Pemikiran (Tawaran Metodologis/Epistemologis ) Filsafat Ibn Rusyd
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaanNya.
Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat , kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memmahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah enjadi mul;hid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:
a). Lewat metode Khatabi (Retorika)
b) lewat metode Jadali (dialektika)
c) Lewat metode Burhani (demonstratif)
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaanNya.
Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat , kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memmahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah enjadi mul;hid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:
a). Lewat metode Khatabi (Retorika)
b) lewat metode Jadali (dialektika)
c) Lewat metode Burhani (demonstratif)
Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ad seorangpun yang berakal sehat kecuali dari elompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik
Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif.
Ta’wil yang dilakukan dengan metode burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat al isra’ : 85 :
يسءلونك عن الروح قل الروح من امر ربى
Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak / belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini ibn rusyd bisa mendamaikan anatar bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Ta’wil .[1] Metode ta’wil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini . al Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan nalar burhani , ia merpakan metode ta’wil / qiyas untuk membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.
Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan Qur’anik dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna, . Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai : makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu llainnya” karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.
Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu dita’wil , agar diketahui makan bathinyya (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya adalah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata terhdap kecenderungan kelompok ulama yang pandai ( al Rasyikhuna fil ‘Ilm ) untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.
Di dalam buku ini pula sedikit dibahas kelemahan metodologis Imam Ghazaliy ketika beliau mengkafirkan filsuf-filsuf dalam 3 perbincangan filsafat yakni:
a. Diskursus keqadiman dan kehadis-an alam semesta
b. Pengetahuan juz’iyat dan kuliiyah Tuhan
c. Hari kebangkitan (Yaum al Ba’ats)
Persoalan pertama, tentang perdebatan alam itu baru atau qadim, dalam pandangan beliau perdebatan itu esensinya hanyalah persoalan istilah/terminologi belaka. Karna para penentang filsafat meyakini adanya 3 wujud pada realitas alam / benda tersebut. Adapun wujud yang pertama, adalah wujud yang adanya disebabkan oleh wujud diluar dirinya dan didahului oleh zaman, sehingga dapat dikatakan wujud jenis pertama ini barau ada/riel /eksis jika da penyebabwujud (pencipta/penggerak) Contoh :adalah benda-benda yang bisa ditangkap oleh obyek indrawi. Wujud kedua adalah wujud yang keberadannya tidak berasal dari sesuatu apapun , tidak disebabkan oleh sesuatu apapun dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini dispakati oleh mutakalimin sebagai wujud yang qadim. Disebut juga penyebab dan penggerak segala sesuatu yang ada. Wujud yang ketiga adalah wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun juga tidak didahului oleh zaman, akan tetpai keberadaannya disebabkan oleh sesuatu penggerak. Sisi wujud ini adalah alam semesta beserta segala perangkatnya
Wujud ketiga inilah yang menurut imam ghazaliy bisa mmebuat seseorang menjadi kafir jika seseorang berangggapan bahwa ada wujud qadim selain Allah SWT. Ibn rusyd menjelasakan bahwa keqadiman wujud ketiga denmgan qadimnya Tuhan jelas beda. Kewujud qadiman Tuhan tidak disebbakan oleh sebab apapun , karena Tuhan adalah penyebab itu sendiri. Sementara keqadiman wujud ketiga digerakkan dan disebbakan oleh penggerak pertama (Muharrikul Awwal) yakni Allah SWT. Disnilah letak perbedaannya, sehingga tidak perlu mengkafirkan filsuf yang mempercayai adanya wujud ketiga ini. Dengan berdalih berdasarkan Qur’an Surat a Hud: 7 :
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan singgasanaNya berada di atas air”
Ibn Rusyd beranggapan ada wujud qadim sebelum Allalh SWT menciptakan alam semesta , yakni ‘Arsy dan air.
Persoalan kedua, yakni tentang ilmu Tuhan, yang dalam pandangan filsuf Allah sama sekali tidak mengetahui hal-hal yang partikular (juz’iyyat) , Menurut ibn Rusyd al Ghazaliy kurang memahami maksud para filsuf tersebut. Padahal yang dimaksud oleh mereka dalah bahwa Tuhan menegtahui jua’iyyat dan seluruh pengetahuan Tuha berbeda dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang juz’iyyat adalah efek (ma’lul) dari obyek pemikiran, tercipta bersama dengan terciptanya obyek pengetahuan itu dan akan senantiasa berubah sejalan dengan perubahan obyek pengethauan tersebut. Adapun ilmu Allah SWT adalah sebab (‘illat) bagi obyek yang diketahui oleh-Nya sebelum materi pengetahuan mewujud di alam kenyataan, Allah SWt telah mengetahui dengan cara pengetahuan Allah SWT sendiri. Justru dengan pendapat filsuf yang demikian ini akan menyucikan sifat-sifat Tuhan dari kekurangan dan perubahan-perubahan yang itu semua hanya terjadi pada mahluq ciptaannya.
Persoalan ketiga, dalam buku fash al maqalnya ini , Ibn Rusyd tidak menjelasakn kesalahan al Ghazaliy ketika mengkafirkan para filsuf. Akan tetapi hanya mengkritik cara/pola pikir orang yang berbicara tentang persoalan-persoalan dilematis/problematik/ta’arudl tersebut, akan tetapi dalam pembuktian kebenaran tidak menggunakan metode ta’wil. Atau kesalahan terhdap orang awam karena tidak memiliki kapasitas ta’wil kemudian melakukan ta’wil makahal itu justru merupakan suatu bentuk kekafiran, karena bisa menjerumuskan dirinya dan orang lain. Seharusnya ia cukup dengan makna lahiriyah saja.
Kritik juga ditujukan terhadap pengguna ta’wil dimana ia digunakan tidak pad tempatnya, seperti ta’wil dengan pendekatan metode puitik (Syi’riyah) retorik (Khatabiyyah) atau dialektik (jadaliyah) yang semuanya tidak membantu memperjelas obyek pengetahuan yang diperdebatkan. Ibn Rusyd menyarankan agar penguasa muslim melarang/mencegah karya-karya al Ghazaliy yang bersifat sofistik, penuh ta’wil-ta’wil itu dipelajari kecuali oleh oleh orang-orang yang termasuk ahli ilmu.
Dalam pandangan Ibn Rusyd tujuan Syari’at diturunkan adalah untuk mengajarakan ilmu yag benar dan amal yang benar pula. Ilmu yang benar berarti pengetahuan akan pengenalan kepada Allah SWT yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Sedang amal yangbenar adalah menjalankan perbuatan-perbuatan yang akan membawa kepada kebahagiaan dan menjauhi semua tindakan yang akan menimbulkan penderitaan ( al ‘lmu al ‘amali ).
Metode terbaik untuk memahami syariat adalah metode yang terdapat secara orisinil dalam kitab suci. Ada 3 alasan ibn rusyd berpendapat demikian yakni:
Pertama, bahwa secra faktual tidak ada dalil manapun yang lebih persuasif dan lebih mampu diterima semua orang selain argumentasi syari’at
Kedua, bahwa dalilsyari’at itu menyimpan karakteristik untuk bisa dikuasai sampai pada batas mana seseorang tidak memerlukan ta’wil di dalamnya, kalau memang dalil itu termasuk kelompok dalil yang dapat dita’wilkan, kecuali oleh ahli burhan
Ketiga, bahwa argumentasi –argumentasi itu dalam dirinya sendiri mengandung sesuatu yang menggugah pencari kebenaran untuk melakukan ta’wil yang benar.
Demikian secara ringkas pokok-pokok isi buku karya Ibn Rusyd tentunya masih banyak kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu saran berupa perbaikan amat kami butuhkan demi kelengkapan tugas review ini.
Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik
Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif.
Ta’wil yang dilakukan dengan metode burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat al isra’ : 85 :
يسءلونك عن الروح قل الروح من امر ربى
Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak / belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini ibn rusyd bisa mendamaikan anatar bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Ta’wil .[1] Metode ta’wil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini . al Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan nalar burhani , ia merpakan metode ta’wil / qiyas untuk membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.
Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan Qur’anik dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna, . Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai : makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu llainnya” karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.
Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu dita’wil , agar diketahui makan bathinyya (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya adalah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata terhdap kecenderungan kelompok ulama yang pandai ( al Rasyikhuna fil ‘Ilm ) untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.
Di dalam buku ini pula sedikit dibahas kelemahan metodologis Imam Ghazaliy ketika beliau mengkafirkan filsuf-filsuf dalam 3 perbincangan filsafat yakni:
a. Diskursus keqadiman dan kehadis-an alam semesta
b. Pengetahuan juz’iyat dan kuliiyah Tuhan
c. Hari kebangkitan (Yaum al Ba’ats)
Persoalan pertama, tentang perdebatan alam itu baru atau qadim, dalam pandangan beliau perdebatan itu esensinya hanyalah persoalan istilah/terminologi belaka. Karna para penentang filsafat meyakini adanya 3 wujud pada realitas alam / benda tersebut. Adapun wujud yang pertama, adalah wujud yang adanya disebabkan oleh wujud diluar dirinya dan didahului oleh zaman, sehingga dapat dikatakan wujud jenis pertama ini barau ada/riel /eksis jika da penyebabwujud (pencipta/penggerak) Contoh :adalah benda-benda yang bisa ditangkap oleh obyek indrawi. Wujud kedua adalah wujud yang keberadannya tidak berasal dari sesuatu apapun , tidak disebabkan oleh sesuatu apapun dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini dispakati oleh mutakalimin sebagai wujud yang qadim. Disebut juga penyebab dan penggerak segala sesuatu yang ada. Wujud yang ketiga adalah wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun juga tidak didahului oleh zaman, akan tetpai keberadaannya disebabkan oleh sesuatu penggerak. Sisi wujud ini adalah alam semesta beserta segala perangkatnya
Wujud ketiga inilah yang menurut imam ghazaliy bisa mmebuat seseorang menjadi kafir jika seseorang berangggapan bahwa ada wujud qadim selain Allah SWT. Ibn rusyd menjelasakan bahwa keqadiman wujud ketiga denmgan qadimnya Tuhan jelas beda. Kewujud qadiman Tuhan tidak disebbakan oleh sebab apapun , karena Tuhan adalah penyebab itu sendiri. Sementara keqadiman wujud ketiga digerakkan dan disebbakan oleh penggerak pertama (Muharrikul Awwal) yakni Allah SWT. Disnilah letak perbedaannya, sehingga tidak perlu mengkafirkan filsuf yang mempercayai adanya wujud ketiga ini. Dengan berdalih berdasarkan Qur’an Surat a Hud: 7 :
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan singgasanaNya berada di atas air”
Ibn Rusyd beranggapan ada wujud qadim sebelum Allalh SWT menciptakan alam semesta , yakni ‘Arsy dan air.
Persoalan kedua, yakni tentang ilmu Tuhan, yang dalam pandangan filsuf Allah sama sekali tidak mengetahui hal-hal yang partikular (juz’iyyat) , Menurut ibn Rusyd al Ghazaliy kurang memahami maksud para filsuf tersebut. Padahal yang dimaksud oleh mereka dalah bahwa Tuhan menegtahui jua’iyyat dan seluruh pengetahuan Tuha berbeda dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang juz’iyyat adalah efek (ma’lul) dari obyek pemikiran, tercipta bersama dengan terciptanya obyek pengetahuan itu dan akan senantiasa berubah sejalan dengan perubahan obyek pengethauan tersebut. Adapun ilmu Allah SWT adalah sebab (‘illat) bagi obyek yang diketahui oleh-Nya sebelum materi pengetahuan mewujud di alam kenyataan, Allah SWt telah mengetahui dengan cara pengetahuan Allah SWT sendiri. Justru dengan pendapat filsuf yang demikian ini akan menyucikan sifat-sifat Tuhan dari kekurangan dan perubahan-perubahan yang itu semua hanya terjadi pada mahluq ciptaannya.
Persoalan ketiga, dalam buku fash al maqalnya ini , Ibn Rusyd tidak menjelasakn kesalahan al Ghazaliy ketika mengkafirkan para filsuf. Akan tetapi hanya mengkritik cara/pola pikir orang yang berbicara tentang persoalan-persoalan dilematis/problematik/ta’arudl tersebut, akan tetapi dalam pembuktian kebenaran tidak menggunakan metode ta’wil. Atau kesalahan terhdap orang awam karena tidak memiliki kapasitas ta’wil kemudian melakukan ta’wil makahal itu justru merupakan suatu bentuk kekafiran, karena bisa menjerumuskan dirinya dan orang lain. Seharusnya ia cukup dengan makna lahiriyah saja.
Kritik juga ditujukan terhadap pengguna ta’wil dimana ia digunakan tidak pad tempatnya, seperti ta’wil dengan pendekatan metode puitik (Syi’riyah) retorik (Khatabiyyah) atau dialektik (jadaliyah) yang semuanya tidak membantu memperjelas obyek pengetahuan yang diperdebatkan. Ibn Rusyd menyarankan agar penguasa muslim melarang/mencegah karya-karya al Ghazaliy yang bersifat sofistik, penuh ta’wil-ta’wil itu dipelajari kecuali oleh oleh orang-orang yang termasuk ahli ilmu.
Dalam pandangan Ibn Rusyd tujuan Syari’at diturunkan adalah untuk mengajarakan ilmu yag benar dan amal yang benar pula. Ilmu yang benar berarti pengetahuan akan pengenalan kepada Allah SWT yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Sedang amal yangbenar adalah menjalankan perbuatan-perbuatan yang akan membawa kepada kebahagiaan dan menjauhi semua tindakan yang akan menimbulkan penderitaan ( al ‘lmu al ‘amali ).
Metode terbaik untuk memahami syariat adalah metode yang terdapat secara orisinil dalam kitab suci. Ada 3 alasan ibn rusyd berpendapat demikian yakni:
Pertama, bahwa secra faktual tidak ada dalil manapun yang lebih persuasif dan lebih mampu diterima semua orang selain argumentasi syari’at
Kedua, bahwa dalilsyari’at itu menyimpan karakteristik untuk bisa dikuasai sampai pada batas mana seseorang tidak memerlukan ta’wil di dalamnya, kalau memang dalil itu termasuk kelompok dalil yang dapat dita’wilkan, kecuali oleh ahli burhan
Ketiga, bahwa argumentasi –argumentasi itu dalam dirinya sendiri mengandung sesuatu yang menggugah pencari kebenaran untuk melakukan ta’wil yang benar.
Demikian secara ringkas pokok-pokok isi buku karya Ibn Rusyd tentunya masih banyak kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu saran berupa perbaikan amat kami butuhkan demi kelengkapan tugas review ini.
Konsep Ibn Rusyd Tentang Teori Penciptaan Alam
Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang menganut teori Kausalitas (hukum sebab-akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan eksistensi alam.
Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan teori itu, kata Rusyd, yaitu:
Pertama, dalil inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam dan seluruh kejadian yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil ini mendorong orang untuk melakukan penyelidikan dan penggalian yang terus menerus sesuai dengan pandangan akal fikirannya. Dalil ini pula yang akan membawa kepada pengetahuan yang benar sesuai dengan ketentuan Alquran.
Kedua, dalil ikhtira' yaitu asumsi yang menunjukkan bahwa penciptaan alam dan makhluk di dalamnya nampak jelas dalam gejala-gejala yang dimiliki makhluk hidup. Semakin tinggi tingkatan makhluk hidup itu, kata Rusyd, semakin tinggi pula berbagai macam kegiatan dan pekerjaannya. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan. Sebab, bila terjadi secara kebetulan, tentu saja tingkatan hidup tidak berbeda-beda. Ini menunjukkan adanya pencipta yang mengatur kehidupan. Dalil ini sesuai dengan syariat Islam, dimana banyak ayat yang menunjukkan perintah untuk memikirkan seluruh kejadian alam ini.
Ketiga, dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang diambil dari Aristoteles. Dalil tersebut mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan berbenda, yaitu Tuhan.
Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman. Sebab, zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud. Rusyd yang juga dikenal sebagai 'pelanjut' aliran Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih dahulu itulah yang memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa memerlukan kepada pemberi form (Tuhan) yang ada di luarnya.
Hal lain yang tidak lepas dari sosok Ibnu Rusyd adalah, ketika polemik hebat antara dia dengan Al Ghazali. Ketidaksepakatan Al Ghazali terhadap filsafat (hingga mengkafirkan Rusyd) ia tuangkan dalam buku berjudul Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Rusyd membalas dengan menulis Tahafutut Tahaafut (Kerancuan dari Kerancuan).
Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah bangkitnya kembali manusia setelah meninggal. Menurut Rusyd, pembangkitan yang di maksud kaum filsuf adalah pembangkitan ruhy, bukan jasmani. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Rusyd, juga kaum filosof lainnya, yang penting bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedang bagi Al Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi juga jasmaniyah.
Rusyd juga mengajari kita bagaimana membangun rules of dialogue, dalam kaitan memahami 'orang lain' di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip epistemologis, yaitu:
Pertama, keharusan untuk memahami 'yang lain' dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.
Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi harmoni di antara keduanya. Harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu, hak untuk berbeda harus dihargai.
Ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Rusyd menolak cara-cara Al Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. "Tujuan saya," kata Al Ghazali, "adalah mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil." Ibnu Rusyd menjawab, "Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari kebenaran dan bukan menyebarkan karaguan."
Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai-nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar