mengerti cara berpikir yang sistematis - rumit.
Dalam menyampaikan cerita harus ada alat peraga.
3. Operasional Kongkrit (usia 7-11 tahun)Saat ini anak mulai meninggalkan 'egosentris'-nya dan dapat bermain dalam kelompok dengan aturan kelompok (bekerja sama). Anak sudah dapat dimotivasi dan mengerti hal-hal yang sistematis.
Namun dalam menyampaikan berita Injil harus diperhatikan penggunaan bahasa.
Misalnya: Analogi 'hidup kekal' - diangkat menjadi anak-anak Tuhan dengan konsep keluarga yang mampu mereka pahami.
4. Operasional Formal (usia 11 tahun ke atas)Pengajaran pada anak pra-remaja ini menjadi sedikit lebih mudah, karena mereka sudah mengerti konsep dan dapat berpikir, baik secara konkrit maupun abstrak, sehingga tidak perlu menggunakan alat peraga.
Ada kesulitan baru yang dihadapi guru saat memfasilitasi peserta didik, sehingga guru harus menyediakan waktu lebih banyak agar dapat memahami terjadinya perubahan dalam proses perkembangan yang sedang dihadapi peserta didik, terutama ketika memasuki usia pubertas.
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi.
Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja.
Mengapa para pelajar itu begitu sering tawuran, seakan-akan mereka sudah tidak memiliki akal sehat, dan tidak bisa berpikir mana yang berguna dan mana yang tidak ? Mengapa pula para remaja banyak yang terlibat narkoba dan seks bebas ? Apa yang salah dari semua ini?
Remaja adalah mereka yang berusia antara 12 - 21 tahun, yang akan mengalami periode perkembangan fisik dan psikis sebagai berikut :
Masa Pra-pubertas (12 - 13 tahun)
Masa pubertas (14 - 16 tahun)
Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
Dan periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Masa pra-pubertas (12 - 13 tahun)
Masa ini disebut juga masa pueral, yaitu masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja. Pada anak perempuan, masa ini lebih singkat dibandingkan dengan anak laki-laki. Pada masa ini, terjadi perubahan yang besar pada remaja, yaitu meningkatnya hormon seksualitas dan mulai berkembangnya organ- organ seksual serta organ-organ reproduksi remaja.
Pada fase Remaja, terjadi perkembangan intelektual yang sangat pesat, sehingga seringkali remaja-remaja ini cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu segalanya), yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun pembantahan terhadap orang tua, mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya baik, serta menjadikannya sebagai "hero" atau pujaannya. Perilaku ini akan diikuti dengan meniru segala yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut, gaya bicara, sampai dengan kebiasaan hidup pujaan tersebut.Ekspresi ini menunjukkan pula terjadinya proses erosi percaya diri, namun bisa pula terjadi perkembangan positif seperti meningkatnya rasa percaya diri.
Selain itu, pada masa ini remaja juga cenderung lebih berani mengutarakan keinginan hatinya, lebih berani mengemukakan pendapatnya, bahkan akan mempertahankan pendapatnya sekuat mungkin. Hal ini yang sering ditanggapi oleh orang tua sebagai pembangkangan. Remaja tidak ingin diperlakukan sebagai anak kecil lagi. Mereka lebih senang bergaul dengan kelompok yang dianggapnya sesuai dengan kesenangannya. Mereka juga semakin berani menentang tradisi orang tua yang dianggapnya kuno dan tidak/kurang berguna, maupun peraturan-peraturan yang menurut mereka tidak beralasan, seperti tidak boleh mampir ke tempat lain selepas sekolah, dan sebagainya. Mereka akan semakin kehilangan minat untuk bergabung dalam kelompok sosial yang formal, dan cenderung bergabung dengan teman-teman pilihannya. Misalnya, mereka akan memilih main ke tempat teman karibnya daripada bersama keluarga berkunjung ke rumah saudara.
Tapi, pada saat yang sama, mereka juga butuh pertolongan dan bantuan yang selalu siap sedia dari orang tuanya, jika mereka tidak mampu menjelmakan keinginannya. Pada saat ini adalah saat yang kritis. Jika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan psikisnya untuk mengatasi konflik yang terjadi saat itu, remaja akan mencarinya dari orang lain. Orang tua harus ingat, bahwa masalah yang dihadapi remaja, meskipun bagi orang tua itu merupakan masalah sepele, tetapi bagi remaja itu adalah masalah yang sangat-sangat berat.
Masa pubertas (14 - 16 tahun)
Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi. Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini. Pada remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pris ditandai dengan datangnya mimpi basah yang pertama. Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orang tua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik, perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan remaja pada tahap ini.
Di samping itu, remaja mulai mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya tarik seksual. Karena kebingungan mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh perkembangan seksualitasnya, remaja sukar diselami perasaannya. Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri.
Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
Pada masa ini, remaja yang mampu melewati masa sebelumnya dengan baik, akan dapat menerima kodratnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Mereka juga bangga karena tubuh mereka dianggap menentukan harga diri mereka. Masa ini berlangsung sangat singkat. Pada remaja putri, masa ini berlangsung lebih singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan remaja putri lebih cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan fisik dan seksualitas mereka sudah tercapai sepenuhnya. Namun kematangan psikologis belum tercapai sepenuhnya.
Periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Pada periode ini umumnya remaja sudah mencapai kematangan yang sempurna, baik segi fisik, emosi, maupun psikisnya. Mereka akan mempelajari berbagai macam hal yang abstrak dan mulai memperjuangkan suatu idealisme yang didapat dari pikiran mereka. Mereka mulai menyadari bahwa mengkritik itu lebih mudah daripada menjalaninya. Sikapnya terhadap kehidupan mulai terlihat jelas, seperti cita-citanya, minatnya, bakatnya, dan sebagainya. Arah kehidupannya serta sifat-sifat yang menonjol akan terlihat jelas pada fase ini.
Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya.
Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya.
Para pembimbing Remaja dan Guru, diharapkan memahami masalah perkembangan remaja secara utuh, sehingga mampu memberikan bantuan yang sekaligus berperan sebagai solusi bagi masalah yang sedang dihadapinya.
Klik Kanan
Jumat, 25 Maret 2011
Kamis, 10 Maret 2011
PEMIKIRAN AUGUSTO COMTE
1. Pendahuluan
Selintas apabila melihat manusia yang satu ini pastinya semua akan berpikir, apakah manusia ini gila ataukah cerdas ? Begitupun saya pada awalnya yang mencoba mempelajari sosiologi dan pemikirannya manusia yang satu ini, Auguste Comte. Seorang yang brilian, tetapi kesepian dan tragis hidupnya.
Auguste Comte yang lahir di Montpellier, Perancis pada 19 Januari 1798, adalah anak seorang bangsawan yang berasal dari keluarga berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada katoliknya dan hal tersebut merupakan pengaruh suasana pergolakan social, intelektual dan politik pada masanya.
Comte sebagai mahasiswa di Ecole Politechnique tidak menghabiskan masa studinya setelah tahu mahasiswa yang memberikan dukungannya kepada Napoleon dipecat, Comte sendiri merupakan salah satu mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Hal tersebut menunjukan bahwa Comte memiliki prinsip dalam menjalani kehidupannya yang pada akhirnya Comte menjadi seorang profesional dan meninggalkan dunia akademisnya memberikan les ataupun bimbingan singkat pada lembaga pendidikan kecil maupun yang bentuknya privat.
Hal-hal yang sebenarnya menarik perhatiannyapun dasarnya bukanlah yang berbau matematika tetapi masalah-masalah social dan kemanusiaan. Dan, pada saat minatnya mulai berkembang tawaran kerjasama dari Saint Simon yang ingin menjadikan Comte sekretaris Simon sekaligus pembimbing karya awal Comte, Comte tidak menolaknya.
Tiada gading yang tak retak, istilah yang menyempal dalam hubungan yang beliau-beliau jalin. Akhirnya ada perpecahan juga antara kedua intelektual ini perihal karya awal Comte karena arogansi intelektual dari keduanya.
Sejak saat itulah Comte mulai menjalani kehidupan intelektualnya sendiri, menjadi seorang profesional lagi dan Comte dalam hal yang satu ini menurut pandangan Coser menjadi seorang intelektual yang termarjinalkan dikalangan intelektual Perancis pada zamannya.
2. Perkembangan Masyarakat
Kehidupan terus bergulir Comte mulai melalui kehidupannya dengan menjadi dosen penguji, pembimbing dan mengajar mahasiswa secara privat. Walaupun begitu, penghasilannya tetap tidak mecukupi kebutuhannya dan mengenai karya awal yang dikerjakannya mandek. Mengalami fluktuasi dalam penyelesainnya dikarenakan intensitas Comte dalam pengerjaannya berkurang drastis.
Comte dalam kegelisahannya yang baru mencapai titik rawan makin merasa tertekan dan hal tersebut menjadikan psikologisnya terganggu, dengan sifat dasarnya adalah , seorang pemberontak akibatnya Comte mengalami gejala paranoid yang hebat. Keadaan itu menambah mengembangnya sikap pemberang yang telah ada, tidak jarang pula perdebatan yang dimulai Comte mengenai apapun diakhiri dengan perkelahian.
Kegilaan atau kerajingan yang diderita Comte membuat Comte menjadi nekat dan sempat menceburkan dirinya ke sungai. Datanglah penyelamat kehidupan Comte yang bernama Caroline Massin, seorang pekerja seks yang sempat dinikahi oleh Comte ditahun 1825. Caroline dengan tanpa pamrih merawat Comte seperti bayi, bukan hanya terbebani secara material saja tetapi juga beban emosional dalam merawat Comte karena tidak ada perubahan perlakuan dari Comte untuk Caroline dan hal tersebut mengakibatkan Caroline memutuskan pergi meninggalkan Comte. Comte kembali dalam kegilaannya lagi dan sengsara.
Comte menganggap pernikahannya dengan Caroline merupakan kesalahan terbesar, berlanjutnya kehidupan Comte yang mulai memiliki kestabilan emosi ditahun 1830 tulisannya mengenai “Filsafat Positiv” (Cours de Philosophie Positiv) terbit sebagai jilid pertama, terbitan jilid yang lainnya bertebaran hingga tahun 1842.
Mulailah dapat disaksikan sekarang bintang keberuntungan Comte sebagai salah satu manusia yang tercatat dalam narasi besar prosa kehidupan yang penuh misteri, pemikiran brilian Comte mulai terajut menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya filsafat yang tumbuh lebih dulu. Comte dengan kesadaran penuh bahwa akal budi manusia terbatas, mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan ilmiah. Tiga hal ini dapat menjadi ciri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu: 1. Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan 3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.
Keyakinan dalam pengembangan yang dinamakannya positivisme semakin besar volumenya, positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metoda ilmu pengetahuan. Disini Comte berusaha pengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran yang pada penjalasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).
Comte bukan hanya melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi layaknya filsuf lainnya, Comte selalu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai mengeluarkan agitasinya tentang ilmu pengetahuan positiv pada saat berdiskusi dengan kaum intelektual lainnya sekaligus
Uji coba argumentasi atas mazhab yang sedang dikumandangkannya dengan gencar. Positivisme. Comte sendiri menciptakan kaidah ilmu pengetahuan baru ini bersandarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh Condorcet, De Bonald, Rousseau dan Plato, Comte memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu timbul. Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna, tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem klasifikasinya.
Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positiv itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.
Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai “hukum tiga tahap” atau dikenal juga dengan “hukum tiga stadia”. Hukum tiga tahap ini menceritakan perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte.
Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan yang menetap ditiap sawah. Beralih pada pemikiran selanjutnya, yaitu tahap metafisika atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. “Ini hari sialku, memang sudah takdir !”, “penyakit AIDS adalah penyakit kutukan!”, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari metafisika yang masih ditemukan setiap hari. Tahap positiv, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya, adalah bilamana kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap.
Comte jelaslah dapat terlihat progresivitasnya dalam memperjuangkan optimisme dari pergolakan realitas sosial pada masanya, dengan ilmu sosial yang sistematis dan analitis. Comte dikelanjutan sistematisasi dari observasi dan analisanya, Comte menjadikan ilmu pengetahuan yang dikajinya ini terklasifikasi atas dua bagian, yaitu: sosial statik dan sosial dinamik.
Sosial statik dan sosial dinamik hanya untuk memudahkan analitik saja terbagi dua, walaupun begitu keduanya bagian yang integral karena Comte jelas sekali dengan hukum tiga tahapnya memperlihatkan ilmu pengetahuan yang holistik. Statika sosial menerangkan perihal nilai-nilai yang melandasi masyarakat dalam perubahannya, selalu membutuhkan sosial order karenanya dibutuhkan nilai yang disepakati bersama dan berdiri atas keinginan bersama, dapat dinamakan hukum atau kemauan yang berlaku umum. Sedangkan sosial dinamik, ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat atau gerak sejarah masyarakat kepada arah kemajuannya.
Pemandangan Comte rasanya dapat terlihat dalam penjabarannya mengenai ilmu pengetahuannya, yang mengidamkan adanya tata yang jelas mengedepankan keteraturan sosial dan kemajuan perkembangan serta pemikiran masyarakat ke arah positif. Sebagai seorang ilmuwan Comte mengharapkan sesuatu yang ideal tetapi, dalam hal ini Comte berbenturan dengan realitas sosial yang menginginkan perubahan sosial secara cepat, revolusi sosial.
Comte terpaksa memberikan stigma negatif terhadap konflik, letupan-letupan yang mengembang melalui konflik dalam masyarakat karena akan menyebabkan tidak tumbuhnya keteraturan sosial yang nantinya mempersulit perkembangan masyarakat. Ketertiban harus diutamakan apabila masyarakat menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme sosial, anarkisme intelektual. Keteraturan sosial tiap fase perkembangan sosial (sejarah manusia) harus sesuai perkembangan pemikiran manusia dan pada tiap proses fase-fasenya (perkembangan) bersifat mutlak dan universal, merupakan inti ajaran Comte.
Comte memainkan peran ganda pada pementasan teater dalam hidupnya, pertama-tama Comte yang menggebu dalam menyelematkan umat manusia dari “kebodohan”, menginginkan adanya radikalisasi perkembangan pemikiran dengan wacana positivisme dan progresiv dalam tata masyarakat. Kedua, Comte menolak keras bentuk anarkisme sosial yang merusak moral dan intelektual.
Comte adalah seorang yang radikal tetapi, bukanlah seorang yang revolusioner, Comte seorang yang progresiv namun bukan seorang yang militansinya tinggi (walaupun, sempat mengalami kegilaan/paranoid). Comte berjalan di tengah-tengah, mencari jalan alternatif melalui ilmu pengetahuan yang dikembangkannya guna menyiasati kemungkinan besar yang akan terjadi.
3. Pluralitas Ekstrim
Follow up atas radikalisasi Comte, antara progresivitas untuk menciptakan perubahan sosial dengan penjagaan atas keteraturan sosial menjadi bahan kontemplasi dan observasinya. Comte sangat berjuang keras dengan idealismenya (positivisme) agar tercapai dan dapat mengatasi keguncangan akibat kecemburuannya, harapan dan kenyataan yang mungkin tidak akan sama nantinya yang akan terjadi pada manusia.
Pada saat tertentu Comte ulas balik kembali untuk mencari sumbangan sosial para intelektual sebelum Comte, dan terdapati oleh Comte tentang konsensus intelektual. Konsensus intelektual selalu menjadi dasar bagi tumbuhnya solidaritas dalam masyarakat. Dan nilai tersebut, diadopsi dari khasnah masyarakat teologis oleh Comte. Comte melihat agama memiliki ikatan emosional yang tinggi bersandarkan sistem kepercayaan yang satu dan itu mendorong kebersamaan umat manusia menjalankan ritual keagamaan dengan penuh disiplin, menuju hal yang bernuansa transendental dengan mengutamakan solidaritas sosial dan konsensus.
Menurut Comte hal ini tepat bila akan digunakan sebagai satu formulasi untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi, perubahan secara cepat atau revolusi sosial. Namun Comte, tidaklah dapat mengandalkan agama yang konvensional apabila ingin mengadakan sinkronisasi dan konsisten dalam pengembangan ilmu pengetahuannya, positivisme.
Rutinitas Comte yang sangat ajek ternyata tidak mengaburkan Comte dari sense of romance-nya, Comte bertemu seorang perempuan yang bernama Clotilde de Vaux di tahun 1844. Walaupun, Comte sangat mencintainya hingga akhir hayat Clotilde tidak pernah menerima cinta Comte karena sudah memiliki suami, walau suaminya jauh dari Clotilde. Comte hanya sempat menjalankan hubungan yang platonis, 1845 Comte menyampaikan hasratnya dan hal tersebut tahun yang fantantis bagi Comte. Clotilde de Vaux meninggal pada tahun 1846 karena penyakit yang menyebabkan tipis harapan sembuhnya dan Clotilde masih terpisah dengan suaminya.
Pada saat itulah mungkin Comte mulai memikirkan perihal keluarga, keluarga dianggap kesatuan organis yang dapat menyusun pemikiran-pemikiran sedari awal bagi manusia-manusia baru (pasangan suami-istri). Internalisasi nilai-nilai baru, tentunya yang positif. Comte yang percaya bahwa perubahan tidaklah akan begitu tiba-tiba datangnya dalam masyarakat. Comtepun percaya akan humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan kesatuan lingkungan social yang terkecil, yaitu keluarga. Keluarga-keluarga merupakan satuan masyarakat yang asasi bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan pada lingkungan social, eskalasi keakraban yang meninggi akan menyatukan dan mempererat keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.
Hal tersebut membentuk pengalaman yang didominasi oleh altruisma, terarah atas ketaatan, kerjasama dan keinginan untuk mempertahankan yang telah dicapai dalam perspektif keluarga bentuk mikrokosmik. Dalam diri manusia memiliki kecendrungan terhadap dua hal, yaitu egoisme dan altruisma (sifat peribadi yang didasarkan pada kepentingan bersama). Kecenderungan pertama terus melemah secara bertahap, sedang yang kedua makin bertambah kuat. Sehingga manusia makin memiliki sosialitas yang beradab, akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman adanya pertautan kekeluargaan yang mengembang. Tidak dapat dikatakan tidak ini juga karena adanya sosialisasi keluarga terhadap keluarga lainnya.
Rupa-rupanya Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber keteraturan social, dimana nilai-nilai cultural pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan selalu mendapat tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling menguntungkan, menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan.
Seiring dengan kontemplasi dan observasi Comte dalam mencari jalan tengah serta persentuhannya dengan romantisme platonis, perang terus menerus dan individualitas mengembang bagai jamur di musim hujan pada zaman post-revolusi Perancis semakin menentukan arah pemikiran Comte yang empirik itu.
Pendobrakan besar-besaran dilakukan Comte terhadap realitas sosial yang terus mencoba menghegemoni umat manusia pada zamannya melalui institusi gereja, hal yang kudus dan ketabuan yang dibuat oleh manusia (khususnya, pastur/pendeta/pemuka agama) mendapatkan kritik keras karena menjajakan doktrin, dogma dan melakukan pembodohan yang berakibat, yang kaya tetap kaya lalu yang miskin akan tetap miskin.
Dalam pada itu Comte yang telah meyakini ilmu pengetahuan yang ditebarkannya mencoba mensinkronisasikan altruisma unsur kebudayaan teologis, dimana konsensus sosial dan disiplin merupakan landasannya atas aktivitas sehari-hari umat manusia. Begitupun kesatuan organis terkecil di masyarakat, amat mempengaruhi Comte sebagai institusi yang dapat meradiasi pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam pembentukan sosial orde pada masyarakat luas. Comte mulai merilis suatu pola dan bentuk penyebaran dari satu sosial orde yang sangat mempengaruhi umat manusia, Comte menciptakan agama baru yang sesuai dengan idealismenya.
Idealisasinya berbentuk agama yang dapat dikatakan sekuler dan lengkap bersama ritus, hari rayanya, pemuka agama serta lambangnya, dilengkapi oleh Comte. Agama gaya baru ini dinamakan agama humanitas, dimaksudkan untuk memberikan cinta yang lebih terhadap manusia-manusia yang menghasilkan karya dalam sejarah perkembangan manusia. Menurut Comte mencintai kemanusian, inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan dan keintegrasian baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Kemanusianlah yang kudus dan sakral, bukanlah Allah karena banyak penjelasan dalam agama konvensional yang bersifat abstrak dan spekulatif, hanya memberi impian. Institusi agamapun hanya menjadi alat propaganda kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu.
Comte menciptakan agama tersebut, terlihat seakan mengalami romantisisme terhadap pengalamannya yang lalu bersama Clotilde de Vaux dan menghasilkan hubungan yang berbuih saja dan realitas sosial yang juga turut membentuknya. Dari sini pada saat Comte, membentuk ceremonial keagamaannya dengan mengadakan penyembahan terhadap diri perempuan, Comte dikatakan oleh para intelektual lainnya kehilangan konsistensi terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkannya karena pemikirannya sudah terbungkus dengan perasaan. Comte dikatakan tidak ilmiah.
Namun permasalahan pemujaan Comte, terhadap perempuan diadopsi dari rentang sejarah ceritra bunda Maria, bukan karena adanya penolakan perasaan cintanya dari Clotilde de Vaux. Dalam hal ini Comte dapat juga dikatakan mengadakan sublimasi terhadap obsesinya, yaitu kebebasan berpikirnya atas idealismenya agar dapat menyiasati secara strategis. Menciptakan masyarakat positivis di masa depan, dalam kontekstual hubungan seks antara pria dan perempuan tidak perlu ada lagi dan “kelahiran manusia-manusia baru akan keluar dengan sendirinya dari kaum perempuan”. Di era sekarang hal tersebut merupakan pemandangan umum, perkembangan reproduksi melalui tekhnologi kedokteran telah berhasil mengaktualisasikan ide tersebut.
Comte bersama ahli-ahli bidang lainnya yang sepakat dengan pemikirannya menjadi perangkat institusi keagamaan yang dibuatnya dan mulai mensosialisasikan kepada kalangan elit-elit politik, Comte mengarang buku kembali dan diberikan judul Positivist Catechism dan Appeal to Conservatives.
Comte dengan konsistensinya mensosialisasikan agama humanitas-nya dan hukum tiga tahap yang memaparkan perkembangan kebudayaan manusia hingga akhir hayatnya, Comte meninggal di Paris pada tanggal 5 September 1857.
4. Kesimpulan
Auguste Comte adalah, manusia yang berjalan di tengah-tengah antara ideologi yang berkembang ( progressiv vs konservatif ), berada pada ruang abu-abu ( keilmiahan ilmu pengetahuan ). Comte memberikan sumbangsih cukup besar untuk manusia walaupun, ilmu pengetahuan yang dibangun merupakan ide generatif dan ide produktifnya. Comte turut mengembangkan kebudayaan dan menuliskan : “Sebagai anak kita menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika dan sebagai manusia dewasa kita menjadi ahli ilmu alam”.
Selintas apabila melihat manusia yang satu ini pastinya semua akan berpikir, apakah manusia ini gila ataukah cerdas ? Begitupun saya pada awalnya yang mencoba mempelajari sosiologi dan pemikirannya manusia yang satu ini, Auguste Comte. Seorang yang brilian, tetapi kesepian dan tragis hidupnya.
Auguste Comte yang lahir di Montpellier, Perancis pada 19 Januari 1798, adalah anak seorang bangsawan yang berasal dari keluarga berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada katoliknya dan hal tersebut merupakan pengaruh suasana pergolakan social, intelektual dan politik pada masanya.
Comte sebagai mahasiswa di Ecole Politechnique tidak menghabiskan masa studinya setelah tahu mahasiswa yang memberikan dukungannya kepada Napoleon dipecat, Comte sendiri merupakan salah satu mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Hal tersebut menunjukan bahwa Comte memiliki prinsip dalam menjalani kehidupannya yang pada akhirnya Comte menjadi seorang profesional dan meninggalkan dunia akademisnya memberikan les ataupun bimbingan singkat pada lembaga pendidikan kecil maupun yang bentuknya privat.
Hal-hal yang sebenarnya menarik perhatiannyapun dasarnya bukanlah yang berbau matematika tetapi masalah-masalah social dan kemanusiaan. Dan, pada saat minatnya mulai berkembang tawaran kerjasama dari Saint Simon yang ingin menjadikan Comte sekretaris Simon sekaligus pembimbing karya awal Comte, Comte tidak menolaknya.
Tiada gading yang tak retak, istilah yang menyempal dalam hubungan yang beliau-beliau jalin. Akhirnya ada perpecahan juga antara kedua intelektual ini perihal karya awal Comte karena arogansi intelektual dari keduanya.
Sejak saat itulah Comte mulai menjalani kehidupan intelektualnya sendiri, menjadi seorang profesional lagi dan Comte dalam hal yang satu ini menurut pandangan Coser menjadi seorang intelektual yang termarjinalkan dikalangan intelektual Perancis pada zamannya.
2. Perkembangan Masyarakat
Kehidupan terus bergulir Comte mulai melalui kehidupannya dengan menjadi dosen penguji, pembimbing dan mengajar mahasiswa secara privat. Walaupun begitu, penghasilannya tetap tidak mecukupi kebutuhannya dan mengenai karya awal yang dikerjakannya mandek. Mengalami fluktuasi dalam penyelesainnya dikarenakan intensitas Comte dalam pengerjaannya berkurang drastis.
Comte dalam kegelisahannya yang baru mencapai titik rawan makin merasa tertekan dan hal tersebut menjadikan psikologisnya terganggu, dengan sifat dasarnya adalah , seorang pemberontak akibatnya Comte mengalami gejala paranoid yang hebat. Keadaan itu menambah mengembangnya sikap pemberang yang telah ada, tidak jarang pula perdebatan yang dimulai Comte mengenai apapun diakhiri dengan perkelahian.
Kegilaan atau kerajingan yang diderita Comte membuat Comte menjadi nekat dan sempat menceburkan dirinya ke sungai. Datanglah penyelamat kehidupan Comte yang bernama Caroline Massin, seorang pekerja seks yang sempat dinikahi oleh Comte ditahun 1825. Caroline dengan tanpa pamrih merawat Comte seperti bayi, bukan hanya terbebani secara material saja tetapi juga beban emosional dalam merawat Comte karena tidak ada perubahan perlakuan dari Comte untuk Caroline dan hal tersebut mengakibatkan Caroline memutuskan pergi meninggalkan Comte. Comte kembali dalam kegilaannya lagi dan sengsara.
Comte menganggap pernikahannya dengan Caroline merupakan kesalahan terbesar, berlanjutnya kehidupan Comte yang mulai memiliki kestabilan emosi ditahun 1830 tulisannya mengenai “Filsafat Positiv” (Cours de Philosophie Positiv) terbit sebagai jilid pertama, terbitan jilid yang lainnya bertebaran hingga tahun 1842.
Mulailah dapat disaksikan sekarang bintang keberuntungan Comte sebagai salah satu manusia yang tercatat dalam narasi besar prosa kehidupan yang penuh misteri, pemikiran brilian Comte mulai terajut menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya filsafat yang tumbuh lebih dulu. Comte dengan kesadaran penuh bahwa akal budi manusia terbatas, mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan ilmiah. Tiga hal ini dapat menjadi ciri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu: 1. Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan 3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.
Keyakinan dalam pengembangan yang dinamakannya positivisme semakin besar volumenya, positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metoda ilmu pengetahuan. Disini Comte berusaha pengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran yang pada penjalasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).
Comte bukan hanya melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi layaknya filsuf lainnya, Comte selalu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai mengeluarkan agitasinya tentang ilmu pengetahuan positiv pada saat berdiskusi dengan kaum intelektual lainnya sekaligus
Uji coba argumentasi atas mazhab yang sedang dikumandangkannya dengan gencar. Positivisme. Comte sendiri menciptakan kaidah ilmu pengetahuan baru ini bersandarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh Condorcet, De Bonald, Rousseau dan Plato, Comte memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu timbul. Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna, tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem klasifikasinya.
Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positiv itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.
Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai “hukum tiga tahap” atau dikenal juga dengan “hukum tiga stadia”. Hukum tiga tahap ini menceritakan perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte.
Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan yang menetap ditiap sawah. Beralih pada pemikiran selanjutnya, yaitu tahap metafisika atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. “Ini hari sialku, memang sudah takdir !”, “penyakit AIDS adalah penyakit kutukan!”, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari metafisika yang masih ditemukan setiap hari. Tahap positiv, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya, adalah bilamana kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap.
Comte jelaslah dapat terlihat progresivitasnya dalam memperjuangkan optimisme dari pergolakan realitas sosial pada masanya, dengan ilmu sosial yang sistematis dan analitis. Comte dikelanjutan sistematisasi dari observasi dan analisanya, Comte menjadikan ilmu pengetahuan yang dikajinya ini terklasifikasi atas dua bagian, yaitu: sosial statik dan sosial dinamik.
Sosial statik dan sosial dinamik hanya untuk memudahkan analitik saja terbagi dua, walaupun begitu keduanya bagian yang integral karena Comte jelas sekali dengan hukum tiga tahapnya memperlihatkan ilmu pengetahuan yang holistik. Statika sosial menerangkan perihal nilai-nilai yang melandasi masyarakat dalam perubahannya, selalu membutuhkan sosial order karenanya dibutuhkan nilai yang disepakati bersama dan berdiri atas keinginan bersama, dapat dinamakan hukum atau kemauan yang berlaku umum. Sedangkan sosial dinamik, ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat atau gerak sejarah masyarakat kepada arah kemajuannya.
Pemandangan Comte rasanya dapat terlihat dalam penjabarannya mengenai ilmu pengetahuannya, yang mengidamkan adanya tata yang jelas mengedepankan keteraturan sosial dan kemajuan perkembangan serta pemikiran masyarakat ke arah positif. Sebagai seorang ilmuwan Comte mengharapkan sesuatu yang ideal tetapi, dalam hal ini Comte berbenturan dengan realitas sosial yang menginginkan perubahan sosial secara cepat, revolusi sosial.
Comte terpaksa memberikan stigma negatif terhadap konflik, letupan-letupan yang mengembang melalui konflik dalam masyarakat karena akan menyebabkan tidak tumbuhnya keteraturan sosial yang nantinya mempersulit perkembangan masyarakat. Ketertiban harus diutamakan apabila masyarakat menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme sosial, anarkisme intelektual. Keteraturan sosial tiap fase perkembangan sosial (sejarah manusia) harus sesuai perkembangan pemikiran manusia dan pada tiap proses fase-fasenya (perkembangan) bersifat mutlak dan universal, merupakan inti ajaran Comte.
Comte memainkan peran ganda pada pementasan teater dalam hidupnya, pertama-tama Comte yang menggebu dalam menyelematkan umat manusia dari “kebodohan”, menginginkan adanya radikalisasi perkembangan pemikiran dengan wacana positivisme dan progresiv dalam tata masyarakat. Kedua, Comte menolak keras bentuk anarkisme sosial yang merusak moral dan intelektual.
Comte adalah seorang yang radikal tetapi, bukanlah seorang yang revolusioner, Comte seorang yang progresiv namun bukan seorang yang militansinya tinggi (walaupun, sempat mengalami kegilaan/paranoid). Comte berjalan di tengah-tengah, mencari jalan alternatif melalui ilmu pengetahuan yang dikembangkannya guna menyiasati kemungkinan besar yang akan terjadi.
3. Pluralitas Ekstrim
Follow up atas radikalisasi Comte, antara progresivitas untuk menciptakan perubahan sosial dengan penjagaan atas keteraturan sosial menjadi bahan kontemplasi dan observasinya. Comte sangat berjuang keras dengan idealismenya (positivisme) agar tercapai dan dapat mengatasi keguncangan akibat kecemburuannya, harapan dan kenyataan yang mungkin tidak akan sama nantinya yang akan terjadi pada manusia.
Pada saat tertentu Comte ulas balik kembali untuk mencari sumbangan sosial para intelektual sebelum Comte, dan terdapati oleh Comte tentang konsensus intelektual. Konsensus intelektual selalu menjadi dasar bagi tumbuhnya solidaritas dalam masyarakat. Dan nilai tersebut, diadopsi dari khasnah masyarakat teologis oleh Comte. Comte melihat agama memiliki ikatan emosional yang tinggi bersandarkan sistem kepercayaan yang satu dan itu mendorong kebersamaan umat manusia menjalankan ritual keagamaan dengan penuh disiplin, menuju hal yang bernuansa transendental dengan mengutamakan solidaritas sosial dan konsensus.
Menurut Comte hal ini tepat bila akan digunakan sebagai satu formulasi untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi, perubahan secara cepat atau revolusi sosial. Namun Comte, tidaklah dapat mengandalkan agama yang konvensional apabila ingin mengadakan sinkronisasi dan konsisten dalam pengembangan ilmu pengetahuannya, positivisme.
Rutinitas Comte yang sangat ajek ternyata tidak mengaburkan Comte dari sense of romance-nya, Comte bertemu seorang perempuan yang bernama Clotilde de Vaux di tahun 1844. Walaupun, Comte sangat mencintainya hingga akhir hayat Clotilde tidak pernah menerima cinta Comte karena sudah memiliki suami, walau suaminya jauh dari Clotilde. Comte hanya sempat menjalankan hubungan yang platonis, 1845 Comte menyampaikan hasratnya dan hal tersebut tahun yang fantantis bagi Comte. Clotilde de Vaux meninggal pada tahun 1846 karena penyakit yang menyebabkan tipis harapan sembuhnya dan Clotilde masih terpisah dengan suaminya.
Pada saat itulah mungkin Comte mulai memikirkan perihal keluarga, keluarga dianggap kesatuan organis yang dapat menyusun pemikiran-pemikiran sedari awal bagi manusia-manusia baru (pasangan suami-istri). Internalisasi nilai-nilai baru, tentunya yang positif. Comte yang percaya bahwa perubahan tidaklah akan begitu tiba-tiba datangnya dalam masyarakat. Comtepun percaya akan humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan kesatuan lingkungan social yang terkecil, yaitu keluarga. Keluarga-keluarga merupakan satuan masyarakat yang asasi bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan pada lingkungan social, eskalasi keakraban yang meninggi akan menyatukan dan mempererat keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.
Hal tersebut membentuk pengalaman yang didominasi oleh altruisma, terarah atas ketaatan, kerjasama dan keinginan untuk mempertahankan yang telah dicapai dalam perspektif keluarga bentuk mikrokosmik. Dalam diri manusia memiliki kecendrungan terhadap dua hal, yaitu egoisme dan altruisma (sifat peribadi yang didasarkan pada kepentingan bersama). Kecenderungan pertama terus melemah secara bertahap, sedang yang kedua makin bertambah kuat. Sehingga manusia makin memiliki sosialitas yang beradab, akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman adanya pertautan kekeluargaan yang mengembang. Tidak dapat dikatakan tidak ini juga karena adanya sosialisasi keluarga terhadap keluarga lainnya.
Rupa-rupanya Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber keteraturan social, dimana nilai-nilai cultural pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan selalu mendapat tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling menguntungkan, menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan.
Seiring dengan kontemplasi dan observasi Comte dalam mencari jalan tengah serta persentuhannya dengan romantisme platonis, perang terus menerus dan individualitas mengembang bagai jamur di musim hujan pada zaman post-revolusi Perancis semakin menentukan arah pemikiran Comte yang empirik itu.
Pendobrakan besar-besaran dilakukan Comte terhadap realitas sosial yang terus mencoba menghegemoni umat manusia pada zamannya melalui institusi gereja, hal yang kudus dan ketabuan yang dibuat oleh manusia (khususnya, pastur/pendeta/pemuka agama) mendapatkan kritik keras karena menjajakan doktrin, dogma dan melakukan pembodohan yang berakibat, yang kaya tetap kaya lalu yang miskin akan tetap miskin.
Dalam pada itu Comte yang telah meyakini ilmu pengetahuan yang ditebarkannya mencoba mensinkronisasikan altruisma unsur kebudayaan teologis, dimana konsensus sosial dan disiplin merupakan landasannya atas aktivitas sehari-hari umat manusia. Begitupun kesatuan organis terkecil di masyarakat, amat mempengaruhi Comte sebagai institusi yang dapat meradiasi pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam pembentukan sosial orde pada masyarakat luas. Comte mulai merilis suatu pola dan bentuk penyebaran dari satu sosial orde yang sangat mempengaruhi umat manusia, Comte menciptakan agama baru yang sesuai dengan idealismenya.
Idealisasinya berbentuk agama yang dapat dikatakan sekuler dan lengkap bersama ritus, hari rayanya, pemuka agama serta lambangnya, dilengkapi oleh Comte. Agama gaya baru ini dinamakan agama humanitas, dimaksudkan untuk memberikan cinta yang lebih terhadap manusia-manusia yang menghasilkan karya dalam sejarah perkembangan manusia. Menurut Comte mencintai kemanusian, inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan dan keintegrasian baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Kemanusianlah yang kudus dan sakral, bukanlah Allah karena banyak penjelasan dalam agama konvensional yang bersifat abstrak dan spekulatif, hanya memberi impian. Institusi agamapun hanya menjadi alat propaganda kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu.
Comte menciptakan agama tersebut, terlihat seakan mengalami romantisisme terhadap pengalamannya yang lalu bersama Clotilde de Vaux dan menghasilkan hubungan yang berbuih saja dan realitas sosial yang juga turut membentuknya. Dari sini pada saat Comte, membentuk ceremonial keagamaannya dengan mengadakan penyembahan terhadap diri perempuan, Comte dikatakan oleh para intelektual lainnya kehilangan konsistensi terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkannya karena pemikirannya sudah terbungkus dengan perasaan. Comte dikatakan tidak ilmiah.
Namun permasalahan pemujaan Comte, terhadap perempuan diadopsi dari rentang sejarah ceritra bunda Maria, bukan karena adanya penolakan perasaan cintanya dari Clotilde de Vaux. Dalam hal ini Comte dapat juga dikatakan mengadakan sublimasi terhadap obsesinya, yaitu kebebasan berpikirnya atas idealismenya agar dapat menyiasati secara strategis. Menciptakan masyarakat positivis di masa depan, dalam kontekstual hubungan seks antara pria dan perempuan tidak perlu ada lagi dan “kelahiran manusia-manusia baru akan keluar dengan sendirinya dari kaum perempuan”. Di era sekarang hal tersebut merupakan pemandangan umum, perkembangan reproduksi melalui tekhnologi kedokteran telah berhasil mengaktualisasikan ide tersebut.
Comte bersama ahli-ahli bidang lainnya yang sepakat dengan pemikirannya menjadi perangkat institusi keagamaan yang dibuatnya dan mulai mensosialisasikan kepada kalangan elit-elit politik, Comte mengarang buku kembali dan diberikan judul Positivist Catechism dan Appeal to Conservatives.
Comte dengan konsistensinya mensosialisasikan agama humanitas-nya dan hukum tiga tahap yang memaparkan perkembangan kebudayaan manusia hingga akhir hayatnya, Comte meninggal di Paris pada tanggal 5 September 1857.
4. Kesimpulan
Auguste Comte adalah, manusia yang berjalan di tengah-tengah antara ideologi yang berkembang ( progressiv vs konservatif ), berada pada ruang abu-abu ( keilmiahan ilmu pengetahuan ). Comte memberikan sumbangsih cukup besar untuk manusia walaupun, ilmu pengetahuan yang dibangun merupakan ide generatif dan ide produktifnya. Comte turut mengembangkan kebudayaan dan menuliskan : “Sebagai anak kita menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika dan sebagai manusia dewasa kita menjadi ahli ilmu alam”.
METODE SOSIOLOGI
Sosiologi sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya, lahir, tumbuh dan berkembang. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan yang dinamakan penelitian sosial. Melalui penelitian sosial.,ini para ahli sosiologi mengumpulkan data yang dapat menambah pengetahuan mengesai sasaran perhatian mereka, yakni masyarakat.Melalui penelitian sosial para ahli sosiologimenemukan fakta baru yang memperluas cakrawala serta memperdalam pemahaman kita sehingga merupakan sumbangan ke arah pengembangan sosiologi.
Cara untuk menghasilkan temuan-temuan baru dalam sosiologi, para ahli perlu memperhatikan tahap penelitian. Walaupun jumlah serta jenis tahap yg dijabarkan dalam berbagai buku penuntun metode penelitian tidak selalu sama, namun dalam kebanyakn buku tersebut dijumpai beberapa tahap yg dianggap pokok, yaitu tahap:
1. perumusan masalah
2. penyusunan disain penelitian
3. pengumpulan data
4. analisis data
5. penulisan laporan peneltian
4.1. Perumusan Masalah
Ilmu Sosiologi semakin berkembang berkat hasil pemikiran dan hasil penelitian sejumlah ahli besar sosiologi, terutama mereka yg telah berhasil mengungkapkan temuan-temuan baru.
Sebelum memulai suatu penelitian, seorang ahli sosiologi terlebih dahulu melakukan tinjauan pustaka (literature review), yaitu tinjauan terhadap bahan-bahan pustaka yang ada di bidang yang bersangkutan agar dapat mengetahui temuan-temuan apa sajakah yang sebelumnya pernah dilakukan oleh ahli sosiologi lain.Seseorang yang ingin meneliti masalah sosiologi agama misalnya, paling tidak perlu mengenal tulisan tokoh klasik seperti Emile Durkheim dan Max Weber, maupun tokoh masa kini seperti Robert Bellah, Peter Berger. Mereka yang ingin meneliti masalah sosiologi pedesaan perlu membaca tulisan ilmuwan seperti Selo Soemardjan, Koentjaraningrat, Loekman Soetrisno.
Kadang-kadang seorang peneliti melakukan penelitian terhadap obyek tertentu tanpa terlalu memperhatikan hasil karya sosiologi lain yang berkecimpung dalam bidang yang sama.Mungkin saja beberapa orang peneliti melakukan kegiatan penelitian serupa, tanpa saling mengetahui kegiatan masing-masing. Kemudian masing-masing merasa ia melakukan sesuatu yang asli, menemukan sesuatu yang baru. Misalnya saja, selama tujuh tahun, baik Luc Montagnier dari Institut Pasteur di Paris maupun Gallo dari Institut kesehatan Nasional AS di Bethesda, Maryland, masing-masing bersiteguh bahwa ialah yang pertama kali menemukan virus HIV yang menjadi penyebab penyakit AIDS. Semula tercapai kata sepakat bahwa kedua-duanya berhak mendapat penghargaan sebagai penemu virus HIV, tetapi kemudian Gallo dituduh telah melakukan kecurangan.
Kemungkinan lain seseorang merasa telah menemukan sesuatu yang sebenarnya sudah ditemukan oleh ahli lain terdahulu. Masalah ini banyak ditemui dalam masyarakat yang sedang berkembang di mana sarana komunikasi ilmiah seperti perpustakaan, buku, majalah, makalah ilmiah masih langka dan tradisi tukar menukar informasi ilmiah masih lemah, sehingga seorang ilmuwan seolah-seolah bekerja sendiri secara terisolasi. Suatu penelitian diawali dengan suatu masalah penelitian, tidak selalu berarti masalah sosial. Sebagai contoh Durkheim tertarik pada gejala bunuh diri, yang dirumuskan sebagai "semua kasus kematian yang secara langsung ataupun tidak langsung dihasilkan oleh suatu tindak posistif atau negatif si korban sendiri, yang diketahuinya kan membawa hasil tesebut." Pertanyaan penelitian Durkheim adalah faktor sosial apakah yang mempengaruhi angka bunuh diri dalam masyarakat? Kenapa angka tersebut berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya? Dan kenapa angka bunuh diri dalam masyarakat dapat berubah? Penelitian tersebut mengkaji data bunuh diri di berbagai wilayah di Eropa kemudian menghasilkan karyanya yang terkenal SUICIDE (1968)
4.2. Penyusunan Disain
Setelah pertanyaan penelitian dirumuskan sehingga si peneliti mempunyai suatu gambaran mengenai apa yang hendak diketahuinya melalui peneliitian, maka ia harus menemukan metode penelitian.
Jenis penelitian yang dimaksud terdiri atas :
4.3.1. Survai
Survai adalah sutu jenis penelitian yang mana di dalamnya hal yang hendak diketahui oleh peneliti dituangkan dalam suatu daftar pertanyaan (questionnaire) baku. Misalnya Karl Max mengirim daftar pertanyaan ke 25.000 orang buruh di Perancis, dan Max Weber pun dikabarkan melakukan teknik survei dalam peneltiannya.
Suatu daftar pertanyaan pada umumnya memuat sejumlah pertanyaan yang dikenal dengan nama pertanyaan tertutup karena subyek penelitian diminta
memilih satu dari sejumlah jawaban yang telah disediakan oleh peneliti. Ada pula jenis daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, yakni pertanyaan yang dijawab secara bebas sesuai dengan keinginan subyek penelitian.
4.3.2. Pengamatan
Pengamatan (Observation) merupakan suatu metode penelitian nonsurvei. Peneliti mengamati secara langsung perilaku para subyek penelitiannya. Melalui pengamatan terhadap perilaku seseorang atau sekelomok orang dalam kurun waktu yang relatif lama, seorang peneliti memperoleh kesempatan untuk memperoleh banyak data yang bersifat mendalam dan rinci, dimana suatu hal yang agak sulit dicapai melalui metode survei.
Selain itu, pengamatan juga memungkinkan peneliti untuk merekam perilaku yang wajar, asli, tidak dibuat-buat, spontan, yang mungkin kurang nampak bila ia menggunakan metode survai.
4.3.3. Riwayat Hidup
Riwayat hidup merupakan suatu teknik pengumpulan data dalam sosiologi yang jarang digunakan tetapi dianggap dapat mengungkapkan data yang penting mengenai pengalaman subyektif yang penting bagi pengembangan teori sosiologi. Kajian terhadap riwayat hidup dapat mengungkapkan data baru yang belum terungkap dengan memakai teknik pengmpulandata lainnya. Studi Sosiologi yang terkenal yang memakai pendekatan ini adalah tulisan Thomas dan Znaniecki: The Polish Peasants in Europe dan America. Tulisan lainnya yg menggunakan metode ini adalah buku yang berjudul The Jack-Roller yang mengisahkan riwayat hidup seseorang yang disekap dalam rumah tahanan untuk anak nakal.
4.3.4. Studi Kasus
Dalam penelitian dengan memakai teknik studi kasus berbagai segi kehidupan sosial sutu kelompok sosial menyeluruh. Penelitian studi kasus klasik dalam sosiologi ialah penelitian Robert S. Lynd dan Helen Merrel Lynd terhadap kehidupan masyarakat sutu kota kecil di AS bagian tengah yang mereka beri nama samaran Middletown. Tujuan penelitian ini sangat luas karena mencakup segi pencaharian nafkah, pembentukkan rumah tangga, sosialisasi anak, penggunaan waktu luang, kegiatan di bidang keagamaan sampai pada keterlibatan dalam kegiatan komunitas. Hasil penelitan mereka dituangkan dalam dua buku: Middletown: A Study in Modern American Culture (1929) dan Middletown in Transition: A Study in Cultural Conflict (1937).
4.3.5. Analisis Isi
Suatu masalah penelitian dapat pula diungkapkan dengan jalan menganalisis isi berbagai dokumen seperti surat kabar, majalah, dokumen resmi maupun naskah di bidang seni sastra. Data dari berbagai sumber tersebut dialihkan menjadi suatu bentuk yang dapat dianalisis secara kuantitatif.
4.3.6. Eksperimen
meskipun teknik eksperimen lebih banyak dijumpai dalam ilmu sosial lain seperti psikologi, namun dalam hal tertentu kita juga menjuampai eksperimen dalam sosiologi. Salah satu contoh adalah penelitioan yang dilakukan oleh Michael Wolff. Ia melakukan studi mengenai interaksi diantara pejalan kaki dikala mereka berpapasan di tengah kota. Dalam eksperimen ini anggota tim peneliti berjalan lurus ke depan meskipun dari arah berlawanan seorang pejalan kaki lain berjalan tepat ke arahnya untuk melihat bagaimana reaksi pihak lawan di kala
kedua orang hampir bertabrakan. Dari berbagai reaksi tersebut kemudian disimpulkan adanya pola tertentu dalam interaksi demikian (gerak tubuh dan gerak tangan tertentu untuk menghindari kontak fisik, benturan kecil yang kadang-kadang tidak dapat dihindarkan, umpatan manakala benturan terjadi).
Eksperimen dapat pula terdiri atas perbandingan anatara kelompok yang diberi perlakuan (experimental group) dan kelompok yang tidak diberi perlakuan (Control Group). Eksperimen dilakukan terhadap dua kelompok yang anggotanya dianggap mempunyai ciri yang sama.
4.3.7. Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif
Penelitian yang menggunakan metode survai dan sensus menggunakan pendekatan kuantitatif, karena data yang dikumpulkan dapat diukur, seperti tinggi pendidikan, banyaknya jenis pekerjaan, besarnya penghasilan warga. Pendekatan ini dapat pula menggunakan metode penelitian lain seperti eksperimen, penggunaan data yang tersedia atau analisis isi.
Sedangkan pendekatan kualitatif, mengutamakan segi kualitas data. Teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain teknik pengamatan (observasi) serta wawancara mendalam.
4.4. Analisa Data dan Penulisan Hasil Penelitian
Setelah penelitian lapangan selesai, data kemudian diolah dan dianalisis. dalam tahap analisis data kuantitatif jawaban yang diberikan para subyek suatu penelitian survai dihitung frekuensinya untuk mencari keteraturan sosial.
Dengan memakai data kuantitatif, peneliti dapat mempelajari ada tidaknya kecenderungan tertentu dalam masyarakat.
Dalam penelitian kualitatif, teknik analisanya jauh berbeda. Peneliti harus mempelajari beratus-ratus, dan bahkan mungkin beribu-ribu halaman catatan penelitian yang dibuatnya tiap hari tatkala dia berada di lapangan, yang secara rinci memuat tidak hanya hasil wawancara mendalam dengan para subyek penelitian serta orang lain yang berada di tempat penelitian.
Cara untuk menghasilkan temuan-temuan baru dalam sosiologi, para ahli perlu memperhatikan tahap penelitian. Walaupun jumlah serta jenis tahap yg dijabarkan dalam berbagai buku penuntun metode penelitian tidak selalu sama, namun dalam kebanyakn buku tersebut dijumpai beberapa tahap yg dianggap pokok, yaitu tahap:
1. perumusan masalah
2. penyusunan disain penelitian
3. pengumpulan data
4. analisis data
5. penulisan laporan peneltian
4.1. Perumusan Masalah
Ilmu Sosiologi semakin berkembang berkat hasil pemikiran dan hasil penelitian sejumlah ahli besar sosiologi, terutama mereka yg telah berhasil mengungkapkan temuan-temuan baru.
Sebelum memulai suatu penelitian, seorang ahli sosiologi terlebih dahulu melakukan tinjauan pustaka (literature review), yaitu tinjauan terhadap bahan-bahan pustaka yang ada di bidang yang bersangkutan agar dapat mengetahui temuan-temuan apa sajakah yang sebelumnya pernah dilakukan oleh ahli sosiologi lain.Seseorang yang ingin meneliti masalah sosiologi agama misalnya, paling tidak perlu mengenal tulisan tokoh klasik seperti Emile Durkheim dan Max Weber, maupun tokoh masa kini seperti Robert Bellah, Peter Berger. Mereka yang ingin meneliti masalah sosiologi pedesaan perlu membaca tulisan ilmuwan seperti Selo Soemardjan, Koentjaraningrat, Loekman Soetrisno.
Kadang-kadang seorang peneliti melakukan penelitian terhadap obyek tertentu tanpa terlalu memperhatikan hasil karya sosiologi lain yang berkecimpung dalam bidang yang sama.Mungkin saja beberapa orang peneliti melakukan kegiatan penelitian serupa, tanpa saling mengetahui kegiatan masing-masing. Kemudian masing-masing merasa ia melakukan sesuatu yang asli, menemukan sesuatu yang baru. Misalnya saja, selama tujuh tahun, baik Luc Montagnier dari Institut Pasteur di Paris maupun Gallo dari Institut kesehatan Nasional AS di Bethesda, Maryland, masing-masing bersiteguh bahwa ialah yang pertama kali menemukan virus HIV yang menjadi penyebab penyakit AIDS. Semula tercapai kata sepakat bahwa kedua-duanya berhak mendapat penghargaan sebagai penemu virus HIV, tetapi kemudian Gallo dituduh telah melakukan kecurangan.
Kemungkinan lain seseorang merasa telah menemukan sesuatu yang sebenarnya sudah ditemukan oleh ahli lain terdahulu. Masalah ini banyak ditemui dalam masyarakat yang sedang berkembang di mana sarana komunikasi ilmiah seperti perpustakaan, buku, majalah, makalah ilmiah masih langka dan tradisi tukar menukar informasi ilmiah masih lemah, sehingga seorang ilmuwan seolah-seolah bekerja sendiri secara terisolasi. Suatu penelitian diawali dengan suatu masalah penelitian, tidak selalu berarti masalah sosial. Sebagai contoh Durkheim tertarik pada gejala bunuh diri, yang dirumuskan sebagai "semua kasus kematian yang secara langsung ataupun tidak langsung dihasilkan oleh suatu tindak posistif atau negatif si korban sendiri, yang diketahuinya kan membawa hasil tesebut." Pertanyaan penelitian Durkheim adalah faktor sosial apakah yang mempengaruhi angka bunuh diri dalam masyarakat? Kenapa angka tersebut berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya? Dan kenapa angka bunuh diri dalam masyarakat dapat berubah? Penelitian tersebut mengkaji data bunuh diri di berbagai wilayah di Eropa kemudian menghasilkan karyanya yang terkenal SUICIDE (1968)
4.2. Penyusunan Disain
Setelah pertanyaan penelitian dirumuskan sehingga si peneliti mempunyai suatu gambaran mengenai apa yang hendak diketahuinya melalui peneliitian, maka ia harus menemukan metode penelitian.
Jenis penelitian yang dimaksud terdiri atas :
4.3.1. Survai
Survai adalah sutu jenis penelitian yang mana di dalamnya hal yang hendak diketahui oleh peneliti dituangkan dalam suatu daftar pertanyaan (questionnaire) baku. Misalnya Karl Max mengirim daftar pertanyaan ke 25.000 orang buruh di Perancis, dan Max Weber pun dikabarkan melakukan teknik survei dalam peneltiannya.
Suatu daftar pertanyaan pada umumnya memuat sejumlah pertanyaan yang dikenal dengan nama pertanyaan tertutup karena subyek penelitian diminta
memilih satu dari sejumlah jawaban yang telah disediakan oleh peneliti. Ada pula jenis daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, yakni pertanyaan yang dijawab secara bebas sesuai dengan keinginan subyek penelitian.
4.3.2. Pengamatan
Pengamatan (Observation) merupakan suatu metode penelitian nonsurvei. Peneliti mengamati secara langsung perilaku para subyek penelitiannya. Melalui pengamatan terhadap perilaku seseorang atau sekelomok orang dalam kurun waktu yang relatif lama, seorang peneliti memperoleh kesempatan untuk memperoleh banyak data yang bersifat mendalam dan rinci, dimana suatu hal yang agak sulit dicapai melalui metode survei.
Selain itu, pengamatan juga memungkinkan peneliti untuk merekam perilaku yang wajar, asli, tidak dibuat-buat, spontan, yang mungkin kurang nampak bila ia menggunakan metode survai.
4.3.3. Riwayat Hidup
Riwayat hidup merupakan suatu teknik pengumpulan data dalam sosiologi yang jarang digunakan tetapi dianggap dapat mengungkapkan data yang penting mengenai pengalaman subyektif yang penting bagi pengembangan teori sosiologi. Kajian terhadap riwayat hidup dapat mengungkapkan data baru yang belum terungkap dengan memakai teknik pengmpulandata lainnya. Studi Sosiologi yang terkenal yang memakai pendekatan ini adalah tulisan Thomas dan Znaniecki: The Polish Peasants in Europe dan America. Tulisan lainnya yg menggunakan metode ini adalah buku yang berjudul The Jack-Roller yang mengisahkan riwayat hidup seseorang yang disekap dalam rumah tahanan untuk anak nakal.
4.3.4. Studi Kasus
Dalam penelitian dengan memakai teknik studi kasus berbagai segi kehidupan sosial sutu kelompok sosial menyeluruh. Penelitian studi kasus klasik dalam sosiologi ialah penelitian Robert S. Lynd dan Helen Merrel Lynd terhadap kehidupan masyarakat sutu kota kecil di AS bagian tengah yang mereka beri nama samaran Middletown. Tujuan penelitian ini sangat luas karena mencakup segi pencaharian nafkah, pembentukkan rumah tangga, sosialisasi anak, penggunaan waktu luang, kegiatan di bidang keagamaan sampai pada keterlibatan dalam kegiatan komunitas. Hasil penelitan mereka dituangkan dalam dua buku: Middletown: A Study in Modern American Culture (1929) dan Middletown in Transition: A Study in Cultural Conflict (1937).
4.3.5. Analisis Isi
Suatu masalah penelitian dapat pula diungkapkan dengan jalan menganalisis isi berbagai dokumen seperti surat kabar, majalah, dokumen resmi maupun naskah di bidang seni sastra. Data dari berbagai sumber tersebut dialihkan menjadi suatu bentuk yang dapat dianalisis secara kuantitatif.
4.3.6. Eksperimen
meskipun teknik eksperimen lebih banyak dijumpai dalam ilmu sosial lain seperti psikologi, namun dalam hal tertentu kita juga menjuampai eksperimen dalam sosiologi. Salah satu contoh adalah penelitioan yang dilakukan oleh Michael Wolff. Ia melakukan studi mengenai interaksi diantara pejalan kaki dikala mereka berpapasan di tengah kota. Dalam eksperimen ini anggota tim peneliti berjalan lurus ke depan meskipun dari arah berlawanan seorang pejalan kaki lain berjalan tepat ke arahnya untuk melihat bagaimana reaksi pihak lawan di kala
kedua orang hampir bertabrakan. Dari berbagai reaksi tersebut kemudian disimpulkan adanya pola tertentu dalam interaksi demikian (gerak tubuh dan gerak tangan tertentu untuk menghindari kontak fisik, benturan kecil yang kadang-kadang tidak dapat dihindarkan, umpatan manakala benturan terjadi).
Eksperimen dapat pula terdiri atas perbandingan anatara kelompok yang diberi perlakuan (experimental group) dan kelompok yang tidak diberi perlakuan (Control Group). Eksperimen dilakukan terhadap dua kelompok yang anggotanya dianggap mempunyai ciri yang sama.
4.3.7. Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif
Penelitian yang menggunakan metode survai dan sensus menggunakan pendekatan kuantitatif, karena data yang dikumpulkan dapat diukur, seperti tinggi pendidikan, banyaknya jenis pekerjaan, besarnya penghasilan warga. Pendekatan ini dapat pula menggunakan metode penelitian lain seperti eksperimen, penggunaan data yang tersedia atau analisis isi.
Sedangkan pendekatan kualitatif, mengutamakan segi kualitas data. Teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain teknik pengamatan (observasi) serta wawancara mendalam.
4.4. Analisa Data dan Penulisan Hasil Penelitian
Setelah penelitian lapangan selesai, data kemudian diolah dan dianalisis. dalam tahap analisis data kuantitatif jawaban yang diberikan para subyek suatu penelitian survai dihitung frekuensinya untuk mencari keteraturan sosial.
Dengan memakai data kuantitatif, peneliti dapat mempelajari ada tidaknya kecenderungan tertentu dalam masyarakat.
Dalam penelitian kualitatif, teknik analisanya jauh berbeda. Peneliti harus mempelajari beratus-ratus, dan bahkan mungkin beribu-ribu halaman catatan penelitian yang dibuatnya tiap hari tatkala dia berada di lapangan, yang secara rinci memuat tidak hanya hasil wawancara mendalam dengan para subyek penelitian serta orang lain yang berada di tempat penelitian.
PERSPEKTIF /TEORI UTAMA DALAM SOSIOLOGI
Untuk menelaah sesuatu kita harus mulai dengan membuat beberapa asumsi tentang sifat-sifat yang akan kita pelajari. Misalnya menurut orang-orang Yunani Kuno alam semesta beroperasi/berjalan sesuai dengan perilaku para dewa. Sebaliknya para ilmuwan berasumsi bahwa alam semesta bersifat tertib dan berjalan menurut cara-cara yang teratur. Oleh karena itu Newton mengembangkan hukum gaya berat setelah mengamati bahwa apel selalu jatuh ke bawah, tidak pernah ke atas. Seperangkat asumsi kerja disebut suatu “perspektif” atau “suatu pendekatan” atau teori. Perspektif-perspektif apa yang dipakai dalam sosiologi ?
3.1. Perspektif Teori Evolusi
Perspektif teori evolusi merupakan perspektif teoritis yang paling awal dalam sosiologi. Perspkektif evolusi pada umumnya dihubungkan dengan konsep biologi dan memusatkan perhatiannya pada perubahan-perubahan jangka panjang. Perspektif teori evolusi melihat masyarakat, seperti organisme hidup, mengalami perkembangan melalui tahap-tahap menuju suatu kondisi yang kompleks.
Banyak para ahli sosiologi pada awal perkembangan ilmu ini dan juga sesudahnya, menggunakan perspketif teori evolusi dalam memahami masyarakat. Para ahli sosiologi seperti Auguste Comte dan Herbert Spencer serta beberapa ahli lain pada awal perkembangan sosiologi, menggunakan perspektif ini dalam melihat masyarakat, yang melihat evolusi sama dengan perkembangan dan langkah menuju kondisi yang lebih baik. Para ahli ini meyakini bahwa seleksi alam akan dengan sendirinya menggeser untuk kemudian merusak masyarakat yang lemah karena tidak mampu beradaptasi, dan sebaliknya, suatu masyarakat yang kuat akan tetap hidup karena mampu melakukan adaptasi. Masyarakat yang kuat akan tetap lestari karena masyarakat yang demikian lebih baik dari pada masyarakat yang lemah. Ini menjadi alasan bagi para ahli sosiologi dari perspektif ini seperti Spencer untuk menolak adanya campur tangan untuk melindungi masyarakat yang lemah maupun menolak untuk mempengaruhi proses evolusi yang berlangsung secara alamiah.
Dalam beberapa dasawarsa perspektif ini kurang mendapat perhatian, namun akhir-akhir ini perspektif evolusi ini kembali berperan. Para ahli sosiologi penganut evolusi dewasa ini pada umumnya berpandangan bahwa evolusi merupakan proses yang menghasilkan suatu perubahan, tetapi mereka tidak beranggapan bahwa perubahan itu akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Meskipun mereka bersepakat bahwa masyarakat senantaiasa berkembang menjadi lebih kompleks, tetapi mereka tidak menyatakan bahwa kompleksitas suatu masyarakat yang tinggi akan menghasilkan sesuatu yang baik, atau sebaliknya menghasilkan sesuatu yang buruk.
Misalnya masuknya telepon dalam suatu masyarakat dapat dipandang sebagai suatu bentuk teknologi yang maju dan membuat masyarakat kian kompleks. Hadirnya kotak ajaib (televisi) dapat dipandang sebagai hal yang baik, misalnya dengan mudah orang dapat mengetahui informasi atau berita dari tempat yang dengan cepat dan dapat pula menyaksikan gambar, tetapi televisi dapat juga dipandang sebagai gangguan, misalnya bisa mengganggu konsentrasi dalam bekerja atau belajar atau membuat malas anak-anak untuk belajar.
Dalam pandangan penganut evolusi terdahulu televisi akan dilihat sebagai sesuatu hal yang baik dari kemajuan masyarakat tanpa melihat sisi buruknya.
Penganut teori evolusi masa kini pada umumnya memusatkan perhatiannya pada upaya mencari pola-pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda, untuk mencari urutan umum yang dapat ditemukan. Dengan demikian perspektif evolusi ini masih merupakan perspektif yang cukup populer, meskipun perspektif ini bukan perspektif utama dalam perkembangan sosiologi.
3.2. Perspektif Teori Struktural Fungsional
Perspektif teori struktural fungsional memiliki akar pada pemikiran Emile Durkheim dan Max Weber, dua ahli sosiologi klasik yang terkenal. Sedangkan dalam perkembangan kemudian, perspektif ini juga dipengaruhi oleh karya Talcott Parson dan Robert Merton, dua ahli sosiologi kontemporer yang terkenal pada masa kini. Perspektif teori strukturakl fungsional dipandang sebagai perspektif teori yang sangat dominan dalam perkembangan sosiologi dewasa ini. Seringkali, perspektif ini disamakan dalam teori sistem, teori ekuilibrium.
Konsep yang penting dalam perspketif ini adalah struktur dan fungsi, yang menunjuk pada dua atau lebih bagian atau komponen yang berbeda dan terpisah tetapi berhubungan satu sama lain. Struktur seringkali dianalogikan dengan organ atau bagian-bagian anggota badan manusia, sedangkan fungsi menunjuk bagaimana bagian-bagian ini berhubungan dan bergerak. Misalnya perut adalah struktur, sedangkan pencernaan adalah fungsi. Contoh lain, organisasi angkatan bersenjata adalah struktur, sedangkan menjaga negara dari serangan musuh adalah fungsi. Struktur tersusun atas beberapa bagian yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain.
Struktur sosial terdiri dari berbagai komponen dari masyarakat, seperti kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, masyarakat setempat/lokal dan sebagainya. Kunci untuk memahami konsep struktur adalah konsep status (posisi yang ditentukans secara sosial, yang diperoleh baik karena kelahiran (ascribed status maupun karena usaha (achieved status) seseorang dalam masyarakat). Jaringan dari status sosial dalam masyarakat merupakan sistem sosial, misalnya jaringan staus ayah-ibu-anak menghasilkan keluarga sebagai sistem sosial, jaringan pelajar-guru-kepala sekolah-pegawai tata usaha menghasilkan sekolah sebagai sistem sosial, dan sebagainya. Setiap status memiliki aspek dinamis yang disebut dengan peran (role) tertentu, misalnya seorang yang berstatus ayah memiliki peran yang berbeda dengan seseorang yang berstatus anak.
Sistem sosial mengembangkan suatu fungsi tertentu yang dengan fungsi itu memungkinkan masyarakat dan bagi orang-orang yang menjadi anggota masyarakat untuk eksis. Masing-masing menjalankan suatu fungsi yang berguna untuk memelihara dan menstabilkan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Misalnya lembaga pendidikan berfungsi mengajarkan pengetahuan atau ketrampilan, lembaga agama berfungsi memenuhi kebutuhan rohaniah, keluarga berfungsi untuk sosialisasi anak dan sebagainya. Para penganut struktural fungsional mengasumsikan bahwa sistem senantiasa cenderung dalam keadaan keseimbangan atau equilibrium. Suatu sistem yang gagal dari salah satu bagian dari sistem itu mempengaruhi dan membawa akibat bagi bagian-bagian lain yang saling berhubungan satu sama lin.
Setiap sistem sosial pada dasarnya memiliki dua fungsi utama, yaitu : (1) apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu dan (2) konsekuensi-konsekuensi yang berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu (fungsi lanjutan). Misalnya mata, fungsinya adalah melihat sesuatu dalam lingkungan. Fungsi lanjutan dari mata adalah dengan mata orang dapat belajar, bekerja dan juga dapat melihat datangnya bahaya. Dalam masyarakat, lembaga pemerintahan memiliki fungsi utama menegakkan peraturan, sedangkan fungsi lanjutannya adalah menggerakkan roda perekonomian, menarik pajak, menyediakan berbagai fasilitas sosial dan sebagainya.
Menurut pandangan Robert Merton salah satu tokoh perspektif ini, suatu sistem sosial dapat memiliki dua fungsi yaitu fungsi manifest, yaitu fungsi yang diharapkan dan diakui, serta fungsi laten, yaitu fungsi yang tidak diharapkan dan tidak diakui. Lembaga pendidikan sekolah taman kanak-kanak misalnya memiliki fungsi manifes untuk memberikan dasar-dasar pendidikan bagi anak sebelum ke jenjang sekolah dasar. Fungsi latennya, memberi pekerjaan bagi guru TK, membantu orang tua mengasuh anak selagi orang tuanya bekerja dan sebagainya.
Dalam pandangan Robert Merton, tidak semua hal dalam sistem selalu fungsional, artinya tidak semua hal selalu memelihara kelangsungan sistem. Beberapa hal telah menyebabkan terjadinya ketidakstabilan dalam sistem, bahkan dapat saja menyebabkan rusaknya sistem. Ini oleh Merton disebut dengan disfungsi. Misalnya tingkat interaksi yang tinggi dan kaku dalam keluarga dapat menghasilkan disfungsi, antara lain dalam bentuk kekerasan dan perlakuan kasar atau penyiksaan pada anak.
Para penganut perspektif struktural fungsional ini berusaha untuk mengetahui bagian-bagian atau komponen-komponen dari suatu sistem dan berusaha memahami bagaimana bagian-bagian ini saling berhubungan satu sama lain suatu susunan dari bagian-bagian tersebut dengan melihat fungsi manifes maupun fungsi latennya. Kemudian mereka melakukan analisis mengenai manakah yang memberiu sumbangan bagi terciptanya kelestarian sistem dan manakah yang justru menyebabkan kerusakan pada sistem. Dalam hal ini dapat saja suatu komponen menjadi fungsional dalam suatu sistem, tetapi menjadi tidak fungsional bagi sistem yang lain. Misalnya ketaatan pada suatu agama merupakan sesuatu yang fungsional dalam pembinaan umat beragama, tetapi tidak fungsional bagi pengembangan persatuan berbagai etnik yang beragam agamanya.
Dalam pandangan perspektif struktural fungsional ini, suatu sistem sosial eksis karena sistem sosial itu menjalankan fungsinya yang berguna bagi masyarakat. Pusat perhatian perspektif ini juga tertuju pada masalah tatanan (order) dan stabilitas, yang karena perhatiannya pada hal ini mereka dikritik mempertahankan status-quo. Karena perhatiannya tertuju pada keseimbangan dan kelsetarian sistem, perspektif ini juga sering dikritik mengabaikan proses perubahan yang terjadi dalam sistem sosial.
3.3. Perspkektif Teori Konflik
Perspektif teori konflik juga memiliki akar pemikiraan pada pemikiran beberapa ahli sosiologi klasik terutama pada Karl Marx. Meskipun demikian, para ahli dari perspektif teori konflik modern juga banyak memberi sumbangan pemikiran, terutama dari John Stuart Mill, Ralph Dahrendorf, Lewis Coser dan sebagainya. Dalam pandangan para ahli dari perspektif teori konflik ini masyarakat akan dapat dengan tepat dianalisis jika menggunakan konsep kekuasaan (power) dan konflik.
Karl Marx memulainya dengan suatu asumsi dasar yang sederhana, yaitu struktur dari masyarakat ditentukan oleh organisasi ekonomi, terutama pada pemilikan barang produksi (ownership of poverty). Dogma agama, nilai-nilai budaya, kepercayaan individual, susunan dan struktur lembaga-lembaga dalam masyarakat, semuanya secara mendasar merupakan refleksi dari organisasi ekonomi yang ada dalam masyarakat. Menyatu dalam sistem ekonomi, kesenjangan dalam pemilikan barang produksi telah mendorong mendorong terjadinya konflik antar kelas secara revolusioner. Kelas yang tidak menguasai alat produksi telah menjadi kelas yang dieksploitasi, senantaiasa berjuang memperbaiki posisi mereka yang rendah dan tertindas dan secara revolusi mereka melawan kelas yang dominan dalam penguasaaan faktor produksi. Dalam pandangan Marx, cerita sejarah tentang manusia tidak lain adalah cerita tentang perjuangan kelas antara para pemilik alat produksi dengan para buruh yang tidak menguasai alat produksi, antara yang didominasi melawan yang mendiminasi atau antara yang memiliki kekuasaan dengan yang tidak memiliki kekuasaan.
Para ahli perspektif teori konflik masa kini melihat bahwa konflik merupakan fenomena yang senantiasa ada dalam kehidupan sosial dan sebagai hasilnya, masyarakat senantiasa berada dalam perubahan yang terus menerus. Berbeda dengan Marx, para ahli sosiologi perspektif konflik masa kini jarang yang melihat konflik senantaiasa merupakan refleksi dari organisasi ekonomi maupun kepemilikan (ownership). Konflik dalam pandaangan para ahli perspektif konflik masa kini , meliputi bidang yang luas di mana terjadi pertentangan dari berbagai kepentingan dan kelompok dalam masyarakat. Jadi konflik bukan hanya antara pemilik modal dengan para buruh seperti dikemukakan oleh Marx, tetapi juga meliputi pertentangan antara orang muda dengan orang tua, antara pria dan wanita, antara satu etnis atau ras tertentu dengan etnis atau ras tertentu sebagaimana antara pemilik modal dengan para buruh. Konflik ini disebabkan karena sesuatu yang dihargai dalam masyarakat (kekuasaan, ilmu pengetahuan, tanah, uang dan sebagainya) tidak terdistribusi merata dan tidak semua orang dapat memperolehnya secara sama. Sesuatu yang bernilai itu merupakan komoditas yang terbatas, sedangkan permintaan (demand) akan hal itu lebih besar dari penawaran (supply) yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu barang siapa dapat memiliki atau mengontrol barang dan jasa yang bernilai dalam masyarakat, akan cenderung mempertahankan dan melindungi kepentingannyaa terhadap usaha pihak lain untuk merebutnya.
Dalam pandangan yang demikian, konflik tidak selalu berarti perang, kekerasan dan sejenisnya. Konflik menunjuk pada perjuangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan setiap anggota masyarakat untuk berusaha mempertahankan, meningkatkan dan menjaga posisi sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari. Konflik juga tidak dilihat sebagai proses yang destruktif (merusak) yang akan embawa paada kondisi ketidak-terauran (disorder) dan pecahnya masyarakat. Beberapa ahli perspektif teori konflik modern misalnya Dahrendorf dan Lewis Coser bahkan melihat adanya peranan konflik dalam menciptakan integrasi, yang ditandai oleh adanya kekuatan yang menyumbang terjadinya keteraturan dan stabilitas. Bagaimana konflik memeiliki peran integratif dapat dipahami dengan melihat bahwa semua orang memiliki kepentingan yang sama akan bekerja sama untuk berusaha mencapainya agar keuntungan dapat diraih bersama. Konflik antar ras misalnyaa dapat menjadi pengikat kebrsamaan dalam suatu ras tertentu, mengabaikan perbedaan-perbedaan diantara mereka sendiri.
Teori ini berbeda dengan dari struktural fungsional. Jika teori struktural fungsional melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang senantiasa dalam keadaan ekulibrium atau kesimbangan, teeori konflik sebaliknya, melihat masyarakat sebagai arena bagi terjadinya pertentangan yang terus menerus dan terjadi perubahan-perubahan. Teori struktural fungsional melihat proses sosial merupakan proses yang terus menerus dengan mengembangkan keselarasan (harmony), sebaliknya teori konflik melihat proses sosial sebagi proses perjuangan yang terus menerus menuju sasarannya. Teeori struktural fungsional melihat masyarakat pada adsarnya berlandaskan pada konsensus, terintegrasi dan statis, di lain pihak teori konflik melihat masyarakat itu pada dasarnya ditandai oleh adanya paksaan, pertentangan dan perubahan yang terus menerus. Jika teori struktural fungsional dikritik karena terlalu menekankan pada stabilitas dan status quo serta mengabaikan perubahan, sebaliknya teori konflik dikritik karena terlalu kontroversial dan terlalu berlebihan dalam melihat keteraturan atas dasar paksaan.
3.4. Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik
Tokoh utama perspketif ini diabngun oleh George Herbert Mead, William Issac Thomas, dan John Dewey, TH. Cooley. Perbedaan utama perspektif ini dengan perspektif terdahulu terletak pada ukuran dari unit yang dipakai dalam analisis dan penelitian. Jika teori evolusi, struktural fungsional, maupun konflik terletak pada ukuran dari unit yang dipakai dalam analisis dan penelitian. Jika teori evolusi, strukturaal fungsional maupun konflik berada pada tataran sosiologi makro, yang melihat masyarakat sebagai suatu susunan yang besar : organisasinya, lembaga-lembaganya, kelas-kelas sosial dans ebagainya, maka perspektif teori interaksionisme simbolik berada pada tataran mikro sosiologi, yang mremusatkan perhatiannya pada individu dalam masyarakat dan definisi situasi, makna, peran, pola interaksi yang dibuat individu. Meski antar berbagai perspektif kedua tataran ini kadang terjadi tumpang tindih (overlap), tetpai padaadsarnya terdapat perbedaan asumsi dan teori yang mendasar diantara keduanya.
Bagi perspektif interaksionisme simbolik yang penting bagi sosiologi adalah memahami bagaimana individu mempengaruhi dan sebaliknya mempengaruhi juga dipengaruhi oleh masyarakat. Perspektif ini berasumsi bahwa masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang telah mengalami proses sosialisasi dan eksistensi serta strukturnya nampak dan terbentuk melalui interaksi sosial yang berlangsung diantara individu dalam masyarakat tersebut dalam tingkatan simbolik
Dalam perspektif ini sesuatu yang penting pada penggunaan simbol. Untuk memperjelas makna simbol dapat dijelaskan dengan contoh, misalnya seseorang yang mengendarai mobil di perempatan yang ada lampu pengatur lalu lintas yang menyala adalah MERAH, maka iapun berhenti, padahal yang ada di hadapannya bukanlah obyek fisik yang dapat menghalanginya. Berhentinya seseorang di lampu merah jelas karena ia telah belajar, telah tahu bahwa lampu merah adalah pertanda atau simbol bahwa ia harus berhenti. Contoh lain adalah, seorang laki-laki yang mengulurkan tangannya merupakan tanda bersahabat, akan tetapi kalau ia mengepalkan tangannya tentu bermakna sebaliknya. Dalam kehidupan yang nyata kegagalan merumuskan situasi perilaku secara benar dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang menyenangkan atau malah bisa berakibat fatal.
Sebagaimana dituangkapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku mereka Social Construction of Reality (1966) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia Tafsir Sosial Atas Kenyataan (1990). Masyarakat merupakan kenyataan obyektif dalam arti orang, kelompok, dan lembaga-lembaga adalah nyata. Akan tetapi, masyarakat adalah juga suatu kenyataan subyektif dalam arti bagi setiap orang, atau lembaga-lembaga lain tergantung pada pandangan subyektif orang tersebut. Apakah sebagain orang sangat baik atau jahat, apakah polisi pelindung atau penindas masyarakat, apakah perusahaan swasta melayani kepentingan umum atau pribadi-ini adalah persepsi yang mereka bentuk dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan persepsi ini merupakan “kenyataan” bagi mereka yang memberikan penilaian tersebut. Dalam hal ini perspektif interaksionisme simbolik memulainya dengan konsep diri (self), diri dalam hubungannya dengan orang lain dan diri dan orang lain itu dalam konteks sosial yang lebih luas. Dalam konteks sosial inilah dapat dipahami mengapa seseorang memiliki anggapan negatif terhadap lainnya, mengapa lebih mudah bergaul dengan seseorang dari pada lainnya maupun mengapa lebih enak berada diantara orang-orang yang sudah dikenal dari pada diantara orang-orang yang belum dikenal. Jadi dalam hal ini perspektif interasionisme simbolik memahami individu dalam konteks sosialnya, melalui pemahaman lingkungan sosial (social setting), dari sinilah kemudian dapat dipahami interaksinya, nilai-nilainya, misalnya pantas-tidak pantas, baik-buruk dan sebagainya.
3.5. Perspektif Teori Pertukaran
Perspektif teori pertukaran pada dasarnya memiliki akar pemikiran yang beerbeda dari perspektif yang lain, di mana perspektif ini bersumber dari pemikiran ekonomi, antropologi, psikologi, maupun sosiologi. Perspektif ini berdasarkan pada anggapan bahwa kehidupan pada dasarnya adalah serangkaian pertukaran yang di dalamnya terdapat keuntungan dan kerugian. Dalam lapangan ekonomi, orang saling mempertukarkn uang, barang, jasa untuk mendapatkan keuntungan, setidaknya tidak mengalami kerugian dalam pertukaran itu. Secara antropologis, psikologis maupun sosiologis, hal yang dipertukarkan meliputi pula baik faktor fisik maupun faktor sosial. Misalnya agar dapat mempererat persahabatan, orang mengundang orang lain makan malam dan sebagainya. Pekerjaan, pemberian, gagasan, uang, perhatian adalah sesuatu yang dimiliki orang untuk dipertukarkan dengan orang lain.
Teori pertukaran sosial berupaya memhami mengapa suatu tingkah laku terjadi dalam suatu situasi struktural tertentu dan dalam situasi dimana kemungkinan untuk berinteraksi terjadi. Misalnya mengapa perempuan cenderung menikah dengan laki-laki dengan status sosial yang lebih tinggi, bukan sebaliknya laki-laki dengan status sosial yang rendah dengan perempuan berstatus sosial lebih tinggi. Perspektif teori pertukaran berupaya memahami hal ini dengan melihat kualitas yang diinginkan oleh laki-laki dan oleh perempuan yang dapat saling dipertukarkan. Dalam suatu masyarakat, mungkin pekerjaan yang baik dan memiliki kekayaan melimpah merupakan hal yang diinginkan oleh perempuan dari seorang laki-laki, sedangkan bagi laki-laki barangkali kecantikan dan kondisi fisik yang sempurna yang diinginkan. Jadi dalam situasi sosial yang demikian dapat dipahami mengapa perempuan yang cantik dari status sosial yang rendah akan “mempertukarkan” “kecantikan” yang dimilikinya itu dengan “harta” dan “masa depan” yang dimiliki oleh laki-laki dari staatus sosial ekonomi lebih tinggi, demikian pula sebaliknya bagi laki-laki, mungkin baginya akan membanggakan dirinya menggandeng istri yang cantik.
Perspektif teori pertukaran ini berasumsi bahwa orang selalu berupaya mendapatkan status, berusaha mendapatkan ganjaran (reward), menjalin hubungan yang lebih baik dan berupaya untuk menghindari atau mengurangi seminimal mungkin biaya atau kerugian, hukuman uyang diperolehnya. Menghadapi serangkain alternatif yang ada, setiap orang akan memilih pilihan yang memberi keuntungan terbesar, ganjaran terbesar, keamanan tertinggi dan pada saay yang sama menghindari resiko, mengurangi kerugian dan menghindari hal yang tidak aman. Jika kerugian lebih besra dari perolehan maka orang akan merasa tidak suka, marah, dan tidak nyaman, sebaliknyaaaaaa jika perolehan lebih besar dari kerugian maka akan merasa enak, nyaman, dan suka. Agar pihak-pihak dalam pertukaran itu sama-sama merasakan keuntungan, maka interaksi sosial harus dilakukan dalam mewujudkan pertukaran yang seimbang, yaitu suatu perasaan bahwa masing-masing mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari kerugiannya.
Terdapat dua aliran dalam perspektif teori pertukaran ini. Aliran yang pertama adalah aliran dengan tokohnya George Homans. Homans merupakan salah satu ahli yang mewakili aliran teori pertukaran yang bersifat psikologis (behavioral psichology), yang melihat perilaku dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan ganjaran dan hukuman. Aliran teori ini memusatkan perhatiannya pada perilaku yang terjadi (actual behavior), bukan pada proses yang dapat dilacak dari perilaku yang terjadi itu, karena proses itu tidaklah dapat diamati. Dalam pertukaran sosial, ganjaran dan hukuman pada dasarnya adalah perilaku pihak lain.
Aliran pemikiran yang lain dengan tokohnya Peter M. Blau, yang secara konsisten mengikuti prisnsip teeori interkasionisme simbolik. Blau tidak menekankan untuk melakukan penjelasan atas semua pertukaran yang nampak dari perilaku yang dapat diamati. Dalam pandangan Blau, pertukaran itu lebih bersifat subyektif dan interpretatif, sehingga pertukaran pada dasarnya berada pada tingkatan simbolik. Sebagai hasilnya dalam pandangan perspektif ini uang dapat memiliki makna yang berbeda-beda, misalnya uang sebagai ganjaran jika penerima uang itu mengartikannya demikian, tetapi dapt pula berarti bentuk fisik dari penghargaan karena seseorang telah bekerja dengan baik, atau uang hanyalah sekedar wujud rasa kasih sayang atau perhatian dari pihak lain, dan sebaginya.
Baik Homans maupun Blau keduanya sepakat baahwa adalah penting bagi masing-masing pihak dalam pertukaran menerima sesuatu setara dengan yang telah diberikannya pada pihak lain. Menurut Homans ini disebut dengan distribitive justice sedang Blau menyebutnya fair exchange. Dalam pertukaran terkandung harapan-harapan yang seimbang yang masing-masing memiliki kesetaraan. Jika sumber atau kriteria pertukaran ini tidak seimbang maka salah satu berada pada posisi dirugikan dan lemah, sedang pihak lain memiliki kekuasaan lebih besar serta mampu mengontrol dalam hubunagnnya dengan pihak lain. Sebagai contoh, dalam perkawinan yang kriteria pertukarannya tidak seimbang akan membawa akibat adaanya dominasi salah satu pihak terhadap lainnya atau bahkan mungkin akan emneybabkan perkawinan itu berakhir. Jadi dalam pandangan perspektif pertukaran kehidupan sosial dipandang sebagai proses dimana didalamnya terjadi tawar menawar atau negosiasi dan hubungan sosial yang terjadi didasrkan pada kepercayaan dan kepentingan kedua pihak.
3.1. Perspektif Teori Evolusi
Perspektif teori evolusi merupakan perspektif teoritis yang paling awal dalam sosiologi. Perspkektif evolusi pada umumnya dihubungkan dengan konsep biologi dan memusatkan perhatiannya pada perubahan-perubahan jangka panjang. Perspektif teori evolusi melihat masyarakat, seperti organisme hidup, mengalami perkembangan melalui tahap-tahap menuju suatu kondisi yang kompleks.
Banyak para ahli sosiologi pada awal perkembangan ilmu ini dan juga sesudahnya, menggunakan perspketif teori evolusi dalam memahami masyarakat. Para ahli sosiologi seperti Auguste Comte dan Herbert Spencer serta beberapa ahli lain pada awal perkembangan sosiologi, menggunakan perspektif ini dalam melihat masyarakat, yang melihat evolusi sama dengan perkembangan dan langkah menuju kondisi yang lebih baik. Para ahli ini meyakini bahwa seleksi alam akan dengan sendirinya menggeser untuk kemudian merusak masyarakat yang lemah karena tidak mampu beradaptasi, dan sebaliknya, suatu masyarakat yang kuat akan tetap hidup karena mampu melakukan adaptasi. Masyarakat yang kuat akan tetap lestari karena masyarakat yang demikian lebih baik dari pada masyarakat yang lemah. Ini menjadi alasan bagi para ahli sosiologi dari perspektif ini seperti Spencer untuk menolak adanya campur tangan untuk melindungi masyarakat yang lemah maupun menolak untuk mempengaruhi proses evolusi yang berlangsung secara alamiah.
Dalam beberapa dasawarsa perspektif ini kurang mendapat perhatian, namun akhir-akhir ini perspektif evolusi ini kembali berperan. Para ahli sosiologi penganut evolusi dewasa ini pada umumnya berpandangan bahwa evolusi merupakan proses yang menghasilkan suatu perubahan, tetapi mereka tidak beranggapan bahwa perubahan itu akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Meskipun mereka bersepakat bahwa masyarakat senantaiasa berkembang menjadi lebih kompleks, tetapi mereka tidak menyatakan bahwa kompleksitas suatu masyarakat yang tinggi akan menghasilkan sesuatu yang baik, atau sebaliknya menghasilkan sesuatu yang buruk.
Misalnya masuknya telepon dalam suatu masyarakat dapat dipandang sebagai suatu bentuk teknologi yang maju dan membuat masyarakat kian kompleks. Hadirnya kotak ajaib (televisi) dapat dipandang sebagai hal yang baik, misalnya dengan mudah orang dapat mengetahui informasi atau berita dari tempat yang dengan cepat dan dapat pula menyaksikan gambar, tetapi televisi dapat juga dipandang sebagai gangguan, misalnya bisa mengganggu konsentrasi dalam bekerja atau belajar atau membuat malas anak-anak untuk belajar.
Dalam pandangan penganut evolusi terdahulu televisi akan dilihat sebagai sesuatu hal yang baik dari kemajuan masyarakat tanpa melihat sisi buruknya.
Penganut teori evolusi masa kini pada umumnya memusatkan perhatiannya pada upaya mencari pola-pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda, untuk mencari urutan umum yang dapat ditemukan. Dengan demikian perspektif evolusi ini masih merupakan perspektif yang cukup populer, meskipun perspektif ini bukan perspektif utama dalam perkembangan sosiologi.
3.2. Perspektif Teori Struktural Fungsional
Perspektif teori struktural fungsional memiliki akar pada pemikiran Emile Durkheim dan Max Weber, dua ahli sosiologi klasik yang terkenal. Sedangkan dalam perkembangan kemudian, perspektif ini juga dipengaruhi oleh karya Talcott Parson dan Robert Merton, dua ahli sosiologi kontemporer yang terkenal pada masa kini. Perspektif teori strukturakl fungsional dipandang sebagai perspektif teori yang sangat dominan dalam perkembangan sosiologi dewasa ini. Seringkali, perspektif ini disamakan dalam teori sistem, teori ekuilibrium.
Konsep yang penting dalam perspketif ini adalah struktur dan fungsi, yang menunjuk pada dua atau lebih bagian atau komponen yang berbeda dan terpisah tetapi berhubungan satu sama lain. Struktur seringkali dianalogikan dengan organ atau bagian-bagian anggota badan manusia, sedangkan fungsi menunjuk bagaimana bagian-bagian ini berhubungan dan bergerak. Misalnya perut adalah struktur, sedangkan pencernaan adalah fungsi. Contoh lain, organisasi angkatan bersenjata adalah struktur, sedangkan menjaga negara dari serangan musuh adalah fungsi. Struktur tersusun atas beberapa bagian yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain.
Struktur sosial terdiri dari berbagai komponen dari masyarakat, seperti kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, masyarakat setempat/lokal dan sebagainya. Kunci untuk memahami konsep struktur adalah konsep status (posisi yang ditentukans secara sosial, yang diperoleh baik karena kelahiran (ascribed status maupun karena usaha (achieved status) seseorang dalam masyarakat). Jaringan dari status sosial dalam masyarakat merupakan sistem sosial, misalnya jaringan staus ayah-ibu-anak menghasilkan keluarga sebagai sistem sosial, jaringan pelajar-guru-kepala sekolah-pegawai tata usaha menghasilkan sekolah sebagai sistem sosial, dan sebagainya. Setiap status memiliki aspek dinamis yang disebut dengan peran (role) tertentu, misalnya seorang yang berstatus ayah memiliki peran yang berbeda dengan seseorang yang berstatus anak.
Sistem sosial mengembangkan suatu fungsi tertentu yang dengan fungsi itu memungkinkan masyarakat dan bagi orang-orang yang menjadi anggota masyarakat untuk eksis. Masing-masing menjalankan suatu fungsi yang berguna untuk memelihara dan menstabilkan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Misalnya lembaga pendidikan berfungsi mengajarkan pengetahuan atau ketrampilan, lembaga agama berfungsi memenuhi kebutuhan rohaniah, keluarga berfungsi untuk sosialisasi anak dan sebagainya. Para penganut struktural fungsional mengasumsikan bahwa sistem senantiasa cenderung dalam keadaan keseimbangan atau equilibrium. Suatu sistem yang gagal dari salah satu bagian dari sistem itu mempengaruhi dan membawa akibat bagi bagian-bagian lain yang saling berhubungan satu sama lin.
Setiap sistem sosial pada dasarnya memiliki dua fungsi utama, yaitu : (1) apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu dan (2) konsekuensi-konsekuensi yang berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu (fungsi lanjutan). Misalnya mata, fungsinya adalah melihat sesuatu dalam lingkungan. Fungsi lanjutan dari mata adalah dengan mata orang dapat belajar, bekerja dan juga dapat melihat datangnya bahaya. Dalam masyarakat, lembaga pemerintahan memiliki fungsi utama menegakkan peraturan, sedangkan fungsi lanjutannya adalah menggerakkan roda perekonomian, menarik pajak, menyediakan berbagai fasilitas sosial dan sebagainya.
Menurut pandangan Robert Merton salah satu tokoh perspektif ini, suatu sistem sosial dapat memiliki dua fungsi yaitu fungsi manifest, yaitu fungsi yang diharapkan dan diakui, serta fungsi laten, yaitu fungsi yang tidak diharapkan dan tidak diakui. Lembaga pendidikan sekolah taman kanak-kanak misalnya memiliki fungsi manifes untuk memberikan dasar-dasar pendidikan bagi anak sebelum ke jenjang sekolah dasar. Fungsi latennya, memberi pekerjaan bagi guru TK, membantu orang tua mengasuh anak selagi orang tuanya bekerja dan sebagainya.
Dalam pandangan Robert Merton, tidak semua hal dalam sistem selalu fungsional, artinya tidak semua hal selalu memelihara kelangsungan sistem. Beberapa hal telah menyebabkan terjadinya ketidakstabilan dalam sistem, bahkan dapat saja menyebabkan rusaknya sistem. Ini oleh Merton disebut dengan disfungsi. Misalnya tingkat interaksi yang tinggi dan kaku dalam keluarga dapat menghasilkan disfungsi, antara lain dalam bentuk kekerasan dan perlakuan kasar atau penyiksaan pada anak.
Para penganut perspektif struktural fungsional ini berusaha untuk mengetahui bagian-bagian atau komponen-komponen dari suatu sistem dan berusaha memahami bagaimana bagian-bagian ini saling berhubungan satu sama lain suatu susunan dari bagian-bagian tersebut dengan melihat fungsi manifes maupun fungsi latennya. Kemudian mereka melakukan analisis mengenai manakah yang memberiu sumbangan bagi terciptanya kelestarian sistem dan manakah yang justru menyebabkan kerusakan pada sistem. Dalam hal ini dapat saja suatu komponen menjadi fungsional dalam suatu sistem, tetapi menjadi tidak fungsional bagi sistem yang lain. Misalnya ketaatan pada suatu agama merupakan sesuatu yang fungsional dalam pembinaan umat beragama, tetapi tidak fungsional bagi pengembangan persatuan berbagai etnik yang beragam agamanya.
Dalam pandangan perspektif struktural fungsional ini, suatu sistem sosial eksis karena sistem sosial itu menjalankan fungsinya yang berguna bagi masyarakat. Pusat perhatian perspektif ini juga tertuju pada masalah tatanan (order) dan stabilitas, yang karena perhatiannya pada hal ini mereka dikritik mempertahankan status-quo. Karena perhatiannya tertuju pada keseimbangan dan kelsetarian sistem, perspektif ini juga sering dikritik mengabaikan proses perubahan yang terjadi dalam sistem sosial.
3.3. Perspkektif Teori Konflik
Perspektif teori konflik juga memiliki akar pemikiraan pada pemikiran beberapa ahli sosiologi klasik terutama pada Karl Marx. Meskipun demikian, para ahli dari perspektif teori konflik modern juga banyak memberi sumbangan pemikiran, terutama dari John Stuart Mill, Ralph Dahrendorf, Lewis Coser dan sebagainya. Dalam pandangan para ahli dari perspektif teori konflik ini masyarakat akan dapat dengan tepat dianalisis jika menggunakan konsep kekuasaan (power) dan konflik.
Karl Marx memulainya dengan suatu asumsi dasar yang sederhana, yaitu struktur dari masyarakat ditentukan oleh organisasi ekonomi, terutama pada pemilikan barang produksi (ownership of poverty). Dogma agama, nilai-nilai budaya, kepercayaan individual, susunan dan struktur lembaga-lembaga dalam masyarakat, semuanya secara mendasar merupakan refleksi dari organisasi ekonomi yang ada dalam masyarakat. Menyatu dalam sistem ekonomi, kesenjangan dalam pemilikan barang produksi telah mendorong mendorong terjadinya konflik antar kelas secara revolusioner. Kelas yang tidak menguasai alat produksi telah menjadi kelas yang dieksploitasi, senantaiasa berjuang memperbaiki posisi mereka yang rendah dan tertindas dan secara revolusi mereka melawan kelas yang dominan dalam penguasaaan faktor produksi. Dalam pandangan Marx, cerita sejarah tentang manusia tidak lain adalah cerita tentang perjuangan kelas antara para pemilik alat produksi dengan para buruh yang tidak menguasai alat produksi, antara yang didominasi melawan yang mendiminasi atau antara yang memiliki kekuasaan dengan yang tidak memiliki kekuasaan.
Para ahli perspektif teori konflik masa kini melihat bahwa konflik merupakan fenomena yang senantiasa ada dalam kehidupan sosial dan sebagai hasilnya, masyarakat senantiasa berada dalam perubahan yang terus menerus. Berbeda dengan Marx, para ahli sosiologi perspektif konflik masa kini jarang yang melihat konflik senantaiasa merupakan refleksi dari organisasi ekonomi maupun kepemilikan (ownership). Konflik dalam pandaangan para ahli perspektif konflik masa kini , meliputi bidang yang luas di mana terjadi pertentangan dari berbagai kepentingan dan kelompok dalam masyarakat. Jadi konflik bukan hanya antara pemilik modal dengan para buruh seperti dikemukakan oleh Marx, tetapi juga meliputi pertentangan antara orang muda dengan orang tua, antara pria dan wanita, antara satu etnis atau ras tertentu dengan etnis atau ras tertentu sebagaimana antara pemilik modal dengan para buruh. Konflik ini disebabkan karena sesuatu yang dihargai dalam masyarakat (kekuasaan, ilmu pengetahuan, tanah, uang dan sebagainya) tidak terdistribusi merata dan tidak semua orang dapat memperolehnya secara sama. Sesuatu yang bernilai itu merupakan komoditas yang terbatas, sedangkan permintaan (demand) akan hal itu lebih besar dari penawaran (supply) yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu barang siapa dapat memiliki atau mengontrol barang dan jasa yang bernilai dalam masyarakat, akan cenderung mempertahankan dan melindungi kepentingannyaa terhadap usaha pihak lain untuk merebutnya.
Dalam pandangan yang demikian, konflik tidak selalu berarti perang, kekerasan dan sejenisnya. Konflik menunjuk pada perjuangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan setiap anggota masyarakat untuk berusaha mempertahankan, meningkatkan dan menjaga posisi sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari. Konflik juga tidak dilihat sebagai proses yang destruktif (merusak) yang akan embawa paada kondisi ketidak-terauran (disorder) dan pecahnya masyarakat. Beberapa ahli perspektif teori konflik modern misalnya Dahrendorf dan Lewis Coser bahkan melihat adanya peranan konflik dalam menciptakan integrasi, yang ditandai oleh adanya kekuatan yang menyumbang terjadinya keteraturan dan stabilitas. Bagaimana konflik memeiliki peran integratif dapat dipahami dengan melihat bahwa semua orang memiliki kepentingan yang sama akan bekerja sama untuk berusaha mencapainya agar keuntungan dapat diraih bersama. Konflik antar ras misalnyaa dapat menjadi pengikat kebrsamaan dalam suatu ras tertentu, mengabaikan perbedaan-perbedaan diantara mereka sendiri.
Teori ini berbeda dengan dari struktural fungsional. Jika teori struktural fungsional melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang senantiasa dalam keadaan ekulibrium atau kesimbangan, teeori konflik sebaliknya, melihat masyarakat sebagai arena bagi terjadinya pertentangan yang terus menerus dan terjadi perubahan-perubahan. Teori struktural fungsional melihat proses sosial merupakan proses yang terus menerus dengan mengembangkan keselarasan (harmony), sebaliknya teori konflik melihat proses sosial sebagi proses perjuangan yang terus menerus menuju sasarannya. Teeori struktural fungsional melihat masyarakat pada adsarnya berlandaskan pada konsensus, terintegrasi dan statis, di lain pihak teori konflik melihat masyarakat itu pada dasarnya ditandai oleh adanya paksaan, pertentangan dan perubahan yang terus menerus. Jika teori struktural fungsional dikritik karena terlalu menekankan pada stabilitas dan status quo serta mengabaikan perubahan, sebaliknya teori konflik dikritik karena terlalu kontroversial dan terlalu berlebihan dalam melihat keteraturan atas dasar paksaan.
3.4. Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik
Tokoh utama perspketif ini diabngun oleh George Herbert Mead, William Issac Thomas, dan John Dewey, TH. Cooley. Perbedaan utama perspektif ini dengan perspektif terdahulu terletak pada ukuran dari unit yang dipakai dalam analisis dan penelitian. Jika teori evolusi, struktural fungsional, maupun konflik terletak pada ukuran dari unit yang dipakai dalam analisis dan penelitian. Jika teori evolusi, strukturaal fungsional maupun konflik berada pada tataran sosiologi makro, yang melihat masyarakat sebagai suatu susunan yang besar : organisasinya, lembaga-lembaganya, kelas-kelas sosial dans ebagainya, maka perspektif teori interaksionisme simbolik berada pada tataran mikro sosiologi, yang mremusatkan perhatiannya pada individu dalam masyarakat dan definisi situasi, makna, peran, pola interaksi yang dibuat individu. Meski antar berbagai perspektif kedua tataran ini kadang terjadi tumpang tindih (overlap), tetpai padaadsarnya terdapat perbedaan asumsi dan teori yang mendasar diantara keduanya.
Bagi perspektif interaksionisme simbolik yang penting bagi sosiologi adalah memahami bagaimana individu mempengaruhi dan sebaliknya mempengaruhi juga dipengaruhi oleh masyarakat. Perspektif ini berasumsi bahwa masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang telah mengalami proses sosialisasi dan eksistensi serta strukturnya nampak dan terbentuk melalui interaksi sosial yang berlangsung diantara individu dalam masyarakat tersebut dalam tingkatan simbolik
Dalam perspektif ini sesuatu yang penting pada penggunaan simbol. Untuk memperjelas makna simbol dapat dijelaskan dengan contoh, misalnya seseorang yang mengendarai mobil di perempatan yang ada lampu pengatur lalu lintas yang menyala adalah MERAH, maka iapun berhenti, padahal yang ada di hadapannya bukanlah obyek fisik yang dapat menghalanginya. Berhentinya seseorang di lampu merah jelas karena ia telah belajar, telah tahu bahwa lampu merah adalah pertanda atau simbol bahwa ia harus berhenti. Contoh lain adalah, seorang laki-laki yang mengulurkan tangannya merupakan tanda bersahabat, akan tetapi kalau ia mengepalkan tangannya tentu bermakna sebaliknya. Dalam kehidupan yang nyata kegagalan merumuskan situasi perilaku secara benar dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang menyenangkan atau malah bisa berakibat fatal.
Sebagaimana dituangkapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku mereka Social Construction of Reality (1966) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia Tafsir Sosial Atas Kenyataan (1990). Masyarakat merupakan kenyataan obyektif dalam arti orang, kelompok, dan lembaga-lembaga adalah nyata. Akan tetapi, masyarakat adalah juga suatu kenyataan subyektif dalam arti bagi setiap orang, atau lembaga-lembaga lain tergantung pada pandangan subyektif orang tersebut. Apakah sebagain orang sangat baik atau jahat, apakah polisi pelindung atau penindas masyarakat, apakah perusahaan swasta melayani kepentingan umum atau pribadi-ini adalah persepsi yang mereka bentuk dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan persepsi ini merupakan “kenyataan” bagi mereka yang memberikan penilaian tersebut. Dalam hal ini perspektif interaksionisme simbolik memulainya dengan konsep diri (self), diri dalam hubungannya dengan orang lain dan diri dan orang lain itu dalam konteks sosial yang lebih luas. Dalam konteks sosial inilah dapat dipahami mengapa seseorang memiliki anggapan negatif terhadap lainnya, mengapa lebih mudah bergaul dengan seseorang dari pada lainnya maupun mengapa lebih enak berada diantara orang-orang yang sudah dikenal dari pada diantara orang-orang yang belum dikenal. Jadi dalam hal ini perspektif interasionisme simbolik memahami individu dalam konteks sosialnya, melalui pemahaman lingkungan sosial (social setting), dari sinilah kemudian dapat dipahami interaksinya, nilai-nilainya, misalnya pantas-tidak pantas, baik-buruk dan sebagainya.
3.5. Perspektif Teori Pertukaran
Perspektif teori pertukaran pada dasarnya memiliki akar pemikiran yang beerbeda dari perspektif yang lain, di mana perspektif ini bersumber dari pemikiran ekonomi, antropologi, psikologi, maupun sosiologi. Perspektif ini berdasarkan pada anggapan bahwa kehidupan pada dasarnya adalah serangkaian pertukaran yang di dalamnya terdapat keuntungan dan kerugian. Dalam lapangan ekonomi, orang saling mempertukarkn uang, barang, jasa untuk mendapatkan keuntungan, setidaknya tidak mengalami kerugian dalam pertukaran itu. Secara antropologis, psikologis maupun sosiologis, hal yang dipertukarkan meliputi pula baik faktor fisik maupun faktor sosial. Misalnya agar dapat mempererat persahabatan, orang mengundang orang lain makan malam dan sebagainya. Pekerjaan, pemberian, gagasan, uang, perhatian adalah sesuatu yang dimiliki orang untuk dipertukarkan dengan orang lain.
Teori pertukaran sosial berupaya memhami mengapa suatu tingkah laku terjadi dalam suatu situasi struktural tertentu dan dalam situasi dimana kemungkinan untuk berinteraksi terjadi. Misalnya mengapa perempuan cenderung menikah dengan laki-laki dengan status sosial yang lebih tinggi, bukan sebaliknya laki-laki dengan status sosial yang rendah dengan perempuan berstatus sosial lebih tinggi. Perspektif teori pertukaran berupaya memahami hal ini dengan melihat kualitas yang diinginkan oleh laki-laki dan oleh perempuan yang dapat saling dipertukarkan. Dalam suatu masyarakat, mungkin pekerjaan yang baik dan memiliki kekayaan melimpah merupakan hal yang diinginkan oleh perempuan dari seorang laki-laki, sedangkan bagi laki-laki barangkali kecantikan dan kondisi fisik yang sempurna yang diinginkan. Jadi dalam situasi sosial yang demikian dapat dipahami mengapa perempuan yang cantik dari status sosial yang rendah akan “mempertukarkan” “kecantikan” yang dimilikinya itu dengan “harta” dan “masa depan” yang dimiliki oleh laki-laki dari staatus sosial ekonomi lebih tinggi, demikian pula sebaliknya bagi laki-laki, mungkin baginya akan membanggakan dirinya menggandeng istri yang cantik.
Perspektif teori pertukaran ini berasumsi bahwa orang selalu berupaya mendapatkan status, berusaha mendapatkan ganjaran (reward), menjalin hubungan yang lebih baik dan berupaya untuk menghindari atau mengurangi seminimal mungkin biaya atau kerugian, hukuman uyang diperolehnya. Menghadapi serangkain alternatif yang ada, setiap orang akan memilih pilihan yang memberi keuntungan terbesar, ganjaran terbesar, keamanan tertinggi dan pada saay yang sama menghindari resiko, mengurangi kerugian dan menghindari hal yang tidak aman. Jika kerugian lebih besra dari perolehan maka orang akan merasa tidak suka, marah, dan tidak nyaman, sebaliknyaaaaaa jika perolehan lebih besar dari kerugian maka akan merasa enak, nyaman, dan suka. Agar pihak-pihak dalam pertukaran itu sama-sama merasakan keuntungan, maka interaksi sosial harus dilakukan dalam mewujudkan pertukaran yang seimbang, yaitu suatu perasaan bahwa masing-masing mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari kerugiannya.
Terdapat dua aliran dalam perspektif teori pertukaran ini. Aliran yang pertama adalah aliran dengan tokohnya George Homans. Homans merupakan salah satu ahli yang mewakili aliran teori pertukaran yang bersifat psikologis (behavioral psichology), yang melihat perilaku dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan ganjaran dan hukuman. Aliran teori ini memusatkan perhatiannya pada perilaku yang terjadi (actual behavior), bukan pada proses yang dapat dilacak dari perilaku yang terjadi itu, karena proses itu tidaklah dapat diamati. Dalam pertukaran sosial, ganjaran dan hukuman pada dasarnya adalah perilaku pihak lain.
Aliran pemikiran yang lain dengan tokohnya Peter M. Blau, yang secara konsisten mengikuti prisnsip teeori interkasionisme simbolik. Blau tidak menekankan untuk melakukan penjelasan atas semua pertukaran yang nampak dari perilaku yang dapat diamati. Dalam pandangan Blau, pertukaran itu lebih bersifat subyektif dan interpretatif, sehingga pertukaran pada dasarnya berada pada tingkatan simbolik. Sebagai hasilnya dalam pandangan perspektif ini uang dapat memiliki makna yang berbeda-beda, misalnya uang sebagai ganjaran jika penerima uang itu mengartikannya demikian, tetapi dapt pula berarti bentuk fisik dari penghargaan karena seseorang telah bekerja dengan baik, atau uang hanyalah sekedar wujud rasa kasih sayang atau perhatian dari pihak lain, dan sebaginya.
Baik Homans maupun Blau keduanya sepakat baahwa adalah penting bagi masing-masing pihak dalam pertukaran menerima sesuatu setara dengan yang telah diberikannya pada pihak lain. Menurut Homans ini disebut dengan distribitive justice sedang Blau menyebutnya fair exchange. Dalam pertukaran terkandung harapan-harapan yang seimbang yang masing-masing memiliki kesetaraan. Jika sumber atau kriteria pertukaran ini tidak seimbang maka salah satu berada pada posisi dirugikan dan lemah, sedang pihak lain memiliki kekuasaan lebih besar serta mampu mengontrol dalam hubunagnnya dengan pihak lain. Sebagai contoh, dalam perkawinan yang kriteria pertukarannya tidak seimbang akan membawa akibat adaanya dominasi salah satu pihak terhadap lainnya atau bahkan mungkin akan emneybabkan perkawinan itu berakhir. Jadi dalam pandangan perspektif pertukaran kehidupan sosial dipandang sebagai proses dimana didalamnya terjadi tawar menawar atau negosiasi dan hubungan sosial yang terjadi didasrkan pada kepercayaan dan kepentingan kedua pihak.
PENGERTIAN DAN OBYEK STUDI SOSIOLOGI
Pengertian Sosiologi
Istilah sosiologi barangkali sudah sering dibicarakan dan didengar orang. Akhir-akhir inipun ketika terjadi kerusuhan dan konflik di beberapa daerah di Indonesia, banyak analisis di media yang mengatakan “secara sosiologis”. Namun demikian tidak banyak orang yang memaknai istilah sosiologi secara tepat. Akibatnya sedikit pula yang bisa memberi penjelasan istilah sosiologi dengan benar. Jadi apa sebenarnya penjelasan mengenai hal tersebut?
Kata “sosiologi” berasal dari kata socius dan logos. Socius berasal dari kata Latin yang berarti kawan atau berkumpul; dan logos berasal dari kata Yunani yang berarti ilmu atau pelajaraan. Jadi berdasar asal katanya sosiologi diartikan ilmu tentang hidup bersama atau ilmu tentang masyarakat. Pengertian yang demikian apakah sudah bisa memberikan penjelasan mengenai sosiologi? Tentunya pengertian ini belum menjelaskan mengenai apa sosiologi itu.
Dalam banyak literatur istilah sosiologi seringkali diberikan batasan pengertiannya hanya dengan suatu rumusan yang singkat dan pendek. Akibatnya rumusan pendek dan singkat ini kurang dapat dimengerti dan kurang memberikan penjelasan sebagaimana yang diharapakan.
Beberapa contoh definisi sosiologi yang bisa dikemukakan yaitu :
1. Roucek dan Warren :
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
2. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff :
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial.
3. JAA Van Doorn dan CJ Lamners :
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
4. Mac Iver :
Sociologi is about social relationship, a network of relationship we call society
5. Gillin dan Gillin :
Sociology is the study of interaction arising from the association of living beings.
6. Ogburn :
Sociology is a body of learning about society
7. Bogardus :
Sociology is definied as study of the ways in which social experiences function in developing, maturiting, repressing human beings through inter-personal stimulation.
8. Cuber :
Sociology is defined as a body of scientifict knowledge about human relationships.
9. Kimball Young :
Sociology deals with behavior of men
10. Ginsberg :
Sociology is the study of human interaction, interactions, their interactions and consequences.
11. Giddings :
Sociology is a science of social phenomena.
Definisi di atas merupakan beberapa dari banyak definisi yang diberikan oleh para ahli sosiologi. Hal yang pasti dari definisi yang umumnya pendek dan singkat kadang-kadang tidak banyak kejelasan yang diperoleh. Selain tidak jelas, definisi tersebut kadang-kadang pula belum menunjukkan batasan-batasan antara sosiologi dengan ilmu-ilmu sosial lain yang juga melihat masyarakat sebagai obyek studinya.
Definisi yang cukup memadai dan bisa dijadikan acuan antara lain yang dikemukakan oleh Waters dan Crook (1990), yang menyatakan :Sociology is the systematic analysis of the structure of social behavior.
Dari definisi Waters dan Crook di atas setidaknya terdapat empat elemen penting, yang memberikan bukan saja penjelasan mengenai apa sosiologi itu, tetapi juga batas-batas yang membedakannya dari ilmu-ilmu sosial lain.
Pertama, sosiologi mempelajari perilaku, tetapi perilaku yang dikaji adalah perilaku dalam karakter sosial, bukan individual. Perilaku berkarakter sosial merupakan perilaku yang ditujukan bagi orang lain dan bukan bagi dirinya sendiri, serta memiliki konsekuensi bagi orang lain, atau perilaku itu merupakan konsekuensi dari orang lain. Jadi di sini ada hubungan timbal balik antara satu orang dengan orang lainnya.
Kedua : perilaku sosial yang dipelajari oleh sosiologi itu adalah perilaku yang berstruktur. Struktur menunjuk pada adanya pola (pattern) atau menunjuk aadaanya keteraturan tertentu. Suatu perilaku itu berstruktur jika terdapat pola atau keteraturan tertentu. Suatu perilaku sosial yang hanya terjadi sekali saja dan kemduian tidak terjadi lagi, bukanlah merupakan bidang kajians sosiologi. Sosiologi tidaklah semata-mata hanya menjelaskan secara deskriptif suatu perilaku sosial, tetapi lebih dari itu, sosiologi berupaya menjelaskan dan berusahaa memahami kaitan antara elemen-elemen perilaku sosial.
Ketiga : penjelasan sosiologi itu bersifat analitis. Setiap ilmu pengetahuan senantiasa terdiri dari (1) content / the body of knowledge atau substansi dari ilmu pengetahuan itu dan (2) methods / procedures atau tata cara bagaimana substansi pengetahuan itu diperoleh secara sistematis. Ini berarti bahwa dalam sosiologi terdapat pula prinsip-prinsip metodologis yang diterapkan dalam menjelaskan perilaku sosial tersebut, dan bukan berdasarkan pada konsensus atau kesepakatan yang berlaku khusus. Terdapat kaidah atau prinsip metodologi penelitian tertentu yang digunakan untuk menjelaskan perilaku sosial dalam sosiologi.
Keempat : penjelasan sosiologi bersifat sistematis. Ini berarti bahwa dalam memahami perilaku sosial sosiologi merupakan suatu disiplin ilmu yang mengikuti tatanan atau aturan-aturan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
2.2. Pandangan Para Perintis Sosiologi Tentang Sosiologi
2.2.1. Emile Durkheim : Fakta Sosial
Emile Durkheim berpendapat bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial. Fakta sosial merupakan cara-cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Untuk memahami konsep fakta sosial ini, Durkheim menyajikan contoh misalnya pendidikan anak. Sejak bayi anak diwajibkan untuk makan, minum, tidur pada waktu-waktu tertentu; diwajibkan taat, dan menjaga kebersihan serta ketenangan; diharuskan tenggang rasa terhadap orang lain, menghormati adat dan kebiasaan.
Contoh-contoh di atas merupakan unsur-unsur yang dikemukakan dalam definisi Durkheim tersebut : ada cara bertindak, berpikir, berperasaan yang bersumber pada kekuatan di luar individu, bersifat memaksa dan mengendalikan individu, dan berada di luar kehendak pribadi individu. Contoh lain dari konsep fakta sosial yang diambil dari buku Durkheim : The Division of Labor in Society (1968) dan Suicide (1968). Durkheim mengemukakan bahwa pembagian kerja dalam masyarakat (mungkin di saat sekarang orang cenderung menggunakan istilah lain), seperti spesialisasi. Spesialisasi dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti bidang ekonomi, pendidikan, politik, hukum, ilmu pengetahuan, kesenian, administrasi merupakan cara bertindak yang dianut secara umum, berada di luar kehendak pribadi, individu.
Kemudian contoh dari buku Suicide-nya : menurut Durkheim laju bunuh diri dalam tiap masyarakat dari tahun ke tahun cenderung relatif konstan-menurut Durkheim ini merupakan fakta sosial. Dalam penelitian Durkheim ditemukan bahwa laju bunuh diri disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar individu.
2.2.2. Max Weber : Tindakan Sosial
Bagi Weber sosiologi ialah ilmu yang mempelajari tindakan sosial (social action). Menurut Weber tidak semua tindakan manusia disebut sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya disebut sebagai tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain, dan berorientasi pada perilaku orang lain. Misalnya menyanyi di kamar mandi untuk menghibur diri sendiri tidak dapat dianggap sebagai tindakan sosial; tetapi menyanyi di depan umum dengan maksud untuk menghibur orang lain merupakan tindakan sosial.
Menurut Weber suatu tindakan sosial ialah perilaku manusia yang mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Dari contoh di atas nampak bahwa tindakan yang sama : menyanyi - dapat mempunyai makna berlainan bagi pelakunya. Menurut Weber sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai tujuan dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Maka apabila ahli sosiologi ingin memahami makna subyektif suatu tindakan sosial ia harus dapat membayangkan dirinya di tempaat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Suatu contoh hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang pelacur, misalnya seorang ahli sosiologi dapat memahami makna subyektif tindakan sosial mereka.
2.3. Pembagian Sosiologi : Makrososiologi dan Mikrososiologi.
Kebiasaan para ahli di kalangan sosiologi dijumpai mengklasifikasikan pokok bahasan sosiologi ke dalam dua bagian. Nama-nama yang diberikan tidak selalu sama, misalnya broom dan Selznik membedakan tatanan makro dan tatanan mikro; jack Douglas membedakan antara perspektif makrososial (macrosocial perspective) dan perspektif mikrososial (microsocial perspective); Doyle Paul Johnson membedakan antara jenjang makro dan jenjang mikro, dan Randal Collins membedakan antara makrososiologi (macrosociology) dan mikrososiologi (microsociology). (Sunarto, 2004:16). Dalam pandangan Collins penjabaran dalam makrososiologi dan mikrosoisologi meliputi :
Tabel 1
Pembagian Mikrososiologi dan Makrososiologi
Hal yang dibahas Mikrososiologi Makrososiologi
Analisis Analisis terinci mengenai apa yg dilakukan, dikatakan, dan dipikirkan manusia dlm laju pengalaman sesaat Analisis proses sosial berskala besar dan berjangka panjang
Skala ruang Pokok bahsan mulai dari seseorang, kelompok kecil Pengelompokan yang lebih besar spt kerumunan atau organisasi, komunitas, masyarakat teritorial.
Skala Waktu Cenderung mempelajari gejala sosial yang terjadi dalam waktu pendek (detik, menit, jam) Cenderung mempelajari gejala sosial yang terjadi dalam jangka waktu lebih panjang
Istilah sosiologi barangkali sudah sering dibicarakan dan didengar orang. Akhir-akhir inipun ketika terjadi kerusuhan dan konflik di beberapa daerah di Indonesia, banyak analisis di media yang mengatakan “secara sosiologis”. Namun demikian tidak banyak orang yang memaknai istilah sosiologi secara tepat. Akibatnya sedikit pula yang bisa memberi penjelasan istilah sosiologi dengan benar. Jadi apa sebenarnya penjelasan mengenai hal tersebut?
Kata “sosiologi” berasal dari kata socius dan logos. Socius berasal dari kata Latin yang berarti kawan atau berkumpul; dan logos berasal dari kata Yunani yang berarti ilmu atau pelajaraan. Jadi berdasar asal katanya sosiologi diartikan ilmu tentang hidup bersama atau ilmu tentang masyarakat. Pengertian yang demikian apakah sudah bisa memberikan penjelasan mengenai sosiologi? Tentunya pengertian ini belum menjelaskan mengenai apa sosiologi itu.
Dalam banyak literatur istilah sosiologi seringkali diberikan batasan pengertiannya hanya dengan suatu rumusan yang singkat dan pendek. Akibatnya rumusan pendek dan singkat ini kurang dapat dimengerti dan kurang memberikan penjelasan sebagaimana yang diharapakan.
Beberapa contoh definisi sosiologi yang bisa dikemukakan yaitu :
1. Roucek dan Warren :
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
2. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff :
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial.
3. JAA Van Doorn dan CJ Lamners :
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
4. Mac Iver :
Sociologi is about social relationship, a network of relationship we call society
5. Gillin dan Gillin :
Sociology is the study of interaction arising from the association of living beings.
6. Ogburn :
Sociology is a body of learning about society
7. Bogardus :
Sociology is definied as study of the ways in which social experiences function in developing, maturiting, repressing human beings through inter-personal stimulation.
8. Cuber :
Sociology is defined as a body of scientifict knowledge about human relationships.
9. Kimball Young :
Sociology deals with behavior of men
10. Ginsberg :
Sociology is the study of human interaction, interactions, their interactions and consequences.
11. Giddings :
Sociology is a science of social phenomena.
Definisi di atas merupakan beberapa dari banyak definisi yang diberikan oleh para ahli sosiologi. Hal yang pasti dari definisi yang umumnya pendek dan singkat kadang-kadang tidak banyak kejelasan yang diperoleh. Selain tidak jelas, definisi tersebut kadang-kadang pula belum menunjukkan batasan-batasan antara sosiologi dengan ilmu-ilmu sosial lain yang juga melihat masyarakat sebagai obyek studinya.
Definisi yang cukup memadai dan bisa dijadikan acuan antara lain yang dikemukakan oleh Waters dan Crook (1990), yang menyatakan :Sociology is the systematic analysis of the structure of social behavior.
Dari definisi Waters dan Crook di atas setidaknya terdapat empat elemen penting, yang memberikan bukan saja penjelasan mengenai apa sosiologi itu, tetapi juga batas-batas yang membedakannya dari ilmu-ilmu sosial lain.
Pertama, sosiologi mempelajari perilaku, tetapi perilaku yang dikaji adalah perilaku dalam karakter sosial, bukan individual. Perilaku berkarakter sosial merupakan perilaku yang ditujukan bagi orang lain dan bukan bagi dirinya sendiri, serta memiliki konsekuensi bagi orang lain, atau perilaku itu merupakan konsekuensi dari orang lain. Jadi di sini ada hubungan timbal balik antara satu orang dengan orang lainnya.
Kedua : perilaku sosial yang dipelajari oleh sosiologi itu adalah perilaku yang berstruktur. Struktur menunjuk pada adanya pola (pattern) atau menunjuk aadaanya keteraturan tertentu. Suatu perilaku itu berstruktur jika terdapat pola atau keteraturan tertentu. Suatu perilaku sosial yang hanya terjadi sekali saja dan kemduian tidak terjadi lagi, bukanlah merupakan bidang kajians sosiologi. Sosiologi tidaklah semata-mata hanya menjelaskan secara deskriptif suatu perilaku sosial, tetapi lebih dari itu, sosiologi berupaya menjelaskan dan berusahaa memahami kaitan antara elemen-elemen perilaku sosial.
Ketiga : penjelasan sosiologi itu bersifat analitis. Setiap ilmu pengetahuan senantiasa terdiri dari (1) content / the body of knowledge atau substansi dari ilmu pengetahuan itu dan (2) methods / procedures atau tata cara bagaimana substansi pengetahuan itu diperoleh secara sistematis. Ini berarti bahwa dalam sosiologi terdapat pula prinsip-prinsip metodologis yang diterapkan dalam menjelaskan perilaku sosial tersebut, dan bukan berdasarkan pada konsensus atau kesepakatan yang berlaku khusus. Terdapat kaidah atau prinsip metodologi penelitian tertentu yang digunakan untuk menjelaskan perilaku sosial dalam sosiologi.
Keempat : penjelasan sosiologi bersifat sistematis. Ini berarti bahwa dalam memahami perilaku sosial sosiologi merupakan suatu disiplin ilmu yang mengikuti tatanan atau aturan-aturan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
2.2. Pandangan Para Perintis Sosiologi Tentang Sosiologi
2.2.1. Emile Durkheim : Fakta Sosial
Emile Durkheim berpendapat bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial. Fakta sosial merupakan cara-cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Untuk memahami konsep fakta sosial ini, Durkheim menyajikan contoh misalnya pendidikan anak. Sejak bayi anak diwajibkan untuk makan, minum, tidur pada waktu-waktu tertentu; diwajibkan taat, dan menjaga kebersihan serta ketenangan; diharuskan tenggang rasa terhadap orang lain, menghormati adat dan kebiasaan.
Contoh-contoh di atas merupakan unsur-unsur yang dikemukakan dalam definisi Durkheim tersebut : ada cara bertindak, berpikir, berperasaan yang bersumber pada kekuatan di luar individu, bersifat memaksa dan mengendalikan individu, dan berada di luar kehendak pribadi individu. Contoh lain dari konsep fakta sosial yang diambil dari buku Durkheim : The Division of Labor in Society (1968) dan Suicide (1968). Durkheim mengemukakan bahwa pembagian kerja dalam masyarakat (mungkin di saat sekarang orang cenderung menggunakan istilah lain), seperti spesialisasi. Spesialisasi dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti bidang ekonomi, pendidikan, politik, hukum, ilmu pengetahuan, kesenian, administrasi merupakan cara bertindak yang dianut secara umum, berada di luar kehendak pribadi, individu.
Kemudian contoh dari buku Suicide-nya : menurut Durkheim laju bunuh diri dalam tiap masyarakat dari tahun ke tahun cenderung relatif konstan-menurut Durkheim ini merupakan fakta sosial. Dalam penelitian Durkheim ditemukan bahwa laju bunuh diri disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar individu.
2.2.2. Max Weber : Tindakan Sosial
Bagi Weber sosiologi ialah ilmu yang mempelajari tindakan sosial (social action). Menurut Weber tidak semua tindakan manusia disebut sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya disebut sebagai tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain, dan berorientasi pada perilaku orang lain. Misalnya menyanyi di kamar mandi untuk menghibur diri sendiri tidak dapat dianggap sebagai tindakan sosial; tetapi menyanyi di depan umum dengan maksud untuk menghibur orang lain merupakan tindakan sosial.
Menurut Weber suatu tindakan sosial ialah perilaku manusia yang mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Dari contoh di atas nampak bahwa tindakan yang sama : menyanyi - dapat mempunyai makna berlainan bagi pelakunya. Menurut Weber sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai tujuan dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Maka apabila ahli sosiologi ingin memahami makna subyektif suatu tindakan sosial ia harus dapat membayangkan dirinya di tempaat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Suatu contoh hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang pelacur, misalnya seorang ahli sosiologi dapat memahami makna subyektif tindakan sosial mereka.
2.3. Pembagian Sosiologi : Makrososiologi dan Mikrososiologi.
Kebiasaan para ahli di kalangan sosiologi dijumpai mengklasifikasikan pokok bahasan sosiologi ke dalam dua bagian. Nama-nama yang diberikan tidak selalu sama, misalnya broom dan Selznik membedakan tatanan makro dan tatanan mikro; jack Douglas membedakan antara perspektif makrososial (macrosocial perspective) dan perspektif mikrososial (microsocial perspective); Doyle Paul Johnson membedakan antara jenjang makro dan jenjang mikro, dan Randal Collins membedakan antara makrososiologi (macrosociology) dan mikrososiologi (microsociology). (Sunarto, 2004:16). Dalam pandangan Collins penjabaran dalam makrososiologi dan mikrosoisologi meliputi :
Tabel 1
Pembagian Mikrososiologi dan Makrososiologi
Hal yang dibahas Mikrososiologi Makrososiologi
Analisis Analisis terinci mengenai apa yg dilakukan, dikatakan, dan dipikirkan manusia dlm laju pengalaman sesaat Analisis proses sosial berskala besar dan berjangka panjang
Skala ruang Pokok bahsan mulai dari seseorang, kelompok kecil Pengelompokan yang lebih besar spt kerumunan atau organisasi, komunitas, masyarakat teritorial.
Skala Waktu Cenderung mempelajari gejala sosial yang terjadi dalam waktu pendek (detik, menit, jam) Cenderung mempelajari gejala sosial yang terjadi dalam jangka waktu lebih panjang
SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI
1.1. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif muda yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan pandangan baru pada saat itu.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun 1876. Ia menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.
Seorang Amerika Lester F. Ward yang menerbitkan bukunya “Dynamic Sociology” dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog.
Seorang Perancis, Emile Durkheim menunjukkan pentingnya metodologi ilmiah dalam sosiologi. Dalam bukunya Rules of Sociological Method yang diterbitkan tahun 1895, menggambarkan metodologi yang kemudian ia teruskan penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang diterbitkan pada tahun 1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri, pertama-tama ia merencanakan disain risetnya dan kemudian mengumpulkan sejumlah besar data tentang ciri-ciri orang yang melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori tentang bunuh diri.
Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai universitas sekitar tahun 1890-an. The American Journal of Sociology memulai publikasinya pada thun 1895 dan The American Sociological Society (sekarang bernama American Sociological Association) diorganisasikan dalam tahun 1905.
Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.
Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an telah menciptakan masalah sosial. Hal ini mendorong para sosiolog Amerika untuk mencari solusinya. Mereka melihat sosiologi sebagai pedoman ilmiah untuk kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika terbitnya edisi awal American Journal of Sociology isinya hanya sedikit yang mengandung artikel atau riset ilmiah, tetapi banyak berisi tentang peringatan dan nasihat akibat urbanisasi dan industrialisasi. Sebagai contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903 berjudul “The Social Effect of The Eight Hour Day” tidak mengandung data faktual atau eksperimental. Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial dari hari kerja yang lebih pendek.
Namun pada tahun 1930-an beberapa jurnal sosiologi yang ada lebih berisi artikel riset dan deskripsi ilmiah. Sosilogi kemudian menjadi suatu pengetahuan ilmiah dengan teorinya yang didasarkan pada obeservasi ilmiah, bukan pada spekulasi-spekulasi.
Para sosiolog tersebut pada dasarnya merupakan ahli filsafat sosial. Mereka mengajak agar para sosiolog yang lain mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan data yang nyata, dan dari kenyataan itu disusun teori sosial yang baik.
1.2. Sosiologi dan Pengetahuan
Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahluk yang paling mulia. Sejak lahir Tuhan mengkaruniai manusia akal budi. Akal budi diciptakan untuk berfikir, berkehendak, dan merasa. Dengan fikirannya manusia mendapatkan (ilmu) pengetahuan; dengan kehendaknya manusia mengarahkan perilakunya; dan dengan perasaannya manusia dapat mencapai kesenangan.
Sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dinamakan logika. Logika merupakan ajaran yang menunjukkan bagaimana manusia berfikir secara tepat dengan berpedoman pada ide kebenaran. Ketika kita sudah mengetahui batasan sosiologi, pertanyaan yang muncul kemudian ialah apakah sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan?
Kalau para pelopor sosiologi, sejak dahulu tentunya menganggap bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan. Namun benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya kita harus mengetahui dahulu apa yang disebut sebagai ilmu pengetahuan?
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan (knowledge) yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, dan pengertahuan itu dapat dikontrol oleh orang lain atau umum (obyektif). Atau ilmu pengetahuan bisa dirumuskan apabila memiliki beberapa elemen (unsur) yang menjadi suatu kebulatan, yaitu :
pengetahuan (knowledge)
tersusun secara sistematis
menggunakan pemikiran
bersifat obyektif (dapat dikontrol secara kritis oleh umum)
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Misalnya : pengetahuan jenis-jenis kain, pengetahuan mengenai bebauan minyak wangi, pengetahuan mengenai cara pembuatan tempe.
Sistematis berarti berdasarkan urutan unsur-unsur yang merupakan satu kebulatan, sehingga akan jelas apa yang merupakan garis besar dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Tidak semua pengetahuan merupakan suatu ilmu, hanya pengetahuan yang tersusun sistematis saja yang merupakan ilmu pengetahuan. Sistem tadi merupakan suatu konstruksi yang abstrak dan teratur sehingga merupakan keseluruhan yang terangkai.
Menggunakan pemikiran : ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis menggunakan kekuatan pemikiran, yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis (obyektif).
Apabila sosiologi memenuhi rumusan-rumusan di atas maka sosiologi merupakan suatu ilmu sejauh sosiologi mengembangkan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang didasarkaan pada penelitian ilmiah. Sejauh sosiologi meninggalkan mitos, dongeng dan angan-angan, dan mendasarkan kesimpulannya pada bukti-bukti ilmiah maka sosiologi adalah suatu ilmu. Bila ilmu didefinisikan sebagai suatu metode penelaahan, maka sosiologi adalah suatu ilmu sejauh sosiologi menggunakan metode penelaahan ilmiah.
Ilmu Pengetahuan sendiri dikelompokkan dalam 2 (dua) macam :
1. Ilmu Pengetahuan murni (pure science).
Ilmu pengetahuan murni bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak, untuk mempertinggi mutunya, tanpa menggunakannya langsung dalam masyarakat. Misalnya : seorang ahli fisika bukanlah membuat jembatan, ahli kimia bukanlah membuat obat, juga ahli sosiologi hanya mengemukakan pendapatnya yang berguna bagi pembentuk undang-undang, birokrat, petugas administrasi, guru-guru, diplomat dan lain sebagainya akan tetapi mereka tidak akan menentukan secara langsung apa yang dikerjakan oleh petugas-petugas tersebut.
Sosiologi bertujuan untuk mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mememecahkan persoalan-persoalan masyarakat. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa sosiologi tidak berguna bagi masyarakat.
2. Ilmu Pengetahuan Terapan (applied science)
Ilmu pengetahuan terapan merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat.
Misalnya : ilmu pengetahuan tentang berbagai seni, sebagaian besar dipergunakan dan diterapkan langsung.
1.3. Bapak Pendiri Sosiologi (The Founding Fathers Of Sosiology)
Pada bagian ini akan dijelaskan empat ahli yang sampai kini pikirannya masih dipakai dalam teori sosiologi, yaitu Auguste Comte, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Pandangan mereka telah memberi stimulan diskusi panjang tentang pelbagai persoalan terkait dgn kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pandangan mereka juga digunakan dalam disiplin ilmu social lain seperti ilmu politik, ekonomi, antropologi, dan sejarah.
1.3.1. Auguste Comte (1798-1857)
Auguste Comte (Perancis, 1798-1857) mengemukakan istilah awal : SOCIAL PHYSICS (FISIKA SOSIAL) karena istilah ini sudah digunakan oleh ahli statistik sosial Belgia Adophe Quetelet, maka istilah diubah menjadi sociology.
Auguste Comte membagi sosiologi ke dalam dua pendekatan yakni:
1. Statika sosial (social static) : mengkaji tatanan sosial. Statika mewakili stabilitas.
2. Sosial dinamik : mengkaji kemajuan dan perubahan social. Dinamika mewakili perubahan. Progres dlm membaca fenomena sosial perlu melihat masyarakat secara keseluruhan sebagai unit analisis.
Dengan memakai analogi dari biologi, Comte menyatakan bahwa hubungan antara statika dan dinamika merujuk pada konsep order didalamnya ditekankan bahwa bagian-bagian dari masyarakat tidak dapat dimengerti secara terpisah, tetapi harus dilihat sebagai satu kesatuan yg saling berhubungan..
1.3.2. Karl Marx (1818-1883)
Karl Marx lahir di Trier, Jerman tahun 1818 dari kalangan keluarga rohaniwan Yahudi. Tamat dari perguruan tinggi menjadi editor di sebuah surat kabar di Jerman. Pandangannya mat kritis terutama sangat anti penindasan yg hadir bersama system kapitalis yang mewarnai peradaban Eropa Barat. Beliau pindah ke Paris setelah terjadipertentangn dengan pemerintah Jerman. Ia berkolaborasi dengan Friedrich Engels menulis buku berjudul The Communist Manifesto (1848). Lalu menulis buku : Das Capital, dua bab terakhir buku ini diteruskan oleh Engels karena Marx keburu meninggal.
Menurut Marx, sejarah manusia mulai dari pertanian primitive, feudal dan industri, ditandai hubungan social yg melembagakan sifat ketergantungan untuk mengontrol atau menguasai sumber-sumber ekonomi. Mereka yg menguasai dan mengonytol sumber-sumber ekonomi adalah kelas atas, seangkan mereka yg hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak punya sama sekali adalah dari kelas bawah. Terjadi penindasan oleh kelas atas terhadap kelas bawah. Fokus perhatian Marx pada dua kelas penting : BORJUIS (kelas atas/kapitalis yg memiliki memiliki alat-alat produksi seperti pabrik dan mesin) dan PROLETAR (kelas bawah/ para buruh yg bekerja pada borjuis).
Pendapat Marx terhadap fenomena social semacam itu (penindasan /eksploitasi kaum borjuis terhadap kaum proletar) hanya dapat dihentikan dengan cara mengganti atau merusak system kapitalis. Caranya dengan melakukan revolusi (prinsip konflik) kemudian menggantinya dengan system yg lebih menghargai martabat manusia. Ini tidak mudah karena para buruh harus menghilangkan False Consciousness (kesadaran palsu) dengan class consciousness kesadaran kelas. Melalui bimbingan pemimpin-pemimpin revolusioner, para buruh akan menjadi setia dan mau berkorban demi perjuangan kelas. Denagn demikian kan muncul masyarakat yg adil, sama rata sama rasa, dan terhindardari segala bentuk eksploitasi, ini yg disebutnya sebagai masyarakat komunisme modern. Disamping dipuja banyak orang, Marx juga dikecam banyak orang, terutama pendapatnya tentang “agama sebagai candu masyarakat“ (the opium of the people).
1.3.3. Max Weber (1864-1920)
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Ayahnya seorang birokrat (kelak akan mewarnai pikiran beliau tentang birokrasi) yg menduduki posisi politik penting, sedangkan ibunya adalah seorang pemeluk agama Calvinisme yg sangat taat (juga mempengaruhinya melakukan studi tentang kaitan etika protestan dengan spirit kapitlisme industrial).
Beliau menempuh kuliah di Universitas berlin belajar hukum. Setelah berhasil mengambil gelar doctor ia berprofesi sebagai praktisi hukum, di samping itu ia juga bekerja sebagai dosen di Universitas Wina dan Munich. Ia banyak mendalami masalah ekonomi, sejarah, dan sosiologi. Bukunya yg terkenal berjudul “ A Contribution to the histoy of Medieval Business Organizations” dan “ The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” (1904) . Dalam bukunya yg kedua ini ia mengemukakan tesisnya mengenai keterkaitan antara etika protesan dengan munculnya kapitalisme di Eropa Barat.
Pandangan Weber, kenyataan social lahir dari motivasi individu dan tindakan-tindakan social (social action). Dari pandangannya sebenarnya Weber lazim digolongkan “nominalis” yg lebih percaya bahwa hanya individu-individu sajalah yg riil secara obyektif, dan masyarakat adalah satu nama yg menunjukan pada sekumpulan individu yg menjalin hubungan. Pandangan beliau tentang tindakan sosila inilah yg kemudian menjadi acuan dikembangkannya teori sosiologi yg membahas interaksi social.
1.3.4. Émile Durkheim (1858-1917)
Lahir di Epinal, Perancis dan berasal dari keluarga yg mewarisi tradisi sebagai pendeta Yahudi. Ia awlnya sebenarnya bersekolah untuk menjadi pendeta.
Durkheim merupakan ilmuwan yg sangat produktif. Salah satu karyanya yg berjudul “ The division of Labor in Society” (1968) membahas mengenai gejala yg sedang melanda masyarakat : pembagian kerja. Ia mengemukakan bahwa di bidang perekonomian seperti industri modern terjadi penggunaan mesin serta konsentrasi modal dan tenaga kerja yg mengakibatkan pembagian kerja ke dalam bentuk spesialisasi dan pemisahan okupasi yg semakin rinci. Pembagian tersebut dijumapai pula di bidang perniagaan dan pertanian. Lalu melebar pula pada bidang-bdang kehidupan yg lainnya : hokum, politik, kesenian, dan bahkan keluarga. Tujuan kajian durkheim ialah untuk memahami fungsi pembagian kerja tersebut, serta untuk mengetahui factor penyebabnya.
1.4. Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Ko Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Pernag Dunia ke dua diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat majemuk yang mencakup berates suku.
Pertanyaan :
1. Tesis Weber yang terkenal adalah ada keterkaitan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Jelaskan tesis Weber tersebut!
2. Apa sumbangan pemikiran Karl Marx yang penting bagi perkembangan sosiologi? Jelaskan!
Sebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif muda yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan pandangan baru pada saat itu.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun 1876. Ia menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.
Seorang Amerika Lester F. Ward yang menerbitkan bukunya “Dynamic Sociology” dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog.
Seorang Perancis, Emile Durkheim menunjukkan pentingnya metodologi ilmiah dalam sosiologi. Dalam bukunya Rules of Sociological Method yang diterbitkan tahun 1895, menggambarkan metodologi yang kemudian ia teruskan penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang diterbitkan pada tahun 1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri, pertama-tama ia merencanakan disain risetnya dan kemudian mengumpulkan sejumlah besar data tentang ciri-ciri orang yang melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori tentang bunuh diri.
Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai universitas sekitar tahun 1890-an. The American Journal of Sociology memulai publikasinya pada thun 1895 dan The American Sociological Society (sekarang bernama American Sociological Association) diorganisasikan dalam tahun 1905.
Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.
Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an telah menciptakan masalah sosial. Hal ini mendorong para sosiolog Amerika untuk mencari solusinya. Mereka melihat sosiologi sebagai pedoman ilmiah untuk kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika terbitnya edisi awal American Journal of Sociology isinya hanya sedikit yang mengandung artikel atau riset ilmiah, tetapi banyak berisi tentang peringatan dan nasihat akibat urbanisasi dan industrialisasi. Sebagai contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903 berjudul “The Social Effect of The Eight Hour Day” tidak mengandung data faktual atau eksperimental. Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial dari hari kerja yang lebih pendek.
Namun pada tahun 1930-an beberapa jurnal sosiologi yang ada lebih berisi artikel riset dan deskripsi ilmiah. Sosilogi kemudian menjadi suatu pengetahuan ilmiah dengan teorinya yang didasarkan pada obeservasi ilmiah, bukan pada spekulasi-spekulasi.
Para sosiolog tersebut pada dasarnya merupakan ahli filsafat sosial. Mereka mengajak agar para sosiolog yang lain mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan data yang nyata, dan dari kenyataan itu disusun teori sosial yang baik.
1.2. Sosiologi dan Pengetahuan
Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahluk yang paling mulia. Sejak lahir Tuhan mengkaruniai manusia akal budi. Akal budi diciptakan untuk berfikir, berkehendak, dan merasa. Dengan fikirannya manusia mendapatkan (ilmu) pengetahuan; dengan kehendaknya manusia mengarahkan perilakunya; dan dengan perasaannya manusia dapat mencapai kesenangan.
Sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dinamakan logika. Logika merupakan ajaran yang menunjukkan bagaimana manusia berfikir secara tepat dengan berpedoman pada ide kebenaran. Ketika kita sudah mengetahui batasan sosiologi, pertanyaan yang muncul kemudian ialah apakah sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan?
Kalau para pelopor sosiologi, sejak dahulu tentunya menganggap bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan. Namun benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya kita harus mengetahui dahulu apa yang disebut sebagai ilmu pengetahuan?
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan (knowledge) yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, dan pengertahuan itu dapat dikontrol oleh orang lain atau umum (obyektif). Atau ilmu pengetahuan bisa dirumuskan apabila memiliki beberapa elemen (unsur) yang menjadi suatu kebulatan, yaitu :
pengetahuan (knowledge)
tersusun secara sistematis
menggunakan pemikiran
bersifat obyektif (dapat dikontrol secara kritis oleh umum)
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Misalnya : pengetahuan jenis-jenis kain, pengetahuan mengenai bebauan minyak wangi, pengetahuan mengenai cara pembuatan tempe.
Sistematis berarti berdasarkan urutan unsur-unsur yang merupakan satu kebulatan, sehingga akan jelas apa yang merupakan garis besar dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Tidak semua pengetahuan merupakan suatu ilmu, hanya pengetahuan yang tersusun sistematis saja yang merupakan ilmu pengetahuan. Sistem tadi merupakan suatu konstruksi yang abstrak dan teratur sehingga merupakan keseluruhan yang terangkai.
Menggunakan pemikiran : ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis menggunakan kekuatan pemikiran, yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis (obyektif).
Apabila sosiologi memenuhi rumusan-rumusan di atas maka sosiologi merupakan suatu ilmu sejauh sosiologi mengembangkan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang didasarkaan pada penelitian ilmiah. Sejauh sosiologi meninggalkan mitos, dongeng dan angan-angan, dan mendasarkan kesimpulannya pada bukti-bukti ilmiah maka sosiologi adalah suatu ilmu. Bila ilmu didefinisikan sebagai suatu metode penelaahan, maka sosiologi adalah suatu ilmu sejauh sosiologi menggunakan metode penelaahan ilmiah.
Ilmu Pengetahuan sendiri dikelompokkan dalam 2 (dua) macam :
1. Ilmu Pengetahuan murni (pure science).
Ilmu pengetahuan murni bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak, untuk mempertinggi mutunya, tanpa menggunakannya langsung dalam masyarakat. Misalnya : seorang ahli fisika bukanlah membuat jembatan, ahli kimia bukanlah membuat obat, juga ahli sosiologi hanya mengemukakan pendapatnya yang berguna bagi pembentuk undang-undang, birokrat, petugas administrasi, guru-guru, diplomat dan lain sebagainya akan tetapi mereka tidak akan menentukan secara langsung apa yang dikerjakan oleh petugas-petugas tersebut.
Sosiologi bertujuan untuk mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mememecahkan persoalan-persoalan masyarakat. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa sosiologi tidak berguna bagi masyarakat.
2. Ilmu Pengetahuan Terapan (applied science)
Ilmu pengetahuan terapan merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat.
Misalnya : ilmu pengetahuan tentang berbagai seni, sebagaian besar dipergunakan dan diterapkan langsung.
1.3. Bapak Pendiri Sosiologi (The Founding Fathers Of Sosiology)
Pada bagian ini akan dijelaskan empat ahli yang sampai kini pikirannya masih dipakai dalam teori sosiologi, yaitu Auguste Comte, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Pandangan mereka telah memberi stimulan diskusi panjang tentang pelbagai persoalan terkait dgn kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pandangan mereka juga digunakan dalam disiplin ilmu social lain seperti ilmu politik, ekonomi, antropologi, dan sejarah.
1.3.1. Auguste Comte (1798-1857)
Auguste Comte (Perancis, 1798-1857) mengemukakan istilah awal : SOCIAL PHYSICS (FISIKA SOSIAL) karena istilah ini sudah digunakan oleh ahli statistik sosial Belgia Adophe Quetelet, maka istilah diubah menjadi sociology.
Auguste Comte membagi sosiologi ke dalam dua pendekatan yakni:
1. Statika sosial (social static) : mengkaji tatanan sosial. Statika mewakili stabilitas.
2. Sosial dinamik : mengkaji kemajuan dan perubahan social. Dinamika mewakili perubahan. Progres dlm membaca fenomena sosial perlu melihat masyarakat secara keseluruhan sebagai unit analisis.
Dengan memakai analogi dari biologi, Comte menyatakan bahwa hubungan antara statika dan dinamika merujuk pada konsep order didalamnya ditekankan bahwa bagian-bagian dari masyarakat tidak dapat dimengerti secara terpisah, tetapi harus dilihat sebagai satu kesatuan yg saling berhubungan..
1.3.2. Karl Marx (1818-1883)
Karl Marx lahir di Trier, Jerman tahun 1818 dari kalangan keluarga rohaniwan Yahudi. Tamat dari perguruan tinggi menjadi editor di sebuah surat kabar di Jerman. Pandangannya mat kritis terutama sangat anti penindasan yg hadir bersama system kapitalis yang mewarnai peradaban Eropa Barat. Beliau pindah ke Paris setelah terjadipertentangn dengan pemerintah Jerman. Ia berkolaborasi dengan Friedrich Engels menulis buku berjudul The Communist Manifesto (1848). Lalu menulis buku : Das Capital, dua bab terakhir buku ini diteruskan oleh Engels karena Marx keburu meninggal.
Menurut Marx, sejarah manusia mulai dari pertanian primitive, feudal dan industri, ditandai hubungan social yg melembagakan sifat ketergantungan untuk mengontrol atau menguasai sumber-sumber ekonomi. Mereka yg menguasai dan mengonytol sumber-sumber ekonomi adalah kelas atas, seangkan mereka yg hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak punya sama sekali adalah dari kelas bawah. Terjadi penindasan oleh kelas atas terhadap kelas bawah. Fokus perhatian Marx pada dua kelas penting : BORJUIS (kelas atas/kapitalis yg memiliki memiliki alat-alat produksi seperti pabrik dan mesin) dan PROLETAR (kelas bawah/ para buruh yg bekerja pada borjuis).
Pendapat Marx terhadap fenomena social semacam itu (penindasan /eksploitasi kaum borjuis terhadap kaum proletar) hanya dapat dihentikan dengan cara mengganti atau merusak system kapitalis. Caranya dengan melakukan revolusi (prinsip konflik) kemudian menggantinya dengan system yg lebih menghargai martabat manusia. Ini tidak mudah karena para buruh harus menghilangkan False Consciousness (kesadaran palsu) dengan class consciousness kesadaran kelas. Melalui bimbingan pemimpin-pemimpin revolusioner, para buruh akan menjadi setia dan mau berkorban demi perjuangan kelas. Denagn demikian kan muncul masyarakat yg adil, sama rata sama rasa, dan terhindardari segala bentuk eksploitasi, ini yg disebutnya sebagai masyarakat komunisme modern. Disamping dipuja banyak orang, Marx juga dikecam banyak orang, terutama pendapatnya tentang “agama sebagai candu masyarakat“ (the opium of the people).
1.3.3. Max Weber (1864-1920)
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Ayahnya seorang birokrat (kelak akan mewarnai pikiran beliau tentang birokrasi) yg menduduki posisi politik penting, sedangkan ibunya adalah seorang pemeluk agama Calvinisme yg sangat taat (juga mempengaruhinya melakukan studi tentang kaitan etika protestan dengan spirit kapitlisme industrial).
Beliau menempuh kuliah di Universitas berlin belajar hukum. Setelah berhasil mengambil gelar doctor ia berprofesi sebagai praktisi hukum, di samping itu ia juga bekerja sebagai dosen di Universitas Wina dan Munich. Ia banyak mendalami masalah ekonomi, sejarah, dan sosiologi. Bukunya yg terkenal berjudul “ A Contribution to the histoy of Medieval Business Organizations” dan “ The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” (1904) . Dalam bukunya yg kedua ini ia mengemukakan tesisnya mengenai keterkaitan antara etika protesan dengan munculnya kapitalisme di Eropa Barat.
Pandangan Weber, kenyataan social lahir dari motivasi individu dan tindakan-tindakan social (social action). Dari pandangannya sebenarnya Weber lazim digolongkan “nominalis” yg lebih percaya bahwa hanya individu-individu sajalah yg riil secara obyektif, dan masyarakat adalah satu nama yg menunjukan pada sekumpulan individu yg menjalin hubungan. Pandangan beliau tentang tindakan sosila inilah yg kemudian menjadi acuan dikembangkannya teori sosiologi yg membahas interaksi social.
1.3.4. Émile Durkheim (1858-1917)
Lahir di Epinal, Perancis dan berasal dari keluarga yg mewarisi tradisi sebagai pendeta Yahudi. Ia awlnya sebenarnya bersekolah untuk menjadi pendeta.
Durkheim merupakan ilmuwan yg sangat produktif. Salah satu karyanya yg berjudul “ The division of Labor in Society” (1968) membahas mengenai gejala yg sedang melanda masyarakat : pembagian kerja. Ia mengemukakan bahwa di bidang perekonomian seperti industri modern terjadi penggunaan mesin serta konsentrasi modal dan tenaga kerja yg mengakibatkan pembagian kerja ke dalam bentuk spesialisasi dan pemisahan okupasi yg semakin rinci. Pembagian tersebut dijumapai pula di bidang perniagaan dan pertanian. Lalu melebar pula pada bidang-bdang kehidupan yg lainnya : hokum, politik, kesenian, dan bahkan keluarga. Tujuan kajian durkheim ialah untuk memahami fungsi pembagian kerja tersebut, serta untuk mengetahui factor penyebabnya.
1.4. Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Ko Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Pernag Dunia ke dua diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat majemuk yang mencakup berates suku.
Pertanyaan :
1. Tesis Weber yang terkenal adalah ada keterkaitan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Jelaskan tesis Weber tersebut!
2. Apa sumbangan pemikiran Karl Marx yang penting bagi perkembangan sosiologi? Jelaskan!
Senin, 07 Maret 2011
PERANAN SOSIOLOGI TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
Dalam pengertian sederhana, sosiologi pendidikan memuat
analisis-analisis ilmiah tentang proses interaksi sosial yang terkait
dengan aktivitas pendidikan baik dari lingkup keluarga, kehi-
dupan sosio-kultur masyarakat maupun pada taraf konstelasi di
tingkat nasional. Sehingga dari sini bisa di dapat sebuah gambaran
objektif tentang relasi-relasi sosial yang menyusun konstruksi total
realitas pendidikan di negara kita. Sampai pada pemahaman
tersebut segala bentuk wawasan dan pengetahuan sosiologis guna
membedah tubuh pendidikan kita menjadi perlu untuk dibahas
agar proses-proses pengajaran tidak bias ke arah yang kurang
relevan dengan kebutuhan bangsa.
Di sisi lain, jika perhatian kita tertuju pada lembaran sejarah
perkembangan pendidikan masyarakat Indonesia, produk kema-
juan sosial, meningkatnya taraf hidup rakyat, akselerasi perkem-
bangan ilmu pengetahuan dan penerapan inovasi teknologi meru-
pakan bagian dari prestasi gemilang hasil jerih payah lembaga
pendidikan kita dalam upaya memajukan kehidupan bangsa Indo-
nesia. Meningkatnya jumlah kaum terpelajar telah menjadi bahan
bakar lajunya lokomotif kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indo-
nesia. Akan tetapi, beberapa kendala yang melingkari dunia pen-
didikan dalam kaitan dengan menurunnya kualitas output
pendidikan kita menjadi bukti bahwa wajah persekolahan kita
memerlukan banyak perbaikan.
Melihat keberadaan sekolah begitu penting bagi eksistensi
dan keberlangsungan pendidikan di negara kita maka topik ini
akan mengarahkan lingkup kajian sosiologisnya kepada hakikat
peran dan fungsi lembaga sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Tiga sub-judul berikutnya akan menindaklanjuti fokus pemba-
hasan dengan titik tekan yang lebih spesifik. Pada sub-judul per-
tama, banyak digali tentang hubungan-hubungan sosial di dunia
pendidikan dalam wadah organisasi formal. Di sini kriteria
sekolah sebagai salah satu wujud organisasi formal ditinjau dari
kaitan unsur-unsur sosial pendukungnya dalam proses mencapai
tujuan pendidikan. Pada sub judul kedua lebih menyoroti konteks
transaksi pendidikan di ruang kelas. Hal ini ditekankan, sebab
ruang kelas merupakan representasi dari proses-proses pendi-
dikan yang sesungguhnya, karena di dalamnya telah melibatkan
komponen-komponen belajar mengajar secara langsung. Sedang-
kan pada sub judul yang ketiga, tinjauannya bertolak dari kenya-
taan bahwa sekolah tidak bisa lepas dari hubungan wadah ekster-
nalnya. Kondisi sosio-kultur masyarakat tidak bisa tidak meru-
pakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap
proses-proses pendidikan di sekolah.
Tiga batasan tinjauan di atas akan dipaparkan sebagai upaya
untuk menyajikan beberapa manfaat analisis sosiologis terhadap
dunia pendidikan.
A. Sekolah sebagai Organisasi
Tempo dulu masyarakat sederhana belum mengenal lem-
baga-lembaga resmi yang mengatur penyaluran kebutuhan-
kebutuhan hidup mereka. Contohnya masyarakat Indian yang
tidak perlu meminta bantuan lembaga sekolah untuk mengajarkan
kepandaian memanah kepada generasi penerusnya. Bagi mereka,
cukup dengan uluran tangan dari para ayah dan saudara tuanya
maka bisa dipastikan hampir seluruh remaja-remaja muda mam-
pu menguasai teknik memanah dari tingkat dasar sampai kategori
mahir (Horton dan Hunt, 1999: 333). Seiring dengan bergulirnya
roda sejarah kehidupan, maka prestasi pengetahuan dan kete-
rampilan yang diperoleh manusia menjadi sedemikian kompleks,
sehingga pada fase inilah konsep pengetahuan dan kemampuan–
kemampuan gemilangnya telah menjadi penentu arah kehidupan
di masa yang akan datang. Beberapa faktor telah melatar bela-
kangi terbentuknya lembaga-lembaga tertentu untuk mengelola
alokasi pemenuhan kebutuhan di antaranya, (1) pertumbuhan
jumlah populasi manusia yang mempengaruhi tingkat penguasa-
an dan ketersediaan sumber daya alam, (2) kompleksnya pranata
kebudayaan dan mekanisme pengetahuan beserta teknologi
terapan, dan (3) implikasi tingkat akal budi dan mentalitas manu-
sia yang kian rasional.
Secara singkat, terbentuknya lembaga pendidikan merupakan
konsekuensi logis dari taraf perkembangan masyarakat yang4
sudah kompleks. Sehingga untuk mengorganisasikan perangkat-
perangkat pengetahuan dan keterampilan tidak memungkinkan
ditangani secara langsung oleh masing-masing keluarga. Perlunya
pihak lain yang secara khusus mengurusi organisasi dan apresiasi
pengetahuan serta mengupayakan untuk ditransformasikan kepa-
da para generasi muda agar terjamin kelestariaannya merupakan
cetak biru kekuatan yang melatarbelakangi berdirinya sekolah
sebagai lembaga pendidikan.
Walaupun wujudnya berbeda-beda dalam tiap-tiap negara,
keberadaan sekolah merupakan salah satu indikasi terwujudnya
masyarakat modern. Dalam hal ini para sosiolog telah melakukan
ikhtiar ilmiah untuk menentukan taraf evolusi perkembangan
masyarakat manusia. Dimulai dari Auguste Comte (1798-1857)
dengan karyanya yang berjudul Course de philosophie Positive
(1844). Beliau menekankan hukum perkembangan masyarakat
yang terdiri dari tiga jenjang, yaitu jenjang teologi di mana manu-
sia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu
pada hal yang bersifat adikodrati. Taraf perkembangan selanjut-
nya disusul pencapaian manifestasi kemampuan manusia untuk
menangkap fenomena lingkungan dengan menyandarkan pada
kekuatan-kekuatan metafisik atau abstrak. Hingga pada level
tertinggi, taraf positif. Iklim kehidupan demikian ditandai dengan
prestasi kemampuan manusia untuk menjelaskan gejala alam
maupun sosial berdasar pada deskripsi ilmiah melalui pema-
haman kekuasaan hukum objektif (Sunarto, 2000 : 3). Dari
pengertian tersebut perwujudan manusia positivis hanya mampu
ditopang oleh orientasi pendidikan yang sudah terlembaga secara
mantap melalui aplikasi fungsi sekolah-sekolah modern.
Di lain pihak, tak kalah pentingnya buah pikiran Emile
Durkheim (1858-1912) berupa buku yang berjudul The Division of
Labour in Society (1968) juga menganalisis kecenderungan masya-
rakat maju yang di dalamnya terdapat pembagian kerja dalam
pemetaan bidang-bidang ekonomi, hukum, politik pendidikan,
kesenian dan bahkan keluarga. Gejala tersebut merupakan dam-
pak dari penerapan sistem ekonomi industri yang di dalamnya
memerlukan memerlukan spesialisasi peran untuk mengusung
keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup para anggotanya
(Johson, 1986 : 181-184). Sekali lagi ilustrasi di atas hanya dapat
tercermin pada konteks organisasi lembaga pendidikan yang telah
mampu memproduk manusia profesional dengan spesifikasi
keahlian. Sedangkan untuk mewujudkan figur-figur manusia itu
hanya mampu dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan
modern.
Dari kedua pernyataan ilmiah para tokoh sosiologi di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan sekolah yang mewar-
nai dunia kehidupan manusia saat ini merupakan sebuah kenisca-
yaan peradaban modern yang lekat dengan renik-renik pergulatan
ilmu pengetahuan dan aplikasi teknologi mutakhir. Sementara
melihat konteks sosial yang terbentuk dapat dijawab pula sekolah
juga masuk dalam kategori-kategori organisasi pada umumnya
yang mengemban konsekuensi-konsekuensi organisatoris.
Oleh karena itu keberadaan sekolah patut dimasukkan seba-
gai salah satu organisasi yang memanfaatkan mekanisme biro-
kratis dalam mengelola kerja-kerja institusinya. Beberapa prinsip
penerapan birokrasi juga terdapat dalam lembaga sekolah antara
lain:
1. Aturan dan prosedur yang ketat melalui birokrasi,
2. Memiliki hierarki jabatan dengan struktur pimpinan yang
mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda,
3. Pelaksanaan adminstrasi secara professional,
4. Mekanisme perekrutan staf dan pembinaan secara bertang-
gung jawab,
5. Struktur karier yang dapat diidentifikasikan, dan
6. Pengembangan hubungan yang bersifa formal dan impersonal
(Robinson, 1981: 241).
Sekolah memang tidak menggunakan semua ketentuan-
ketentuan di atas secara ketat dan linear. Kaitan dengan hal ter-
sebut, Bidwell ,1965 (dalam Robinson, 1981). berpendapat bahwa
sekolah mempunyai ciri “struktur yang longgar”. Yang dimaksud
dengan kelonggaran struktural oleh Bidwell adalah prasyarat-
prasyarat mutlak dari kekuatan-kekuatan struktural tidak harus
dilaksanakan sepenuhnya oleh guru dalam menerapkan metode
belajar-mengajar kepada para siswanya. Tiap guru mempunyai
kebebasan tertentu untuk menentukan bagaimana ia mengajar di
kelas, walaupun perangkat-perangkat materinya telah ditentukan
oleh kurikulum di atasnya5
Masih dalam lingkup sekolah sebagai organisasi formal,
beberapa ahli telah menyajikan pranata-pranata manajemen yang
berbeda-beda dalam menerapkan fungsi manajemen di sekolah
(Robinson, 1981). Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Manajemen Ilmiah
Pokok-pokok dari manajemen ilimiah antara lain:
- Menggunakan alat ukur dan perbandingan yang jelas dan
tepat,
- Menganalisis dan membandingkan proses-proses yang
telah dicapai, dan
- Menerima hipotesis terkuat yang lulus dari verifikasi serta
menggunakannya sebagai kriteria tunggal
Implikasinya jelas, penerapan kriteria tunggal bagi sekolah
demi mencapai maksimalisasi hasil-hasil belajar secara efisien dan
efektif. Tampak jelas jenis manajemen ini berkarakter mekanistis,
ketat, mengutamakan hasil kuantitatif, serta cenderung
mengesampingkan unsur-unsur manusiawi di dalam prosesnya.
2. Sistem Sosio-teknis
Sebagai sistem sosio-teknis, sekolah mencakup banyak hal
yang menjadi input organisasi, namun stafnya akan “mengetahui”
sifat input-inputnya. Dengan begitu sekolah dapat menentukan
instrumen-instrumen pengolahan demi menjamin hasil yang
optimal. Sampai di sini definisi sosio-teknis memberikan titik
tekan pada pengamatan dan pengelompokan jenis-jenis masukan
dalam sekolah lalu ditindaklanjuti dengan cara-cara yang relevan
dengan “bahan mentah” tersebut. Manajemen sosio-teknis masih
menggunakan prinsip manajemen formal, sehingga beberapa
unsur yang melekat pada prinsip manajemen ilmiah juga dimiliki
oleh sistem sosio-teknis.
3. Pendekatan Sistemik
Model pengelolaan yang paling banyak digunakan adalah
bentuk teori sistem. Ciri kahs pendekatan ini adalah pengakuan
adanya bagian-bagian suatu sistem yang terkait erat pada
keseluruhan. Hubungan timbal balik itu mengisyaratkan detail
bagian yang cukup kompleks dan proses interaksi secara
keseluruhan dalam sebuah organisasi. Implikasi lain, batas-batas
antarbagian harus diketahui dengan tegas dalam mengidentifikasi
komponen-komponen lembaga sekolah .
Secara internal model teori sistem, mengadopsi penanganan
lembaga formal pada umumnya untuk menggerakkan roda
organisasi. Akan tetapi pendekatan ini juga memperhatikan sistem
sosial yang bekerja di luar sekolah. Tiap sekolah berusaha pula
menampung tuntutan-tuntutan dari para orang tua siswa, industri
setempat, pendapat profesional dan kebijaksanaan pendidikan.
4. Pendekatan Individual
Baik pendekatan manajemen maupun pendekatan sistem
cenderung “membendakan” organisasi. Organisasi dipandang
seakan-akan seperti makhluk besar yang mengatasi dan menge-
cilkan peran anggota-anggotanya (terutama para murid). Sebagai
antitesisnya, maka pendekatan individual mengakomodasi nilai-
nilai kemanusiaan dalam organisasi. Akan tetapi pada perkem-
bangannya pendekatan individual memiliki dua keompok pan-
dangan yakni:
a. Teori Pasif
Pandangan yang menekankan pengamatan input pendidikan
secara kolektif. Di mana sudut terpenting yang harus diperhatikan
oleh sekolah adalah proses kematangan pribadi para siswa yang
harus difasilitasi, diakomodasi kebutuhannya dan dibimbing
menuju kedewasaan. Oleh karena itu, proporsi organisasi sekolah
yang cenderung mekanistis harus dipola menjadi flksibel agar
para anggotanya bisa berekspresi dengan optimal (Robinson, 1981:
252).
b. Teori Aktif
Konstruksi pendekatan yang mengutamakan kemampuan
aktif para siswa untuk menginterpretasikan makna-makna norma-
tif dan tindakan-tindakan yang diharapkan berdasarkan iklim
kesadaran mereka. Menurut Silverman (1970) proses sosialisasi di
sekolah bukanlah imperatif-imperatif moral yang memaksa akan
tetapi justru sekolah menjadi “pembantu” para siswa dalam
mendokumentasi dan memantapkan makna-makna kehidupan
yang didapat oleh mereka sendiri. Pendekatan ini sangat kental
dengan pengaruh aliran fenomenologis dalam sosiologi. Oleh6
karena itu teori aktif bermaksud menekankan makna-makna
tafsiran budaya yang didapat oleh individu-individu di dalam
mempersepsikan fungsi sekolah bagi mereka (Robinson, 1981 :
254).
Berbagai pandangan di atas telah menandaskan aspek-aspek
penting yang berperan dan berinteraksi di dalam sekolah. Pada
kenyataannya seluruh konsep manajemen yang ditekankan oleh
masing-masing ahli tersebut selalu tercantum di dalam sekolah.
Tentunya fungsionalisasi masing-masing model manajemen di
atas tergantung pada konteks pandangan manusia yang meng-
amatinya. Apabila pada aspek makro maka dominasi gabungan
fungsi manajemen sistem, sosio-teknis dan ilmiah lebih berperan
penting dalam membantu kerja penglihatan intelektual kita.
Berbeda pada dimensi yang lebih mikro, maka tipe ideal pen-
dekatan individual adalah aspek yang harus diperhatikan dalam
menelah unsur-unsur yang bermain di dalam sekolah.
Dalam hal ini kita akan lebih condong mengamati organisasi
sekolah dalam skala makronya. Analisis sosial yang muncul sepu-
tar sekolah banyak mengupas konflik-konflik antar peranan yang
terjadi di lembaga sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh Davies,
1973 ( dalam Robinson, 1981 : 250) bahwa lembaga pendidikan
sering dirasuki oleh nilai-nilai yang terkadang bertentangan
antarpihak baik dari para guru, orang tua, staf birokrat, siswa,
maupun pihak aparat pimpinan sekolah.
Dari sini analisis yang bisa disajikan untuk mengamati kebe-
radaan sekolah sebagai lembaga formal dalam aktivitas pendi-
dikannya terbagi menjadi dua lahan persoalan yakni:
1. Penafisiran multi-konsep tentang tujuan organisasi beserta
alokasi peran yang sinergis
Sudah menjadi konsekuensi bagi setiap organisasi untuk me-
netapkan tujuan lembaga. Berbeda dengan organisasi pada
umumnya, sekolah memiliki ciri khas yang agak unik, khususnya
dari objek yang menjadi tujuannya. Dengan menetapkan posisi
peran kelembagaan yang bertugas untuk membekali peserta didik
seperangkat pengetahuan dan keterampilan maka sekolah telah
mengumandangkan jenis tujuan yang bersifat abstrak. Hal ini
tentu saja berbeda dengan lembaga lain yang jelas-jelas memiliki
objek tujuan konkrit. Contohnya lembaga perusahaan, tentunya
bagi siapa saja akan jelas memahami arti “mencari keuntungan
maksimal” bagi perusahaan. Baik itu manajer pemasaran, direktur
pabrik, buruh angkutan, sopir, sampai tenaga administrasi akan
jelas mengartikan definisi tujuan tersebut. Sementara sekolah
memiliki tujuan yang bersifat multi-penafsiran dan agak kabur.
Selain itu, dimensi abstrak yang menjadi titik tolak penafsiran
para praktisi sekolah dapat memunculkan hambatan besar untuk
menyatukan pemahaman makna tujuan pendidikan antar posisi.
Berdasarkan struktur organisasi yang terbentuk, guru bertugas
sebagai pelaksana pengajaran kepada siswa, supervisor berfungsi
membina para guru dan tugas formal administratur sekolah ialah
untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam
aktivitas dalam lingkungan sekolah. Masing-masing pemegang
posisi mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungan
dengan posisi lain. Sudah tentu kompleksitas peranan menimbul-
kan nilai sosial yang berbeda-beda dan apabila ditarik dalam
suatu prospek tujuan maka akan melibatkan bermacam-macam
penafsiran.
Selain objek tujuan yang sarat nilai, posisi-posisi peran yang
cukup kompleks di lingkup internal, maka sebuah sekolah akan
berhadapan langsung dengan komponen nilai-nilai lain di luar
lingkungannya. Spesifikasi tujuan yang telah ditetapkan oleh
sekolah ternyata harus bersinggungan erat dengan alokasi peran
pendidikan di luar sekolah, terutama keluarga. Berkaitan dengan
hal tersebut, suatu observasi ilmiah yang dilakukan oleh Univer-
sitas Havard telah menunjukkan hasil yang cukup dramatis.
Setelah diteliti, para guru di sekolah-sekolah New England memi-
liki pandangan yang berbeda tentang tujuan pendidikan, begitu
juga antar guru dengan kepala sekolahnya, selain itu indikasi
serupa ditunjukkan perbedaan nilai antar administratur dengan
Badan Pertimbangan Sekolah. Lebih jauh bukti penelitian juga
menunjukkan sumber utama yang melahirkan konflik di kalangan
praktisi sosial tentang tujuan dan program-program sekolah
(Faisal, 1985: 69).
Dipandang dari sudut tujuannya ternyata lembaga sekolah
harus melakukan bermacam-macam proses penyatuan pandangan
baik dari wilayah internal maupun asumsi-asumsi publik di
lingkup eksternal. Telaah sosiologis telah memberikan sumbangan
konseptual untuk membedah objek tujuan sekolah dalam pola-7
pola hubungannya dengan pihak internal maupun luar lembaga
sekolah.
2. Kompleks permasalahan di sekitar orientasi lintas posisi
dalam koridor efisiensi dan efektivitas
Kompleks pertentangan tersebut merupakan derivasi dari
perangkat-perangkat manusia yang memiliki peran-peran spesifik
di lembaga sekolah. Banyak buku teks yang mengemukakan
tentang peranan guru dan adminsitratur pendidikan seolah-olah
harmonis dan serba sinergis. Padahal kenyataan membuktikan,
salah satu faktor yang memberatkan kerja organisasi adalah gejala
kesalahpahaman untuk memahami kawan sekerja berkenaan
dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan status
pekerjaannya.
Kecenderungan yang terjadi, hampir semua tanggung jawab
dan tugas sekolah yang berhubungan dengan siswa selalu dilim-
pahkan kepada seorang guru. Sedangkan pemberitaan fungsi-
fungsi peran yang berbeda baik dari aspek bimbingan konseling,
pelayanan birokrasi dan keuangan, serta peran penegak ketertiban
dan kedisplinan tidak pernah tersiar secara utuh kepada para
siswa.
Dalam analisis sosiologis, konflik peranan di lingkup internal
sekolah disebabkan pada rangkaian hak dan kewajiban yang
mempengaruhi harapan para pemegang status pekerjaan. Ruang-
ruang kesadaran peran tersebut telah terpecah belah pada
akumulasi integrasi yang terkotak-kotak pada masing-masing
kelompok pekerjaan. Dalam waktu yang sama kepala sekolah
mengharapkan para guru selalu tertib dalam melaksanakan
pengajaran. Sementara guru sendiri selalu berkeinginan mem-
berikan ragam materi yang selengkap-lengkapnya kepada para
siswa. Hal ini tentu bertentangan dengan asumsi umum para
siswa yang jelas-jelas berharap agar para guru tidak terlalu banyak
menyodorkan materi yang harus mereka hafalkan.
Hal tersebut tentunya semakin menjauhkan kesadaran warga
sekolah mengenai hakikat mendasar dari fungsi sekolah sebagai
lembaga pendidikan. Mereka semakin jauh terjerumus pada
labirin-labirin pertentangan seputar ritual-ritual teknis pemenu-
han kebutuhan organisasional. Dari sini tujuan awal penerapan
adminstrasi pendidikan untuk mempermudah lembaga sekolah
dalam menjalankan fungsi-fungsi edukatif beralih menjadi raksasa
permasalahan yang selalu menggelayuti mentalitas warganya.
Tentu saja dalam hal ini sumbangsih teori sosiologi cukup
strategis guna memberikan gambaran komperhensif tentang
gurita konflik yang terbentuk di lingkungan sekolah dalam kaitan
pertentangan antarperan. Dengan begitu, para praktisi pendidikan
diharapkan memiliki bahan mentah yang lengkap mengenai pola-
pola sosial yang tersusun di dunia pendidikan formal beserta
varian-varian permasalahannya.
B. Kelas sebagai Suatu Sistem Sosial
Pada dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya
adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di ruang kelas. Untuk
keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menem-
pati sub-topik tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut
sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis
untuk mengamati proses-proses yang terjadi di ruang kelas.
Dimulai dari pengamatan Parson yang mengetengahkan argu-
mentasi ilmiahnya tentang kelas sebagai suatu sistem sosial. Ber-
kaitan dengan fungsi sekolah maka kelas merupakan kepanjangan
dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun masya-
rakat. Kiprah interaksi di kelas secara khusus berusaha untuk
memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat (Robinson,
1981 : 127).
Di sisi lain, pendekatan interaksionis cenderung menekankan
analisis sosio-psikologis untuk melihat ruang kelas. Sejumlah tokoh
seperti Delamont, Lewin, Lippit, White dan H.H. Anderson adalah
figur-figur yang mengeksplorasi aspek interaksi antarguru dan
murid. Selaras dengan hal tersebut, Withall, 1949, yang meman-
faatkan karya-karya pendahulunya mencoba menemukan pengaruh
situasi sosial emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara
metode pengajaran yang cenderung teacher-centred dengan tipo-
logi pembelajaran Learner-centred, dengan beranggapan bahwa
tipe yang kedua merupakan cara yang paling efektif untuk kegiatan
pembelajaran di kelas (Robinson, 1981 : 129).
Dalam satu rangkaian penelitian Flanders,1967 memperkuat
studi tentang interaksi di kelas. Menurut pendapatnya, semakin
besar ketergantungan murid kepada guru, semakin kurang siswa8
tersebut mengembangkan strategi-strategi belajarnya sendiri
(Robinson, 1981 : 130).
Inti dari penerapan analisis interaksi adalah menganalisis selu-
ruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruh-pengaruh
psikologisnya kepada para siswa. Hal ini terkait erat dengan
metode pendekatan yang diterapkan oleh guru dalam mengelola
pembelajaran di kelas.
Model pendekatan interpretatif juga bermanfaat untuk
menangkap segala hal yang terpola di dalam aktivitas ruang kelas.
Yang termasuk hasil penelitian di lingkup kategori interpretatif
adalah analisis Waller. Bagi Waller, pendidikan merupakan seni
menanamkan definisi-definisi situasi yang berlaku pada kaum
muda dan sudah diterima oleh golongan penyelenggara. Dengan
demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan
kontrol sosial (Robinson, 1981: 135). Inti dari studi tersebut
mencoba menerangkan tentang fungsi sekolah yang mempengaruhi
alam kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen mengamalkan
kriteria-kriteria penafsiran nilai yang ditekankan oleh sekolah.
Analisis lain juga mengungkap bahwa sumber ketegangan
antarguru dan siswa berasal dari dualisme ketegangan peran guru di
dalam kelas. Sebagai bawahan kepala sekolah seorang guru harus
menerapkan ketentuan administratif sekolah secara ketat kepada
murid-murid, namun di lain pihak tanggung jawab moral sebagai
pendidik yang sarat dengan kebijaksanaan akan menghalang-
halangi penerapan sanksi kepada siswa tersebut.
Sebagai sistem sosial tentunya di dalam kelas telah terbentuk
konfigurasi sosial di dunia pergaulan siswa. Dari sini tampak kon-
sep diferensiasi mengacu pada praktik organisasi penentuan peng-
huni kelas berdasarkan prestasi-prestasi siswa. Tentunya implikasi
dari pengelompokan ini akan berakibat terbentuknya polarisasi
antarkelompok. Baik itu kelompok si bodoh, si kaya, si pandai, dan
si pemalu. Apabila guru mengetahui fakta tersebut dan mampu
mengelola interaksi antarkelompok maka proses penangkapan
pengetahuan menjadi semakin dinamis dan cukup kaya. Sebaliknya
apabila guru cenderung masa bodoh dengan keadaan demikian
justru semakin mempertegas potensi disintegrasi antarsiswa. Pada
umumnya guru secara gegabah juga dengan mudah menuruti
subjektifitas perasaannya untuk menuruti kelompok-kelompok sis-
wa yang menyenangkan perasaannya. Sekali lagi jika hal terakhir
yang terjadi maka kecemburuan sosial malah menjadi iklim pergu-
latan sosial di lingkungan kelas.
Patut ditambahkan, analisis sosiologis juga mengungkapkan
betapa eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-sikap sese-
orang dengan latar belakang kelompok aspirasi yang digan-
drunginya. Kelompok-kelompok atau aspirasi-aspirasi acuan
merupakan tempat berlabuh yang harus diperhitungkan di dalam
upaya pembinaan tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya
dari hasil analisis di atas, dapat memberikan wawasan sosiologi
kelas kepada pengajar agar proses pendidikan dan pembinaan
siswa lebih efektif (Faisal dan Yasik, 1985 : 76).
C. Lingkungan Eksternal Sekolah
Kita tahu bahwa sekolah bernaung dalam suatu wilayah eks-
ternal yang dihuni oleh kumpulan manusia bernama masyarakat.
Gejala timbal balik baik dari sekolah kepada masyarakat maupun
sebaliknya merupakan realitas keseharian yang akan selalu terjadi.
Keberadaan sekolah di lingkungan masyarakat kota akan
jelas mempengaruhi orientasi pendidikan tersebut dibanding
dengan sekolah yang terletak di lereng gunung. Baik dari segi
kuantitas peserta didik, maupun kompleksitas kegiatan yang ter-
jadwal pada kegiatan-kegiatan akademik di sekolah. Tentunya
tidak mungkin, sekolah ”lereng gunung” mengembangkan ekstra-
kulikuler yang luar biasa padat dan wajib diikuti oleh seluruh
siswa.
Selain itu aspek kelas sosial juga memberikan pengaruh
evaluasi belajar yang dilakukan oleh seorang guru. Hasil sebuah
pengamatan ilmiah menegaskan ada hubungan kuat antara status
orang tua siswa dengan prestasi akademis. Selain itu mobilitas
aspirasi siswa, kecenderungan putus sekolah, partisipasi siswa
dalam kegiatan ekstrakurikuler, tingkah laku pacaran siswa serta
pola persahabatan di kalanngan siswa tampaknya juga dipenga-
ruhi oleh karakter sosial ekonomis orang tua siswa (Faisal dan
Yasik, 1985 : 77).
Kontribusi berikutnya adalah benturan konflik antarperan
tenaga kependidikan dengan posisi-posisi lain di masyarakat.
Getzel dan Guba menemukan bahwa banyak harapan-harapan
yang terkait dengan posisi guru, pada kenyataannya telah berben-
turan dengan harapan posisi lain di luar persekolahan (Faisal dan9
Yasik, 1985 : 79). Dampak dari konflik ini kadang mengganggu
stabilitas individu atau bisa jadi dapat meluas pada segi-segi
materiil di lingkungan sekolah. Seorang guru olah raga yang
sedang menjadi wasit pertandingan sepak bola antar-kecamatan
tentunya akan menghadapi tuntutan masyarakat mengenai
kemungkinan diizinkannya penggunaan fasilitas sekolah. Akan
tetapi dua hari yang lalu sang guru tersebut baru saja mendapat
himbauan keras dari kepala sekolah agar berhati-hati dalam
menjaga perlengkapan olah raga milik sekolah. Peringatan ter-
sebut bukan tak beralasan, akan tetapi didukung sebuah fakta
tentang peristiwa kehilangan beberapa peralatan seminggu yang
lalu. Fenomena tersebut jelas menyokong suatu posisi bahwa
konflik antarperanan di dalam sekolah dengan lingkungan ekster-
nal merupakan sumber potensial utama dari lahirnya ketegangan
di kalangan praktisi pendidikan, khususnya guru.
Melalaui analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa
secara realistis peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang
berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan
kekuatan analisis-analisis sosiologis para praktisi pendidikan bisa
lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan
personal di lingkungan kerjanya masing-masing.
analisis-analisis ilmiah tentang proses interaksi sosial yang terkait
dengan aktivitas pendidikan baik dari lingkup keluarga, kehi-
dupan sosio-kultur masyarakat maupun pada taraf konstelasi di
tingkat nasional. Sehingga dari sini bisa di dapat sebuah gambaran
objektif tentang relasi-relasi sosial yang menyusun konstruksi total
realitas pendidikan di negara kita. Sampai pada pemahaman
tersebut segala bentuk wawasan dan pengetahuan sosiologis guna
membedah tubuh pendidikan kita menjadi perlu untuk dibahas
agar proses-proses pengajaran tidak bias ke arah yang kurang
relevan dengan kebutuhan bangsa.
Di sisi lain, jika perhatian kita tertuju pada lembaran sejarah
perkembangan pendidikan masyarakat Indonesia, produk kema-
juan sosial, meningkatnya taraf hidup rakyat, akselerasi perkem-
bangan ilmu pengetahuan dan penerapan inovasi teknologi meru-
pakan bagian dari prestasi gemilang hasil jerih payah lembaga
pendidikan kita dalam upaya memajukan kehidupan bangsa Indo-
nesia. Meningkatnya jumlah kaum terpelajar telah menjadi bahan
bakar lajunya lokomotif kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indo-
nesia. Akan tetapi, beberapa kendala yang melingkari dunia pen-
didikan dalam kaitan dengan menurunnya kualitas output
pendidikan kita menjadi bukti bahwa wajah persekolahan kita
memerlukan banyak perbaikan.
Melihat keberadaan sekolah begitu penting bagi eksistensi
dan keberlangsungan pendidikan di negara kita maka topik ini
akan mengarahkan lingkup kajian sosiologisnya kepada hakikat
peran dan fungsi lembaga sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Tiga sub-judul berikutnya akan menindaklanjuti fokus pemba-
hasan dengan titik tekan yang lebih spesifik. Pada sub-judul per-
tama, banyak digali tentang hubungan-hubungan sosial di dunia
pendidikan dalam wadah organisasi formal. Di sini kriteria
sekolah sebagai salah satu wujud organisasi formal ditinjau dari
kaitan unsur-unsur sosial pendukungnya dalam proses mencapai
tujuan pendidikan. Pada sub judul kedua lebih menyoroti konteks
transaksi pendidikan di ruang kelas. Hal ini ditekankan, sebab
ruang kelas merupakan representasi dari proses-proses pendi-
dikan yang sesungguhnya, karena di dalamnya telah melibatkan
komponen-komponen belajar mengajar secara langsung. Sedang-
kan pada sub judul yang ketiga, tinjauannya bertolak dari kenya-
taan bahwa sekolah tidak bisa lepas dari hubungan wadah ekster-
nalnya. Kondisi sosio-kultur masyarakat tidak bisa tidak meru-
pakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap
proses-proses pendidikan di sekolah.
Tiga batasan tinjauan di atas akan dipaparkan sebagai upaya
untuk menyajikan beberapa manfaat analisis sosiologis terhadap
dunia pendidikan.
A. Sekolah sebagai Organisasi
Tempo dulu masyarakat sederhana belum mengenal lem-
baga-lembaga resmi yang mengatur penyaluran kebutuhan-
kebutuhan hidup mereka. Contohnya masyarakat Indian yang
tidak perlu meminta bantuan lembaga sekolah untuk mengajarkan
kepandaian memanah kepada generasi penerusnya. Bagi mereka,
cukup dengan uluran tangan dari para ayah dan saudara tuanya
maka bisa dipastikan hampir seluruh remaja-remaja muda mam-
pu menguasai teknik memanah dari tingkat dasar sampai kategori
mahir (Horton dan Hunt, 1999: 333). Seiring dengan bergulirnya
roda sejarah kehidupan, maka prestasi pengetahuan dan kete-
rampilan yang diperoleh manusia menjadi sedemikian kompleks,
sehingga pada fase inilah konsep pengetahuan dan kemampuan–
kemampuan gemilangnya telah menjadi penentu arah kehidupan
di masa yang akan datang. Beberapa faktor telah melatar bela-
kangi terbentuknya lembaga-lembaga tertentu untuk mengelola
alokasi pemenuhan kebutuhan di antaranya, (1) pertumbuhan
jumlah populasi manusia yang mempengaruhi tingkat penguasa-
an dan ketersediaan sumber daya alam, (2) kompleksnya pranata
kebudayaan dan mekanisme pengetahuan beserta teknologi
terapan, dan (3) implikasi tingkat akal budi dan mentalitas manu-
sia yang kian rasional.
Secara singkat, terbentuknya lembaga pendidikan merupakan
konsekuensi logis dari taraf perkembangan masyarakat yang4
sudah kompleks. Sehingga untuk mengorganisasikan perangkat-
perangkat pengetahuan dan keterampilan tidak memungkinkan
ditangani secara langsung oleh masing-masing keluarga. Perlunya
pihak lain yang secara khusus mengurusi organisasi dan apresiasi
pengetahuan serta mengupayakan untuk ditransformasikan kepa-
da para generasi muda agar terjamin kelestariaannya merupakan
cetak biru kekuatan yang melatarbelakangi berdirinya sekolah
sebagai lembaga pendidikan.
Walaupun wujudnya berbeda-beda dalam tiap-tiap negara,
keberadaan sekolah merupakan salah satu indikasi terwujudnya
masyarakat modern. Dalam hal ini para sosiolog telah melakukan
ikhtiar ilmiah untuk menentukan taraf evolusi perkembangan
masyarakat manusia. Dimulai dari Auguste Comte (1798-1857)
dengan karyanya yang berjudul Course de philosophie Positive
(1844). Beliau menekankan hukum perkembangan masyarakat
yang terdiri dari tiga jenjang, yaitu jenjang teologi di mana manu-
sia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu
pada hal yang bersifat adikodrati. Taraf perkembangan selanjut-
nya disusul pencapaian manifestasi kemampuan manusia untuk
menangkap fenomena lingkungan dengan menyandarkan pada
kekuatan-kekuatan metafisik atau abstrak. Hingga pada level
tertinggi, taraf positif. Iklim kehidupan demikian ditandai dengan
prestasi kemampuan manusia untuk menjelaskan gejala alam
maupun sosial berdasar pada deskripsi ilmiah melalui pema-
haman kekuasaan hukum objektif (Sunarto, 2000 : 3). Dari
pengertian tersebut perwujudan manusia positivis hanya mampu
ditopang oleh orientasi pendidikan yang sudah terlembaga secara
mantap melalui aplikasi fungsi sekolah-sekolah modern.
Di lain pihak, tak kalah pentingnya buah pikiran Emile
Durkheim (1858-1912) berupa buku yang berjudul The Division of
Labour in Society (1968) juga menganalisis kecenderungan masya-
rakat maju yang di dalamnya terdapat pembagian kerja dalam
pemetaan bidang-bidang ekonomi, hukum, politik pendidikan,
kesenian dan bahkan keluarga. Gejala tersebut merupakan dam-
pak dari penerapan sistem ekonomi industri yang di dalamnya
memerlukan memerlukan spesialisasi peran untuk mengusung
keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup para anggotanya
(Johson, 1986 : 181-184). Sekali lagi ilustrasi di atas hanya dapat
tercermin pada konteks organisasi lembaga pendidikan yang telah
mampu memproduk manusia profesional dengan spesifikasi
keahlian. Sedangkan untuk mewujudkan figur-figur manusia itu
hanya mampu dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan
modern.
Dari kedua pernyataan ilmiah para tokoh sosiologi di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan sekolah yang mewar-
nai dunia kehidupan manusia saat ini merupakan sebuah kenisca-
yaan peradaban modern yang lekat dengan renik-renik pergulatan
ilmu pengetahuan dan aplikasi teknologi mutakhir. Sementara
melihat konteks sosial yang terbentuk dapat dijawab pula sekolah
juga masuk dalam kategori-kategori organisasi pada umumnya
yang mengemban konsekuensi-konsekuensi organisatoris.
Oleh karena itu keberadaan sekolah patut dimasukkan seba-
gai salah satu organisasi yang memanfaatkan mekanisme biro-
kratis dalam mengelola kerja-kerja institusinya. Beberapa prinsip
penerapan birokrasi juga terdapat dalam lembaga sekolah antara
lain:
1. Aturan dan prosedur yang ketat melalui birokrasi,
2. Memiliki hierarki jabatan dengan struktur pimpinan yang
mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda,
3. Pelaksanaan adminstrasi secara professional,
4. Mekanisme perekrutan staf dan pembinaan secara bertang-
gung jawab,
5. Struktur karier yang dapat diidentifikasikan, dan
6. Pengembangan hubungan yang bersifa formal dan impersonal
(Robinson, 1981: 241).
Sekolah memang tidak menggunakan semua ketentuan-
ketentuan di atas secara ketat dan linear. Kaitan dengan hal ter-
sebut, Bidwell ,1965 (dalam Robinson, 1981). berpendapat bahwa
sekolah mempunyai ciri “struktur yang longgar”. Yang dimaksud
dengan kelonggaran struktural oleh Bidwell adalah prasyarat-
prasyarat mutlak dari kekuatan-kekuatan struktural tidak harus
dilaksanakan sepenuhnya oleh guru dalam menerapkan metode
belajar-mengajar kepada para siswanya. Tiap guru mempunyai
kebebasan tertentu untuk menentukan bagaimana ia mengajar di
kelas, walaupun perangkat-perangkat materinya telah ditentukan
oleh kurikulum di atasnya5
Masih dalam lingkup sekolah sebagai organisasi formal,
beberapa ahli telah menyajikan pranata-pranata manajemen yang
berbeda-beda dalam menerapkan fungsi manajemen di sekolah
(Robinson, 1981). Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Manajemen Ilmiah
Pokok-pokok dari manajemen ilimiah antara lain:
- Menggunakan alat ukur dan perbandingan yang jelas dan
tepat,
- Menganalisis dan membandingkan proses-proses yang
telah dicapai, dan
- Menerima hipotesis terkuat yang lulus dari verifikasi serta
menggunakannya sebagai kriteria tunggal
Implikasinya jelas, penerapan kriteria tunggal bagi sekolah
demi mencapai maksimalisasi hasil-hasil belajar secara efisien dan
efektif. Tampak jelas jenis manajemen ini berkarakter mekanistis,
ketat, mengutamakan hasil kuantitatif, serta cenderung
mengesampingkan unsur-unsur manusiawi di dalam prosesnya.
2. Sistem Sosio-teknis
Sebagai sistem sosio-teknis, sekolah mencakup banyak hal
yang menjadi input organisasi, namun stafnya akan “mengetahui”
sifat input-inputnya. Dengan begitu sekolah dapat menentukan
instrumen-instrumen pengolahan demi menjamin hasil yang
optimal. Sampai di sini definisi sosio-teknis memberikan titik
tekan pada pengamatan dan pengelompokan jenis-jenis masukan
dalam sekolah lalu ditindaklanjuti dengan cara-cara yang relevan
dengan “bahan mentah” tersebut. Manajemen sosio-teknis masih
menggunakan prinsip manajemen formal, sehingga beberapa
unsur yang melekat pada prinsip manajemen ilmiah juga dimiliki
oleh sistem sosio-teknis.
3. Pendekatan Sistemik
Model pengelolaan yang paling banyak digunakan adalah
bentuk teori sistem. Ciri kahs pendekatan ini adalah pengakuan
adanya bagian-bagian suatu sistem yang terkait erat pada
keseluruhan. Hubungan timbal balik itu mengisyaratkan detail
bagian yang cukup kompleks dan proses interaksi secara
keseluruhan dalam sebuah organisasi. Implikasi lain, batas-batas
antarbagian harus diketahui dengan tegas dalam mengidentifikasi
komponen-komponen lembaga sekolah .
Secara internal model teori sistem, mengadopsi penanganan
lembaga formal pada umumnya untuk menggerakkan roda
organisasi. Akan tetapi pendekatan ini juga memperhatikan sistem
sosial yang bekerja di luar sekolah. Tiap sekolah berusaha pula
menampung tuntutan-tuntutan dari para orang tua siswa, industri
setempat, pendapat profesional dan kebijaksanaan pendidikan.
4. Pendekatan Individual
Baik pendekatan manajemen maupun pendekatan sistem
cenderung “membendakan” organisasi. Organisasi dipandang
seakan-akan seperti makhluk besar yang mengatasi dan menge-
cilkan peran anggota-anggotanya (terutama para murid). Sebagai
antitesisnya, maka pendekatan individual mengakomodasi nilai-
nilai kemanusiaan dalam organisasi. Akan tetapi pada perkem-
bangannya pendekatan individual memiliki dua keompok pan-
dangan yakni:
a. Teori Pasif
Pandangan yang menekankan pengamatan input pendidikan
secara kolektif. Di mana sudut terpenting yang harus diperhatikan
oleh sekolah adalah proses kematangan pribadi para siswa yang
harus difasilitasi, diakomodasi kebutuhannya dan dibimbing
menuju kedewasaan. Oleh karena itu, proporsi organisasi sekolah
yang cenderung mekanistis harus dipola menjadi flksibel agar
para anggotanya bisa berekspresi dengan optimal (Robinson, 1981:
252).
b. Teori Aktif
Konstruksi pendekatan yang mengutamakan kemampuan
aktif para siswa untuk menginterpretasikan makna-makna norma-
tif dan tindakan-tindakan yang diharapkan berdasarkan iklim
kesadaran mereka. Menurut Silverman (1970) proses sosialisasi di
sekolah bukanlah imperatif-imperatif moral yang memaksa akan
tetapi justru sekolah menjadi “pembantu” para siswa dalam
mendokumentasi dan memantapkan makna-makna kehidupan
yang didapat oleh mereka sendiri. Pendekatan ini sangat kental
dengan pengaruh aliran fenomenologis dalam sosiologi. Oleh6
karena itu teori aktif bermaksud menekankan makna-makna
tafsiran budaya yang didapat oleh individu-individu di dalam
mempersepsikan fungsi sekolah bagi mereka (Robinson, 1981 :
254).
Berbagai pandangan di atas telah menandaskan aspek-aspek
penting yang berperan dan berinteraksi di dalam sekolah. Pada
kenyataannya seluruh konsep manajemen yang ditekankan oleh
masing-masing ahli tersebut selalu tercantum di dalam sekolah.
Tentunya fungsionalisasi masing-masing model manajemen di
atas tergantung pada konteks pandangan manusia yang meng-
amatinya. Apabila pada aspek makro maka dominasi gabungan
fungsi manajemen sistem, sosio-teknis dan ilmiah lebih berperan
penting dalam membantu kerja penglihatan intelektual kita.
Berbeda pada dimensi yang lebih mikro, maka tipe ideal pen-
dekatan individual adalah aspek yang harus diperhatikan dalam
menelah unsur-unsur yang bermain di dalam sekolah.
Dalam hal ini kita akan lebih condong mengamati organisasi
sekolah dalam skala makronya. Analisis sosial yang muncul sepu-
tar sekolah banyak mengupas konflik-konflik antar peranan yang
terjadi di lembaga sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh Davies,
1973 ( dalam Robinson, 1981 : 250) bahwa lembaga pendidikan
sering dirasuki oleh nilai-nilai yang terkadang bertentangan
antarpihak baik dari para guru, orang tua, staf birokrat, siswa,
maupun pihak aparat pimpinan sekolah.
Dari sini analisis yang bisa disajikan untuk mengamati kebe-
radaan sekolah sebagai lembaga formal dalam aktivitas pendi-
dikannya terbagi menjadi dua lahan persoalan yakni:
1. Penafisiran multi-konsep tentang tujuan organisasi beserta
alokasi peran yang sinergis
Sudah menjadi konsekuensi bagi setiap organisasi untuk me-
netapkan tujuan lembaga. Berbeda dengan organisasi pada
umumnya, sekolah memiliki ciri khas yang agak unik, khususnya
dari objek yang menjadi tujuannya. Dengan menetapkan posisi
peran kelembagaan yang bertugas untuk membekali peserta didik
seperangkat pengetahuan dan keterampilan maka sekolah telah
mengumandangkan jenis tujuan yang bersifat abstrak. Hal ini
tentu saja berbeda dengan lembaga lain yang jelas-jelas memiliki
objek tujuan konkrit. Contohnya lembaga perusahaan, tentunya
bagi siapa saja akan jelas memahami arti “mencari keuntungan
maksimal” bagi perusahaan. Baik itu manajer pemasaran, direktur
pabrik, buruh angkutan, sopir, sampai tenaga administrasi akan
jelas mengartikan definisi tujuan tersebut. Sementara sekolah
memiliki tujuan yang bersifat multi-penafsiran dan agak kabur.
Selain itu, dimensi abstrak yang menjadi titik tolak penafsiran
para praktisi sekolah dapat memunculkan hambatan besar untuk
menyatukan pemahaman makna tujuan pendidikan antar posisi.
Berdasarkan struktur organisasi yang terbentuk, guru bertugas
sebagai pelaksana pengajaran kepada siswa, supervisor berfungsi
membina para guru dan tugas formal administratur sekolah ialah
untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam
aktivitas dalam lingkungan sekolah. Masing-masing pemegang
posisi mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungan
dengan posisi lain. Sudah tentu kompleksitas peranan menimbul-
kan nilai sosial yang berbeda-beda dan apabila ditarik dalam
suatu prospek tujuan maka akan melibatkan bermacam-macam
penafsiran.
Selain objek tujuan yang sarat nilai, posisi-posisi peran yang
cukup kompleks di lingkup internal, maka sebuah sekolah akan
berhadapan langsung dengan komponen nilai-nilai lain di luar
lingkungannya. Spesifikasi tujuan yang telah ditetapkan oleh
sekolah ternyata harus bersinggungan erat dengan alokasi peran
pendidikan di luar sekolah, terutama keluarga. Berkaitan dengan
hal tersebut, suatu observasi ilmiah yang dilakukan oleh Univer-
sitas Havard telah menunjukkan hasil yang cukup dramatis.
Setelah diteliti, para guru di sekolah-sekolah New England memi-
liki pandangan yang berbeda tentang tujuan pendidikan, begitu
juga antar guru dengan kepala sekolahnya, selain itu indikasi
serupa ditunjukkan perbedaan nilai antar administratur dengan
Badan Pertimbangan Sekolah. Lebih jauh bukti penelitian juga
menunjukkan sumber utama yang melahirkan konflik di kalangan
praktisi sosial tentang tujuan dan program-program sekolah
(Faisal, 1985: 69).
Dipandang dari sudut tujuannya ternyata lembaga sekolah
harus melakukan bermacam-macam proses penyatuan pandangan
baik dari wilayah internal maupun asumsi-asumsi publik di
lingkup eksternal. Telaah sosiologis telah memberikan sumbangan
konseptual untuk membedah objek tujuan sekolah dalam pola-7
pola hubungannya dengan pihak internal maupun luar lembaga
sekolah.
2. Kompleks permasalahan di sekitar orientasi lintas posisi
dalam koridor efisiensi dan efektivitas
Kompleks pertentangan tersebut merupakan derivasi dari
perangkat-perangkat manusia yang memiliki peran-peran spesifik
di lembaga sekolah. Banyak buku teks yang mengemukakan
tentang peranan guru dan adminsitratur pendidikan seolah-olah
harmonis dan serba sinergis. Padahal kenyataan membuktikan,
salah satu faktor yang memberatkan kerja organisasi adalah gejala
kesalahpahaman untuk memahami kawan sekerja berkenaan
dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan status
pekerjaannya.
Kecenderungan yang terjadi, hampir semua tanggung jawab
dan tugas sekolah yang berhubungan dengan siswa selalu dilim-
pahkan kepada seorang guru. Sedangkan pemberitaan fungsi-
fungsi peran yang berbeda baik dari aspek bimbingan konseling,
pelayanan birokrasi dan keuangan, serta peran penegak ketertiban
dan kedisplinan tidak pernah tersiar secara utuh kepada para
siswa.
Dalam analisis sosiologis, konflik peranan di lingkup internal
sekolah disebabkan pada rangkaian hak dan kewajiban yang
mempengaruhi harapan para pemegang status pekerjaan. Ruang-
ruang kesadaran peran tersebut telah terpecah belah pada
akumulasi integrasi yang terkotak-kotak pada masing-masing
kelompok pekerjaan. Dalam waktu yang sama kepala sekolah
mengharapkan para guru selalu tertib dalam melaksanakan
pengajaran. Sementara guru sendiri selalu berkeinginan mem-
berikan ragam materi yang selengkap-lengkapnya kepada para
siswa. Hal ini tentu bertentangan dengan asumsi umum para
siswa yang jelas-jelas berharap agar para guru tidak terlalu banyak
menyodorkan materi yang harus mereka hafalkan.
Hal tersebut tentunya semakin menjauhkan kesadaran warga
sekolah mengenai hakikat mendasar dari fungsi sekolah sebagai
lembaga pendidikan. Mereka semakin jauh terjerumus pada
labirin-labirin pertentangan seputar ritual-ritual teknis pemenu-
han kebutuhan organisasional. Dari sini tujuan awal penerapan
adminstrasi pendidikan untuk mempermudah lembaga sekolah
dalam menjalankan fungsi-fungsi edukatif beralih menjadi raksasa
permasalahan yang selalu menggelayuti mentalitas warganya.
Tentu saja dalam hal ini sumbangsih teori sosiologi cukup
strategis guna memberikan gambaran komperhensif tentang
gurita konflik yang terbentuk di lingkungan sekolah dalam kaitan
pertentangan antarperan. Dengan begitu, para praktisi pendidikan
diharapkan memiliki bahan mentah yang lengkap mengenai pola-
pola sosial yang tersusun di dunia pendidikan formal beserta
varian-varian permasalahannya.
B. Kelas sebagai Suatu Sistem Sosial
Pada dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya
adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di ruang kelas. Untuk
keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menem-
pati sub-topik tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut
sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis
untuk mengamati proses-proses yang terjadi di ruang kelas.
Dimulai dari pengamatan Parson yang mengetengahkan argu-
mentasi ilmiahnya tentang kelas sebagai suatu sistem sosial. Ber-
kaitan dengan fungsi sekolah maka kelas merupakan kepanjangan
dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun masya-
rakat. Kiprah interaksi di kelas secara khusus berusaha untuk
memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat (Robinson,
1981 : 127).
Di sisi lain, pendekatan interaksionis cenderung menekankan
analisis sosio-psikologis untuk melihat ruang kelas. Sejumlah tokoh
seperti Delamont, Lewin, Lippit, White dan H.H. Anderson adalah
figur-figur yang mengeksplorasi aspek interaksi antarguru dan
murid. Selaras dengan hal tersebut, Withall, 1949, yang meman-
faatkan karya-karya pendahulunya mencoba menemukan pengaruh
situasi sosial emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara
metode pengajaran yang cenderung teacher-centred dengan tipo-
logi pembelajaran Learner-centred, dengan beranggapan bahwa
tipe yang kedua merupakan cara yang paling efektif untuk kegiatan
pembelajaran di kelas (Robinson, 1981 : 129).
Dalam satu rangkaian penelitian Flanders,1967 memperkuat
studi tentang interaksi di kelas. Menurut pendapatnya, semakin
besar ketergantungan murid kepada guru, semakin kurang siswa8
tersebut mengembangkan strategi-strategi belajarnya sendiri
(Robinson, 1981 : 130).
Inti dari penerapan analisis interaksi adalah menganalisis selu-
ruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruh-pengaruh
psikologisnya kepada para siswa. Hal ini terkait erat dengan
metode pendekatan yang diterapkan oleh guru dalam mengelola
pembelajaran di kelas.
Model pendekatan interpretatif juga bermanfaat untuk
menangkap segala hal yang terpola di dalam aktivitas ruang kelas.
Yang termasuk hasil penelitian di lingkup kategori interpretatif
adalah analisis Waller. Bagi Waller, pendidikan merupakan seni
menanamkan definisi-definisi situasi yang berlaku pada kaum
muda dan sudah diterima oleh golongan penyelenggara. Dengan
demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan
kontrol sosial (Robinson, 1981: 135). Inti dari studi tersebut
mencoba menerangkan tentang fungsi sekolah yang mempengaruhi
alam kesadaran para siswa untuk selalu konsekuen mengamalkan
kriteria-kriteria penafsiran nilai yang ditekankan oleh sekolah.
Analisis lain juga mengungkap bahwa sumber ketegangan
antarguru dan siswa berasal dari dualisme ketegangan peran guru di
dalam kelas. Sebagai bawahan kepala sekolah seorang guru harus
menerapkan ketentuan administratif sekolah secara ketat kepada
murid-murid, namun di lain pihak tanggung jawab moral sebagai
pendidik yang sarat dengan kebijaksanaan akan menghalang-
halangi penerapan sanksi kepada siswa tersebut.
Sebagai sistem sosial tentunya di dalam kelas telah terbentuk
konfigurasi sosial di dunia pergaulan siswa. Dari sini tampak kon-
sep diferensiasi mengacu pada praktik organisasi penentuan peng-
huni kelas berdasarkan prestasi-prestasi siswa. Tentunya implikasi
dari pengelompokan ini akan berakibat terbentuknya polarisasi
antarkelompok. Baik itu kelompok si bodoh, si kaya, si pandai, dan
si pemalu. Apabila guru mengetahui fakta tersebut dan mampu
mengelola interaksi antarkelompok maka proses penangkapan
pengetahuan menjadi semakin dinamis dan cukup kaya. Sebaliknya
apabila guru cenderung masa bodoh dengan keadaan demikian
justru semakin mempertegas potensi disintegrasi antarsiswa. Pada
umumnya guru secara gegabah juga dengan mudah menuruti
subjektifitas perasaannya untuk menuruti kelompok-kelompok sis-
wa yang menyenangkan perasaannya. Sekali lagi jika hal terakhir
yang terjadi maka kecemburuan sosial malah menjadi iklim pergu-
latan sosial di lingkungan kelas.
Patut ditambahkan, analisis sosiologis juga mengungkapkan
betapa eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-sikap sese-
orang dengan latar belakang kelompok aspirasi yang digan-
drunginya. Kelompok-kelompok atau aspirasi-aspirasi acuan
merupakan tempat berlabuh yang harus diperhitungkan di dalam
upaya pembinaan tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya
dari hasil analisis di atas, dapat memberikan wawasan sosiologi
kelas kepada pengajar agar proses pendidikan dan pembinaan
siswa lebih efektif (Faisal dan Yasik, 1985 : 76).
C. Lingkungan Eksternal Sekolah
Kita tahu bahwa sekolah bernaung dalam suatu wilayah eks-
ternal yang dihuni oleh kumpulan manusia bernama masyarakat.
Gejala timbal balik baik dari sekolah kepada masyarakat maupun
sebaliknya merupakan realitas keseharian yang akan selalu terjadi.
Keberadaan sekolah di lingkungan masyarakat kota akan
jelas mempengaruhi orientasi pendidikan tersebut dibanding
dengan sekolah yang terletak di lereng gunung. Baik dari segi
kuantitas peserta didik, maupun kompleksitas kegiatan yang ter-
jadwal pada kegiatan-kegiatan akademik di sekolah. Tentunya
tidak mungkin, sekolah ”lereng gunung” mengembangkan ekstra-
kulikuler yang luar biasa padat dan wajib diikuti oleh seluruh
siswa.
Selain itu aspek kelas sosial juga memberikan pengaruh
evaluasi belajar yang dilakukan oleh seorang guru. Hasil sebuah
pengamatan ilmiah menegaskan ada hubungan kuat antara status
orang tua siswa dengan prestasi akademis. Selain itu mobilitas
aspirasi siswa, kecenderungan putus sekolah, partisipasi siswa
dalam kegiatan ekstrakurikuler, tingkah laku pacaran siswa serta
pola persahabatan di kalanngan siswa tampaknya juga dipenga-
ruhi oleh karakter sosial ekonomis orang tua siswa (Faisal dan
Yasik, 1985 : 77).
Kontribusi berikutnya adalah benturan konflik antarperan
tenaga kependidikan dengan posisi-posisi lain di masyarakat.
Getzel dan Guba menemukan bahwa banyak harapan-harapan
yang terkait dengan posisi guru, pada kenyataannya telah berben-
turan dengan harapan posisi lain di luar persekolahan (Faisal dan9
Yasik, 1985 : 79). Dampak dari konflik ini kadang mengganggu
stabilitas individu atau bisa jadi dapat meluas pada segi-segi
materiil di lingkungan sekolah. Seorang guru olah raga yang
sedang menjadi wasit pertandingan sepak bola antar-kecamatan
tentunya akan menghadapi tuntutan masyarakat mengenai
kemungkinan diizinkannya penggunaan fasilitas sekolah. Akan
tetapi dua hari yang lalu sang guru tersebut baru saja mendapat
himbauan keras dari kepala sekolah agar berhati-hati dalam
menjaga perlengkapan olah raga milik sekolah. Peringatan ter-
sebut bukan tak beralasan, akan tetapi didukung sebuah fakta
tentang peristiwa kehilangan beberapa peralatan seminggu yang
lalu. Fenomena tersebut jelas menyokong suatu posisi bahwa
konflik antarperanan di dalam sekolah dengan lingkungan ekster-
nal merupakan sumber potensial utama dari lahirnya ketegangan
di kalangan praktisi pendidikan, khususnya guru.
Melalaui analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa
secara realistis peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang
berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan
kekuatan analisis-analisis sosiologis para praktisi pendidikan bisa
lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan
personal di lingkungan kerjanya masing-masing.
Langganan:
Postingan (Atom)