A. Oleh ; Marsudi
Khalifah adalah pemimpin yang diangkat setelah Nabi wafat, untuk menggantikan tugas-tugas beliau sebagai pemimpin agama dan pemerintahan. Atau sebagai pemimpin umat islam setelah Rosul. Setelah Nabi Muhammmad wafat, sejumlah tokoh kaum muhajirin dan anshar berkumpul dibalai kota bani Sa’idah (Madinah) untuk memusyawarahkan siapa yang akaan menggantikan Rasulullah. Dengan semangat ukhuwah islamiyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pertama.
Pemerintahan yang dijalankan semasa pemerintahan Abu Bakar sebagaimana pada masa Rasulullah, yaitu bersifat sentral, kekuasaan legislative, yudikatif, dan eksekutif terpusat ditangan Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hokum. Abu Bakar seperti halnya Nabi, yaitu mengajak para sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah. Beliau menjabat sebagai khalifah hanya kurun waktu dua tahun, pada tahun 634 M beliau meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimulkan oleh suku-suku bangsa arab yang tidak mau tunduk kepada pemerintahan madinah. Mereka menganggap perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Oleh karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid bin walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam perang Riddah ini. Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan islam sedang mengancam palestina, irak, dan kerajaan Hirah.[1] Ia digantikan oleh “tangan kanannya”, Umar Bin Khatab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudia mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan dikalangan umat islam. Kebijaksanaan Abu Bakar itu ternyata diterima dikalangan masyarakat yang secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya sebagai Khalifah Khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti rasulullah). Ia juga mengenalkan istilah amr’ al-mu’minin (komando orang-orang yang beriman).
Umar bin khatab memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi Negara dengan dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang, terutama di Persia. Administrasi pemerintah diatur menjadi delapan provinsi, antara lain: makkah, madinah, jazirah, syiria, bashrah, kufah, palestia, mesir. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga eksekutif dan yudikatif. Untuk menjaga keamann dan ketertiban, jawatan kepolisian juga mulai dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait Al-Mall, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijriyah. Masa jabatan Umar bin khatab berakhir dengan kematian, belia dibunuh oleh budak dari Persia bernama Abu Lu’luah. Untuk menentukan penggantinya, Umar Umar tidak menempuh jalan yang ditempuh oleh abu bakar, dia menunjuk 6 sahabat dan meminta mereka untuk memilih salah satu diantara mereka untuk menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Ustman, Ali, Zubair, Thalhah, Saad Ibn Abi Waqqash, Dan Abdurrahman Bin Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan menunjuk ustman sebagai khalifah, melalui persaingan yang sangat ketat dengan Ali bin abi thAlib.
Ustman memerintah pada tahun (664-665 M), pemerintahan Ustman berlangsung selama 12 tahun. pada masa paroh terakhir masa kekhalifahannya muncul rasa kekecewaan dan ketidak puasan dikalangan umat islam terhadapnya. Kepemimpinan Ustman sangat berbeda dengan masa pemerintahan Umar, ini mungkin karena usianya yang sudah lanjut (diangkat menjadi khalifah pada usia 70 tahun) dan sifatnya yang sangat lemah lembut. Akhirnya pada tahun 35 H/65 M Ustman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang kecewa itu. Salah satu factor yang menyebabkan banyak rakyat yang kecewa terhadap kepemimpinan Ustman adalah kebijaksanaan mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan bin Hakam. Dialah pada dasarnya yang memegang pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang gelar sebagai khalifah.
Setelah Ustman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali untuk menjadi khalifah. Ali menerimanya hanya dalam kurun waktu enam tahun. Selama pemerintahan, ia menghadapi berbagai pergolakn. Tidak ada dalam masa pemerintahnnya yang dikatakan stbil. Setelah menduduki sebagai khalifah,[2] Ali memecat gubernur yang diangkat padapemerintahan Ustman. Dia yakin, adanya pemberontakan-pemberontakan tersebut karena keteledoran mereka, dia juga menarik kembAli tanah yang dihadiahkan Ustman kepad penduduk yang menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembAli system pajak tahunan kepada umat islam sebagai mana yang telah ditetapkan oleh Umar. Tidak lama setelah itu, Ali mendapati pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alas an mereka, Ali tidak mau menghukum orang-orang yang telah membunuh Ustman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Ustman yang terbunuh secara dzAlim. Ali sebenarnya ingin sekAli menghindari perang, dia mengirim surat kepada Zubair dan Thalhah agar mau diajak menyelesaikan persoalan itu secara damai, namun ajakan tersebut ditolak, dan akhirnya pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang tersebut dikenal dengan nama “perang jamal (unta)”. Karena Aisyah dalam peperangan itu mengendarai unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya, Zubair dan Thalhah terbunuh saat akan melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirimkan kembAli ke Madinah.
Kedudukan Ali sebagai khalifah digantikan oleh puteranya Hasan selama beberapa bulan, namun karena Hasan ternyata lemah, semementara muawiyyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai, perjanjian ini dapat mempersatukan kembAli umat islam kedalam satu kepemimpinan politik, di bawah pimpinan Muawiyyah bin Abu Sufyan. Disisi lain, perjanjian itu menjadikan muawiyyah menjadi penguasa absolute dalam islam. Tahun 41 H a(661 M) adalah tahun berakhirnya apa yang disebut dengan masa khulafaurrasyidin dan dimulailah dengan kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Abdul MuthAlib
Abdullah Abu ThAlib Al-Abbas
Muhammad
Ali Bin Abi ThAlib
Fatimah
Al-Hasan [3] Al Husyan
Al-Hasan
Abdullah
Ibrahim(763) Muhammad(762)
Peperangan siffin antara Ali dan Muawiyyah. Persiapan dan perlengkapan Ali mulanya disiapkan untuk menundukkan Muawiyyah, tetapi oleh perkembangan-perkembangan peristiwa, terpaksa dibelokkan untuk menyelesaikan peperangan jamal. Akibatnya yang kelihatan ialah Ali menang, dan ribuan tentara Ali telah banyak yang gugur, yang berjumlah lima ribu tentara atau lebih. Banyak umat muslim yang gugur dan meyebabkan dendam kusumat kepada Ali, banyak kumpulan tentara Ali orang-orang yang tersiksa hidupnya.
B. Khilafah Bani Umayyah
Awal kekuasaan bani umayyah pada kekuasaan mu’awiyah, pemerinahan bersifat demokratis pada masa kekuasaan mu’awiyah, kekuasaan yang bersifat demkrasi sudah menjadi monarchi hereditas (kekuasaan turun temurun). Kekuasaan mu’awiyah diperoleh dengan kekerasan, diplomasi dan daya tipu, tidak dengan cara dipilih atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika mu’awiyah mewajibkan seluruhrakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya (Yazid). Mu’awiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun mereka member interpretasi dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Di menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Kekuasaan bani umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota dipindahkan dari madinah ke damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah dinasti bani umayyah ini adalah :
- Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Mu’awiyah, 661-680 M)
- Yazid bin Mu’awiyah (Yazid I, 680-683 M)
- Mu’awiyah bin Yazid (Mu’awiyah II, 683-684 M)[4]
- Marwan bin Hakam (Marwan I, 685-705 M)
- Abdul Malik bin Marwan (685-705 M)
- Al-Walid bin Abdul Malik (Al-Walid I, 705-715 M)
- Sulaiman bin Abdul Malik (717-720 M)
- Umar bin Abad Al-Aziz (717-720 M)
- Yazid bin Abdul Malik (Yazid II, 720-724 M)
- Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M)
- Walid bin Yazid (Al-Walid III, 742-744 M)
- Yazid bin Walid (Yazid III, 744 M)
- Ibrahim bin Walid (744 M)
- Marwan bin Muhammad (Marwan II, 744-750 M)
Sisilah cabang Umayyah dari keluarga sufyan dengan keluarga Marwan :
Umayyah
Abu Al-Ash Harb
Al-Hakim Abu Sufyan
Marwan Muawiyyah (661-680)
Yazid (680-683)[5]
Muawiyyah (683-684)
Ekspansi yang sempat terhenti pada masa pemerintahan khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Mu’awiyah, Tunisia dapat dilakukan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus, dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke daerah Bizantium, konstantinopel. Ekspansi Muawiyah ke daerah timur kemudian diteruskan oleh khalifah Al-Malik. Dia mengirimkan pasukan ke sungai Oxus dan berhasil menguasai daerah Balkh, Bukhara, khawariz, ferghana, dan Samarkhand. Tentaranya bahkan sampai ke daerah India dan berhasil menguasai daerah Balukhistan, Sind, dan daerah Punjamb sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan kembali pada zaman pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat islam merasa bahagia pada zaman pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer Afria Utara menuju wilayah Barat Daya, benua Eropa, pada tahun 71 M. setelah Al-Jazair dan Maroko dapat di tundukkan, Thariq bin Ziyad, pemimpin pasukan islam, dengan pasukan menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan benua Eropa, dan mendarat disuatu tempat yang sekarang lebih dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan, dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordova, dan Teledo yang dijadikan Ibu kota Spanyol yang baru setelah jatunya Cordova.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bani Umayyah lemah dan membawanya kedalam kehancuran, faktor-faktor itu diantara lain :
ü Sistem pergantian khalifah melalui ketururunan.
ü Latar belakang terbentuknya Bani Umayyah tidak bias dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi dimasa Ali.
ü Lemahnya pemerintahan daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga sehingga anak-anak khalifah tidak kuat memikul beban berat pemerintahan.[6]
ü Penyebeb langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah
Aliran-aliran kebatinan merupakan gerakan social-agama yang sering timbul pada zaman kegoncangan besar, baik goncangan social, maupun goncangan nilai-nilai moral dan agama, yang disebabkan tekanan resmi maupun terbenturnya dengan pengaruh luar. Sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah, tetapi juga bermoral buruk. Hal inilah yang menyebebkan golongan oposisi.
C. Khilafah Bani Abbasiyyah
Bani Abbasiyah didirikan oleh Abdullah As-Safah ibn Muhammad ibn Ali ibnu Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai 656 H (1258 M). selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahanyang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, itu sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode :
1. Periode pertama(132 H/750 M-232 H/945 M) disebut dengan periode pengaruh Persia pertama
2. Periode kedua(232 H/847 M-334 H/945 M) disebut masa pengaruh turki pertama
3. Periode ketiga(334 H/945 M-447 H/1045 M) masa kekuasaan dinasti buaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, periode ini juga disebut masa perngaruh Persia kedua
4. Periode keempat(447 H/1055 M-590 H/1194 M) masa kedaulatan dinasti Abbasiyah dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah biasanya disebut juga dengan masa pengaruh turki kedua
5. Periode kelima(590 H/1194 M-656 H/1258 M) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaaannya hanya efektif disekitar kota baghdad.
Sisilah yang menghubngkan antara Abbasiyah dengan Muhammad
Hasyim
Abdullah Abu tholib Al-Abbas
Muhammad Ali Abdullah
Al-Hasan Al-Hasyan
Ali
Muhammad
As-Safah (750-754) Al-Mansuf (754-755)
Pada periode pertama, pemerintah Bani Abbasiyah ncapai masa keemasannya. Kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tinggi. Periode ini juga berhasil mempersiapkan landasan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintah Bani Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik dari masa ke masa, meskipun ilmu pengetahuan dan filsafat terus berkembang.
Khalifah Al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Diantara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia kota Malatia di wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M), dan putranya Al-Makmun (813-833 M). sementara itu pada kepemimpinan Al-Mu’tasim (833-842 M) keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan bani Abbas sendiri maupun dari luar, gerakan-gerakan itu seperti ;[7]
Gerakan sisa-sisa bani Umayyah dan kalangan intern bani Abbas
Revolusi Al_khawariz di Afrika utara
Gerakan zindik di Persia
Gerakan syiah
Konflik antar bangsa serta aliran pemikiran keagamaan dan gerakan-gerakan tersebut dapat dipadamkan
Perkembangan lembaga pendidikan pada masa daulah Abbasiyah mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa arab, baik sebagai bahasa administrasi yang berlaku sejak dulu zaman Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak ditemukan oleh dua hal, yaitu :
1. Terjadinya asimilasi antar bangsa arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami pengembangan dalam ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan bani Abbasiyah, bangsa-bangsa non-arab banyak yang masuk islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu member saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan islam.
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalan tiga fase. Fase pertama pada masa khalifah Al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah Al-Ma’mun hingga 300 H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[8]
Yatim badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta 2006. hlm. 36.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, <Jakarta: UI Press, 1985, Cetakan Ke 5> Hlm. 58.
A, Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, Jilid 1, <Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987, Cetakan Ke 5> Hlm. 263
Yatim badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta 2006. hlm. 38-39.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, <Jakarta: UI Press, 1985, Cetakan Ke 5> Hlm. 61.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, <Jakarta: UI Press, 1985, Cetakan Ke 5> Hlm. 61.
Bojena Gajane Stryzewsk, Tarikh Al-Daulat Al-Islamiah, <Beirut Al-Maktab Al-Tijari> Hlm. 360.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar