baca selengkapnya di : http://www.poetra-anoegrah.co.cc/2010/04/cara-mengubah-judul-blog-dengan-judul.html#ixzz1Ie8isVZF

Klik Kanan

Jumat, 17 Desember 2010

Etika, Islam, dan Materialisme Subjektif

Ada tiga unsur yang terdapat dalam tema diatas yaitu unsur etika, Islam dan ilmu pengetahuan komunikasi. Ketiga komponen ini memiliki basis yang sama yaitu subjektivitas. Dan dalam tataran subjektivitas inilah logika manusia dapat menemukan sarangnya. Disini saya hanya membahas tentang dua hal yaitu etika dan Islam. Ilmu komunikasi tidak dapat saya bahas secara panjang lebar karena akan tidak relevan, sebab objek material ilmu komunikasi adalah manusia. Dan subjeknya juga tentu manusia, bukan mesin atau angka-angka positivisme. Artinya ilmu komunikasi adalah permasalahan antara sesama ciptaan.
Saya yakin logika objektif yang utopis dan kering manapun tidak akan mungkin membongkarnya. Dan itulah fungsi adanya rukun iman. Tanpa kepercayaan terhadap sesuatu, tidak mungkin kita dapat hidup. Dalam buku Krisis Manusia Modern yang saya lupa pengarang serta tahunnya, dikatakan bahwa bukankah untuk dapat bermain catur – yang kata orang permainan paling objektif-rasional – kita harus mengimani dulu aturan main ? Setelah itu barulah kita bisa berimprovisasi dalam melakukan langkah-langkah strategis. Dan untuk membuat suatu penelitian ilmiah, bukankah kita juga harus mengimani dulu metode penelitian?
Dan saya tidak percaya bahwa tujuan diskursus ini bukan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Yang saya percaya adalah kebenaran mutlak itu ada, tetapi kebenaran mutlak itu tidak bisa selalu digeneralisir.
EtikaSeorang Socrates pernah mengatakan, kehidupan yang tidak diperiksa adalah kehidupan yang tidak layak dijalani. Begitu juga etika, sebagai sebuah dinamika peradaban ia pun masih pantas untuk dipertanyakan.
Etika merupakan persoalan sistem kepercayaan, benar salah, baik buruk. Hal ini selalu menjadi permasalahan yang belum menemui titik temu. Pada suatu saat kita “diajak” percaya kalau membunuh, aborsi atau potong tangan itu salah, tapi pada saat lain ada juga suatu masyarakat yang “membolehkan” pembunuhan, asal disaksikan beramai-ramai (yang sekarang asal disiarkan media massa) seperti pada jaman kerajaan-kerajaan dahulu atau sekarang, misalnya hukum gantung, potong tangan, pancung atau kursi listrik.

Ada beberapa pendapat yang dapat dikemukakan disini. Garis besarnya terbagi dua, menolak etika dan menerima etika sebagai sesuatu yang sudah seharusnya.
Pada orang-orang yang menolak, ada beberapa paham yang mendukungnya antara lain dapat disimpulkan, pertama, moralitas berasal dari otoritas atau kelas dominan atau para pemilik kapital yang memiliki daya untuk mengendalikan komunitas agar mau mempercayai bahwa otoritas merupakan sebuah panutan masyarakat yang seakan-akan alami dan berpikiran sehat. Ini disebabkan tingkat relativitas moral yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan otoritas untuk melestarikan kekuasaannya.
Kedua, dan atas otoritas apa dan siapa yang dapat menghentikan kebebasan individu agar patuh pada kesepakatan nurani yang tak pernah ia ikuti itu ? Apakah kita ini lebih bersifat individu atau lebih merupakan anggota suatu masyarakat (C. John Sommerville, 1999). Paham yang menentang ini bermula dari aliran filsafat eksistensialisme dan lantas “disempurnakan” oleh posmodernisme. Yang terakhir malah lebih ekstrim lagi dengan mengatakan moralitas sudah mati. Etika yang diciptakan ciptaan mungkin saja tidak lagi hanya sekedar menjadi pembawa nilai baru, kini ia berbalik menjadi pencipta, creator, yang mengakibatkan gairah sejati abad kedua puluh adalah (tetap) membudak (Albert Camus, 2000).
Dan ada beberapa argumen yang menerima moralitas sebagai sesuatu fitrahnya manusia. Unsur genetika altruistik dan instink genetik sosial dipakai sebagai alasan untuk membenarkan adanya moralitas. Selain itu sebagian filosof menekankan pentingnya komunitas dalam mempengaruhi individu, dan mereka semua merujuk pada satu hipotesis, adanya suatu kesepakatan bawah sadar yang mengharuskan seluruh anggota masyarakat tunduk kepadanya. Dalam buku Etika, seri for beginner, mereka memberi contoh tentang dipahaminya perbedaan makna yang dalam antara dilarang mencuri dengan dilarang menggunakan mesin pemotong kayu tanpa kaca mata pelindung.
Permasalahan etika dalam mata kuliah Etika dan Hukum Pers menyebutkan ada enam jenis atau hirarki etika yaitu etika normatif, etika umum, etika khusus, etika individual, etika sosial dan etika profesi. Tapi itu tidak dapat dijelaskan disini, karena akan terlalu melebar. Etika sebagai persoalan hitam-putih, akan tidak pernah kunjung selesai. Sementara proses dialektika itu masih berlangsung, tidak ada seorang pun sebenarnya yang berhak menetapkan secara sepihak tentang “aturan nurani”-yang gampang diplintir oleh penguasa. Diantara ketidakjelasan itu, kompromi dan negosiasi harus selalu hadir diantara sesama komunitas manusia. Dan dasar dari kemampuan dan pengetahuan tentang “aturan nurani” dalam berbuat baik hanyalah bisa didapat di rumah, dari ibu dan bapak kita. Bukankah filosofi kita mengajarkan buah itu tidak jatuh jauh dari pohonnya?
Islam, Intervensi Objektivitas Terhadap SubjektivitasRasanya semua orang tahu bahwa ada sesuatu yang putus dari pemikir-pemikir muslim. Pemikiran-pemikiran cemerlang pernah datang dari Islam. Tapi sepertinya ada pergolakkan pemikiran intern dalam intelektual. Etika yang berkaitan dengan nilai-nilai, salah benar, baik buruk, terkesan mengkristal dalam ruang dan waktu pemikiran. Padahal Al-Quran itu merupakan buku abstraksi. Namun ada beberapa orang yang kemudian merasa berhak – entah dari otoritas apa, tapi mungkin tradisi yang mengeras – untuk memegang otoritas penafsiran Al-Quran, dengan melembagakan Islam. Seakan-akan Tuhan berada dibelakang mereka.
Mitos-mitos penyembahan material – tuhan-tuhan yang tampak seperti berhala, animisme, animisme dan gengsi status sosial – pada jaman dahulu tergeser oleh buku Alqur’an. Dan itulah yang menjadi tonggak pencerahan manusia di abad 11 di
Baghdad. Iman terhadap logika non-material berhasil mengambil alih posisi materialisme dalam memimpin pemikiran.
Dulu orang Islam mengkaji apa-apa yang baru dan serius, yaitu Al Qur’an. Kini orang Islam tidak menghiraukan apa-apa yang menantang dan serius yaitu Materialisme Dialektika. Bukankah ketika orang mau mempelajari Al Qur’an, itu karena mencari kebenaran. Begitu juga dengan materialisme dialektika. Dan toh tidak ada yang bertentangan antara materialisme – entah itu dengan dialektika atau historisnya Karl Marx atau dialektika logikanya Tan Malaka – dengan eksistensi dan esensi Tuhan.
Ketika kita mau mempelajari sesuatu, apa yang kita pikirkan ketika itu ? Bukankah kita melihat ada sesuatu yang menarik ? Dan kita percaya bahwa kita tertarik. Keyakinan kalau sesuatu itu menarik adalah subjektif. Begitu juga dengan materialisme dialektika. Ketika kita membutuhkan persoalan yang dapat dianalisis logika dari panca-indera, kita mengambilnya dari hal-hal yang nyata dan kelihatan, agar dapat diperiksa dan dieksperimenkan.
Itulah materialisme dialektika, bahwa yang tampaklah yang mempengaruhi pikiran, keadaan masyarakat menjadi alat adanya paham sosial, tetapi paham tadi pada satu ketika membalik mempengaruhi masyarakat. Pada tingkat ini memang benda menentukan pikiran, tetapi sesudah itu pikiran berbalik mempengaruhi benda (Karl Marx). Artinya tetap saja kita membutuhkan keyakinan kita untuk percaya kepada prosedur, atau metode. Kita percaya pada media. Kita percaya pada peralatan yang dapat mengantarkan kita mencapai kebenaran ketika kita berhubungan dengan manusia beserta alam. Artinya tetap subjektif. Dan metode inilah yang dipakai Alvin Toffler dalam membuat kategori peradaban manusia secara tajam.
Lantas apa bedanya dan hubungannya dengan Tuhan ? Yang saya lihat malah kesamaan bahwa untuk memahami adanya Tuhan pun dibutuhkan keyakinan berupa rukun iman. Kita percaya kepada media yang mengantarkan kita kepadaNya yaitu Al Qur’an. Dibutuhkan berpikir agar dapat memahamiNya, yaitu ketika kita sedang tidak berhubungan dengan manusia. Ia berkarakter vertikal, yang berarti pola berpikir yang menuju keatas, ke Pencipta, yang ditopang oleh subjektivitas.
Jika Al Qur’an adalah metode berpikir untuk melihat kebesaran pemikiran Tuhan, maka materialisme adalah metode berpikir yang horizontal, yang berusaha membongkar misteri kehidupan antar manusia dan alam. Metode ini lahir dari manusia dan untuk manusia beserta alam. Serangan ciptaan ke pencipta dari materialisme bahwa Tuhan itu harus ada sebelum ia menciptakan dirinya sendiri, sebagaimana kata Feuerbach, terbukti terbantahkan oleh lantai metode itu sendiri, yaitu subjektivitas. Mampukah kita membantah materialisme dialektika atau Al Qur’an ? Kenapa permasalahan antar manusia harus menyeret-nyeret performance singgasana Tuhan ? Bagaimana mungkin ciptaan menyeret-nyeret Pencipta untuk berpihak menyalahkan ciptaannya yang lain ?
Dan yang benar tentu hanya Pencipta, namun itu jika kita bertanya vertikal, tentang esensi ciptaan. Sementara untuk urusan kehidupan manusia, logika esensi seperti itu tidak akan relevan. Menurut saya iman kepada materialisme dialektika harus dilakukan ketika kita berpikir horizontal, sesama ciptaan. Dan Siapa yang berhak meyakinkan keyakinannya bahwa tafsiran dialah yang paling benar dalam mengaplikasikannya ke dunia ini ? Padahal dia hanyalah satu orang dari enam milyar penduduk bumi. Ketika kita membuang salah satu atau keduanya atau mengimani salah satu saja, kita akan terlihat seperti patung atau dewa, yang telah tercerabut dari subjektivitas, yang merasa dirinya dapat bebas nilai.
Pengungkungan terhadap subjektivitas manusia pastilah akan menyimpan benih-benih pemberontakan, yang tidak menginginkan kemapanan tertutup dari pertanyaan. Semangat pemberontakan itu hanya dapat muncul dalam suatu masyarakat dimana kesamaan hak secara teoritis menyembunyikan ketidaksamaan harkat yang cukup besar secara faktual (Albert Camus).
Seorang revolusioner pastilah dimulai dari pengamatan yang mengakibatkan ia berontak, dan menurut Albert Camus, biasanya pemberontakan itu menghasilkan nilai-nilai baru. Artinya ia juga masih berada dalam cakupan subjektivitas. Dan mampukah objektivitas ditandingkan dengan subjektivitas? Jelas tidak mungkin karena metode berpikir yang kita percaya ini tidak memungkinkannya. Satu-satunya yang objektif atau mutlak hanyalah Tuhan. Dan tidak ada seorang pun yang memiliki otoritas menyeretnya untuk pembenaran, karena saya yakin belum pernah ada yang bertemu Tuhan.
Banyak orang sering melembagakan sesuatu yang datang dari Tuhan, yang sebenarnya digunakan sebagai alas kaki kepentingan manusia. Ketika itu terjadi maka inteligensia adalah kemampuan untuk menghambat pemikiran agar tetap percaya pada realitas (Albert Camus).
Pengekalan relatif yang disebut-sebut objektif itulah yang membuat kaum Islam hanya menjadi pionir peradaban pemikiran yang sangat sebentar, yang dalam grafik Fritjof Capra digambarkan hanya berjaya lebih kurang seperempat milenium pertama (Fritzof Capra, 1997). Ketergantungan terhadap induktif sangat terasa membodohkan. Kita ditakut-takuti jika kita belajar yang bukan (tradisi) Islam nanti akan sesat.
Satu yang perlu diingat, dialektika materialisme merupakan ciptaan manusia dan itu perlu dihargai, sebagai unjuk kekuatan manusia bahwa akal itu luar biasa. Bukankah itu kebesaran Tuhan ? Akal ciptaan dapat berkembang sedemikian rupa, sedemikian dalam.Dapat diakui bahwa Alqur’an adalah media kita untuk mempercayai Tuhan. Dan Tuhan adalah Maha Subjektivitas (Al Ghazali). Maha subjektif artinya tentu objektif karena ia sesuatu yang paling bebas dari jangkauan, yang juga paling bebas nilai. Dan hanya Dialah yang objektif.
Kita ternyata dibantu oleh materialisme dialektika, dan penempatannya adalah tepat. Subjektivitas-subjektivitas kita ambil dari imajiner kita yang bagaimana pun terbaca atau tampak oleh pikiran kita. Dan materialisme dialektika adalah hasil ciptaan, yang berarti juga subjektif. Dan artinya objektivitas haruslah subjektif (Al-Ghazali), dan objektif dalam hubungan manusia tidak boleh dikekalkan dan digeneralisir, karena ketika itu terjadi kita adalah tiran-tiran pemikiran dan terlihat begitu primitif. Dan jika sudah ada pengetahuan yang mutlak, maka akan berakhirnya perselisihan antara esensi dan eksistensi, antara kebebasan dan keharusan (Karl Marx).
Logika Sejarah RevisionisDengan turunnya Al-Quran sebagai kitab revisi / penyempurna yang bersifat liberal – karena memiliki peluang menafsirkan yang sangat besar –, tentu Tuhan telah menyesuaikan bukunya dengan kemajuan atau tingkat pencerahan pikiran manusia, baik dari fungsi atau cara kerja. Penyesuaian itu dimulai semenjak Yahudi mengkristalkan ajarannya, seperti surat yang berkata; Kami berikan kepada Musa Kitab dan Kami jadikan ia petunjuk bagi Bani Israil, supaya janganlah kamu angkat wakil, selain daripada Aku (Al-Quran,
surat Al-Isra’, ayat 2). Dan Muhammad adalah orang yang paling beruntung mendapat tempat tersendiri di sisi Tuhan yaitu sebagai penyampai revisi ajarannya, yang secara otomatis menjadikannya mulia.
Namun revisi ini tidak serta merta berbentrokkan dengan kitab-kitab prarevisi, yaitu Taurat dan Injil. Semuanya kitab adalah benar, yang salah dimata Tuhan adalah yang tidak berbuat baik seperti tidak memberi makan fakir miskin serta yang menyekutukan atau tidak percaya pada eksistensi dan esensi Allah dengan mensakralkan manusia, walaupun itu Nabi Muhammad. Berita tentang itu berbunyi … Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair anak Allah. Orang Nasrani berkata pula: Al-Masih anak Allah. Demikianlah perkataan mereka dengan mulutnya, menyerupai perkataan orang-orang kafir sebelumnya. Allah mengutuki mereka. Bagaimanakah mereka berpaling ? (Al-Quran,
surat At-Taubah, ayat 30). Yang dimaksud mereka disini tentunya adalah kaumnya Musa dan Isa atau Yesus.
Pada surat selanjutnya Tuhan kembali berkata: Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan alim ulamanya menjadi Tuhan, selain dari pada Allah, begitu juga Al-Masih anak Maryam; sedang mereka tiada disuruh melainkan supaya menyembah Tuhan Yang Esa, tiada Tuhan kecuali Dia. Maha Suci Tuhan dari pada apa yang mereka persekutukan itu (Al-Quran, surat At-Taubah, ayat 31).
Semua itu ada di Alquran dengan maksud merevisi kitab sebelumnya atau menambahkan sesuatu. Entah apa maksud Tuhan dengan menyesuaikan ajaran dengan ciptaan. Tapi perdebatan itu akan membelok kepada permasalahan takdir dan tabula rasa yang sia-sia itu. Kita hanya mampu menebak-nebak. Contoh kasus ini juga bisa saya masukkan dalam kategori intervensi pola pikir “objektif” terhadap eksistensi subjektivitas manusia.Berbeda dengan kedua kitab prarevisi, kitab revisi ini tidak mengizinkan seorang manusia pun untuk ikut berbicara, bahkan Nabi Muhammad. Seluruh isi kitab ini adalah perkataan Tuhan. Kitab ini memang sungguh aneh, luar biasa dan ganjil, karena entah siapa pengarangnya. Sementara di Taurat dan Injil, perkataan-perkataan nabinya bahkan pakar-pakarnya ikut berbicara dalam kitab suci.
Walaupun manusia telah mendapat pesan demikian, masih saja kultur mentuhankan pembawa ajaran – dari Kaum Musa dan kaum Isa – masih terbawa dan mengkristal dalam bentuk etika dan pada gilirannya menjadi tradisi, yang kadang-kadang menyingkirkan pemilik ajaran. Dan itulah yang kembali diulangi lagi oleh kaum Muhammad. Akal pikiran diredam oleh manusia-manusia yang mengatasnamakan agama – dan lebih sering berdasarkan sunah nabi –, yang akan terlihat “berat” jika dilembagakan.Mungkin banyak
surat yang memerintahkan kita untuk mengikuti rasul, mungkin berupa sunahnya itu. Tetapi seluruh sunah nabi menurut saya adalah untuk berbuat baik, dan tentu itu diizinkan oleh Tuhan, yang berarti tidak dilarang. Namun ingat, Tuhan hanya menjamin keabadian dan kesucian kitab Al-Quran, dan tidak ada jaminan bagi sunah rasul. Bukankah tanda ini sedemikian jelasnya ? Ini menunjukkan perintah Tuhan agar kaumnya respect dan tidak anti terhadap pembawa ajaran revisi ini, namun tetap tidak mensakralkannya, yang akan membawa konsekuensi meremehkan atau menyeimbangkan kesucian pemilik ajaran, seperti yang dilakukan oleh kaum Musa dan Isa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar