BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Filosof Muslim Menerima Filsafat Filosof Yunani
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Kelahiran filsafat di Yunani pada perkisaran abad ke- 6-4 SM. Para filosof Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik terhadap pemikiran Platinus. Sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof Islam.
Para filosof Islam banyak mengambil filsafat dari filosof Yunani tidak lain karena mereka mempunyai dalil yang mendasari mereka untuk berfilsafat. Dalil tersebut banyak terdapat dalam al-Qur`an maupun non al-Qur`an. Sebagai contoh dalam Surat at-Thâriq ayat 5-7
ÌÝàYuù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ t,Î=äz `ÏB &ä!$¨B 9,Ïù#y ÇÏÈ ßlãøs .`ÏB Èû÷üt/ É=ù=Á9$# É=ͬ!#u©I9$#ur ÇÐÈ
Artinya :
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (Q.S. at-Thâriq ayat : 5-7)
Dan pada surat al-Ghâsyiyah ayat 17-20
xsùr& tbrãÝàYt n<Î) È@Î/M}$# y#ø2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#ø2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ
Artinya:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”( Q.S al-Ghasyiyah ayat : 17-20)
Adapun yang menjadi sumber dari luar al-Qur’an adalah dari Yunani dan India. Filsafat Yunani banyak mempengaruhi perkembangan filsafat dan sains dalam Islam. Filsafat Yunani mulai berkembang sejak kurang lebih tahun 600 SM. Sedangkan Islam lahir pada tahun 600 an M. Dan filsafat dalam masyarakat Islam berkembang secara intensif sejak tahun 800 an M.
Yang menjadi karakter filsafat Islam di antaranya ialah menjadikan filsafat sebagai metode untuk membuktikan eksistensi Tuhan dan keesaanNya. Kemudian usaha menyatukan antara agama dan filsafat, bahwa keduanya bukanlah dua hal yang bertentangan. Dan, inilah yang menjadi orientasi hampir seluruh para filosof Islam. Berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi filsafat Islam bersumberkan pada wahyu. Dengan demikian, filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran dan Sunnah. Dan dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melakukan proses seleksi dan adapsi yang ketat terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam.
B. Teori Emanasi
Emanasi dalam kamus ilmiah populer mempunyai arti pemancaran atau pemijaran. Teori emanansi secara langsung akan terbahas pula dalam teori atau filsafat jiwa. Sedangkan emanasi menurut al-Farabi dijelaskan dalam hierarki wujud yaitu:
1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
4. Benda-benda bumi (teresterial).
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.
Kritik al-Ghazali terhadap para filosof berangkat dari kekhawatirannya terhadap teori
emanasi yang pada waktu itu menjadi mainstream pemikiran para filosof. Menurut Al Ghazali teori emanasi adalah sebuah bentuk kekafiran karena dalam teori emanasi terdapat tiga masalah :
emanasi yang pada waktu itu menjadi mainstream pemikiran para filosof. Menurut Al Ghazali teori emanasi adalah sebuah bentuk kekafiran karena dalam teori emanasi terdapat tiga masalah :
1. Kekalan dunia (tesis khas Aristoteles)
2. Ketidak mungkinan tuhan mengetahui mengtehaui hal-hal yang particular (tesisnya Ibnu Sina)
3. Penolakan terhadap kebangkitan jasmani dan mortalitas jiwa individu.
Berangkat dari penolakannya terhadap teori emanasi yang bersifat spekulatif, konstruk pemikiran etika Al Ghazali menjadikan wahyu sebagai basis argumentasinya. Konsep etika Al Ghazali bercorak mistik teleologis. Ia menekankan pokok-pokok keutamaan akhlaknya kepada pertengahan. Pengertian pertengahan jalan tengah tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrim. Akan tetapi ia cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlaq secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Penekannan itu lebih bersifat individu.
Dalam pandangan Al-Ghazali, Konsep manusia tidak berbeda dengan konsep ajaran Islam, karena ia mendasarkan pemikirannya kepada Al-Qur‘ân dan As-Sunnah. Menurutnya manusia tersusun dari unsur jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan khalifah Allah di muka bumi. Hakikat manusia adalah jiwa. Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk-rnakhluk Allah lainnya. Ia membagi fungsi jiwa dalam 3 bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
Akhlaq dan sifat manusia tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Penekanan unsur jiwa tidaklah berarti is mengabaikan unsur jasmani, kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan yang mungkin diperoleh dan dirindukan oleh setiap manusia.
C. Metode as-Suhrawardi
Suhrawardi membahas panjang lebar tentang pengetahuan, pada akhirnya mendasarkannya pada iluminasi dan mengusulkan satu teori visi, yang dalam beberapa hal mirip dengan psikologi Gestalt. Dia menggabungkan cara nalar dengan cara intuisi, menganggap keduanya saling melengkapi. Menurut Suhrawardi nalar tanpa intuisi dan iluminasi adalah kekanak-kanakan, rabun dan tidak akan pernah bisa mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran, seddangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta latihan mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodi. Atas dasar itulah Suhrawardi membangun alirannya dengan mendekati paham Peripatetik, khuusunya seperti ditafsirkan oleh obn Sina dan juga mendekat doktrin Genostik aliran ibn Arabi. Oleh karena itu, untuk dapat mendalami secara lengkap sisi intelektual murni filsafat transcendental, para penelaah, menurut Suhrawardi harus mendalam filsafat Aristoteles, logika, matematika dan sufisme. Pikirannya harus sepenuhnya bebas dari prasangka dan dosa, sehingga dia secara bertahap bisa mengmbangkan indra batinnya, yang menguji dan mengoreksi apa yang dimengerti oleh pikiran hanya sebagai teori. Akal yang tanpa bantuan Dzauq tidak dapat dipercaya. Dzauq berfungsi menyerap misterius atas segala esensi dan membuang skeptisisme. Tetapi sisi spekulatif murni pengalaman spiritual perlu dirumuskan dan disistematisisasikan oleh pikiran yang logis. Ciri demikianlah yang tampak pada filsafat Isroqi yang dibangun oleh Suhrawardi. Jadi tujuan akhir segala pengetahuan yaitu iluminasi dan ma`rifat (gnosis), yang ditempatkan oleh Suhrawardi secara tegas pada puncak Hierarki pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar