baca selengkapnya di : http://www.poetra-anoegrah.co.cc/2010/04/cara-mengubah-judul-blog-dengan-judul.html#ixzz1Ie8isVZF

Klik Kanan

Senin, 18 Oktober 2010

GEJALA-GEJALA TASYRI’ PADA MASA MUQOLLIDUN SERTA BERBAGAI FAKTOR SOSIAL YANG MELATARBELAKANGINYA


           Akhir dari masa gemilang ijtihad pada periode imam mujtahid ditandai dengan telah tersusunnya secara rapi dan sistematis kitab-kitab fiqih sesuai dengan aliran berpikir madzhab masing-masing. Dari satu segi, pembukuan fiqih ini ada yang berdampak positif dan ada yang berdampak negatif.[1]
 
Adanya tasyri’ pada masa muqollidun, disebabkan oleh beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Diantara faktor-faktor tersebut adalah faktor sosial.
Tasyri’ pada masa muqollidun terbagi menjadi beberapa periode, dan dalam setiap periode mengalami perkembangan dan kemunduran adanya ijtihad yang dilakukan oleh para ulama.[2]
Pada masa muqollidun banyak orang yang meremehkan terhadap hukum taqlid, sehingga mereka dengan begitu saja melaksanakan taqlid tanpa memikirkan hukum taqlid itu sendiri. Banyak pendapat-pendapat tentang taqlid yang dikemukakan oleh para imam madzhab. Mereka memiliki perbedaan pendapat tentang pelaksanaan taqlid.

  1. Substansi Kajian
1.      Gejala Tasyri’ pada Masa Muqollidun
Taqlid adalah menerima hukum-hukum dari imam tertentu  dan menganggap pendapat-pendapatnya seolah-olah nash  Syari’ yang wajib diikuti oleh orang yang bertaklid. Tidak diragukan lagi, bahwasannya pada setiap periode terdapat para mujtahid (orang-orang yang berijtihad) dan para muqollid (orang-orang yang mengikuti tanpa mengetahui dasarnya). Para mujtahid adalah para fuqoha’ yang mempelajari Al-Kitab dan al-Sunah dan mereka mempunyai kemampuan untuk mengistimbathkan hukum-hukum dari zhahir nash atau dari apa yang tersirat padanya.[3]
Para muqollid adalah orang-orang umum yang tidak mempelajari al-Kitab dan al-Sunnah sehingga menjadikan mereka ahli untuk beristimbath, apabila mereka mendapatkan suatu peristiwa, mereka datang kepada seorang fakih di negeri mereka untuk minta fatwa. Adapun pada periode ini, ruh taqlid berjalan secara umum dan dalam hal itu para jumhur ulama berijtihad. Setelah orang yang menghendaki fiqih pada mulanya sibuk mempelajari al-Qur’an dan riwayat al-Sunnah yang keduanya adalah asas istimbath, lalu dia mempelajari kitab-kitab imam tertentu dan mempelajari jalannya, yang dengan jalan itu imam tersebut membukukan hukum-hukum. Apabila ia telah menyempurnakan hal itu maka ia termasuk ulama yang ahli fikih (fuqaha’).[4]
Sebagian dari mereka ada yang bercita-cita tinggi lalu dia menyelisihi suatu kitab tentang hukum-hukum imamnya, adakalanya mengikhtisarkan terhadap karangan yang terdahulu atau yang mensyarahkan atau mengumpulkan terhadap sesuatu yang terpisah pada kitab yang berlain-lainan, dan salah seorang dari mereka tidak memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu masalah dengan pendapat yang bertentangan dengan apa yang difatwakan oleh imamnya, seolah-olah kebenaran itu turun pada lidah dan hati imamnya sehingga peninjau fuqoha Hanafiyah pada periode ini, dan imam mereka dengan tidak menentang yaitu Abul Hasan Ubaidullah Al Karchi berkata: “Setiap ayat yang diselidiki oleh teman-teman kami maka dia dita’wilkan atau mansukh dan demikian juga setiap hadits dita’wil atau mansukh”. Dengan seperti inilah mereka memberi hukum kepada orang lain dan terbukalah pintu memilih pendapat.
Tidak diragukan bahwa diantara fuqaha periode ini terdapat imam-imam besar dan penuturan sebagian dari mereka segera datang dan tidak terduga bahwa mereka kurang mengetahui pokok-pokok tasyri’ dan jalan istimbath dari pada orang-orang yang mendahului mereka. Namun mereka tidak mempunyai kemerdekaan yang disenangi oleh orang-orang yang terdahulu. Asy-Syafi’i rahimahullah mempunyai kemerdekaan dalam beristimbath sehingga mudah baginya untuk berpendapat dengan sesuatu yang tampak baginya dan tidak ada penghalang yang menghalanginya untuk merubahnya manakala besok harinya tampak dalil yang menghendaki perubahan. Demikian juga imam-imam yang lain. Kemerdekaan itu juga dimiliki oleh para sahabat dan thabi’in. Umar bin Khattab r.a. memutuskan dengan terhalangnya saudara-saudara kandung yang bersamaan dengan saudara seibu, ibu dan suami, pada tahun berikutnya ia menggabungkan (menjadikan berserikat) diantaranya seluruh saudara-saudara itu dalam sepertiga harta seraya berkata: “Itu adalah sesuatu yang pernah kami putuskan dan ini adalah sesuatu yang sekarang saya putuskan”.[5]
Adapun ulama periode ini, masing-masing dari mereka menetapi madzhab tertentu dan tidak dilampauinya serta mengerahkan kemampuan yang dikaruniakan Tuhan untuk menolong madzhab itu baik secara global maupun terperinci, padahal tidaklah tergores dalam hati tokoh-tokoh itu akan sahnya ‘ishmah (terpelihara dari dosa) bagi imam manapun dalam ijtihadnya. Para imam itu sendiri mengakui kemungkinan salah (keliru) pada diri mereka dan kemungkinan di sana ada sunah lain yang tidak mereka lihat sehingga tidak hanya seorang dari mereka menyemarakkan kalimat ini:
ﺍﺫﺍ ﺻﺢﺍﻠﺤﺪ ﻴﺚ ﻓﻬﻮﻤﺫﻫﺒﻰ ﻮﺍﻀﺮﺒﻮﺍ ﺒﻘﻮ ﻠﻰ ﻋﺮﺾ ﺍﻠﺤﺎﺋﻄ


Artinya:
“Apabila hadits itu shahih maka dialah madzhabku, dan jadikanlah perkataanku sebagai luas pagar”.
            Oleh karena itu, Al-Karkhi berkata: “Setiap hadits yang bertentangan dengan sesuatu yang ada pada teman-teman kami maka sesuatu itu ditakwili atau dimansukh”. Dalam terjemah Ibnu Subki karya Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al Juwaini ayah Imamul Haromain bahwasannya ia memulai dalam suatu kitab yang disebutnya Al Muhith, di situ ia bermaksud meniadakan keterkaitan dengan madzhab dan ia berhenti dan tidak melampaui terhadap apa yang dibawa oleh Al-Hadits serta menghindari segi-segi fanatik kepada madzhab, Al Hafizh Abu Bakar Al Baihaqi membuat tiga jilid. Didalamnya ia mengkritik sangkaan-sangkaan baru dan ia menerangkan kepadanya bahwa orang yang mengambil hadits yang manquf padanya adalah Asy Syafi’i r.a. dan sesungguhnya kebenciannya terhadap Al Hadits yang dibawa oleh Syaikh Abu Muhammad karena didalamnya terdapat illat-illat yang diketahui oleh orang yang meneliti dalam pekerjaan hadits.[6]
            Ketika risalah itu sampai kepada Syaikh Abu Muhammad ia berkata: “Ini adalah berkah ilmu dan ia mendoakan untuk Al Baihaqi dan meninggalkan penyempurnaan karangan. Kemudian Ibnu Subki membenarkan kesalahan-kesalahan Risalah Al Baihaqi walaupun Asy Syafi’i memperdengarkan teguran ini sebagai suatu ijtihad untuk dirinya. Dalam membenarkan hadits-hadits, ia berpegang atas tokoh-tokoh hadits yang terpercaya yang membedakan antara hadits shahih dan berpenyakit. Dan tidaklah patut apa yang disebutkan oleh Al- Baihaqi karena Al Juwaini meninggalkan sesuatu yang disyari’atkan selama ia mempunyai kemampuan untuk beristimbath dan jiwanya mantap untuk merdeka (bebas).

2.      Faktor Sosial yang Melatarbelakangi Terjadinya Gejala Tasyri’
Pada periode taqlid, para ulama banyak yang mulai meninggalkan ijtihad. Semangat ulama untuk kembali kepada sumber tasyri’ untuk menggali hukum dari nash al-Qur’an dan al-Sunnah telah menurun. Para ulama, pada periode taqlid telah terbiasa mengikuti hukum yang telah ditetapkan para imam mujtahid masa lampau.[7]
  Periode taqlid dimulai sejak pertengahan abad keempat hijriyah, bersamaan dengan munculnya berbagai faktor yang menimpa umat Islam terutama faktor sosial. Faktor-faktor tersebut telah mempengaruhi prinsip umat islam dibidang perundang-undangan hukum, dari yang semula dinamis menjadi beku. Ijtihad dan usaha penyusunan (kembali) undang-undang pun berhenti, kemudian berhenti pula kebebasan berpikir di kalangan para ulama. Para ulama tidak mau lagi mendatangi al-Qur’an dan al-Sunnah. Para ulama merelakan diri untuk bertaqlid dan merasa cukup mengikuti fiqih imam-imam terdahulu, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal, serta sahabat-sahabatnya. Para ulama, pada periode taqlid, membatasi akal pikiran kepada cabang hukum madzhab imam-imam terdahulu beserta ushul fiqih-nya.
  Para ulama tidak mau keluar dari batas-batas yang telah ditetapkan para mujtahid terdahulu. Para ulama hanya sekedar memahami kata-kata para imam mereka serta ibarat-ibaratnya, tapi tidak mau memahami nash-nash syari’ dan mendalami prinsip-prinsipnya yang umum.
  ‘Abdul Hasan al-Karakhi, ulama mazhab Hanafi menggambarkan periode taqlid para ulama sebagai berikut: “Tiap ayat atau hadits yang bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh para sahabat, maka harus dita’wilkan atau dinasakhkan (dihapus hukumnya).[8]
  Dengan demikian, terhentilah perundang-undangan pada sesuatu yang telah ditetapkan para imam periode sebelumnya dan tidak memperhatikan realitas hidup yang terjadi di masa kini, misalnya berkaitan dengan perkembangan masyarakat, kemajuan muamalat serta kompleksitas persoalan peradilan dan peristiwa hukum.
Ada beberapa faktor sosial yang menyebabkan terjadinya gejala-gejala tasyri’ pada masa muqollidun, yaitu:
1.      Daulah Islamiah terbagi-bagi dalam sejumlah kerajaan, di mana para rajanya, penguasanya dan rakyatnya saling bermusuhan.[9]
Hal ini menyebabkan para penguasa dan aparat negara sibuk dengan peperangan, fitnah memfitnah, menjaga timbulnya perebutan kekuasaan, menjaga kewibawaan, kelanggengan kekuasaan serta kemenangan. Rakyatpun ikut larut dalam suasana ini. Krisis sosial dan masyarakat terjadi di mana-mana, yang berakibat melemahkan wilayah ilmu dan pengetahuan. Krisis ini mengakibatkan terhentinya gerak dinamika perundang-undangan Islam.
2.      Para imam mujtahid terbagi-bagi menjadi beberapa golongan.
Tiap golongan imam mujtahid mempunyai suatu aliran hukum tertentu yang kadang saling bertentangan. Para pengikut setiap madzhab dan aliran, dengan segala cara berusaha membela dan mengunggulkan madzhab dan alirannya sendiri-sendiri, serta menyalahkan dan melemahkan aliran dan madzhab lainnya yang dirasa berbeda dan bertentangan. Kadang antara satu pengikut madzhab dengan yang lainnya saling mengunggulkan para imam-nya, selain itu juga mengkritik dan menjelek-jelekkan para imam lainnya dari madzhab yang berbeda.
Kondisi seperti itu kurang produktif dan justru membelokkan para ulama madzhab dari dasar hukum yang semula, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Nash al-Qur’an dan hadits diinterpretasikan dan dita’wilkan sedemikian rupa oleh masing-masing pengikut madzhab, meski kadang terkesan dipaksa-paksakan dan diselewengkan, guna memperkokoh madzhab imamnya sendiri. Maka larutlah pribadi para pengikut dan pemikir madzhab ke dalam golongannya sendiri yang sempit, dan matilah kemerdekaan akal pikiran dan sikap kritis. Sosok-sosok pemikir yang “pandai” akhirnya seperti orang “awam”, yaitu para pengikut yang hanya bisa taqlid.[10]
3.      Umat Islam kurang memperhatikan prosedur pembuatan dan pengaturan perundang-undangan.
Dalam konteks ini, banyak umat Islam yang berani melakukan ijtihad serta mengabaikan peraturan dan persyaratan ijtihad yang seharusnya sangat ketat dan selektif. Akibatnya, justru terjadi krisis hukum dan krisis ijtihad, karena terlalu banyak suara dan ide yang bertentangan. Timbullah keberanian memberi fatwa kepada umat Islam oleh orang-orang bodoh yang justru menyia-nyiakan nash syari’at, hak-hak orang banyak serta kemaslahatan umat.
Kondisi suatu negara menjadi agak kacau karena banyak fatwa hukum serta keputusan lembaga peradilan yang bertentangan satu sama lain. Bahkan dalam merespons satu masalah, keputusan hukum dalam satu negara bisa berbeda-beda, tak ada kepastian hukum. Akibatnya, kondisi hukum dan syari’ah menjadi carut-marut, tidak jelas lagi yang “benar” dan yang “salah”, yang bisa dipegangi dan yang tidak. Para ulama menyadari bahwa syari’ah berada dalam bahaya, maka pada abad keempat hijriyah para ulama memaklumkan penutupan pintu ijtihad. Para ulama mengharuskan para mufti dan para qadhi memegangi hukum para imam terdahulu.
4.      Para ulama banyak yang menderita penyakit moral, yang menghalangi mereka untuk naik derajat ijtihad.
Penyakit moral para ulama ini, antara lain adalah egoisme dan saling mendengki. Jika ada salah seorang di antara ulama mencoba untuk berijtihad yang berarti akan terbuka bagi dirinya pintu kemasyhuran, maka ulama yang lain akan menghalangi dengan berbagai cara. Jika seorang ulama mencoba melontarkan fatwa dan pendapatnya tentang suatu kejadian, maka ulama yang lain dengan berbagai cara akan meremehkan pendapat itu dan merusak fatwanya.
Maka, para ulama saling membatasi diri dari tipu daya dan celaan ulama yang lain. Para ulama mencoba menolak tuduhan bahwa dirinya hanya bisa menukil dan bertaqlid, tidak mampu menghasilkan produk hukum, serta tidak mampu berijtihad. Karena sibuk berapologi, maka semangat menggali ilmu pengetahuan dan fiqih, di kalangan ulama justru padam. Akibatnya, kepercayaan ulama terhadap dirinya sendiri menjadi lemah dan menjadi lemah pula kepercayaan masyarakat kepada ulama. Masyarakat akhirnya hanya merujuk dan mengikuti madzhab imam terdahulu saja.
5.      Usaha murid-murid mujtahidin yang berpengaruh dalam masyarakat. [11]
Masing-masing murid itu harus berusaha mengembangkan paham (pendapat-pendapat)  yang telah dikeluarkan oleh para gurunya. Kemudian sesudah paham-paham mujtahidin itu mengambil kedudukan yang sangat istimewa dalam hati khalayak umum, maka sulitlah bagi seorang alim (mujaddid) untuk mendirikan madzhab di tengah-tengah masyarakat umum.
6.      Kehakiman atau Pengadilan.
Pada masa kedudukan para mujtahidin yang telah banyak mempengaruhi masyarakat umum, maka rakyatpun tidak suka lagi memakai qadli-qadli  yang bersendiri (yang berfikiran merdeka). Mereka lebih suka pada qadli-qadli yang bermadzhab, yang memutuskan hukum dengan pendapat-pendapat imam yang madzhabnya dianut oleh oleh masyarakat itu. Karena demikian, pelajar-pelajar ilmu fiqihpun lebih condong untuk mempelajari madzhab.[12]
7.      Terbukunya madzhab.
Madzhab itu dengan usaha para murid dibukukan dan disebarluaskan ke dalam masyarakat. Dengan demikian isinya mudah untuk dipelajari.

3.      Keadaaan Tasyri’ pada Masa Muqollidun
Menurut penelitian ahli tarikh tasyri’, keadaan tasyri’ pada masa muqollidun telah mengalami tiga atau empat periode di dalam sejarah Islam:
Pertama: Dari abad ke-empat hijriah sampai jatuhnya kota Baghdad ke tangan bangsa Tartar (pertengahan abad ke-tujuh hijriyah). [13]
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa, di permulaan abad yang keempat hijiyah, taqlid mulai mempengaruhi ulama’ Islam. Masing-masing ulama’ mulai menegakkan fatwa imamnya, menyeru umat supaya bertaqlid kepada madzhab yang dianutnya.
            Ulama’ Irak mempropagandakan supaya orang bertaqlid kepada madzhab imam Abu Hanifah. Ulama’ Madinah kepada madzhab Imam Malik. Pada masa itu tidak kurang dari dua kota yang menjadi pusat ilmu Fiqih dan juga kota-kota dan negeri-negeri yang lainnya kemudian lahirlah ulama’-ulama’ yang menyerukan madzhab imam Syafi’i dan imam Ahmad Ibnu Hambali. Pada periode ini sedikit sekali ulama’ yang mempunyai ijtihad yang merdeka, yang berani menyelidiki hukum-hukum agama dengan kecakapan dan ilmunya sendiri. Ijtihad kebanyakan mereka hanyalah dalam masalah yang belum diijthadkan oleh imam-imam mereka. Setidak-tidaknya mereka hanya menguatkan (mentarjihkan) antara dua perkataan imam yang berlawanan.
            Pada periode inilah berserulah bunyi semboyan: Kami madzhab Hanafiyah , disambut oleh semboyan golongan lain: kami madzhab Malikiyah, disambut pula oleh golongan yang lain: kami madzhab Syafi’iyah ditempat lain berbunyi pula: kami madzhab Hambaliyah dan begitu seterusnya.
            Begitu pula ulama’-ulama’ di abad IV,V dan VI. Semangat fanatik kepada madzhab semakin terhunjam hari demi hari dalam hati umat Islam, dan perpecahan sesama umat Islam karena berlainan madzhab mulai nampak dalam kehidupan bermasyarakat.[14]
Kedua: Dari abad ke-empat hjriyah sampai abad kesepuluh hijriyah.
             Di dalam periode taqlid yang pertama belum merata betul. Banyak juga ulama’-ulama’ yang berijtihad. Walaupun tidak sebagai ulama’ mujtahidin di masa Bani Umayah dan permulaan masa Bani Abbas. Dalam periode ini kelemahan ruh ijtihad lebih nyata lagi, sedang ulama’-ulama’ yang berani merobek tirai taqlid amat berkurang.[15]
Di antara mereka yang masih menggunakan metode ijtihad periode ini, adalah:
Al ‘Iz Ibn ‘Abdis Salam                                 578 H - 660 H
Ibnu Daqiqiel ‘Ied                                          615 H - 702H
Al Bulqini                                                       724 H - 805H
Ibnu Rif’ah                                                     645 H - 710H
Ibnu Hajar Al Asqalani                                  773 H - 858H
Ibnul Humam                                                 790 H - 911 H
Ibnul Hajib                                                     570 H - 646 H
Ibnu Taimiyah                                                661 H - 728 H
Ibnu Qayyim                                                  691 H - 751 H
Al Asnawi                                                      714 H - 784 H
Al Jalalul Mahalli                                            791 H - 864 H
Al Jalalus Sayuti                                             846 H - 911 H
Ketiga: Dari abad kesepuluh hijriyah sampai ke zaman Muhammad Abduh.
            Di periode yang kedua seperti yang telah diterangkan sebelumnya, masih juga terdapat ahli ilmu yang maju mencapai derajat ijtihad, berfikir persoalan-persoalan yang sulit yang belum dipikirkan oleh ‘alim ulama pada abad-abad sebelumnya, masih berani mengatakan bahwa imamnya di masalah itu berdalil dla’if dan terdapat pula seseorang yang membantah taqlid buta, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, yang menyebabkan mereka dibenci dan difitnah oleh ‘alim-ulama semasanya.[16]
            Adapun dalam periode ini, ruh ijtihad itu menjadi padam, sunyi senyap bagaikan keadaan di tengah malam. Fatwa “haram berijtihad” pun hidup. Bahkan taqlid di masa itu tidak langsung kepada Muaqoddimin dan Salaf yang saleh, hanya berhenti kepada seseorang ‘alim yang telah terdahulu dari mereka saja. Mereka hanya menghentikan taqlid di masa ini misalnya kepada ibnu Hajar Al Haitami, Ahmad Ar Ramli dan Zakariya Al-Anshori saja. Paling jauh mereka menghentikan taqlid di sisi An Nawawi dan Ar Rafi’i, di kalangan Syafi’iyah, di sisi Ibnu Humam di kalangan Hanafiyah, di sisi Al Mazari digolongan Malikiyah dan di sisi Ibnu Qudamah di kalangan Hanabilah (Hambaliyah).
            Kemudian kalaupun dikatakan, bahwa pada periode ini ijtihad telah padam, tetapi kerena Allah SWT tidak menghendaki akan kemusnahan ijihad, maka di tengah-tengah negeri Yaman di pertengahan abad XII Hijriyah berdirilah dua orang mujtahid yang diakui kemampuan ijtihadnya oleh ‘alim-‘ulama, yaitu Muhammad ibn Isma’il Al Amier Ash Shan’ani pengarang Sulubussalam dan Al Imam Asy Syaukani pengarang Nailul Authar.
            Kemudian lagi di awal abad XX dengan ‘inayat Allah muncullah pujangga Sunnah, ahli politik Islam yang terkenal, Al Imam Muhammad ‘Abduh, di tepi sungai Nil dengan menyerukan ijtihadnya.[17]
            Dapat disimpulkan, bahwa dengan usaha Al Imam Muhammad ‘Abduh, semangat menyelidiki agama telah bersemi kembali, dengan berangsur-angsur akan kembali sebagaimana mestinya. Semakin cepat pemeluk-pemeluknya memperoleh keinsafan, semakin cepat pula madzhab-madzhab itu dapat dipersatukan. Masa kembali kepada Kitabullah dan Sunnatur Rasul dengan berpedoman kepada aturan-aturan yang telah dipergunakan oleh mujtahidin mulai bersinar kembali.
Keempat: Masa yang sedang kita tempuh ini.
            Ketika Muhammad ‘Abduh muncul dalam masyarakat Mesir, maka ulama’-ulama’ muqallid memberikan tentangan yang sangat dahsyat. Muhammmad ‘Abduh menyerukan kepada para ulama’ untuk berijtihad dan menyingkapkan tirai taqlid.[18]
            Dengan usaha Al-Manar yang dikendalikan oleh As-Sayyid, maka berkumandanglah di mana-mana usaha merobok-robek tirai taqlid yang menyesatkan itu.[19]
            Seiring dengan usaha-usaha para ulama’, maka nur ijtihad kembali memancar. Dan telah banyak dasar-dasar taqlid yang telah berubah.

4.      Hukum Taqlid
A.    Taqlid yang haram
Para ulama’ sepakat bahwa haram melakukan taqlid yang semacam ini. Taqlid ini terdiri atas tiga macam , yaitu:
1.      Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala, yang bertentangan dengan Al-Quran dan hadits. Contohnya ialah menurut adat kebiasaan dan perkataan orang-orang dahulu, jika seseorang melakukan tirakatan selama tujuh malam di makam A, maka ia akan memperoleh sesuatu yang diinginkannya. Adat kebiasaan dan perkataan ini diikuti orang, sedang kebenarannya tidak terdapat dasarnya dalam al-Quran  dan hadits.[20] Maka Allah menyatakan dalam firmanNya:
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& šc%x. öNèdät!$t/#uä Ÿw šcqè=É)÷ètƒ $\«øx© Ÿwur tbrßtGôgtƒ ÇÊÐÉÈ  

Artinya:
“Dan apabila dikatakan kepeda mereka : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’. Mereka menjawab:’’(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari(perbuatan) nenek moyang kami’.(Apakah mereka mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk”. (Q.S.2:170).[21]

Perbuatan mengikuti adat kebiasaan  dan perkataan nenek moyang semacam itu termasuk perbuatan yang dilaknati oleh Allah S.W.T, tidak akan mendapatkan pertolongan-Nya di dunia dan di akhirat nanti, sebagaimana firman-Nya:
¨bÎ) ©!$# z`yès9 tûï͍Ïÿ»s3ø9$# £tãr&ur öNçlm; #·ŽÏèy ÇÏÍÈ tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Yt/r& ( žw tbrßÅgs $wŠÏ9ur Ÿwur #ZŽÅÁtR ÇÏÎÈ tPöqtƒ Ü=¯=s)è? öNßgèdqã_ãr Îû Í$¨Z9$# tbqä9qà)tƒ !$uZoKøn=»tƒ $oY÷èsÛr& ©!$# $uZ÷èsÛr&ur hwqߧ9$# ÇÏÏÈ (#qä9$s%ur !$oY­/u !$¯RÎ) $uZ÷èsÛr& $uZs?yŠ$y $tRuä!#uŽy9ä.ur $tRq=|Êr'sù gŸxÎ6¡¡9$# ÇÏÐÈ !$oY­/u öNÍkÌE#uä Èû÷üxÿ÷èÅÊ šÆÏB É>#xyèø9$# öNåk÷]yèø9$#ur $YZ÷ès9 #ZŽÎ7x. ÇÏÑÈ  
Artinya:
“Sesungguhnya Allah melaknat orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala(neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang perlindungan dan tidak pula penolong. Pada hari ketika muka mereka ditolak dibalikkan  dalam neraka, mereka berkata: ‘ Alangkah baiknya andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul! Dan mereka berkata:’’ Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menanti pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami , lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)’. Ya Tuhan kami, berikanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (Q.S.33:64-68).[22]

2.  Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya,seperti orang yang menyembah berhala, tetapi tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala tersebut. Ia mencintai berhala-berhala itu kadang melebihi dari mencintai dirinya sendiri.[23] Sebagaimana yang diterangkan dalam firman Allah :
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB äÏ­Gtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# #YŠ#yRr& öNåktXq6Ïtä Éb=ßsx. «!$# ( tûïÉ©9$#ur (#þqãZtB#uä x©r& ${6ãm °! 3 öqs9ur ttƒ tûïÏ%©!$# (#þqãKn=sß øŒÎ) tb÷rttƒ z>#xyèø9$# ¨br& no§qà)ø9$# ¬! $YèÏJy_ ¨br&ur ©!$# ߃Ïx© É>#xyèø9$# ÇÊÏÎÈ   øŒÎ) r&§t7s? tûïÏ%©!$# (#qãèÎ7?$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qãèt7¨?$# (#ãrr&uur z>#xyèø9$# ôMyè©Üs)s?ur ãNÎgÎ/ Ü>$t7óF{$# ÇÊÏÏÈ  
Artinya:
”Dan diantara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat) bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya  dan bahwa Allah amat berat siksanya(niscaya mereka menyesal). (Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya dan mereka melihat siksa dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus”. (Q.S.2:165-166).[24]

3.   Taqlid kepada perkataan  atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah. Adapun ‘Ady bin Hatim berkata: “Aku pernah datang kepada rasulullah dan di leherku ada salib, beliau berkata: “Hai Ady, lemparkanlah salib ini dari lehermu dan jangan lagi kamu pakai”. Kemudian beliau membaca ayat 31 Surat at-Taubah. Ady berkata:Ya Rasulullah,
      kami tidak menjadikan pendeta-pendeta itu sebagai tuhan”.

Orang-orang yahudi dan nasrani menganggap pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. Sebabnya adalah karena mereka bertaqlid kepada pendeta-pendeta  rahib-rahib mereka itu.

Apa yang dikatakan dan diperintahkan oleh para pendeta dan rahib-rahib mereka ikuti dan laksanakan tanpa memikirkan dan mempertimbangkan apakah yang disampaikan dan dikatakan itu benar-benar berasal dari Allah atau tidak. Yang penting mereka melaksanakan dengan patuh semua yang disampaikan dan diperintahkan itu.[25]
     Taqlid yang ke-tiga ini dicela oleh Allah dan pelakunya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak, sebagaimana firmanNya:
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ 
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. al-Isro’: 36)

     Ayat ini memperingatkan kepada kaum muslimin agar mereka tidak mengikuti atau mengamalkan apa yang tidak mereka ketahui. Segala sesuatu yang akan dikerjakan terutama yang berhubungan dengan ajaran agama Islam hendaklah diyakini benar dasar atau alasannya. Jangan sekali-kali berdasarkan ikut-ikutan atau karena ingin menghormati seseorang atau karena fanatik kepada golongan tertentu  saja.
Kedua: Taqlid yang dibolehkan
     Taqlid yang dibolehkan yaitu, bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui mengenai hukum Alllah dan Rasulnya yang berhubungan dengan persoalan atau suatu peristiwa, dengan syarat bahwa yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. Dengan perkataan lain bahwa taqlid itu hanya untuk sementara saja.
     Termasuk taqlid yang ke-dua ini yaitu, taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid yang lain. Taqlid ini dilakukan selama belum diketahui dalil yang kuat yang dapat dijadikan untuk memecahkan persoalan itu. Termasuk pula di dalamnya taqlid orang awam kepada ulama’ yang dipercayainya, selama orang awam itu belum menemukan alasan dari pendapat-pendapat ulama’ yang diikutinya itu.[26]
     Sehubungan dengan ini Ad Dahlawi berkata: Taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam arti mengikuti pendapat seorang alim, karena belum nyata hukum Allah dan Rasulnya namun akan segera meninggalkan pendapat itu bila ternyata berlawanan dengan hukum Allah RasuNya. Hal semacam inilah yang berlaku dikalangan umat Islam sejak zaman Nabi.
     Sekalipun para imam mujtahid seperti imam Abu Hanifah, Malik, As-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan sebagainya tidak mengharuskan orang bertaqlid kepada pendapat mereka. Namun para ulama’ mutaakhirin dalam kaitan bertaqlid  kepada imam, terlebih dahulu membagi kelompok masyarakat menjadi dua yaitu:
1.      Golongan awam atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu dari keempat madzhab tersebut.
2.      Golongan yang memenuhi  syarat-syarat ijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid  kepada ulama-ulama yang berpendapat demikian antara lain:
1) Al-Adhud (wafat 573 H.).
2) Ibnu Hajib(wafat 646 H.)
3) Ibnu Subki (wafat 771 H.)
4) Al Mahali (wafat 886 H.)[27]
            Mereka menyatakan bahwa ada dua macam arti taqlid :
1)      Taqlid dengan  arti lughawi (bahasa), yaitu beramal atau mengikuti pendapat seorang tanpa mengetahui sama sekali dasar dari pendapat itu.
2)      Taqlid dengan arti ‘urfi (populer), yaiti beramal  atau mengikuti pendapat seseorang, sedang dasar  dari pendapat itu  tidak diketahui dengan sempurna.
Ulama’ tersebut mewajibkan kaum muslimin melaksanakan taqlid ‘urfi ini. Sedang golongan ‘awam (orang-orng yang bukan mujtahid) harus bertaqlid kepada mujtahid atau kepada orang ‘alim yang meriwayatkan pendapat pendapat mujtahid.
Adapun orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengistimbatkan hukum (mujtahid) mereka dilarang bertaqlid, dengan arti bahwa tidak boleh mengikuti langsung perkataan seorang mujtahid, tetapi harus difikirkan terlebih dahulu untuk mengetahui sampai dimana kebenaran pendapat itu. Jika benar dikuti, tetapi jika salah ditinggalkan.[28]
Ketiga: Taqlid yang diwajibkan
                     Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw.
          Taqlid yang berkembang
Taqlid yang berkembang sekarang terutama di Indonesia, ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam mujtahid yang terkenal. Sebagaimana yang  diketahui imam-imam mujtahid yang terkenal dan telah diakui oleh kaum muslimin sebagai imam mujtahid yang  boleh diikuti.

Jamaludin Al-Qasimi (wafat 1332 H.) menyatakan bahwa  segala perkataan atau pendapat dalam satu madzhab  yang tidak berasal dari pendapat atau perkataan imam madzhab itu sendiri tidak dapat dipandang sebagai  madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan  dari pendapat  atau orang yang mengatakan perkataan itu.[29]

Maka barang siapa yang bertaqlid kepada imam As-Syafi’i, tentulah kitab al-Um sebagai rujuknya. Apa yang ada di dalamnya  ia pegangi  dan apa yag tidak ada di dalamnya ia tinggalkan, karena tidak boleh bertaqlid kepada muqallid (pengarang kitab yang menyatakan dirinya termasuk pengikut madzhab As-Syafi’i). Telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh bahwa hanya  boleh bertaqlid kepada mujtahid, tidak kepada yang lain.

            Pendapat pendapat Imam tentang Taqlid
Sepakat para ulama’ bahwa taqlid seperti yang pertama, yaitu taqlid yang diharamkan di atas terlarang melakukannya sebagaimana sepakat pula bahwa boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid yang telah diakui oleh para ulama’ sebagai mujtahid selama seseorang belum mempunyai kesanggupan untuk  melakukan ijtihad, sesuai dengan ketentuan Ushul Fiqh bahwa dilarang bertaqlid kepada muqallid, dan boleh bertaqlid kepada mujtahid.[30]
Pada masa kehidupan imam imam madzhab, yaitu antara tahun100 sampai dengan 250 Hijriyah, belum ada persoalan taqlid, karena seluruh imam madzhab mendorong dan menganjurkan seluruh kaum muslimin agar menuntut ilmu agama Islam, sampai dapat melakukan ijtihad. Dengan demikian, setiap muslim akan dapat melaksanakan ajaran agamanya sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan hadits. Karena itu tidak ada pendapat imam imam madzhab yang langsung berhubungan dengan taqlid. Yang ada hanyalah agar melakukan semua ibadat sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Mereka sangat mencela orang yang suka ikut-ikutan dan terlalu mengagungkan seseorang, sehingga semua perkataan dan perbuatannya diikuti, sekalipun perkataan dan perbuatan itu tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits serta tidak pernah dikatakan atau diperbuat oleh Nabi Muhammad SAW.
Pendapat-pendapat para imam madzhab tentang taqlid  dapat dipahami dari perkataan mereka sebagai berikut:
a.       Abu Hanifah (80 H – 150 H)
Imam Abu Hanifah yang terkenal sebagai cikal bakal ulama fiqh sangat melarang seseorang mengikuti apa yang telah dikatakannya, (pendapatnya), jika ia tidak mengetahui dasar perkataan itu. Beliau menyatakan: “Tidak boleh seseorang mengikuti perkataan (pendapat) yang telah kami katakan, sehingga ia mengetahui dari mana asal perkataan kami itu”. Bahkan beliau mengharamkan orang mengikuti fatwanya, jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwanya itu. [31]
Mengenai pendapat beliau yang berlawanan dengan Al-Qur’an dan difahamkan dari percakapan beliau sebagai berikut:
“Abu Hanifah pernah ditanya orang: ‘Apakah engkau akan mengatakan suatu perkataan, sedang kitab Allah melarangnya, bagaimana pendapatmu’. Beliau menjawab: ‘Tinggalkanlah perkataanku dan ikutilah kitab Allah’. Selanjutnya orang itu bertanya: ‘Bila khabar Rosulullah SAW menyalahkannya’. Beliau menjawab: ‘ Tinggalkan perkataanku dan ikutilah khabar dari Rosulullah SAW’. Kemudian beliau ditanya: ‘Bila perkataan sahabat menyalahkan’. Beliau menjawab: ‘Tinggalkanlah perkataanku dan ikutilah perkataan sahabat itu’.
Dari ucapan Abu Hanifah itu dapat difahami bahwa beliau sangat melarang orang bertaqlid kepadanya tanpa pengetahuan tentang alasannya. Jika ada pendapat beliau, ujilah kebenaran pendapat itu dan sebagai dasar ujiannya adalah al-Qur’an dan Hadits.[32]
b.      Malik bin Anas (93 H – 179 H)
Imam Malik adalah teman Imam Abu Hanifah,beliau seorang ahli fiqh dan ahli hadits. Beliau menyatakan bahwa ia adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Hal ini bisa diketahui dari perkataannya : “Sesungguhnya aku ini tidak lain hanyalah sebagai manusia biasa,mungkin aku salah dan mungkin aku benar.Karena itu hendaklah kamu perhatikan pendapatku. Semua pendapatku yang sesuai dengan kitab Allah dan kitab Rasul, ambillah, dan semua yang tidak sesuai dengan keduanya tinggalkanlah”.[33]
Sewaktu beliau ziarah ke makam Rasul saw, beliau berkata kepada temannya: “Setiap orang dapat diterima atau ditolak pendapatnya, kecuali perkataan orang yang berada di kubur ini”. Sambil menunjuk makam Rasul saw. Hal ini berarti setia pada pendapat dan perkataan orang yang sampai kepada kita harus diperiksa dan diteliti terlebih dahulu. Jika benar di ikuti. Dan jika salah ditingggalkan.
Oleh karena itu setiap beliau selesai menyampaikan fatwa beliau selalu berpesan kepada para sahabatnya. “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, mungkin salah dan mungkin benar, karena itu bandingkanlah pada kitab dan sunnah”.
Beliau mengatakan : “Tidak tiap-tiap perkataan orang harus diturut, sekalipun orang itu mempunyai kelebihan.”
Dari pernyataan Imam Malik ini dapat difahani bahwa beliau melarang seseorang walaupun orang itu adalah terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat  yang sampai kepada kita harus diteliti terlebih dahulusebelum diamalkan.
c.       Imam Asy Syafi’i (150 H – 204 H)
Imam Syafi’I adalah murid dari Imam Malik. Ia belajar kepada Imam Malik selama 9 tahun. Kemudian berguru kepada imam Muhammad bin Hasan, murid Imam Abu Hanifah selama kurang lebih dua tahun. Dibanding dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, maka pendapat Imam Syafi’i tentang taqlid ini lebih tegas, bahkan ada nada yang mengecam orang-orang yang melakukan taqlid dan orang-orang yang menganjurkan agar orang lain bertaqlid. Hal ini dapat difahami dari pernyataan beliau berikut: “Terhadap apa yang telah aku katakan, sedang perkataan Nabi SAW lebih utama, dan janganlah kamu bertaqlid kepadaku”.[34]
Imam As-Syafi’i menyatakan bahwa beliau akan meninggalkan pendapatnya, pada setiap ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi saw. Beliau berkata: “Setiap masalah yang benar berasal dari khabar Nabi saw dan menyalahi pendapatku, maka aku akan kembali kepada-Nya(hadits) diwaktu aku masih hidup atau setelah aku mati.”
Kepada Abu Ishaq beliau pernah berpesan: “Hai Abu Ishaq, janganlah bertaqlid kepada setiap apa yang aku katakan, perhatikanlah yang demikian untuk dirimu sendiri, karena hal itu berhubungan dengan masalah agama:. Perkataan seperti itu pernah pula disampaikan kepada Al- Muzani.[35]
d.      Imam Hambali (164 H – 241 H)
Imam Ahmad bin Hanbal termasuk salah seorang imam madzhab, yaitu madzhab Hanbali. Beliau melarang keras perbuatan taqlid. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan-pernyataan beliau berikut:
Imam Abu Daud berkata: “Aku pernah bertanya kepada Imam Ahamad bin Hanbal: Apakah Imam Auza’i yang aku ikuti atau Imam Malik”. Beliau menjawab :” Jangan kamu mengikuti pendapat salah satu dari keduanya dalam hal yang berhubungan  dengan agamamu. Apa yang berasal dari Nabi SAW dan sahabatnya, hendaklah kamu ambil dan pegang kokoh, kemudian apa yang berasal dari tabi’in boleh kamu ambil setelah kamu teliti.
Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa beliau melarang bertaqlid kepada para imam manapun, dan beliau menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi’in dan orang-orang sesudahnya agar   diselidiki terlebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.[36]
Beliau pernah menyatakan bahwa tanda yang menunjukkan sedikitnya ilmu seorang itu, ialah ia bertaqlid kepada seseorang tentang urusan agama. Banyak pernyataan-pernyataan beliau yang menunjukkan bahwa beliau seorang yang tidak menyetujui taqlid.

C. Kesimpulan
R Keadaan tasyri’ pada masa muqollidun telah mengarungi tiga atau empat periode di dalam sejarah Islam:
      Pertama: Dari abad ke-empat hijrah sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar (pertengahan abad ke-tujuh hijriyah).
      Kedua: Dari abad ke-empat hjriyah sampai abad kesepuluh hijriyah.
      Ketiga: Dari abad kesepuluh hijriyah sampai ke zaman Muhammad Abduh.
      Keempat: Masa yang sedang kita tempuh ini.
R Hukum taqlid ada tiga macam yaitu: taqlid yang haram, taqlid yang dibolehkan dan taqlid yang diwajibkan.


































D. Skematika


     

Oval: Hukum 
TaqlidOval: Keadaan Tasyri’
Pada masa MuqollidunOval: Gejala Tasyri’
Pada masa Muqolidun










 




















Daftar Pustaka

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1975. Pengantar Hukum Islam: Jakarta. Bulan Bintang.
Bik, Hudhari. 1980. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Semarang: Darul Ikhya’.
Halim ‘Uways, Abdul. 1998. Fiqih Statis Dinamis. Bandung: Pustaka Hidayah.
Hallaq, Wael b. 2001. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Jumantoro, Totok, dkk. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Amzah.
Mu’in, H.A., dkk. 1986. Ushul Fiqh II. Jakarta.
Rosyada, Dede. 1999. Hukum Islam dan Pranata Sosial Dirosah Islamiyah III. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh I. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.


[1]  Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. 1997), h. 32.
[2]  Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Bulan Bintang. 1980),  h.81.
[3]  Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, (Semarang: Darul Ikhya’, 1980), h. 524.
[4]  Hudhari Bik, Tarikh ……., h. 524.
[5]  Hudhari Bik, Tarikh ……., h. 525.
[6]  Hudhari Bik, Tarikh ……., h. 526.
[7]  Wael B. Hallaq,  Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001),  h.179.
[8]  Wael B. Hallaq,  Sejarah ……., h.180.
[9]  Wael B. Hallaq,  Sejarah ……., h.180.
[10]  Wael B. Hallaq,  Sejarah ……., h.180.
[11]  Hasbi  Ash Shiddieqy, Pengantar ……., h. 85.
[12]  Hasbi  Ash Shiddieqy, Pengantar ……., h. 81.
[13]  Hasbi  Ash Shiddieqy, Pengantar ……., h. 81.
[14]  Hasbi  Ash Shiddieqy, Pengantar ……., h. 83.
[15]  Hasbi  Ash Shiddieqy, Pengantar ……., h. 83.
[16]  Hasbi  Ash Shiddieqy, Pengantar …….,  h. 84.
[17]  Hasbi  Ash Shiddieqy, Pengantar …….,  h. 85.
[18]  Hasbi  Ash Shiddieqy, Pengantar …….,  h. 85.
[19]  Hasbi  Ash Shiddieqy, Pengantar …….,  h. 85.
[20]  Mu’in, dkk, Ushul Fiqh II, (Jakarta: 1986),  h. 148
[21]  Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, Depag RI, 2007), h. 26.
[22]  Depag RI, Al-Qur’an ……., h. 26.
[23]  Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 151.
[24]  Depag RI, Al-Qur’an ……., h. 25.
[25]  Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 153.
[26]  Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 156.
[27]  Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 156.
[28]  Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 157.
[29]  Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 158.
[30]  Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 159.
[31]  Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 159.
[32]  Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 160.
[33]  Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 160.
[34]  Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 161.
[35] Mu’in, dkk, Ushul ……., h. 161.
[36]  Mu’in, dkk, Ushul ……., (Jakarta: 1986),  h. 162.

4 komentar: