Untuk menelaah sesuatu kita harus mulai dengan membuat beberapa asumsi tentang sifat-sifat yang akan kita pelajari. Misalnya menurut orang-orang Yunani Kuno alam semesta beroperasi/berjalan sesuai dengan perilaku para dewa. Sebaliknya para ilmuwan berasumsi bahwa alam semesta bersifat tertib dan berjalan menurut cara-cara yang teratur. Oleh karena itu Newton mengembangkan hukum gaya berat setelah mengamati bahwa apel selalu jatuh ke bawah, tidak pernah ke atas. Seperangkat asumsi kerja disebut suatu “perspektif” atau “suatu pendekatan” atau teori. Perspektif-perspektif apa yang dipakai dalam sosiologi ?
3.1. Perspektif Teori Evolusi
Perspektif teori evolusi merupakan perspektif teoritis yang paling awal dalam sosiologi. Perspkektif evolusi pada umumnya dihubungkan dengan konsep biologi dan memusatkan perhatiannya pada perubahan-perubahan jangka panjang. Perspektif teori evolusi melihat masyarakat, seperti organisme hidup, mengalami perkembangan melalui tahap-tahap menuju suatu kondisi yang kompleks.
Banyak para ahli sosiologi pada awal perkembangan ilmu ini dan juga sesudahnya, menggunakan perspketif teori evolusi dalam memahami masyarakat. Para ahli sosiologi seperti Auguste Comte dan Herbert Spencer serta beberapa ahli lain pada awal perkembangan sosiologi, menggunakan perspektif ini dalam melihat masyarakat, yang melihat evolusi sama dengan perkembangan dan langkah menuju kondisi yang lebih baik. Para ahli ini meyakini bahwa seleksi alam akan dengan sendirinya menggeser untuk kemudian merusak masyarakat yang lemah karena tidak mampu beradaptasi, dan sebaliknya, suatu masyarakat yang kuat akan tetap hidup karena mampu melakukan adaptasi. Masyarakat yang kuat akan tetap lestari karena masyarakat yang demikian lebih baik dari pada masyarakat yang lemah. Ini menjadi alasan bagi para ahli sosiologi dari perspektif ini seperti Spencer untuk menolak adanya campur tangan untuk melindungi masyarakat yang lemah maupun menolak untuk mempengaruhi proses evolusi yang berlangsung secara alamiah.
Dalam beberapa dasawarsa perspektif ini kurang mendapat perhatian, namun akhir-akhir ini perspektif evolusi ini kembali berperan. Para ahli sosiologi penganut evolusi dewasa ini pada umumnya berpandangan bahwa evolusi merupakan proses yang menghasilkan suatu perubahan, tetapi mereka tidak beranggapan bahwa perubahan itu akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Meskipun mereka bersepakat bahwa masyarakat senantaiasa berkembang menjadi lebih kompleks, tetapi mereka tidak menyatakan bahwa kompleksitas suatu masyarakat yang tinggi akan menghasilkan sesuatu yang baik, atau sebaliknya menghasilkan sesuatu yang buruk.
Misalnya masuknya telepon dalam suatu masyarakat dapat dipandang sebagai suatu bentuk teknologi yang maju dan membuat masyarakat kian kompleks. Hadirnya kotak ajaib (televisi) dapat dipandang sebagai hal yang baik, misalnya dengan mudah orang dapat mengetahui informasi atau berita dari tempat yang dengan cepat dan dapat pula menyaksikan gambar, tetapi televisi dapat juga dipandang sebagai gangguan, misalnya bisa mengganggu konsentrasi dalam bekerja atau belajar atau membuat malas anak-anak untuk belajar.
Dalam pandangan penganut evolusi terdahulu televisi akan dilihat sebagai sesuatu hal yang baik dari kemajuan masyarakat tanpa melihat sisi buruknya.
Penganut teori evolusi masa kini pada umumnya memusatkan perhatiannya pada upaya mencari pola-pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda, untuk mencari urutan umum yang dapat ditemukan. Dengan demikian perspektif evolusi ini masih merupakan perspektif yang cukup populer, meskipun perspektif ini bukan perspektif utama dalam perkembangan sosiologi.
3.2. Perspektif Teori Struktural Fungsional
Perspektif teori struktural fungsional memiliki akar pada pemikiran Emile Durkheim dan Max Weber, dua ahli sosiologi klasik yang terkenal. Sedangkan dalam perkembangan kemudian, perspektif ini juga dipengaruhi oleh karya Talcott Parson dan Robert Merton, dua ahli sosiologi kontemporer yang terkenal pada masa kini. Perspektif teori strukturakl fungsional dipandang sebagai perspektif teori yang sangat dominan dalam perkembangan sosiologi dewasa ini. Seringkali, perspektif ini disamakan dalam teori sistem, teori ekuilibrium.
Konsep yang penting dalam perspketif ini adalah struktur dan fungsi, yang menunjuk pada dua atau lebih bagian atau komponen yang berbeda dan terpisah tetapi berhubungan satu sama lain. Struktur seringkali dianalogikan dengan organ atau bagian-bagian anggota badan manusia, sedangkan fungsi menunjuk bagaimana bagian-bagian ini berhubungan dan bergerak. Misalnya perut adalah struktur, sedangkan pencernaan adalah fungsi. Contoh lain, organisasi angkatan bersenjata adalah struktur, sedangkan menjaga negara dari serangan musuh adalah fungsi. Struktur tersusun atas beberapa bagian yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain.
Struktur sosial terdiri dari berbagai komponen dari masyarakat, seperti kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, masyarakat setempat/lokal dan sebagainya. Kunci untuk memahami konsep struktur adalah konsep status (posisi yang ditentukans secara sosial, yang diperoleh baik karena kelahiran (ascribed status maupun karena usaha (achieved status) seseorang dalam masyarakat). Jaringan dari status sosial dalam masyarakat merupakan sistem sosial, misalnya jaringan staus ayah-ibu-anak menghasilkan keluarga sebagai sistem sosial, jaringan pelajar-guru-kepala sekolah-pegawai tata usaha menghasilkan sekolah sebagai sistem sosial, dan sebagainya. Setiap status memiliki aspek dinamis yang disebut dengan peran (role) tertentu, misalnya seorang yang berstatus ayah memiliki peran yang berbeda dengan seseorang yang berstatus anak.
Sistem sosial mengembangkan suatu fungsi tertentu yang dengan fungsi itu memungkinkan masyarakat dan bagi orang-orang yang menjadi anggota masyarakat untuk eksis. Masing-masing menjalankan suatu fungsi yang berguna untuk memelihara dan menstabilkan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Misalnya lembaga pendidikan berfungsi mengajarkan pengetahuan atau ketrampilan, lembaga agama berfungsi memenuhi kebutuhan rohaniah, keluarga berfungsi untuk sosialisasi anak dan sebagainya. Para penganut struktural fungsional mengasumsikan bahwa sistem senantiasa cenderung dalam keadaan keseimbangan atau equilibrium. Suatu sistem yang gagal dari salah satu bagian dari sistem itu mempengaruhi dan membawa akibat bagi bagian-bagian lain yang saling berhubungan satu sama lin.
Setiap sistem sosial pada dasarnya memiliki dua fungsi utama, yaitu : (1) apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu dan (2) konsekuensi-konsekuensi yang berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan oleh sistem itu (fungsi lanjutan). Misalnya mata, fungsinya adalah melihat sesuatu dalam lingkungan. Fungsi lanjutan dari mata adalah dengan mata orang dapat belajar, bekerja dan juga dapat melihat datangnya bahaya. Dalam masyarakat, lembaga pemerintahan memiliki fungsi utama menegakkan peraturan, sedangkan fungsi lanjutannya adalah menggerakkan roda perekonomian, menarik pajak, menyediakan berbagai fasilitas sosial dan sebagainya.
Menurut pandangan Robert Merton salah satu tokoh perspektif ini, suatu sistem sosial dapat memiliki dua fungsi yaitu fungsi manifest, yaitu fungsi yang diharapkan dan diakui, serta fungsi laten, yaitu fungsi yang tidak diharapkan dan tidak diakui. Lembaga pendidikan sekolah taman kanak-kanak misalnya memiliki fungsi manifes untuk memberikan dasar-dasar pendidikan bagi anak sebelum ke jenjang sekolah dasar. Fungsi latennya, memberi pekerjaan bagi guru TK, membantu orang tua mengasuh anak selagi orang tuanya bekerja dan sebagainya.
Dalam pandangan Robert Merton, tidak semua hal dalam sistem selalu fungsional, artinya tidak semua hal selalu memelihara kelangsungan sistem. Beberapa hal telah menyebabkan terjadinya ketidakstabilan dalam sistem, bahkan dapat saja menyebabkan rusaknya sistem. Ini oleh Merton disebut dengan disfungsi. Misalnya tingkat interaksi yang tinggi dan kaku dalam keluarga dapat menghasilkan disfungsi, antara lain dalam bentuk kekerasan dan perlakuan kasar atau penyiksaan pada anak.
Para penganut perspektif struktural fungsional ini berusaha untuk mengetahui bagian-bagian atau komponen-komponen dari suatu sistem dan berusaha memahami bagaimana bagian-bagian ini saling berhubungan satu sama lain suatu susunan dari bagian-bagian tersebut dengan melihat fungsi manifes maupun fungsi latennya. Kemudian mereka melakukan analisis mengenai manakah yang memberiu sumbangan bagi terciptanya kelestarian sistem dan manakah yang justru menyebabkan kerusakan pada sistem. Dalam hal ini dapat saja suatu komponen menjadi fungsional dalam suatu sistem, tetapi menjadi tidak fungsional bagi sistem yang lain. Misalnya ketaatan pada suatu agama merupakan sesuatu yang fungsional dalam pembinaan umat beragama, tetapi tidak fungsional bagi pengembangan persatuan berbagai etnik yang beragam agamanya.
Dalam pandangan perspektif struktural fungsional ini, suatu sistem sosial eksis karena sistem sosial itu menjalankan fungsinya yang berguna bagi masyarakat. Pusat perhatian perspektif ini juga tertuju pada masalah tatanan (order) dan stabilitas, yang karena perhatiannya pada hal ini mereka dikritik mempertahankan status-quo. Karena perhatiannya tertuju pada keseimbangan dan kelsetarian sistem, perspektif ini juga sering dikritik mengabaikan proses perubahan yang terjadi dalam sistem sosial.
3.3. Perspkektif Teori Konflik
Perspektif teori konflik juga memiliki akar pemikiraan pada pemikiran beberapa ahli sosiologi klasik terutama pada Karl Marx. Meskipun demikian, para ahli dari perspektif teori konflik modern juga banyak memberi sumbangan pemikiran, terutama dari John Stuart Mill, Ralph Dahrendorf, Lewis Coser dan sebagainya. Dalam pandangan para ahli dari perspektif teori konflik ini masyarakat akan dapat dengan tepat dianalisis jika menggunakan konsep kekuasaan (power) dan konflik.
Karl Marx memulainya dengan suatu asumsi dasar yang sederhana, yaitu struktur dari masyarakat ditentukan oleh organisasi ekonomi, terutama pada pemilikan barang produksi (ownership of poverty). Dogma agama, nilai-nilai budaya, kepercayaan individual, susunan dan struktur lembaga-lembaga dalam masyarakat, semuanya secara mendasar merupakan refleksi dari organisasi ekonomi yang ada dalam masyarakat. Menyatu dalam sistem ekonomi, kesenjangan dalam pemilikan barang produksi telah mendorong mendorong terjadinya konflik antar kelas secara revolusioner. Kelas yang tidak menguasai alat produksi telah menjadi kelas yang dieksploitasi, senantaiasa berjuang memperbaiki posisi mereka yang rendah dan tertindas dan secara revolusi mereka melawan kelas yang dominan dalam penguasaaan faktor produksi. Dalam pandangan Marx, cerita sejarah tentang manusia tidak lain adalah cerita tentang perjuangan kelas antara para pemilik alat produksi dengan para buruh yang tidak menguasai alat produksi, antara yang didominasi melawan yang mendiminasi atau antara yang memiliki kekuasaan dengan yang tidak memiliki kekuasaan.
Para ahli perspektif teori konflik masa kini melihat bahwa konflik merupakan fenomena yang senantiasa ada dalam kehidupan sosial dan sebagai hasilnya, masyarakat senantiasa berada dalam perubahan yang terus menerus. Berbeda dengan Marx, para ahli sosiologi perspektif konflik masa kini jarang yang melihat konflik senantaiasa merupakan refleksi dari organisasi ekonomi maupun kepemilikan (ownership). Konflik dalam pandaangan para ahli perspektif konflik masa kini , meliputi bidang yang luas di mana terjadi pertentangan dari berbagai kepentingan dan kelompok dalam masyarakat. Jadi konflik bukan hanya antara pemilik modal dengan para buruh seperti dikemukakan oleh Marx, tetapi juga meliputi pertentangan antara orang muda dengan orang tua, antara pria dan wanita, antara satu etnis atau ras tertentu dengan etnis atau ras tertentu sebagaimana antara pemilik modal dengan para buruh. Konflik ini disebabkan karena sesuatu yang dihargai dalam masyarakat (kekuasaan, ilmu pengetahuan, tanah, uang dan sebagainya) tidak terdistribusi merata dan tidak semua orang dapat memperolehnya secara sama. Sesuatu yang bernilai itu merupakan komoditas yang terbatas, sedangkan permintaan (demand) akan hal itu lebih besar dari penawaran (supply) yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu barang siapa dapat memiliki atau mengontrol barang dan jasa yang bernilai dalam masyarakat, akan cenderung mempertahankan dan melindungi kepentingannyaa terhadap usaha pihak lain untuk merebutnya.
Dalam pandangan yang demikian, konflik tidak selalu berarti perang, kekerasan dan sejenisnya. Konflik menunjuk pada perjuangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan setiap anggota masyarakat untuk berusaha mempertahankan, meningkatkan dan menjaga posisi sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari. Konflik juga tidak dilihat sebagai proses yang destruktif (merusak) yang akan embawa paada kondisi ketidak-terauran (disorder) dan pecahnya masyarakat. Beberapa ahli perspektif teori konflik modern misalnya Dahrendorf dan Lewis Coser bahkan melihat adanya peranan konflik dalam menciptakan integrasi, yang ditandai oleh adanya kekuatan yang menyumbang terjadinya keteraturan dan stabilitas. Bagaimana konflik memeiliki peran integratif dapat dipahami dengan melihat bahwa semua orang memiliki kepentingan yang sama akan bekerja sama untuk berusaha mencapainya agar keuntungan dapat diraih bersama. Konflik antar ras misalnyaa dapat menjadi pengikat kebrsamaan dalam suatu ras tertentu, mengabaikan perbedaan-perbedaan diantara mereka sendiri.
Teori ini berbeda dengan dari struktural fungsional. Jika teori struktural fungsional melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang senantiasa dalam keadaan ekulibrium atau kesimbangan, teeori konflik sebaliknya, melihat masyarakat sebagai arena bagi terjadinya pertentangan yang terus menerus dan terjadi perubahan-perubahan. Teori struktural fungsional melihat proses sosial merupakan proses yang terus menerus dengan mengembangkan keselarasan (harmony), sebaliknya teori konflik melihat proses sosial sebagi proses perjuangan yang terus menerus menuju sasarannya. Teeori struktural fungsional melihat masyarakat pada adsarnya berlandaskan pada konsensus, terintegrasi dan statis, di lain pihak teori konflik melihat masyarakat itu pada dasarnya ditandai oleh adanya paksaan, pertentangan dan perubahan yang terus menerus. Jika teori struktural fungsional dikritik karena terlalu menekankan pada stabilitas dan status quo serta mengabaikan perubahan, sebaliknya teori konflik dikritik karena terlalu kontroversial dan terlalu berlebihan dalam melihat keteraturan atas dasar paksaan.
3.4. Perspektif Teori Interaksionisme Simbolik
Tokoh utama perspketif ini diabngun oleh George Herbert Mead, William Issac Thomas, dan John Dewey, TH. Cooley. Perbedaan utama perspektif ini dengan perspektif terdahulu terletak pada ukuran dari unit yang dipakai dalam analisis dan penelitian. Jika teori evolusi, struktural fungsional, maupun konflik terletak pada ukuran dari unit yang dipakai dalam analisis dan penelitian. Jika teori evolusi, strukturaal fungsional maupun konflik berada pada tataran sosiologi makro, yang melihat masyarakat sebagai suatu susunan yang besar : organisasinya, lembaga-lembaganya, kelas-kelas sosial dans ebagainya, maka perspektif teori interaksionisme simbolik berada pada tataran mikro sosiologi, yang mremusatkan perhatiannya pada individu dalam masyarakat dan definisi situasi, makna, peran, pola interaksi yang dibuat individu. Meski antar berbagai perspektif kedua tataran ini kadang terjadi tumpang tindih (overlap), tetpai padaadsarnya terdapat perbedaan asumsi dan teori yang mendasar diantara keduanya.
Bagi perspektif interaksionisme simbolik yang penting bagi sosiologi adalah memahami bagaimana individu mempengaruhi dan sebaliknya mempengaruhi juga dipengaruhi oleh masyarakat. Perspektif ini berasumsi bahwa masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang telah mengalami proses sosialisasi dan eksistensi serta strukturnya nampak dan terbentuk melalui interaksi sosial yang berlangsung diantara individu dalam masyarakat tersebut dalam tingkatan simbolik
Dalam perspektif ini sesuatu yang penting pada penggunaan simbol. Untuk memperjelas makna simbol dapat dijelaskan dengan contoh, misalnya seseorang yang mengendarai mobil di perempatan yang ada lampu pengatur lalu lintas yang menyala adalah MERAH, maka iapun berhenti, padahal yang ada di hadapannya bukanlah obyek fisik yang dapat menghalanginya. Berhentinya seseorang di lampu merah jelas karena ia telah belajar, telah tahu bahwa lampu merah adalah pertanda atau simbol bahwa ia harus berhenti. Contoh lain adalah, seorang laki-laki yang mengulurkan tangannya merupakan tanda bersahabat, akan tetapi kalau ia mengepalkan tangannya tentu bermakna sebaliknya. Dalam kehidupan yang nyata kegagalan merumuskan situasi perilaku secara benar dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang menyenangkan atau malah bisa berakibat fatal.
Sebagaimana dituangkapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku mereka Social Construction of Reality (1966) yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia Tafsir Sosial Atas Kenyataan (1990). Masyarakat merupakan kenyataan obyektif dalam arti orang, kelompok, dan lembaga-lembaga adalah nyata. Akan tetapi, masyarakat adalah juga suatu kenyataan subyektif dalam arti bagi setiap orang, atau lembaga-lembaga lain tergantung pada pandangan subyektif orang tersebut. Apakah sebagain orang sangat baik atau jahat, apakah polisi pelindung atau penindas masyarakat, apakah perusahaan swasta melayani kepentingan umum atau pribadi-ini adalah persepsi yang mereka bentuk dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan persepsi ini merupakan “kenyataan” bagi mereka yang memberikan penilaian tersebut. Dalam hal ini perspektif interaksionisme simbolik memulainya dengan konsep diri (self), diri dalam hubungannya dengan orang lain dan diri dan orang lain itu dalam konteks sosial yang lebih luas. Dalam konteks sosial inilah dapat dipahami mengapa seseorang memiliki anggapan negatif terhadap lainnya, mengapa lebih mudah bergaul dengan seseorang dari pada lainnya maupun mengapa lebih enak berada diantara orang-orang yang sudah dikenal dari pada diantara orang-orang yang belum dikenal. Jadi dalam hal ini perspektif interasionisme simbolik memahami individu dalam konteks sosialnya, melalui pemahaman lingkungan sosial (social setting), dari sinilah kemudian dapat dipahami interaksinya, nilai-nilainya, misalnya pantas-tidak pantas, baik-buruk dan sebagainya.
3.5. Perspektif Teori Pertukaran
Perspektif teori pertukaran pada dasarnya memiliki akar pemikiran yang beerbeda dari perspektif yang lain, di mana perspektif ini bersumber dari pemikiran ekonomi, antropologi, psikologi, maupun sosiologi. Perspektif ini berdasarkan pada anggapan bahwa kehidupan pada dasarnya adalah serangkaian pertukaran yang di dalamnya terdapat keuntungan dan kerugian. Dalam lapangan ekonomi, orang saling mempertukarkn uang, barang, jasa untuk mendapatkan keuntungan, setidaknya tidak mengalami kerugian dalam pertukaran itu. Secara antropologis, psikologis maupun sosiologis, hal yang dipertukarkan meliputi pula baik faktor fisik maupun faktor sosial. Misalnya agar dapat mempererat persahabatan, orang mengundang orang lain makan malam dan sebagainya. Pekerjaan, pemberian, gagasan, uang, perhatian adalah sesuatu yang dimiliki orang untuk dipertukarkan dengan orang lain.
Teori pertukaran sosial berupaya memhami mengapa suatu tingkah laku terjadi dalam suatu situasi struktural tertentu dan dalam situasi dimana kemungkinan untuk berinteraksi terjadi. Misalnya mengapa perempuan cenderung menikah dengan laki-laki dengan status sosial yang lebih tinggi, bukan sebaliknya laki-laki dengan status sosial yang rendah dengan perempuan berstatus sosial lebih tinggi. Perspektif teori pertukaran berupaya memahami hal ini dengan melihat kualitas yang diinginkan oleh laki-laki dan oleh perempuan yang dapat saling dipertukarkan. Dalam suatu masyarakat, mungkin pekerjaan yang baik dan memiliki kekayaan melimpah merupakan hal yang diinginkan oleh perempuan dari seorang laki-laki, sedangkan bagi laki-laki barangkali kecantikan dan kondisi fisik yang sempurna yang diinginkan. Jadi dalam situasi sosial yang demikian dapat dipahami mengapa perempuan yang cantik dari status sosial yang rendah akan “mempertukarkan” “kecantikan” yang dimilikinya itu dengan “harta” dan “masa depan” yang dimiliki oleh laki-laki dari staatus sosial ekonomi lebih tinggi, demikian pula sebaliknya bagi laki-laki, mungkin baginya akan membanggakan dirinya menggandeng istri yang cantik.
Perspektif teori pertukaran ini berasumsi bahwa orang selalu berupaya mendapatkan status, berusaha mendapatkan ganjaran (reward), menjalin hubungan yang lebih baik dan berupaya untuk menghindari atau mengurangi seminimal mungkin biaya atau kerugian, hukuman uyang diperolehnya. Menghadapi serangkain alternatif yang ada, setiap orang akan memilih pilihan yang memberi keuntungan terbesar, ganjaran terbesar, keamanan tertinggi dan pada saay yang sama menghindari resiko, mengurangi kerugian dan menghindari hal yang tidak aman. Jika kerugian lebih besra dari perolehan maka orang akan merasa tidak suka, marah, dan tidak nyaman, sebaliknyaaaaaa jika perolehan lebih besar dari kerugian maka akan merasa enak, nyaman, dan suka. Agar pihak-pihak dalam pertukaran itu sama-sama merasakan keuntungan, maka interaksi sosial harus dilakukan dalam mewujudkan pertukaran yang seimbang, yaitu suatu perasaan bahwa masing-masing mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari kerugiannya.
Terdapat dua aliran dalam perspektif teori pertukaran ini. Aliran yang pertama adalah aliran dengan tokohnya George Homans. Homans merupakan salah satu ahli yang mewakili aliran teori pertukaran yang bersifat psikologis (behavioral psichology), yang melihat perilaku dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan ganjaran dan hukuman. Aliran teori ini memusatkan perhatiannya pada perilaku yang terjadi (actual behavior), bukan pada proses yang dapat dilacak dari perilaku yang terjadi itu, karena proses itu tidaklah dapat diamati. Dalam pertukaran sosial, ganjaran dan hukuman pada dasarnya adalah perilaku pihak lain.
Aliran pemikiran yang lain dengan tokohnya Peter M. Blau, yang secara konsisten mengikuti prisnsip teeori interkasionisme simbolik. Blau tidak menekankan untuk melakukan penjelasan atas semua pertukaran yang nampak dari perilaku yang dapat diamati. Dalam pandangan Blau, pertukaran itu lebih bersifat subyektif dan interpretatif, sehingga pertukaran pada dasarnya berada pada tingkatan simbolik. Sebagai hasilnya dalam pandangan perspektif ini uang dapat memiliki makna yang berbeda-beda, misalnya uang sebagai ganjaran jika penerima uang itu mengartikannya demikian, tetapi dapt pula berarti bentuk fisik dari penghargaan karena seseorang telah bekerja dengan baik, atau uang hanyalah sekedar wujud rasa kasih sayang atau perhatian dari pihak lain, dan sebaginya.
Baik Homans maupun Blau keduanya sepakat baahwa adalah penting bagi masing-masing pihak dalam pertukaran menerima sesuatu setara dengan yang telah diberikannya pada pihak lain. Menurut Homans ini disebut dengan distribitive justice sedang Blau menyebutnya fair exchange. Dalam pertukaran terkandung harapan-harapan yang seimbang yang masing-masing memiliki kesetaraan. Jika sumber atau kriteria pertukaran ini tidak seimbang maka salah satu berada pada posisi dirugikan dan lemah, sedang pihak lain memiliki kekuasaan lebih besar serta mampu mengontrol dalam hubunagnnya dengan pihak lain. Sebagai contoh, dalam perkawinan yang kriteria pertukarannya tidak seimbang akan membawa akibat adaanya dominasi salah satu pihak terhadap lainnya atau bahkan mungkin akan emneybabkan perkawinan itu berakhir. Jadi dalam pandangan perspektif pertukaran kehidupan sosial dipandang sebagai proses dimana didalamnya terjadi tawar menawar atau negosiasi dan hubungan sosial yang terjadi didasrkan pada kepercayaan dan kepentingan kedua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar