baca selengkapnya di : http://www.poetra-anoegrah.co.cc/2010/04/cara-mengubah-judul-blog-dengan-judul.html#ixzz1Ie8isVZF

Klik Kanan

Senin, 18 Oktober 2010

FENOMENA TASYRI’ MASA RASULULLAH


                                   
                       
A. PENDAHULUAN

Yang di maksud masa Rasulullah adalah suatu massa dimana hidup Nabi Muhammad SAW. Dan para sahabat yang bermula dari turunya wahyu berakhir dengan wafatnya nabi pada tahun 11 H. Era ini merupakan masa pertumbuhan dan pembentukan fiqih Islam, suatu masa turunya syariat Islam dalam pengertian sebenarnya.
            Turunnya syariat dalam arti proses munculnya hukum-hukum syar’iyah hanya terjadi pada era Rasulullah sebab syari’at itu, turun dari Allah dan itu berakhir dengan turunnya wahyu setelah nabi wafat, nabi sendiri tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat hukum-hukum syar’iyah karena tugas seorang Rasul hanya menyampaikan hukum-hukum syar’iyah itu kepada umatnya.
Maka dari itu kita dapat memahami bahwa, kerja fuqaha dan mujtahidin bukan membuat hukum tetapi mencari dan menyimpulkannya dari sumber-sumber hukum yang benar. Dan sumber-sumber hukum Islam yang menjadi rujukan dalam mencari hukum syar’iyah adalah wahyu, baik wahyu yang dibacakan yaitu Al-Qur’an ataupun wahyu yang tidak dibacakan yaitu Sunnah.
Sebelum membahas tentang sumber-sumber hukum lebih baiknya kita memahami perkembangan kedua tasyri’ yang berlainan, yaitu: periode Makkah dan Madinah agar kita mengetahui ciri dan karakteristik wahyu yang turun di Makkah dan Madinah dan bagaimana nabi menterjemahkannya dalam berbagai situasi yang berbeda.

B. SUBSTANSI KAJIAN

1. Tasyri’ Pada Periode Mekkah
Pada awal mulanya Islam berorientasi memperbaiki aqidah, karena akidah merupakan fundamen yang akan berdiri diatasnya, apapun bentuknya, sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama maka akan melanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan. Karena itu, Al-Qur’an yang turun pada mereka ketika di Makkah-sebelum hijrah yang memperhatikan penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh para nabi,mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah umat-umat terdahulu, menganjurkan mereka agar memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan merenungkan ciptaan Allah, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang di tinggalkan oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
Al Qur,an juga banyak mengajarkan mereka moral dan   seperti keadilan, menepati janji, berbuat baik, tolong menolong dalam kebaikan dan fatwa, bukan tolong menolong dalam pelanggaran dan perbuatan dosa. Kebanyakan ayat-ayat Al-Qur,an itu meminta mereka agar menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal yang tidak di miliki oleh makhkuk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri. Mengingatkan mereka agar tidak menyelesihi pada umat-umat terdahulu yang mendustakan rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.[1]
Semua perkataan di atas telah menimpa mereka, supaya hari-hari depan mereka terjauh dari kejelekan, seperti apa yang mereka telah lalui. Dalam hati mereka berikrar bahwa yang dikehendaki Al-Qur’an merupakan kebaikan bagi mereka. semua ini, karena kebutuhan orang-orang arab agar menjadi lunak atas penolakan mereka dan berjalan dalam konsep ketaatan yang belum mereka biasakan, serta jiwa mereka enggan untuk berbuat dosa. Pada masa ini , Al-Qur’an hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga ,mayoritas masalah ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang di syariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, seperti pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak di sebut nama Allah atasnya.
Semua itu adalah perspektif yang di tinjau Al-Qur’an dalam sebagian besar ayatnya. Dan itulah tujuan yang di kehendaki oleh kehendaki oleh keindahan gaya bahasannya. Meskipun Al-Qur’an mencapai enam ribu ayat, namun yang berkaitan dengan hukum furu’ (cabang) hanya sekitar dua ratus ayat, sedangkan sisanya sebagaimana telah di sebutkan diatas, walaupun berbeda susunanya baik istbat (penetapan), nafyi (peniadaan), khabar dan insya. Walaupun banyak gaya bahasanya, baik amr (perintah), nafyi (larangan), istifham (kata Tanya), taukid (menguatkan) dan sebagainya.
Penyampaian Al-Qur’an, seperti itu selama tiga belas tahun, sampai akidah meresap dalam jiwa sebagian besarnya dan terbias kesesatan syirik di hadapan cahayanya. Hayalan yang menentang telah tiada, demikian pula perselisihan dalam memikirkan keburukan. Pada saat itu, allah suhanahu wa ta’ala mengizinkan orang-orang mukmin dan nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk berhijrah ke Madinah, wilayah anshar dan tanah air yang baru bagi kaum muslimin, serta tempat yang akan memberikan nuansa baru dalam menyiarkan agama Allah sampai selesai.[2]
Dalam periode ini lebih terfokus pada proses penanaman (ghars) tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah Rasulnya, hari kiamat dan perintah untuk berakhlak mulia srperti keadilan , kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan. Beberapa hokum syari’at yang turun pada periode ini juga dimaksudkan untuk mewujudkan revolusi akidah tadi.
Dalam Al-Qur’an surat al-An’am, salah satu surat yang turun di Mekkah. Kita dapati berbagai contoh dari hukum-hukum syari’at seperti haram makanan binatang yang disembelih tidak dengan nama Allah dan keterangan hewan-hewan yang di larang dimakan, yang sebenarnya juga berkaitan dengan masalah-masalah akidah. Seperti menjadi tradisi orang-orang jahiliyah, mereka menyembelih binatang atas nama Tuhan mereka yang batil, mengharamkan dan menghalalkan binatang sesuai dengan hawa nafsu mereka demikian pula perintah untuk melakukan salat dan zakat. Zakat pada periode Mekkah bersifat umum dalam arti sedekah atau infak fi sabilillah. Sementara cara pelaksanaanya, kadar yang harus dikeluarkan dan ketentuan lainnya disyariatkan pada periode Madinah
Dengan kata lain periode Mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah system kepercayaan masyarakat jahiliah menuju penghambaan kepada Allah semata. Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekontruksi social moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.[3]

2. Pola Pelaksanaan Tasyri’ di Madinah
             Periode ini berlangsung kira-kira 10 tahun di mulai sejak Nabi Muhammad hijrah ke Madinah pada tanggal 16 Robiul Awwal ketika usia nabi 53 tahun (25 September 622 M) sampai saat wafatnya beliau tanggal 13 Robiul Awwal tahun 11 H (8 Juni 632 M).
            Sebagaimana yang telah di jelaskan sebagian besar masyarakat Makkah menolak ajaran yang dibawa oleh nabi. Al-Quran menyitir penolakan mereka karena beberapa hal antara lain:
1.      Karena kebodahan mereka
2.      Keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang
3.      Karena ada maksud tertentu dari suatu golongan seperti yang di gambarkan oleh Abu sufyan “ kalau sekiranya Bani Hasyim memperole kemuliaan nubuwah, kemudian apa yang tertinggal untuk kami.
Kelompok yang menolak Al-Qur’an ini menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi berkembangnya ajaran Islam. Karena tekanan masyarakat yang benci Islam begitu kuat, akhirnya nabi yang di dahului oleh pemgikutmya hijrah ke Madina. Situasi Madinah dengan berbagai aspek kehidupannya sangat berbeda dengan Makkah. Penduduk Madinah menjelang hijrahnya nabi, terdiri dari bangsa Arab dan Yunani yang terbagi dari beberapa suku, suku terkemuka Arab adalah suku Aus dan Khazraj sedangkan Yahudi mempunyai lebih dari 20 suku di wilayah itu.
Dari aspek agama sebagian orang Arab Makkah dan Madinah menyembah berhala. Manata yang mereka yakini memengaruhi nasib manusia, berhala itu merupakan dewa terpenting yang disembah oleh suku Aus dan Khazraj. Sedangkan suku Yahudi adalah penganut agama Yahudi, suku ini merupakan ahli kitab yang memiliki keyakinan monotheis mencela kepercayaan orang arab yang pagan dan memperingatkan bahwa kelak akan muncul seorang nabi yang akan mendukung agama mereka, informasi inilah yang menjadi faktor orang Madinah mudah menerima Islam.
            Heterogenites penduduk Madinah mempengaruhi kondisi sosial politiknya. Mereka tidak berhasil membentuk suatu pemerintahan yang damai, akibat dari konflik yang terjadi terus menerus antara suku Aus dan Khazraj, ditambah dengan keterlibatan Yahudi dalam konfik-konfik itu menjadikan situasi menjadi rumit. Dalam kondisi demikian maka kehadiran pemimpin yang dapat menyatukan mereka sangat dinantikan. Untuk itu begitu mengetahui bahwa nabi yang di sebut-sebut kaum Yahudi telah muncul, mereka menerimanya secara terbuka dan sekaligus mengajak beliau agar hijrah ke Madinah.[4]
            Nabi bersama Abu Bakar hijrah ke Madinah setelah mendapat perintah wahyu pada tanggal 16 Rabiul Awwal(20 September 622 M). setelah hijrah ke Madinah, posisi nabi dan umat Islam mengalami perubahan besar. Di Madinah mereka mempunyai posisisi yang baik dan segera menjadi suatu komunitas umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi menjadi pemimpin masyarakat yang baru dibentuk itu, masyarakat ini akhirnya menjadi suatu negara, yang wilayah kekuasaannya di masa penghujung kehidupan nabi meliputi seluruh semenanjung Arabia.
            Setelah  kaum muslimin berhasil menegakkan kehidupan yang sebenarnya, dan mampu membina masyarakat yang mempunyai ragam kehidupan yang berbeda, maka diturunkanlah tuntunan syariat yang mengatur kehidupan mereka secara menyeluruh dan lebih terperinci, sebagai penyempurna dari hukum yang telah disyariatkan secara global pada periode Makkah. Periode Makkah dan Madinah memiliki hubungan integral dan tidak dapat dipisahkan.
            Nabi pada periode Madinah ini menghadapi masalah secara realistis dan praktis. Orang bertanya dan meminta fatwa kepada beliau tentang persoalan apa saja yang mereka hadapi. Maka tidak mengherankan bila dalam kurun waktu 10 tahun di Madinah, Rasulullah banyak sekali mengeluarkan putusan dan penetapan hukum. Ayat-ayat Al-Qur’an pun banyak yang diturunkan pada periode ini untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepada nabi. Jadi ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum syara' yang menjalar semua persoalan yang dihadapi manusia, baik untuk kepentingan pribadi maupun masyarakatnya, baik persoalan akidah, ibadah, muamalat, jihad, jinayah, mawarist, perkawinan, thalaq, dan peradilan turun pada periode Madinah.
            Dengan demikian periode Madinah dapat disebut dengan periode revolusi sosial dan politik. Hal ini ditandai dengan penataan pranata-pranata kehidupan masyarakat Madinah yang layak, dan dilanjutkan dengan praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga menjadikan Islam sebagai suatu kekuatan politik.
            Dapat dipahami mengapa produk-produk hukum syariat tersebut ditetapkan pada periode Madinah, dengan alasan :
1.    Pada periode Madinah , diperkirakan orang Islam memiliki modal akhlak/mental dan akidah yang kuat sebagai landasan melaksanakan tugas-tugas lain.
2.    Suatu hukum dapat terlaksana bila dilindungi oleh kekuatan politik. Di periode Madinah, Rasulullah dipercaya oleh masyarakat sebagai pemegang kekuasaan politik karena keberhasilannya menyelesaikan perselisihan akibat perebutan pengaruh masyarakat Madinah yang primordial. Masyarakat Madinah, yang kemudian terdiri atas penduduk asli yang beragam dan Muhajirin Makkah, tidak lagi merasakan kesukuan sebagai ikatan solidaritas, tetapi persaudaraan karena kepercayaan agama.[5] 

3. Sumber-Sumber Tasyri'
    
Al-Qur’an
a.  Pengertian Al-Qur’an
Kata القران adalah mashdar dari قرأ , sewazan dengan kata فعلان , yang secara etimologis berarti bacaan, berbicara tentang apa yang ditulis padanya, atau melihat dan menelaahnya. Kata Al-Qur’an digunakan untuk maksud nama kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad. Pengertian Al-Qur’an secara terminologis antara lain dikemukakan oleh al-Syaukani sebagai berikut :

االقران قهو الكلام المنزل على الرسول المكتوب فى المصاحف والنقل متواتر
Artinya:
“ kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Rasulullah, tertulis dalam mushaf dan dinukilkan secara mutawatir."”[6]

Rangkaian kalam Allah tersebut kini tertuang secara sempurna dalam kitab suci yang diberi nama Al-Qur’an al-Karim. Kitab suci ini dinamakan demikian karena wahyu pertama yang ditunkan kepada Nabi adalah “ اقرأ (bacalah)". Dari makna ini dapat dipahami bahwa seorang yang beriman diperintahkan untuk membaca Al-Qur’an yang diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk (huda) agar memperoleh kebahagian baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Dalam versi lain, Fazlur Rahman mengatakan Al-Qur’an adalah dokumen keagamaan dan etika yang bertujuan praktis, yaitu untuk meciptakan masyarakat yang bermoral baik dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia saleh, religius, memiliki kesepakatan dan keyakinan akan adanya satu Tuhan yang memerintahkan kebaikan, dan melarang kejahatan.[7] Dengan demikian, sebagai dokumen keagamaan, Al-Qur’an dengan sendirinya menjadi asas agama dan sumber syariat.
Sesungguhya Al-Qur’an merupakan suatu tatanan yang berisi perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat, ia juga merupakan ekspresi perintah Allah yang harus ditaati oleh masyarakat dan negara. Kitab suci ini masih berdiri kokoh hingga sekarang sebagai sebuah mukjizat yang terjaga keasliannya karena tidak seorangpun  mampu membuat satu surat yang menyamai surat-suratnya, termasuk Nabi sendiri tidak dapat membuatnya susunan bahasa yang begitu indah.
Al-Qur’an  telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, namun seperti kata Mahmud  Syalthut hasil terjemahan bukanlah Al-Qur’an suci yang memiliki kemukjizatan tak tertandingi, bahkan ia tak dapat dijadikan sumber syariat karena sebuah terjemahan hanya mencerminkan pemahaman si penerjemah tehadap Al-Qur’an. Menurut Hitti, tidak ada kitab di dunia ini yang menyerupai Al-Qur’an meskipun sudah banyak ahli bahasa dengan mengerahkan kekuatan waktu dan uang untuk membuat ayat yang bisa menandingi Al-Qur’an. Al-Qur’an dijaga secara amat ketat. Walaupun termuda Al-Qur’an merupakan kitab suci yang paling banyak dibaca.[8]

b. Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada tanggal 17 Ramadhan, ketika sedang bertahanuts (beribadah) di gua hiro, tahun ke 41 dari kelahiran beliau.[9] Tentang turunnya Al-Qur’an pada bulan Ramadhan dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firmanNya :

ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$#

Artinya:
“ Bulan Ramadhan,di dalamnya di turunkan(permulaan) Al-Qur’an''(QS. Al-Baqarah; 185)[10]

                Sedangkan tanggal 17 berdasarkan firman Allah

!$tBur $uZø9tRr& 4n?tã $tRÏö6tã tPöqtƒ Èb$s%öàÿø9$# tPöqtƒ s)tGø9$# Èb$yèôJyfø9$# 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2
&äóÓx« 퍃Ïs% ÇÍÊÈ

Artinya:
“dan apa-apa yang kami turunkan kepada hamba kami(Muhammad) dihari furqon yaitu hari bertemunya dua pasukan.”(QS. Al-Anfal; 41)[11]

                Hari furqon yang dimaksud ayat ini adalah hari turunnya Al-Qur’an, hari furqon itu disamakan dengan hari bertemunya dua pasukan yaitu dalam perang badar, yang oleh ahli sejarah di tetapkan bahwa perang badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Dengan begitu hari turunnya Al-Qur’an jatuh pada tanggal 17 Ramadhan walaupun tidak pada tahun yang sama.
            Pendapat yang paling shahih mengenai ayat-ayat yang pertama kali turun  adalah firman Allah yaitu :

ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ
Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ


Artinya:
Bacalah dengan nama tuhanmu yang mencipatakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan tuhanmu lah yang paling pemurah, yang mengajar(manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia, apa yang tidak diketahuinya.”(QS. al-'Alaq: 1-5)[12]

Adapun yang terakhir diturunkan surat Al-Baqarah: 281.

(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ šcqãèy_öè? ÏmŠÏù n<Î) «!$# ( §NèO 4¯ûuqè? @ä. <§øÿtR $¨B ôMt6|¡Ÿ2 Nèdur
öŸw tbqãKn=ôàムÇËÑÊÈ  

Artinya:
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) Hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya.”(QS. Al-Baqarah: 281)[13]

            Al-Qur’an diturunkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang tumbuh. Nabi menerimanya sangat hati-hati dan meminta para pengikut untuk menghafal dan menulisnya. Kondisi demikian berlangsung selama 23 tahun, 13 tahun pertama di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan untuk menjawab berbagai masalah, pertanyaan, situasi dan kondisi yang dijumpai Nabi SAW dalam perjalanan kerusalan.
                Ayat-ayat Al-Qur’an ini telah sempurna sampai kepada ummat dalam bentuk yang masih terpelihara kemurniannya. Sesungguhnya tanggung jawab untuk menjaga kemurnian wahyu semula berada diluar jangkauan rasionalitas manusia. Nabi sendiri selalu membaca kembali pada semua ayat yang diterima pada setiap bulan ramadhan hingga beliau menghembuskan nafas yang terkhir. Sepeninggal nabi, seluruh tulisan nash Al-Qur’an dikumpulkan, pengumpulan tulisan nash Al-Qur’an dilakukuan atas usul Umar kepada khalifah Abu bakar. Abu Bakar kemudian mempercayakan tugas pengumpulan itu kepada Zaid ibn Sabit yang merupakan mantan sekretaris Nabi. Tugas pengumpulan itu diselesaikan dalam beberapa tahun dan diverifikasi oleh sebuah panitia yang dibentuk gubernur dibawah pimpinan Zaid ibn Sabit. Khalifah Usmanlah yang mengontrol dan membagi-bagikan salinan tulisan Al-Qur’an hingga sampai kepada ummat sekarang.

c. Kandungan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an
            Ayat-ayat dalam Al-Qur’an menempati posisi sangat penting dan dalam kehidupan kaum muslimin karena ia merupakan rujukan pertama dan utama bagi seluruh dimensi tingkah laku mereka. Proses turunnya berbagai ayat hukum dalam Al-Qur’an menunjukkan ayat-ayat itu diturunkan pada saat timbul masalah kemasyarakatan,  moral atau keagamaan yang memerlukan pemecahan, atau ketika para sahabat berkonsultasi kepada nabi dan mengadukan persoalan-persoalan urgen yang memiliki ruang lingkup dan pengaruh luas dalam kehidupan kaum muslimin.
            Secara garis besar hukum-hukum dalam Al-Qur’an dapat di kelompokkan jadi tiga:

1        Ahkam 'i'tiqadiyah (hukum-hukum akidah). Hukum ini mengatur tentang hubungan  manusia dengan tuhannya dalam masalah keimanan dan ketakwaan yang meliputi kewajiban bagi mukallaf untuk percaya pada Allah, Malaikat, Kitab-kitab-Nya, para rosul-Nya dan hari kiamat.
2        Ahkam khulukiyah (hukum-hukum akhlak). Hal ini berkaitan erat dengan masalah-   masalah yang harus dipedomani oleh setiap mukallaf dalam perilaku kehidupannya yakni keharusan mengerjakan keutamaan dan menghindari diri dari kehinaan.
3        Ahkam 'amaliyah (amal/ perbuatan) hukum ini terkait erat dengan seluruh tindakan mukallaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad), dan masalah belanja.[14]

d. Cara penerapan hukum
Hukum Islam mengatur perilaku manusia dalam dua dimensi, vertical, hubungan manusia dengan tuhan dan horisontal, hubungan manusia dengan sesamaan Hukum yang mengatur dimensi vertical  dikenal dengan hubungan mahdab. Dengan ini manusia sadar akan pengawasan tuhan dimana dan kapanpun ia bekerja. Ancaman hukumnya bagi pelanggarnya berupa dosa. Hukum yang mengatur dimensi horisontal lumrah disebut mu’amalah (dalam arti luas), ancaman bagi pelanggarnya disamping dosa yang akan dirasakan di akhirat juga yang langsung dirasakan di dunia seperti pembalasan atas perjanjian atau pidana. Atau menyebut dosa, hukum Islam menganggap pembinaan mental itu penting dalam kehidupan sosial. Orang yang bersalah tetapi lolos dari hukuman duniawi tetap akan merasa bahwa perbuatannya tidak boleh di ulangi karena merasa berdosa.

1.        Tahapan / Proses
            Risalah Rosul adalah dakwah (bukan paksaan) dan kesejateraan umat manusia, yang paling utama dalam ajaran Rosul adalah pesan-pesan keagamaan. Oleh karena itu proses hukum Islam tidak lepas dari corak dakwah, untuk suatu ketetapan hukum Al-Quran memperhatikan kondisi dan situasi masyarakat sehingga ketetapan hukum tidak mengejutkan dan membuat sok, tetapi secara bertahap. Misalnya untuk sampai kepada larangan minum-minuman keras, Al-Qur’an menempuh jalan sebagai berikut:
            Pertama pernyataan kurma dan anggur itu dapat mendatangkan rezeki tetapi juga dapat memabukkan.

`ÏBur ÏNºtyJrO È@ϨZ9$# É=»uZôãF{$#ur tbräÏ­Gs? çm÷ZÏB #\x6y $»%øÍur $·Z|¡ym 3 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ZptƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ ÇÏÐÈ  
Artinya:
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan”.(QS. al-Nahl:67)[15]

            Kedua pernyataan bahwa khamer dan perjudian mendatangkan manfaat dan mudhorot, hanya mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya

* y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9
 !$yJßgßJøOÎ)ur  çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3  
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." (QS. al-Baqarah:219).[16]

                Ketiga, pernyataan agar orang mabuk untuk tidak mengerjakan sholat, takut kalau keliru dalam bacaan

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB bqä9qà)s?  
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. al-nisa:43).[17]

            Ayat turun karena ayat-ayat sebelumnya terlalu halus sehingga tidak terasa oleh sebagian besar orang bahwa sebenarnya minuman keras itu dilarang. Karena orang Islam mengkonsumsi minuman keras dan datang ketempat sholat dalam keadaan mabuk.
                Keempat akhirnya pernyataan tegas larangan minun keras

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô `ÏiB @yJtã
È`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ 
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah:90).[18]

2.         Korelasi atas hukum jahiliah[19]
            Islam tidak menghapus sama sekali hukum yang penah belaku di masa Jahiliah. Kalau perlu menyempurnakan keputusan hukum yang selama itu sudah baik. Kendati demikian, hukum Islam kelihatan lebih membawa keadilan dalam hal perkawinan, Al-Qur’an memerintakan suami agar memberi mahar kepada istri. Sebenarnya pemberian mahar untuk perkawinan sudah ada di masa jahiliah hanya dalam adat Arab Jahiliah, perkawinan adalah transaksi jual beli yakni selaku suami sebagai pembeli di suatu pihak dengan ayah atau kerabat dekat laki-laki calon istri selaku pemilik barang, karenanya mahar harus dibayar oleh pihak suami kepada pihak istri seperti yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Disini Al-Qur’an merubah kedudukan Istri dari sebagai barang dagangan menjadi pihak yang terlibat dalam kontrak, dengan demikian kini istri memiliki kewenangan hukum yang sebelumnya tidak ia miliki.

3.         Nasakh
            Disamping itu dalam Islam dikenal nasakh, perubahan/ pengapusan hukum yang tadinya pernah ditetapkan. Ini juga tidak lepas dari tujuan utama pembentukan hukum Islam adalah dakwah dan maslahat. Misalnya, tadinya Al-Qur’an menetapkan bahwa wanita yang di tinggal mati suaminya beriddah setahun selama itu ia tinggal di rumah suami dan berhak mendapat nafkah
tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î)  ÉAöqyÛø9$#
uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB šÆù=yèsù þÎû ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB
  7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îƒÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ  

Artinya:
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah:240).[20]

Kemudian datang ketentuan baru bahwa iddah mereka empat bulan sepuluh hari

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur (  #sŒÎ*sù
z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur  $yJÎ/
tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ            
Artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah:234)[21]



  As-Sunnah
a. Pengertian Sunnah
           Sunnah adalah sumber fiqih kedua setelah Al-Qur’an. Sunnah menurut etimologi adalah jalan baik, buruk seperti sabda Nabi SAW[22]

من سن سنة حسنة فله أجرهاوأجر من عمل بها إلى يوم القيامة ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها
ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة

Artinya:
“Barang siapa mengadakan sunnah/ jalan yang baik maka baginya pahala atas jalan yang ditempuhnya itu, di tambah lagi pahala orang-orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat dan barang siapa mengadakan sunnah/ jalan yang buruk maka atasnya dosa karena jalan buruk yang ditempuhnya, ditambah orang-orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”

                Secara terminologi Sunnah dapat di lihat dari tiga aspek yaitu, ilmu hadis, ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh. Sunnah menurut para ahli hadist identik dengan hadist, yaitu segalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik perkataan, perbuatan, akhlak maupun ketetapan ataupun sifatnya. Sunnah menurut ulama ushul fiqh adalah segalah sesuatu yang diriwayatkan oleh Rosullullah berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang berhubungan dengan hukum. Sedangkan Sunnah menurut perspektif ulama fiqh adalah sikap hukum terhadap suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti, dengan pengertian diberi pahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya.[23]
 Terjadinya perbedaan pengertian Sunnah ini dilatar belakangi oleh perbedaan pemikiran masing-masing terhadap Sunnah. Sunnah menurut ulama ushul fiqh berpendapat Sunnah adalah sumber hukum, sedangkan dalam perspektif ulama fiqh merupakan salah satu dari lima bentuk hukum taklifi yang mungkin berlaku terhadap suatu perbuatan. Dalam pengertian ini Sunnah adalah sumber hukum bukan sebagai hukum. Sunnah berarti setiap sesuatu yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi Mmuhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, akhlak, sifat ataupun ketetapannya.[24]
            Terkadang kata Sunnah di sebutkan sebagai lawan kata bid’ah, maka maksud dengan menggunakan kata Sunnah adalah sesuatu yang disyariatkan secara mutlak, baik yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an maupun/ hadits. Adapun yang di maksud Sunnah disini adalah sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya. Sebagaimana Al-Qur’an, Sunnah tidak muuncul dalam satu waktu, tetapi secara periodik mengikuti fenomina umum dalam masyarakat atau mengikuti perkembangan turunnya syariat. Karenanya dalam banyak hal kita akan melihat bahwa Sunnah bertujuan manerangkan, merinci, membatasi dan menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi maksudnya dengan Sunnah Rasulullah SAW adalah kumpulan perkataan, perbuatan atau ketetepan yang dikeluarkan oleh Nabi SAW dan tidak diragukan bahwa Rasulullah SAW adalah penyampainya dari Allah SWT.  
Jika demikian Sunnah itu adalah penjelasan Al-Qur’an yang menjelaskan globalnya, membatasi kemutlakannya, dan menta’wili kesamarannya. Didalam Sunnah tidak ada sesuatu kecuali Al-Qur’an telah menunjukkan pengertiannya dengan penunjukan global (ijmaliyah) atau terperinci (tafsiliyah). Penunjukan itu dari beberapa segi, sebagiannya menunjukkan yang sangat umum yaitu kewajiban mengikuti Rasulullah SAW yang datang dari Al-Qur’an.

b. Macam-Macam Sunnah
            Sunnah dapat dikualifikasikan sebagai berikut:[25]
1. Al-Sunnah Al-Qauliyah yaitu perkataan Rasulullah yang didengar oleh para sahabat dan kemudian disampaikan kepada orang lain. Apa yang diucapkan Rasulullah itu bukan dalam konteks wahyu Al-Qur’an kaena Al-Qur’an juga lahir dari lisan Rasulullah yang disampaikan kepada para sahabatnya, kemudian disampaikan kepada orang lain. Apa yang diucapkan Rasulullah itu bukan dalam konteks wahyu Al-Qur’an karena Al-Qur’an juga lahir dari lisan Rasulullah yang disampaikan kepada para sahabatnya, kemudian disampaikan kepada orang lain. Dengan demikian Al-Qur’an dengan Sunnah qouliyah sama-sama muncul dari lisan Rasulullah, akan tetapi sahabat yang mendengarnya dapat memisakan antara Al-Qur’an dan Sunnah melalui metodeloginya.
2. Al-Sunnah Al-Fi'liyah yaitu perbuatan Rasulullah yang dilihat atau dikuatan oleh sahabat dan disampaikan kepada orang orang lain. Semua yang dinukilkan itu mempunyai kekuatan untuk ditauladani Untuk mengikat seluruh umat Islam. Namun dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara fuqaha. Sebagian fuqaha bahwa seluruh perbuatan Rasulullah adalah Sunnah yang mempunyai daya hukum untuk diikuti, sedangkan menurut sebagian yang lain perbuatan Rasulullah senang tiasa dipertimbangkan korelasi nya dengan prinsip wahyu dalam menetapkan suatu hukum.
3. Al-Sunnah Al-Taqririyah yaitu ucapan atau perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Rasul dan Rasulullah mengambil sikap diam, diamnya difahami sebagai persetujuannya atas perbuatan tersebut.

c. Kehujjahan Sunnah dalam Hukum
            Dalam Sunnah ada dua hal yang tidak dapat di ragukan lagi yaitu: Sunnah merupakan kunci membuka Al-Qur’an dan penerang yang memberi petunjuk untuk mengungkap hakikat dan mendalaminya secara mendetail. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah sumber syariat yang meliputi segalah macam ilmu[26], sebagai firman Allah:
$¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx«
Artinya:
“Tiadalah kami alpakan segalah sesuatupun dalam Al-Qur’an.”(Al-An’am:38)[27]
$uZø9¨tRur šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx«

Artinya:
“Dan kami turunkan padamu Al-Qur’an kepadamu untuk menjelaskan segalah sesuatu.”(An-Nahl:89)[28]

Oleh karena itu kita berpegang teguh dengan Sunnah dan mengamalkannya berarti kita telah mengamalkan kitap Allah. Ada yang berkata kepada Mutharri bin Abdullah: janganlah kalian bicarakan selain Al-Quran. Ia berkata: demi Allah kami tidak bermaksut mengganti Al-Qur’an tetapi kami orang lebih mengerti tentang Al-Qur’an. Al-Auza meriwayatkan Hadist Hisan bin Atiyah ia berkata: Wahyu diturunkan kepada Rasulullah dan jibril hadir dalam tahun penafsirannya, maka tidak akan keluar dari beliau baik berupa perkataan, perbuatan ataupun persetujuan kecuali dari wahyu, sebagai firman Allah:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Artinya:
“Tidaklah yang diucapkan itu meurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan kepadanya.” (An-Njm: 3-4)[29]

            Beberapa orang telah tersesat karena telah melempar dan meninggalkan Sunnah, dan berkata: dalam kitab Allah terdapat penjelasan terhadap sesuatu, jadi apa yang kami dapat dari Sunnah? Mereka menyangka pandangan keliru itu dapat menyampaikan mereka pada tujuan. Pandangan inilah yang menyebabkan kaum Rafidho dan Jahamiyah (salah satu aliran Syi’ah) terjerumus menyelisihi (berbeda pendapat) dengan ahli ijma’. Kaum Rafidho menolak hadis yang berbunyi:
نحن معا شرالأنبيا ءلأنور ثما تر كنا ه صد قه
Artinya:
“Kami sekalian para nabi tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan itu shadakah.”
 Lantaran keumuman firman Allah:

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& (
Artinya:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu”.(An-Nisa:11)[30]

Sedangkan kaum Jahamiyah menolak hadits tentang sifat-sifat Allah dengan ayat:
ليس كمثله شىء
Artinya:
Tidak ada suatu apapun yang menyerupai dengan Dia (Allah)”.

            Apa yang membuat kaum ini terpaku pada dhohir Al-Qur’an, mereka tidak mau mengambil petunjuk dari cahaya kenabian dan kerosulan? Padahal Al-Qur’an sendiri menyuruh mengikutinya dan mengancam menyelisihinya, firman Allah:

4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
Artinya:
 “Apa yang diberkan Kepadamu maka terimalah Dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”(Al-Hasyr:7)[31]

4 ÍxósuŠù=sù tûïÏ%©!$# tbqàÿÏ9$sƒä ô`tã ÿ¾Ín͐öDr& br& öNåkz:ŠÅÁè? îpuZ÷FÏù ÷rr& öNåkz:ÅÁムë>#xtã íOŠÏ9r& ÇÏÌÈ

Artinya:
“Maka hendaklah Orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan adzab yang pedih.”(An-Nur:63)[32]

                Ayat-ayat diatas menunjukkan atas kehujahan Sunnah dan kewajiban mengambil pelajaran darinya. Sementera itu kehujjahan Sunnah dapat dibuktikan melalui adanya Nash Al-Qur’an yang dengan tegas memerintahkan untuk mentaati Rasul, antara lain diungkap dalam surat:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$#
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman taatilah olehmu Allah dan taatila olehmu Rosul-Nya.( Al-Nisa’:59)[33]

d. Kedudukan dan Fungsi Sunnah Terhadap Al-Qur’an
            Maksudnya kedudukan di sini adalah hubungan dengan Al-Qur’an dari segi kehujjahan. Banyak ayat-ayat yang menunjukkan kehujjahan Sunnah dan sekarang yang perlu diketahui adalah kedudukan Sunnah berada setelah Al-Qur’an, posisi kedua setelah Al-Qur’an dengan beberapa pertimbangan:

1        Ketetapan Al-Qur’an itu secara qath’I (pasti) baik yang global maupun terperinci, sedangkan ketetapan Sunnah secara qath’I dalam masalah yang global dan masalah yang terperinci itu dzanni (sangkaan)
2        Hadits Mu’adz bin Jabal ketika itu ditanya: dengan apa kamu memutuskan suatu perkara? Ia menjawab dengan kitab Al-Qur’an. Kemudian nabi bertanya lagi, apabila tidak ditemukan disana? Ia menjawab dengan Sunnah Rasul itulah, diriwayatkan dari Umar bin Khatab.

            Jadi Sunnah adalah sumber hukum Islam kedua sesudah Al-Qur’an dan kedudukan Sunnah adalah menafsirkan Al-Qur’an dan menjadi pedoman melaksanakannya yang autentik terhadap Al-Qur’an. Adapun fungsi Al-Qur’an adalah[34]:

1.      As-Sunnah memberikan rincian terhadap pernyataan Al-Quran yang bersifat umum, misalnya Al-Qur’an memerintakan untuk sholat “dan dirikanlah sholat dan keluarkan zakat” (Al-Baqarah:110) yang dijelaskan/ bersifat secara umum kemudian sunnah menjelaskannya dengan merinci secara operasional seperti bacaan dan gerakannya nabi bersabda: sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat.
2.      As-Sunnah memberi batasan maksimal tentang wasiat “diwajibkan atas kamu apa bila seorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf ini adalah kewajiban orang-orang yang bertaqwa” (Al-Baqarah: 80), mengenai hal ini Sunnah memberi batasan sepertiga dari harta yang dimiliki, seperti yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Saad bin Abi Waqash ra, yang menyatakan Rasulullah tentang jumlah wasiat. Beliau  melarang memberikan wasiat seluruhnya, tetapi hanya menyetujui sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.
3.      As-Sunnah menguatkan hukum yang ditetapkan Al-Qur’an seperti menetapkan hukum berpuasa: “hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (Al-Baqarah: 183), dikuatkan oleh Sunnah dengan sabdah Rasul yaitu: “Islam didirikan di atas lima perkara, persaksian tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, puasa pada bulan Ramadhan, dan pergi haji ke baitullah bagi yang mampu”(HR. Bukhari dan Muslim) .

 Ijtihad Rasulullah dan Sahabat

       1. Ijtihad Rasulullah
Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dari Allah SWT. Sebagian ulama Asy’ariyah dan kebanyakan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muahammad SAW tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan tentang amaliah halal dan haram sedangkan ulama ushul seperti Abu Yusuf Al-Hanafi dan Al-Syafi’i membolehkannya. Sebagian sahabat Al-Syafi’i, Al-Qadhi ‘Abd al-Jabar, dan Abu Hasan Al-Bashri berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan ijtihad dalam perang bukan dalam bidang hukum[35].
Untuk menyebut sebuah contoh adanya ijtiahad nabi dalam masalah-masalah syar’iyah diantaranya adalah ijtihad nabi terhadap tawanan perang badar. Saat itu belum ada ketentuan nash yang menerangkan bagaimana seharusnya tawanan perang diperlakukan  Nabi SAW  menunggu turunya wahyu, tetapi belum juga turun. Dalam situasi yang sangat mendesak, nabi meminta pendapat Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Menurut Umar bin Kahatab , demi kemaslahatan , tawanan perang itu harus dibunuh . mereka adalah pimpinan dan jago-jago orang kafir yang jika dilepaskan akan membuat onar di tengah-tengah kaum muslim.
Abu Bakar melihat la melepas mereka itu lebih strategis bagi pengembangan kekuatan kaum muslim dari pada membunuh mereka secara konyol. “ya Rosul,” kata Abu Bakar, mereka itu adalah anak-anak dari keluarga dan teman-taman kita juga. Menurut pendapat saya, sebaiknya kita ambil fidyah (tebusan) saja dari mereka dan itu, tentu akan menambah income kita”[36].
Nabi Muhammad berijtihad memilih pendapat Abu Bakar setelah terlebih dahulu mempertimbangkan kemaslahatan. Kemudian turun Al-Qur’an yang memperingatkan nabi dan menerangkan bahwa dalam kondisi seperti itu pendapat umar lebih tepat.”tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Jika sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil "
Menurut sebagian ulama, Nabi Muhammad SAW tiadak berijtihad sebab perkataan, perbuatan, dan ketetapannya adalah al-Sunnah karena ini sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an dan juga berdasarkan firman Allah SWT:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Artinya:
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya."[37] (Al-Najm : 3 – 4)

Ikhtilaf di atas tersebut menimbulkan berbagai ulama mesir, Muhammad Salam Madkur mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan ijtihad dalam urusan keduniaan seperti ijtihad dalam urusan keduniaan seperti ijtihad beliau dalam mengatur strategi perang. Sedangkan menurut ibn Hazm, ibn Khaldun dan Al-Kamal ibn Al-Hamam berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW  melakukan shalat. Salah satu contohnya adalah ijtihad beliau tentang panggilan dan pemberitahuan untuk melaksanakan shalat. Bahwa sebagian sahabat menganjurkan bahwa sebaiknya menggunakan lonceng seperti lonceng nasroni, sebagian lagi menganjurkan menggunakan terompet seperti terompet Yahudi. Kemudian umar bertanya kepada Rasulullah “mengapa tuan tidak mengutus seseorang untuk mengajak shalat….?” Nabi Muhammad SAW bersabda “hal bilal, berdirilah ajaklah shalat”.

2. Ijtihad Sahabat
Daerah kekuasaan Islam makin lama makin luas, para sahabatpun tersebar di daerah perluasan, sehingga komunikasi langsung dengan nabi sering terhambat karena jarak mereka tinggal dengan nabi semakin jauh. Karnanya sebagian sahabat berijtihad sendiri. Diriwayatkan ada dua orang sahabat bepergian, ketika waktu sholat tiba mereka tidak mendapatkan air untuk berwudhu. Kemudian mereka sholat dengan bertayamum. Maka salah seorang mengulangi sholatnya dengan berwuhdu, karena waktu sholat belum habis, dan seorang lagi tidak mengulangi sholatnya karena beranggapan bahwa sholat tadi telah mencukupi. Ketika menghadap Rosul, masing-masing mereka mengisakan kejadian yang dialami. Terhadap yang tidak mengulangi sholat beliau berkata sungguh engkau telah berbuat sesuai Sunnah. Terhadap yang mengulangi sholat beliau berkata engkau mendapat pahala dua kali.[38]


C. KESIMPULAN
Hukum Islam pada era Rasul ada dua fase, yaitu fase Mekkah dan Madinah, dimana pada fase Mekkah Nabi Muhammad SAW hanya lebih menitik beratkan pada hukum masalah akidah, sedangkan pada fase Madinah barulah diterapkan hukum pergaulan atau kemasyarakatan dan ibadah.
Pada fase Mekkah Nabi Muhammad SAW cuma sedikit sekali membimbing orang yang sudah masuk Islam, sehingga pada fase ini beliau hanya dalam memperbaiki akidah sebab akidah adalah pondasi bagi amaliah ibadah. Perbaikan akidah ini diharapkan dapat menyelamatkan umat Islam dari kebiasaan membunuh, berzina, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Sedangkan hukum-hukum ibadat banyak disyari’atkan di Madinah, ibadat-ibadat yang di syari’atkan di Mekkah hanyalah yang mempunyai hubungan erat dengan akidah dan akhlak seperti: mengharamkan bangkai, yaitu binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah SWT.
Adapun sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an, as-Sunnah (hadits) dan ijtihad Nabi para Sahabat Nabi. Al-Qur’an adalah kitab suci yang berisi wahyu yang menjadi pedoman hidup manusia yang tidak ada peraturan di dalamnya’ as-Sunnah adalah suatu perbuatan yang beberapa kali yang dilakukan oleh nabi, kemudian terus menerus diikuti oleh sahabat. Di tinjau dari segi bentuknya Sunnah ada 3 yaitu: Fi’li, Qauli, dan Taqriri. Sedangkan ijtihad berarti mengerakkan segala daya intelektual untuk menyimpulkan hukum persoalan.


D. SKEMA



 




 






Down Arrow Callout: Periode
Down Arrow Callout: Sumber
 


                                                                                              














Rosul
 

Sahabat
 

 


























Daftar Pustaka

Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam. Jakarta. Sinar Grafika
Khotimah, Husnul. 2007. Penerapan Syari’ah Islam. Jogyakarta. Pustaka Pelajar
Ali As-Sayis, Muhammad. 2003. Tarikh Al-Islam Al-Islamiah (Sejarah Hukum       Islam). Jakarta. Pustaka Al-Kausar
Zuhri, Muh. 1996. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta. PT Raja Grafindo
Sirry, A Mun’im. 1995. Sejarah Fiqh Islam. Jakarta. Risalah Gusti
Bik, Khudari. 1980. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Surabaya. Darul Ikhya
Philip K. Hitti, 1974. History of  the Arabs, London: The Macmillan Press,
Departemen Agama. 2000. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung. Diponegoro
Departemen Agama. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Syaamil Cipta Media
   
   






[1] M Ali As-Sayiz. Sejarah Fifih Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar 2003), h, 19.
[2]. M Ali As-Sayiz, Sejarah Fifih……., h, 20.
[3]. A Mun’in Sirry, Sejarah Fiqih Islam,( Jakarta: Risalah Gusti, 1995), h, 23.
[4] Ibn Ishad. Sifat Rasul Allah Terjemah The Life Of Muhammad.(Karach: Oxfor Univ Press), h, 66.
[5] Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Rajagrafindo: persada,1996),
h, 14.
[6] Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila tahqiq al-Haqq min ‘Ilm Ushul, h. 29. 
[7] Fazlur Rahman, Islam terj, Ahsin Muhammad,(Bandung:Pustaka,1984), h.116.
[8] Philip K. Hitti, History of  the Arabs,(London: The Macmillan Press,1974), h, 126.
[9] Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri' al-Islami,terj Drs.Mohammad Zuhri(Darul Ikhya,1980), h, 5.
[10] Departemen Agama RI. Al Qur’an.......h, 22.
[11] Departemen Agama RI. Al Qur’an......h, 145.
[12]  Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan ........h, 479.
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan .........h, 37.
[14]Husnul Khatimah, Penerapan Syariah Islam, (Jogyakarta: Pustaka pelajar,2007),
h, 48.
[15] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan …….h, 219.
[16] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan …….h, 27.
[17] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan …….h, 67.
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan…….h, 96.
[19] Muh Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan……. h, 16.
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan…….h, 31.
[21] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:Syaamil Cipta Media 2005), h, 38.
[22] M Ali As-Sayis, Tarikh Al-Islam Al-Islamiah (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2003), h,  46.
[23] Husnul Khotimah, Penerapan Syari’ah……., h, 51.
[24] Husnul Khotimah, Penerapan Syari’ah ……, h, 52.
[25] Husnul Khotimah, Penerapan Syari’ah ……, h, 54.
[26] Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh Al-Islam …….h, 48.
[27] Departemen Agama RI. Al Qur’an……. h, 105.
[28] Departemen Agama RI. Al Qur’an……. h, 221.
[29] Departemen Agama RI. Al Qur’an……. h, 265.
[30]Departemen Agama RI. Al Qur’an……. hlm 62
[31]Departemen Agama RI. Al Qur’an……. hlm 436
[32]Departemen Agama RI, Al Qur’an……. h, 286.
[33] Departemen Agama RI, Al Qur’an……. h, 69.
[34] Husnul Khotimah, Penerapan…… h, 55.
[35]Husnul Khotimah. Penerapan…… h, 58. 
[36] A Mun’in Sirry, Sejarah Fiqih…….h,28.
[37] Departemen Agama RI, Al Qur’an……. h, 420.
[38] Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. (Jakarta. PT Raja Grafindo. 1996).h, 28.

3 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus
  2. assalamu'alaikum...
    saya izin copas...buat belajarr
    semoga ilmu yang anda berikan bermnafaat buat saya....
    trimakasih buanyak

    BalasHapus
  3. izin kopas gan..semoga ilmunya bermanfaat..

    BalasHapus