Sejarah hukum Indonesia mencatat bahwa wibawa hukum Islam terlihat dalam hukum tidak tertulis, dalam praktek ketatanegaraan,praktek sosial, praktek cultural dan dalam peraturan perundang-undangan. Sejalan dengan sejarah hukum Indonesia serta perkembangan enam teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, unsure-unsur dalam system hukum Pancasila terisi oleh unsure-unsur hukum Islam. Sistem hukum Pancasila adalah seperangkat kaidah huku dalam berbagai lapangan hukum yang merupakan bagian atau unsure daripadanya.Unsur-unsur itu bersumber dasar pada Pancasila yang saling berkait satu sama lainnya dan merupakan satu kesatuanpaduan hukum dalam satu wawasan Nusanara wilayah Negara Republik Indonesia.
Walaupun dalam praktek tidak lagi berperan secara penuh dan menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan para pemeluknya. Setidak-tidaknya ada tiga factor yang menyebabkan hukum Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa kita. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan unsur yurisprudensialdari hukum Islam telah diserap menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan hkum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai appeal cukup besar. [1]
B. Substansi Kajian
1. Pengertian Hukum Islam
Di Negara RI ini berlaku berbagai system hukum, yaitu system hukum adat, system hukum Islam dan system hukum barat baik dari Eropa daratan yang disebut civil law maupun yang berasal dari Eropa kepualauan yang dikenal dengan nama common law.
Kalau kita bandingkan keempat sisitem hukum itu, akan jelas bahwa hukum adat dan hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dengan agama, bahkan hukum Islam menjadi bagian dari agama Islam. Sedangkan kedua system hukum yang berasala dari Eropa, baik dari Eropa daratan maupun Eropa kepulauan, adalah hukum-hukum yang tidak mempunyai hubungan dengan agama bahkan menolak agama dalam system hukumnya yang didasarkan pada individualisme dan sekularisme.
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan merupakan bagian agama Islam. Sebagai system hukum, hukum Islam tidak boleh dan tidak dapat disamakan dengan keempat sistem hukum diatas, yang pada umumnya terbentuk dari kebiasaan masyarakat, hasil permufakatan dan budaya manusia disuatu tempat pada suatu masa. [2]
Berbeda dengan keempat system hukum yang lain itu, hukum Islam tidak hanya hasil permufakatan manusia yang dipengaruhi oleh kebudayannya disuatu tempat dan suatu masa, tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyunya yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai RasulNya melalui sunnah beliau. Dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum-hukum lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan hasil pemikiran atau manusia belaka. Perbedaan itu dapat dilihat pada ciri-ciri utama hukum Islam:
1. Bersumber dan merupakan bagian agama Islam. Oleh karenanya tidak dapat dipisahkan dari agama Islam yang menjadai sumbernya. Sebagai hukum yang sui generic (berbeda dalam jenis) ia mempunyai hubungan yang erat, berjalin berkelindang dengan aqidah (iman) dan akhlak yang merupakan komponen lain agama Islam.
2. Bersumber pada Al Quran dan Al hadist yang dikembangkan serta dirumuskan lebih lanjut oleh pemikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
3. Mempunyai 2 istilah, yaitu syariah dan fiqh. Dalam kepustakaan berbahasa Inggris, syariah diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang fiqh diterjemahkan dengan Islamic Yurisprudence. Dalam kepusatakaan hukum Indonesia kedua istilah itu dipergunakan, namun sering tidak dibedakan dengan jelas. Perkataan syariah dan fiqh dipergunakan silih berganti untuk menunjukkan pengertian yang sama. Penyebutan demikian memang ada dasarnya sebab kedua-duanya disebut dalam Al Quran, kedua-duanya mempunyai hubungan yang erat. Namun, untuk pembaharuan dan pengembangan hukum Islam, kedua istilah itu sebaiknya dibedakan, karena memang keduanya berbeda. Perbedaannya adalah:
a. Syariah terdapat dalam Al Quran dan kitab-kitab Hadist. Kalau kita bicara tentang syariah yang dimaksud adalah wahyu Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Fiqh terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Karena itu kalu kita berbicara tentang fikih yang dimaksud adalah oemahaman atau penalaran manusia yang emnuhi syarat tentang syariah.
b. Syariah bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada fikih karena didalamnya, menurut para ahli, termasuk juga aqidah dan akhlak. Fikih bersifat instrumental ruang lingkipnya terbatas pada apa yang bias disebut tindakan hukum.
c. Syariah adalah ciptaan atau ketetapan Allah serta ketentuan RasulNya. Karena itu syariah berlaku abadi sepanjang masa di mana saja. Fikih adalah karya manusia, yang dapat diubah dan berubah dari masa ke masa di tempat yang sama atau berbeda.
d. Syariah hanya satu, sedangkan fikih mungkin lebih dari satu seperti yang terlihat, misalnya, pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan madhab-madhab.
e. Syariah adalah menunjukkna kesatuan, sedangkan fikih menunjukkan keanekaragaman (dalam hukum Islam).
4. Ruang lingkup yang diatur oleh hukum Islam tidak hanya soal hubungan manusia dengan manusia dan berbeda serta penguasa dalam masyarakat, tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah. Hubungan manuisa dengan Allah disebut Ibadah, sedangkan hubungan antar manusia dengan manusia dan benda serta penguasa disebut muamalah. Dalam Ibadah, kata hubungan manusia dengan Tuhan ditetapkan oleh Allah, ditentukan oleh RasulNya secara rinci tidak boleh ditambah-tambah tau dikurangi. Sifatnya tertutup terhadap setiap pembaharuan atau modernisasi yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan ketentuan RasulNya. Yang mungkin hanyalah penggunaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya. Kaidah asalnya haram. Artinya dalam bidang Ibadah semua perbuatan dilarang dilakukan kalau untuk perbuatan itu tidak ada perintah Allah dan ketentuan RasulNya. Dalam muamalah ketentuan Allah tentang kehidupan manusia terbatas pada pokok-pokoknya saja. Ketentuan Nabi, kalaupun ada, tidak pula terinci seperti dalam bidang Ibadah. Olek karena itu, sifat terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat. Kaidah asalnya jaiz atau mubah. Artinya, semua perbuatan dalam bidang muamalah boleh dilakukan, kecuali mengenai perbuatan itu telah ada larangan Allah dan RasulNya. KArena itu, kecuali mengenai yang dilarang itu, kaidah atau normanya dapat saja berubah tergantung pada Illat atau penyebab perubahan itu, sesuai dengan perubahan zaman dan perbedaan tempat. Dalam bidang muamalah dapat saja dilakukan modernisasi atau pengembangan. Asal saja modernisasi atau pengembangan itu sesuai sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan jiwa ajaran Ilsam pada umumnya. [3]
Ciri hukum Islam terlihat juga pada tujuannya. Tujuan hukum Islam telah terlaksananya perintah Allah atau kehendak Allah dalam kehidupan individu dan siosial serta tidak terlanggar larangannya. Tujuan ini dirumuskan oleh Abu Ishak al-Syatibi yang diterima oleh ahli hkum Islam lainnya.Mneurut Staibi, tujuan hukum Islam ada 5, yakni memelihara agama jiwa, akal, keturunan dan harta. Pelaksanaannya sangat erat hubungannya dengan tingkat keimanan dan ketaqwaan seseorang. [4]
2. Sejarah Hukum Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan Belanda
Hukum Islam masuk ke nusantara bersama-sama dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Pelembagaan hukum Islam pertama-tama dilakukan oelh para saudagar muslim. Kemudian peningkatan efektifitas penamannya dilakukan oleh para ulama. Kitab tentang hukum Islam yang pertama dan tersebar ke seluruh Nusantara ialah Shirat al- Mustaqim yang ditulis ulama besar Nur al-Din. Selanjutnya kitab ini diberi komentar oleh ulama dan mufti dari Banjarmasin. Sementara itu, di kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel dan Mataram tersebar kitab tentang hukum Islam dengan judul Sajinat al-Hukm. Hukum Islam tumbuh serta berkembang seiring dengan tumbuh serta berkembangnya masyarakat Islam. [5]
Kemudian efektifitasnya dikukuhkan oleh berdirinya kerajaan dan kesultanan Islam. Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai suatu system hukum telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adapt istiadatpenduduk yang mendiami kepulauan Nusantara. Hukum Islam dapat tumbuh serta berkembang di samping hukum Adat, sebab adapt merupakan salah satu sumber hukum Islam. Kekuatan mengikat hukum Adat menurut ilmu hukum Islam sama dengan kekuatan mengikat syariah terhadap umat Islam. Hukum Adat sepajnang tidak bertentangan dengan syariah merupakan salah satu unsure hukum Islam. Menurut Subardi, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normative dalam kebudayaan Indonesia. Pengaruh itu merupakan penetrasi secara damai (penetration pasifique), toleran, dan membangun.
Proses penetrasi yang dilakukan oleh para penjajah terhadap masyarakat Indonesia, yang ada pada waktu itu, mengakibatkan perubahan struktur masyarakat Indonesia. Proses penetrasi itu dilakukan secara bertahap, ehingga makin lama makin mendalam.
Tahap-tahap tersebut adalah :
- Tahap pertama (1600-1800) diallui dalam bentuk kontrak antara pedagang dengan raja-raja sehingga perjanjian itu sekaligus merupakan perjanjian dengan raja-raja. Keaaan ini berlangsung pada awal abad ke-17 dan tingkat penyusupan baru sampai pada lapisan atas masyarakat Indonesia.
- Ketika kemudian politik pemerintah penjajah pada sekitar tahumn 1800 bergeser ke arah pemanfaatan struktur foedal bagi tujuan ekonomi, maka tahap penetrasi mulai memasuki tingkat lebih rendah lagi, yaitu tingkat propinsi (1830). Berbagai perjanjian dilakukan dalam bentuk kontrak dengan para bupati.
- Pada pertengahan abad ke-19 (1870), penetrasi mulai masuk lebih dalam lagi sampai ke tingkat desa dalam bentuk-bentuk perjanjian yang diadakan antara residen dengan kepala desa. Perjanjian itu diadakan dalam rangka pemanfaatan pola masyarakat foedal untuk melaksanakan cultuur stelsel, sebagai pengganti dari system landelijk stelsel yang gagal.
Perkembangan politik hukum pemerintah penjajah seirama dengan perkembangan politik penjajahan atau proses-proses tersebut. Sementara itu, semenjak sebelum tahun 1800 dan beberapa tahun sesudahnya telah diakui oleh para ahli hukum dan kebudayaan Belanda, bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam.
L. W. C van den Berg mengatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab ia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Maka politik hukum pemerintah penjajah pada sekitar abad ke-19 dan sebelumnya terhadap hukum Islam dan peradilannya ialah bahwa terhadap orang Islam diberlakuakn hukum Islam.[6]
Pada masa VOC pemerintah VOC memrintahkan D. W. Freijer untuk menyusun compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Hasil kerja Freijer tersebut setelah mendapat koreksi dari para ulama dan penghulu, kemudian terkenal dengan nama Compendium Freijer, dan dijadikan sebagai pegangan oleh pengadilan dalam menyelesaikan perkara-perkara antara umat Islam. Di samping compendium itu, masih terdapat buku-buku hukum Islam antara lain Kitab Hukum Mugharraer, terjemahan dari kitab al-mughrrar karya Imam al-Rifa’i yang dipergunakan oleh Landraad Semarang untuk memutus perkara perdata dan pidana yang terjadi dikalangan rakyat penduduk wilayah itu.
Sebenarnya pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19 hendak manata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Politik hukum ini didorong oleh keinginan untuk melaksanakan kodifikasi hukum yang terjadi di Belanda pada tahun 1838. Untuk melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda mengangkat suatu komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Harlem yang bertugas antara lain meneyesuaikan undang-undang Belanda itu dengan keadaan di Hindia Belanda.
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda itu, Mr. Scholten menulis sebuah nota kepada pemerintah Belanda.
Setelah penjajah melakukan penetrasi sampai ke desa, politik hukum pemerintah Belanda dan Hindia Belanda terhadap hukum Islam, berubah tahap demi tahap.Perubahan itu dilakukan secara sistematis. Pemerintah colonial mencita-citakan agar Indonesia mengalami transisi menuju dunia modern, yang tidak bercorak Islam dan tidak dikuasai oleh adat. Mereka mengharapkan Indonesia pada suatu saat menjadi Indonesia ala Barat. Hukum Islam tahap demi tahap diperlemah dan terakhir disingkirkan sama sekali dari tata hukum Hindia Belanda. Hal ini sesuai dengan saran Snouck Hurgronje, agar pengaruh Islam di Indonesia dibatasi hanya masalah-masalah Ibadah saja. Untuk itu pemerintah Hindia Belanda mempertentangkan antara adat dengan hukum serta antara ulama dengan kepala adat yang semula hidup berdampingan secara damai. Dalam hal ini, pemerintah memihak pada adat dan kepala adat. Oleh karena itu hukum Islam diakui berlaku apabila telah diterima oleh hukum Adat. Politik hukum pemerintah Hindia Belanda tersebut terlihat dalam pembaharuan asal 75 ayat (3) RR Staatsblad 1855 Nomor 2. [7]
Sejarah hukum pada zaman Hindu Belanda mengenai kedudukan hukum Islam dapat dibagi atas dua periode :
Pertama, periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya yang disebut reseptio in complexu, yaitu periode berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam karena mereka memeluk agama Islam.
Kedua, Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat yang kemudian disebut teori receptie, artinya bahwa hukum Islam itu berlaku apabila diterima atau dikehendaki oleh hukum adat. Teori ini diberi dasar hukum dalam undang-undang dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti RR. Oleh karena itu, tahun 1929 hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda.
Belanda ingin menguatkan kekuasaannya di bumi Nusantara ini serta berusaha menjauhkan hukum Islam dari masyarakat Islam dengan dasar teori tersebut. Usaha-usaha kaum Muslimin Indonesia untuk memasukkan kembali hukum Islam ke dalam tata hukum Indonesia terbuka luas setelah terbentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan bersidang pada zaman penjajahan Jepang.
Pemimpin-pemimpin Islam memperjuangkan kembali hukum Islam dengan kekuatan hukum Islam itu sendiri tanpa hukumannya dengan hukum adat. [8]
3. Hukum Islam pada Awal Kemerdekaan
Pada masa pendudukan Jepang boleh dikatakan tidak ada perubahan politik hukum pemerintah terhadap hukum Islam. Menjelang proklamasi kemerdekaan, politik hukum pemerintah Hindia Belanda telah melahirkan pakar-pakar yang berfaham sekuler. Tetapi disamping itu masih terdapat para ulama dan para tokoh Islam yang bercita-cita untuk menjadikan hukum Islam atau setidak-tidaknya menjadi sumber atau dasar bagi umat Islam.
Faham sekuler berpendirian bahwa sekularisasi hukum merupakan cirri dari system politik modern. Hal itu didasarkan atas dua alasan. Pertama, hukum agama akan mengurangi kewenangan badan legislative yang merupakan inti dari Negara modern, atau dengan kata lain akan mengurangi kedaulatan Negara. Kedua, hukum agama akan menghalangi tuntutan perubahan masyarakat, sebab hukum agama itu bersifat statis.
Ketika pembentukan UUD RI yang akan diproklamasikan, dua paham tersebut berhadap-hadapan. Akhirnya disepakati bahwa dasar Negara RI adalah Pancasila, di mana sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Semula sila ini disepakati berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syaria’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Perubahan itu atas dasartoleransi para ulama dan tokoh Islam demi untuk kesatuan dan persatuan bangsa dan kelestarian Negara RI yang baru diproklamasikan dan menghadapi musuh tentara sekutu serta Belanda.
Hal itu mengakibatkan terpecahnya pandangan para pemimpin Indonesia menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa setelah dicoretnya tujuh kata dari Piagam Jakarta dan diganti menjadi Ketuhanan Yang MAha Esa berarti system hukum Islam tidak otomatis berlaku di Indonesia. Hukum nasional di masa mendatang adalah hukum yang bahan-bahnnya terdiri atas hukum Barat, hukum Adat, dan hukum Islam. Hukum Islam baru berlaku dengan Pancasila dan UUD 1945. [9]
Kelompok kedua yang ditokohi oleh Prof. Dr. Hazairin berpandangan bahwa hukum nasional yang akan datang seharusnya adalah :
- Dalam Negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu bagi orang-orang yang beragama Hindu Bali, atau yang bertentangan dengna kesusilaan agama Budha bagi yang beragama Budha.
- Negara RI wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, suariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu Bali bagi orang Hindu Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara.
- SSSyariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankan dan oleh karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.
- Jika karena salah tafsir atau oleh karena dalam kitab-kitab agama, mungkin secara menyelip, dijumpai suatu peraturan yang bertentangan dengan sila ketiga, keempat, dan kelima dari Pancasila, maka peraturan agama yang demikian itu, wajib dinonaktifkan.
- Hubungan suatu agama dengan sila kedua dalam Pancasila dibiarkan kepada norma-norma agama itu sendiri, atau kepada kebijaksanaan pemeluk-pemeluk agama itu. Maksudnya ialah suatu norma dalam sila kedua itu yang bertentangan dengan norma suatu agama atau dengan faham umum pemeluk-pemeluknya berdasarkan corak agamanya, tidak berlaku bagi mereka.
- Rakyat Indonesia yang belum termasuk ke dalam agama-agama yang empat tersebut, yaitu rakyat yang memuja roh nenek moyang dan makhluk rendah, seperti pohon-pohon, binatang dan ciptaan khayal, ditundukkan dalam sila-sila ke-2, ke-3, ke-4, ke-5 dalam menjalankan kebudayaan uyang normative yang ditimbulkan oleh pergaulan hidup mereka yang lazimnya disebut adat mereka (hukum adat, kesusilaan kemasyarakatan dan kesenian tradisional).[10]
Sebenarnya kedua kelompok itu sepakat bahwa masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 ialah masyarakat yang adil dan makmur yang merata material dann spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara kesatuan RI yang merdeka, betdaulat, bersatu dan berkdaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai. Mereka sepakat bahwa suber dari segala sumber huku adalah Pancasila yang dijabarkan oleh UUD 1945. Namun, mereka berbeda pandangan mengenai kedudukan syaria’at dan hukum Islam dalam masyarakat yang dicita-citakan tersebut.
Kelompok pertama berpendirian bahwa syari’at dan hukum Islam hanya merupakan salah satu bahan hukum Nasional, tetapi tidak mengikat. Hukum Islam mengikat kalau sudah diterima oleh hukum Adat. Sementara itu, kelompok kedua berpendirian bahwa masyarakat yang dicita-citakan tersebut, wajib menjalankan syari’at bagi umat Islam yang keberlakuannya memerlukan bantuan Negara, atau setidak-tidaknya hukum yang dibuatnya tidak bertentangan dengan syari’at. Kedudukan hukum Islam sejajar dengan hukum Adat. Keberlakuannya memerlukan undang-undang.
Sejak kemerdekaan hingga tanggal 5 juli 1959, politik hukum pemerintah terhadap hukum Islam tergantung kepada elite politik yang menguasai pemerintahan, karena politik hukum berdasarkan UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUDS belum pernah dijabarkan. Dalam praktik kenegaraan pada masa itu, tampak politik hukum brdasar visi dari kelompok pertama yang dominant.
Pada masa Orde Lama, yaitu setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, politik hukum pemerintah terhadap hukum Islam tampak lebih maju. Unsur-unsur hukum agama termasuk hukum Islam diindahkan, sebagaimana politik hukum Belanda pada tahun 1919. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 5 UUD Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. [11]
4. Hukum Islam Orde Baru
Dari GBHN selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama itu, tidak dapat secara tegas bagaimana politik hukum pemerintah Orde BAru terhadap hukum Islam. Yang dapat ditangkap dari GBHN-GBHN selama PJP I itu antara lain, bahwa pembangunan hukum Indonesia didasarkan pada sumber tertib hukum sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945; pembaharuan, kodifikasi dan unifikasi di bidang-bidang hukum tertentu, dan bahwa dalam pembaharuan hukum harus memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
Kedudukan syari’ah dalam pembangunan hukum sepenuhnya tergantung pada pandangan terhadap syari’ah dalam tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Menurut pandangan kelompok pertama, syari’ah tidak merupakan sumber hukum bagi hukum yang diperlukan bagi umat Islam. Sedangkan kelompok kedua berpendirian, bahwa syari’ah merupakan sumber hukum nasional sebagaimana ketentuan pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu dalam proses pembentukan undang-undang kedua kelompok itu selalu berhadapan. Hal ini dapat kita kaji dari proses pembahsan Rancangan Undang-Undang Perkawinan (1974) dan Rancangan Undang-undang Peradilan Agama (1989). Dari kedua undang-undang tersebut dapat diperoleh kesan bahwa syari’ah dan hukum Islam dapat merupakan salah satu sumber hukum Nasional secara kangsung, tabpa melalui hukum Adat.
Dalam GBHN 1993, politik hukum pemerintah terhadap hukum Islam tampak lebih jelas, sebab salah satu asas dalam pembanguan, termasuk pembangunan hukum adalah keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang MAha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral, dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.[12]
Di samping itu, dalam pembentukan hukum perlu didindahkan ketentuan yang memenuhi nilai filosofis, yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran; nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat; nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturann perundang-undangan yang berlaku. Maka dalam pembentukan hukum di masa yang akan datang, syari’ah merupakan pengendali dan sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral, dan etik.
5 Situasi Hukum Islam di Indonesia pada Masa Sekarang
Pada zaman kemerdekaan, hukum Islam pun melewati dua periode:
Pertama, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasive,
Kedua, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoritatif.
Sumber persuasuif dalam hukum konstitusi ialah sumber hukum yan gbaru diterima orang apabila ia telah diyakini.Dalam konteks hukum Islam, Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI merupakan persuasive source bagi grondwet-interpretatie dari UUD 1945 selama 14 tahun.
Hukum Islam baru menjadi authoritative source (sumber hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum) dalam hukum tata negara ketika ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959. [13]
Politik hukum negara RI barulah memberlakukan hukum Islam bagi pemeluknya oleh Pemerintah Orde Baru sebagaimana dibuktikan dengan diundangkannya UUP No.1/1974 tentang perkawinan.
Berdasarkan ciri-ciri khas hukum Islam dalam kesejarahannya itu pembinaan hukum Islam di Indonesia harus diarahkan kepada hal-hal berikut:
Para jurist Muslim harus bersedia membatasi lingkup daerah kehidupan yang dijangkau oleh hukum Islam yang diikuti oleh perumusan prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum agama yang lebih mencerminkan kebutuhan masa. Untuk merealisasikan hal itu diperlukan fungsionalisasi efektif lembaga-lembaga yang ada serta upaya penyusunan metodologi hukum yang sesuai dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia dalam rangka pembentukan dan unifikasi hukum Islam ala Indonesia. [14]
Kedudukan hukum Islam dalam Negara RI, tidak hanya secara umum ada dalam pasal 20 atau 24 UUD 1945 (disamping hukum-hukum lainnya), tetapi secara khusus tercantum di dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945.
Menurut Prof. Hazairin, kaidah fundamental dalam pasal 29 ayat (1) itu dapat ditafsirkan dalam enam kemungkinan. Tiga diantaranya yang relevan dengna pembicaraan ini, intinya adalah :
- Dalam Negara RI tidak boleh ada atau tidak boleh berlaku hukum yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama yang berlaku bagi pemeluk agama. Tafsir pertama ini telah dipergunakan sebagai pembenaran atas penolakan umat Islam terhadap Rancangan Undang-undang Perkawinan yang diajukan oleh Menteri Kehakiman pada tahun 1973, karena di dalam RUU tersebut terdapat 19 butir masalah yang bertentangan dengan hukum Islam. Di antaranya yang dirumuskan dalam pasal 2. Konsep dan rumusan ini sepenuhnya menurut pola hukum Barat yang individualis dan sekuler, yang memandang perkawinan hanyalah hubungan perdata saja antara seorang pria dengan seorang wanita, tidak ada kaitannya dengan agama. Menurut hukum Islam perkawinan hanyalah sah apabila dilakukan setelah syarat dan rukunnya dipenuhi. Pencatatan perkawinan menurut fikih bukanlah rukun yang menentukan kesahan perkawinan, walaupun pencatatan itu perlu dan memang berguna unutk krmaslahatan suami istri atua untuk kepentingan administrasi perkawinan dalam rangka memlihara ketertiban umum atau kepentingan suami istri itu sendiri dan anak-anaknya di kemudian hari.
- Negara wajib menjalankan syari’at semua agama yang berlaku di Indonesia, kalau untuk menjalankan syari’at itu memerlukan bantuan kekuasaan Negara. Ini berarti bahwa Negara wajib mengatur dan menjalankan hukum yang berasal dari ajaran agama untuk kepentingan bangsa Indonesia (yang menjadi pemeluk agama bersangkutan) kalau pelaksanaannya memrlukan bantuan penyelenggara Negara. Artinya adalah, Negara berkewajiban menjalankan syari’at agama untuk kepentingan pemeluk agama yang diakui keberadaannya dalam Negara RI. Syari’at yang berasal dari agama Islam, misalnya, yang disebut syari’at Islam, tidak hanya memuat hukum-hukum shalat dan sembahyang, zakat, puasa, dan haji saja, tetapi juga mengandung “hukum dunia” baik perdata maupun public yang memerlukan kekuasaan Negara untuk menjalankannya secara sempurna. Yang dimaksud misalnya, hukum harta kekayaan, hukum waqaf, penyelenggaraan ibadah haji, pelanggaran-pelanggaran hukum perkawinan dan kewarisan, pelanggaran aturan pidana Islam seperti pezinaan, yang memrlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan Agama) untuk melaksanakannya. Peradilan (khusus) ini harus dapat diadakan oleh negara dalam rangka pelaksanaan kewajibannya dalam menjalankan syari’at yang berasal dari agama Islam untuk kepentingan umat Islam yang menjadi warga Negara RI. Syari’at Islam yang berjalin berkelindangdengan keimanan dan kesusilaan (akhlak dan moral) itu sangat penting ditegakkan dalam rangka menegakkan norma hukum yang berasal dari agama Islam. Menurut Hazairin juga Negara RI adalah Negara yang yan gberdiri atas keinsyafan keseimbangan anatara hukum dan moral (hukum dan akhlak atau kesusilaan). Oleh karena itu, antara keduanya tidak dapat diceraipisahkan. Menurut beliau, hukum tanpa kesusilaan atau moral adalah kedhaliman; sedangkan kesusilaan tanpa hukum adalah anarkhi atau utopi. Pelaksanaan hukum tanpa kesusilaan atau moral akan menjurus keperikebintangan. Hanya hukum yang didukung oleh atau berakar pada kesusilaan yang dapat menegakka perikemanusiaan. Falsafah kesenyawaan antara keduanya, tercermin dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang mengandung makna bahwa negara, bangsa, dan masyarakat Indonesia harus mematuhi norma Ilahi yang meliputi juga norma hukum dan orma kesusilaan. Oleh karena itu, kata beliau, di dalamnegara RI tidak boleh dibiarkan berkembang kesusilaan (akhlak/moral) yang bertentangan dengan syari’at agama.
- Syari’at yang tidak memerlukan kekuasaan Negara untuk melaksanakannya karena dapat dijalankan sendiri oleh setipa pemeluk agama yang bersangkutan (seperti shalat dan puasa bagi umat Islam), menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri untuk menjalankannya menurut ketentuan agamanya masing-masing. Ini berarti bahwa hukum yang berasal dari agama yang diakui di Indonesia dapat dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (contohnya hukum shalat, puasa tersebut diatas) menurut kepercayaan pemeluk agama itu. [15]
Dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional, kedudukan hukum Islam itu juga jelas. Ini dapat dibaca dalam GBHN dan Rencana Pembangunan Lima Tahun Bidang Hukum. Juga dapat diikuti pernyataan Menteri Kehakiman, sebagai pemegang kebijakan politik hukum di Negara RI ini. Pada pembukaan Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981, Menteri Kehakiman Ali Said menegaskan bahwa di samping hukum Adat dan hukum eks Barat, hukum Isalm yang merupakan salah satu komponen tata hukum Indonesia, menjadi salah satu bahan baku pembentukan hukum nasional Indonesia. Penegasan Menteri Kehakiman itu dikemukakan kembali oleh penggantinya Menteri Kehakiman Ismail Saleh pada tahun 1989, dengan uraian yang lebih jelas dan rinci.
Dan oleh karena hukum Islam itu memgang peranan penting dalam membentuk masyarakat serta membina ketertiban social uamt Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jaln terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional, sepanjang ia, menurut Menteri Kehakiman, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 dan relevan dengan kebutuhan hukum khusus umat Islam. Menurut Menteri Kehakiman, cukup banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang dapat dipergunakan dalam menyusun hukum nasional.
Dari kata-kata yang diucapkan oleh menteri kEhakiman tersebut di atas, kedudukan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional menjadi jelas. Di samping hukum-hukum yang lain, hukum Islam akan menjadi sumber bahan baku penyusun hukum Nasional Indonesia. Ini berarti bahwa sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu sumber bahan baku dalam pembentukan hukum Nasional, hukum Islam sesuai dengan kemauan dan kemampuan yang ada padanya, dapat berperan aktif dalam proses pembinaan hukum Nasional. Kemauan dan kemampuan hukum Islam itu harus ditunjukkan oleh setiap orang Islam, baik pribadi maupun kelompok yang mempunyai komitmen terhadap Islam dan ingin hukum Islam berlaku bagi umat Islam dalam Negara RI. [16]
Umat Islam dimaksud, merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendapat egalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di Indonesia. Oleh karena itu, umat Islam tidak dapat diceipisahkan dengan hukum Islam yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum islam di Indonesia bila dilihat dari aspek perumusan dasar Negara yang dilakuakn oleh BPUPKI, yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukan hukum Islam dalam Negara Indonesia merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri Negara bahwa Negara berdasar pada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa”.
Pengganti kata dimaksud, menurut Hazairin seperti yang dikutip oleh muridnya (H. Mohammad daud Ali) mengandung norma dan garis hukum yang diatur dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa Negara RI berdasarkan atas Ketuhaan Yang Maha Esa. Hal itu hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut :
- Dalam Negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah hukum Islam bagi umat Isalm, kaidah agama Nasrani atau agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Buddha bagi orang Buddha. Hal ini berarti di dalam wilayah Negara RI ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan.
- Negara RI wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasan Negara. Makna dari penafsiran kedua adalah Negara RI wajib menjalankan dalam pengertian menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelengara Negara. Artunya, penyelenggara Negara berkewajiban menjalankan syariat yang dipeluk oleh bangsa Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama bersangkutan. Syariat yang berasal dari agama Islam misalnya, yang disebut syariat Islam, tidak hanya memuat hukum shalat, zakat, puasa, haji melainkan juga mengandung hukum dunia baik keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan Negara untuk menjalankannya secara sempurna.
- Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya. Oleh karena itu, dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari suatu agama yang diakui di Negara RI yang dapat dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan biarkan pemeluk agam tu sendiri yang melaksanakannya menurut kepercayaan agamanya masing-masing. [17]
Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena akan bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia itu sendiri. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :
''Peradilan Syariah Islam di Provinsi (Nanggroe Aceh Darrussalam) merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum''.
Hukum Islam berasal dari Al Quran, sedangkan hukum di Indonesia berasal dari Pancasila dan UUD 1945. Dalam hukum Islam, berzina dihukum rajam, sedangkan di Indonesia berzina hukumannya adalah penjara, jadi dalam hukum Islam tidak mengenal penjara, karena dalam penjara tidak ada penghapusan dosa sebagai ganti hukuman di akhirat. Apabila di dunia orang yang bersalah telah dihukum sesuai syariat Islam, maka di akhirat orang tersebut sudah tidak diproses lagi, karena telah diproses sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kitab-Nya, Al Qur'an.
Di dalam Al Quran surat Al Maidah 5 :44
اليوم أحل لكم الطيبت وطعام الذين أوتوا الكتب حلٌ لكم وطعامكم حلٌ لهم والمحصنت من المؤمنت والمحصنت من الذين أوتو الكتب من قبلكم إذآ ءاتيتموهن أجورهن محصنين غير مسحفين ولا متخدى أخدانٍ ومن يكفر بالإيمن فقد حبط عمله، وهو فى الأخرة من الخسرين{5}
Artinya:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum0hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk oran-orang merugi”.( Al Maidah 5 :44)[18]
Maksudnya barangsiapa yang memutuskan sesuatu tidak dengan yang Allah turunkan, maka termasuk orang yang kafir. Demikian juga dalam ayat 45, dan 47. Jadi umat Islam harus menegakkan hukum syariat Islam secara keseluruhan, karena Allah telah memerintahkan agar ummat-Nya masuk Islam secara keseluruhan.
Sesungguhnya ''membuat hukum'' itu ''bukanlah hak manusia'', melainkan '''hak Allah''.
Jadi manusia yang membuat hukum telah '''merampas hak Allah'''. Sudah sepantasnya Allah murka kepada manusia, karena telah mengambil hak-Nya. Sebagai manusia saja kita akan marah apabila hak kita diambil orang lain, padahal kita semua tahu kalau semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, kita tidak mempunyai hak sedikitpun atas apa yang ada di dunia. Bahkan nafas ini pun bukan punya kita, alangkah miskin dan hina manusia apabila yang dikejar hanya kebahagiaan bumi/dunia saja.
Hukum Islam akan tegak apabila umat Islam Indonesia telah paham dan sadar pentingnya berhukum Islam. Karena bumi ini adalah ciptaan Allah, tidak ada secuil tanah pun di dunia ini yang bukan ciptaan Allah. Maka wajar kalau hukum yang seharusnya berlaku di dunia ini adalah hukum Allah. Saya mengibaratkan sebuah rumah, anggap saja rumah itu adalah rumah Anda, tentu hukum yang berlaku di rumah tersebut adalah hukum yang Anda buat sendiri. Apabila ada orang, teman Anda misalnya, masuk rumah Anda dan sangat menjengkelkan karena menerapkan hukum yang berlaku di rumah teman Anda tersebut di rumah Anda. Sudah pasti Anda akan marah, karena seharusnya hukum yang berlaku di rumah tersebut adalah hukum Anda karena itu rumah Anda.
Begitu juga di dunia, saya ambil contoh Indonesia karena sedang membahas hukum Islam di Indonesia, hukum yang seharusnya berlaku adalah hukum Allah karena dunia ini milik Allah. Namun kebanyakan manusia tidak menyadari hal tersebut. Hukum Allah ada di dalam Al Quran, jadi manusia wajib menjalankan hukum yang ada di dalam Al Quran. Karena tujuan manusia di dunia ini adalah ibadah. Apa itu ibadah? Ibadah adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Perintah Allah ada dalam Al Quran, jadi Ibadah dengan kata lain adalah menjalankan Al Quran.
Fungsi Al Quran adalah petunjuk, penjelas, dan pembeda
ذالك الكتب لاريب فيه هدًى للمتقين{2}
Artinya:
“Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. (QS. Al Baqarah 2:185) [19]
Sebagai petunjuk, ibaratkan sebuah papan petunjuk yang ada di jalan, maka kita harus membaca petunjuk tersebut dan memahami isi dari petunjuk tersebut. Namun, petunjuk itu tidak hanya sekedar dibaca dan dipahami saja atau kita baca petunjuk tersebut sampai ribuan kali bahkan jutaan kali.
Itulah sebabnya ada fungsi Al Quran yang kedua, yaitu penjelas. Kita akan jelas dengan petunjuk tersebut apabila kita telah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, jadi yang kita lakukan adalah mengaplikasikan petunjuk tersebut, yaitu dengan mempraktekannya. Namun, dalam praktek kita juga harus memperhatikan petnjuk tadi. Percuma kita mempraktekkan kalau tidak sesuai dengan petunjuk. Maka kita harus menjalankan hukum Islam secara keseluruhan. Ibarat petunjuk, kita akan pergi ke Jakarta dan melihat papan petunjuk yang tertulis "JAKARTA 100 Km", namun kita hanya menempuh jarak 990 Km, tentu kita belum sampai pada tujuan kita. Maka dari itu kita harus sesuai petunjuk yaitu Al Quran.
C. KESIMPULAN
Hukum Islam masuk ke nusantara bersama-sama dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Pelembagaan hukum Islam pertama-tama dilakukan oleh para saudagar muslim. Kemudian peningkatan efektifitas penamannya dilakukan oleh para ulama. Kitab tentang hukum Islam yang pertama dan tersebar ke seluruh Nusantara ialah Shirat al- Mustaqim yang ditulis ulama besar Nur al-Din. Selanjutnya kitab ini diberi komentar oleh ulama dan mufti dari Banjarmasin. Sementara itu, di kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel dan Mataram tersebar kitab tentang hukum Islam dengan judul Sajinat al-Hukm. Hukum Islam tumbuh serta berkembang seiring dengan tumbuh serta berkembangnya masyarakat Islam.
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan merupakan bagian agama Islam. Sebagai system hukum, hukum Islam tidak boleh dan tidak dapat disamakan dengan keempat sistem hukum di Eropa, yang pada umumnya terbentuk dari kebiasaan masyarakat, hasil permufakatan dan budaya manusia disuatu tempat pada suatu masa. Ruang lingkup yang diatur oleh hukum Islam tidak hanya soal hubungan manusia dengan manusia dan berbeda serta penguasa dalam masyarakat, tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah.
D. SKEMATIKA
[1] JUHAYA S. PRAJA, Hukum Islam di Indonesia pemikiran dan praktek, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1991),hlm, 51
[2] Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, Logos, 1998), hlm, 41.
[3] Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia…….,hlm, 41-43.
[4] Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia…….,hlm, 44.
[5] Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia…….,hlm, 69-70.
[6] Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia…….,hlm, 70.
[7] Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia…….hlm 72-74.
[8] Zainuddin, Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Palu, Sinar Grafika, 2006)hlm 50-51.
[9] Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, Logos, 1998),hlm, 75-76.
[10] JUHAYA S. PRAJA, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung, Logos, 1991),hlm, 65.
[11] Taufiq, Dkk, Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung:Logos, 1998), hlm, 77-79.
[12] Taufiq, Dkk, Hukum Islam dalamTatanan Masyarakat Indonesia.......,hlm, 86-87.
[13] Taufiq, Dkk, Hukum Islam dalam tatanan masyarakat Indonesia…….hlm, 96-97.
[14] Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, (Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 1991),hlm, 70.
[17] Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Palu; Sinar Grafika, 2006),hlm, 85-86.
[18] DEPAG RI Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelengara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971),hlm, 158.
[19] DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya …….,hlm, 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar