baca selengkapnya di : http://www.poetra-anoegrah.co.cc/2010/04/cara-mengubah-judul-blog-dengan-judul.html#ixzz1Ie8isVZF

Klik Kanan

Senin, 18 Oktober 2010

Hasil Kolaborasi Pemikiran Filosuf Muslim dengan Filosuf Yunani


Dalil Aqli
            Proses sejarah masa lalu tidak dapat dielakkan begitu saja, bahwa pemikiran filosuf islam terpengaruh oleh filosuf  Yunani. Para filosuf islam banyak mengambil pemikiran dari Aristoteles, dan mereka banyak tertarik dengan pemikiran-pemikiran Platinus. Sehingga banyak teori-teori filosuf Yunani diambil oleh filosuf islam. demikian keadaan orang yang akan datang kemudian. Kedatangan para filosuf islam yang terpengaruh oleh kedatangan orang-orang sebelumnya, dan pengaruh kepada filsuf Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad 20 ini, banyak yang berhutang budi kepada orang-orang yunani dan Romawi. Akan tetapi, berguru bukan berarti mengekor dan mengutip, sehingga filsafat islam itu bisa dikatakan Renan, karena filsafat islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran.
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Kelahiran filsafat di Yunani pada perkisaran abad ke- 6-4 SM. Para filosof Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik terhadap pemikiran Platinus. Sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof Islam.
Pada umumnya filosuf islam hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dengan apa yang dialami oleh filsuf-filsuf lain. Sehinggan pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri bahwa dunia islam berhasil membentuk para filsafat yang sesuaidengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan agama dan masyarakat islam itu sendiri.
Dalam merinci survey sejarah filsafat islam dengan filsafat islam itu sendiri, dapat kita ambil dari teori legalisme, teorisme, dan mistismepemikiran islam  dan pengaruhnya terhadap aspek-aspek cultural kehidupan muslim, dengan demikian dapat kita rasionalkan bahwasannya hubungan filsuf muslim dengan filsuf yunani sangatlah erat. Karena dalam kenyataannya para filsuf muslim berguru kepada filsuf yunani, selanjutnya para filsuf muslim memaparkan argumentasi yang diambilnya dari filsuf yunani dengan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
            Teori  Ibn Rusydi yang ketiga  juga mengatakan, dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang diambil dari Aristoteles. Dalil tersebut mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan berbenda, yaitu Tuhan. [1]
Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman. Sebab, zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud. Rusyd yang juga dikenal sebagai [2]'pelanjut' aliran Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih dahulu itulah yang memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa memerlukan kepada pemberi form (Tuhan) yang ada di luarnya.
Dalil Naqli
Para filsuf Muslim memang tidak lepas dari para filsuf Yunani, mereka mengutipnya yang sesuai dengan pendapat mereka, akan tetapi tidak lepas dari Al-Qur’an dan As-Sunah sehingga tidak bertentangan dengan agama.
Para filsuf Muslim banyak berguru kepada filsuf-filsuf Yunani, akan tetapi para filsuf Muslim telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan filsuf-filsuf Yunani, baik tentang masalah ketuhanan, jiwa ataupun dalam masalah-masalah yang lain.
Bahwasannya para filsuf Muslim telah memberikan kontribusi-kontribusi yang banyak terhadap kemajuan barat. Selain itu, ada dua zaman yang mengiringi perkembangan filsuf yunani,  pada zaman setelah Aristoteles (w. 322 SM). Dimulai dengan pemerintahan Alexender the Great (356-326 SM) yang dikenal dengan helenisme. Pada masa ini, para filsafat yunani tidak hanya diyunani dan oleh bangsa yunani asli, tetapi telah meluas sebagai warisan bangsa yunani yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Romawi, dan oleh pemikir mesir dan syiria, atau pemikir-pemikir yang terdapat di laut tengah. [3]
Pada dasarnya, masing sudut pandang memiliki perbedaan diantara satu dengan yang lainnya, masing-masing memiliki cirri dan teori tersendiri. Hanya saja kata Aqli (dalil aqli) itu diartikan sebagai sudut pandang yang difokuskan kepada rasionalisme seseorang untuk menilai suatu kebenaran yang ada, sedangkan Naqli (dalil naqli) adalah dalil yang mana sudut pandang tersebut sudah termaktub atau sudah tertulis, hanya saja pada saat itu belum begitu didengar oleh banyak orang, sehingga yang menulis atau yang mengungkapkanya ulang hanya menukil, karna dia memperolehnya dari orang lain, hanya saja dia memiliki jabatan sebagai penukil yang berhasil memperkenalkannya kepada banyak orang.
Teori Emanasi
Emanasi dalam kamus ilmiah populer mempunyai arti pemancaran atau pemijaran. Teori emanansi secara langsung akan terbahas pula dalam teori atau filsafat jiwa. Sedangkan emanasi menurut al-Farabi dijelaskan dalam hierarki wujud yaitu:
1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
4. Benda-benda bumi (teresterial).
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.
Kritik al-Ghazali terhadap para filosof berangkat dari kekhawatirannya terhadap teori
emanasi yang pada waktu itu menjadi mainstream pemikiran para filosof. Menurut Al Ghazali teori emanasi adalah sebuah bentuk kekafiran karena dalam teori emanasi terdapat tiga masalah :
1.  Kekalan dunia (tesis khas Aristoteles)
2. Ketidak mungkinan tuhan mengetahui mengtehaui hal-hal yang particular (tesisnya Ibnu Sina)
3.  Penolakan terhadap kebangkitan jasmani dan mortalitas jiwa individu.
Berangkat dari penolakannya terhadap teori emanasi yang bersifat spekulatif, konstruk pemikiran etika Al Ghazali menjadikan wahyu sebagai basis argumentasinya. Konsep etika Al Ghazali bercorak mistik teleologis. Ia menekankan pokok-pokok keutamaan akhlaknya kepada pertengahan. Pengertian pertengahan jalan tengah tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrim. Akan tetapi ia cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlaq secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Penekannan itu lebih bersifat individu.
Dalam pandangan Al-Ghazali, Konsep manusia tidak berbeda dengan konsep ajaran Islam, karena ia mendasarkan pemikirannya kepada Al-Qur‘ân dan As-Sunnah. Menurutnya manusia tersusun dari unsur jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan khalifah Allah di muka bumi. Hakikat manusia adalah jiwa. Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk-rnakhluk Allah lainnya. Ia membagi fungsi jiwa dalam 3 bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
Akhlaq dan sifat manusia tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Penekanan unsur jiwa tidaklah berarti is mengabaikan unsur jasmani, kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan yang mungkin diperoleh dan dirindukan oleh setiap manusia.

A.    Metode as-Suhrawardi
            Suhrawardi membahas panjang lebar tentang pengetahuan, pada akhirnya mendasarkannya pada iluminasi dan mengusulkan satu teori visi, yang dalam beberapa hal mirip dengan psikologi Gestalt.[4] Dia menggabungkan cara nalar dengan cara intuisi, menganggap keduanya saling melengkapi. Menurut Suhrawardi nalar tanpa intuisi dan iluminasi adalah kekanak-kanakan, rabun dan tidak akan pernah bisa mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran, seddangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta latihan mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodi. Atas dasar itulah Suhrawardi membangun alirannya dengan mendekati paham Peripatetik, khuusunya seperti  ditafsirkan oleh obn Sina dan juga mendekat doktrin Genostik aliran ibn Arabi. Oleh karena itu, untuk dapat mendalami secara lengkap sisi intelektual murni filsafat transcendental, para penelaah, menurut Suhrawardi harus  mendalam filsafat Aristoteles, logika, matematika dan sufisme. Pikirannya harus sepenuhnya bebas dari prasangka dan dosa, sehingga dia secara bertahap bisa mengmbangkan indra batinnya, yang menguji dan mengoreksi apa yang dimengerti oleh pikiran hanya sebagai teori. Akal yang tanpa bantuan Dzauq tidak dapat dipercaya. Dzauq berfungsi menyerap misterius atas segala esensi dan membuang skeptisisme. Tetapi sisi spekulatif murni pengalaman spiritual perlu dirumuskan dan disistematisisasikan oleh pikiran yang logis. Ciri demikianlah yang tampak pada filsafat Isroqi yang dibangun oleh Suhrawardi. Jadi tujuan akhir segala pengetahuan yaitu iluminasi dan ma`rifat (gnosis), yang ditempatkan oleh Suhrawardi secara tegas pada puncak Hierarki pengetahuan.     
Sikap Al-Ghazali
 Dalam buku Maqasidh Al-Falasifah berisi tiga persoalan filsafat, yaitu ilmu mantiq, metafisika dan fisikayang diuraikan dengan sejujur-jujurnya. Seolah-olah ia adalah seorang filosuf yang menulis kefilsafatan, sesudah itu ia menulis buku yang berjudul Tahafutu al-Falasifah dimana ia bertindak bukan sebagai seorang filosuf, tetapi seakan akan dia adalah seorang tokoh islam yang hendak mengkritik filsafat dan  hendak menunjukkan kelemahan-kelemahannya serta kejanggalan-kejanggalannya yaitu dalam hal-hal yang berlawanan dengan agama. Dengan demikian, dia adalah seorang filosuf yang sanggup menggugat dirinya sendiri. Selalu mengacu kepada kebenaran yang didasarkan pada ajaran islam. menurut Al-Ghazali agama tidak melarang atau memerintahkan ilmu matemaika, karena ilmu adalah hasil dari pembuktian pikiran orang yang tidak bisa diingkari.
Lapangan logika menurut Al-Ghazali juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama, atau dengan kata lain, agama tidak melarang atau memerintahkan logika. Logika berisikan tentang dalil-dalil pembuktia, qiyas-qiyas (sylogisme), syarat-syarat pembuktian (burhan), devinisi-devinisi dan sebagainya. Semua persoalan ini tidak perlu diingkari, sebab masih sesuai dengan teori-teori yang dipakai oleh ulama theology islam meskipun kadang-kadang berbeda kata-kata dan istilahnya. Bahasa yang ditimbulkan oleh logika dari para filosuf, ialah karena syarat-syarat pembuktian tersebut sedang tidak sebenarnya demikian.
Ilmu fisika, menurut Al-Ghazali, membicarakan tentang planet-planet, unsur-unsur (benda-benda) tunggal, seperti, air, hewan, tumbuhan, logam, sebab-sebab pertumbuhan dan pelarutannya. Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan lapangan kedokteran, yaitu menyelidiki tubuh-tubuh orang dan meneliti anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalamnya. Sebagaimana agama tidak dianjurkan untuk mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian pula fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali beberapa hal yang disebutkan di dalam buku Tahafutu al-Falasifah, yang disimpulkan bahwa alam semesta ini dikuasai oleh Tuhan, tidak bekerja dengan sendiri, tetapi bekerja karena Tuhan adalah dzat pencipta.
















http//pplq.wordpress.com/2008/12/18/kolaborasi norma dan nilai, diambil dari Log cit,A.khudori soleh, hal 120

Mustofa, filsafat Islam, <Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004>, hlm. 21.
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, <Jakarta: Gaya Media Utama, 1999>, hlm. 8.
Mustofa, Filsafat Islam, <Bandung: Pustaka Setia, cetakan ke 5, 2009>, hlm. 250.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar