baca selengkapnya di : http://www.poetra-anoegrah.co.cc/2010/04/cara-mengubah-judul-blog-dengan-judul.html#ixzz1Ie8isVZF

Klik Kanan

Senin, 18 Oktober 2010

DINAMIKA PERKEMBANGAN TARIKH TASYRI’ PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN SERTA BERBAGAI FAKTOR SITUASIONAL DAN KONDISIONAL YANG MEMPENGARUHINYA


A. Pendahuluan
Dengan wafatnya nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat Jibril baik waktu beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan Sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah.[1]
Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak mungkin ganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpim masyarakat Islam dan kepala negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti nabi Muhammad sebagai kepala negara dan pemimpin umat Islam ini disebut khalifah.
Demikianlah untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad sebagai pemimpin umat dan kepala negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sahabat nabi sendiri. (Sahabat artinya teman, rekan, kawan. Sahabat nabi adalah orang yang pernah semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan nabi Muhammad dalam menyebarluaskan ajaran Islam). Dari kalangan sahabat nabi yang terkemuka pada waktu itu terpilih Abu Bakar Siddiq menjadi khalifah pertama, setelah beliau meninggal dunia, berturut-turut menjadi khalifah kedua, ketiga, keempat adalah Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarah Islam, para khalifah yang empat ini terkenal dengan sebutan al-khulafa rasyidin yang artinya para khalifah yang memimpin umat Islam ke jalan yang benar.



B. Substansi Kajian
1. Dinamika Perkembangan Sejarah Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin
Masa khulafaur rasyidin ini sangat penting dilihat dari  perkembangan hukum Islam karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli hukum Islam di zaman mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan menerapkan hukum Islam pada waktu itu.[2]
1.Abu Bakar Shiddiq beliau adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Beliau memerintah  dari tahun 632 sampai 634 M. Sebelum masuk Islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam yang ternama. Dan karena hubunganya yang sangat dekat dengan nabi Muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lain. Karena itu pemilihanya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.
Banyak tindakanya yang dicatat dalam sejarah Islam, namun yang penting dalam tulisan ini adalah: (1) pidato pelantikannya yang antara lain berbunyi sebagai berikut: “Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala negara, tetapi aku bukanlah yang terbaik diantara kita sekalian. Karena itu, jika aku melakukan sesuatu yang benar ikuti dan bantulah aku tetapi jika aku melakukan kesalahan, perbaikilah, sebab, menurut pendapatku menyatakan yang benar adalah amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianatan. “Selanjutnya beliau berkata ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya. Jika aku tidak mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan aku pun tidak akan menuntut kepatuhan kalian.”
Kata-kata Abu Bakar ini sangat penting artinya dipandang dari sudut hukum ketatanegaraan dan pemikiran politik Islam, sebab kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintahan dengan warga negara.[3]
Selain pidato pelantikanya itu, yang relevan dengan pembicaraan kita ini adalah (2) cara yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu Tuhan. Kalau tidak terdapat di sana, dicarinya dalam sunnah nabi. Kalau dalam sunnah Rasullullah ini pemecahan masalah tidak diperoleh, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkannya dalam satu majelis. Mereka yang duduk dalam majelis itu melakukan ijtihad bersama (jama’i) atau ijtihad kolektif. Timbullah keputusan ataupun konsensus  bersama yang disebut ijma’ mengenai masalah tertentu. Dalam masa pemerintahan Abu Bakar inilah sering dicapai apa yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’ sahabat.[4]
         Dalam masa pemerintahan Abu Bakar ini pula, sebagaimana telah diuraikan dahulu, (3) atas anjuran Umar, dibentuk panitia khusus yang bertugas untuk mengumpulkan catatan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ditulis dizaman nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta, dan sebagainya dan menghimpunya ke dalam satu naskah. Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit salah seorang pencatat wahyu dan Sekretaris nabi Muhammad ketika beliau masih hidup. Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan naskah Al-Qur’an itu diuji dahulu ketepatan pencatatanya dengan hafalan para penghafal Al-Qur’an yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah Abu Bakar meninggal dunia naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab dan sesudah khalifah II ini meninggal dunia pula, naskah Al-Qur’an itu disimpan dan dipel;ihara oleh Hafsah janda nabi Muhammad. Demikianlah, di masa Abu Bakar ini telah diletakkan dasar-dasar pengembangan hukum Islam selanjutnya.
2. Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggantikan kedudukannya sebagai Khalifah yang ke-2. Pemerintahan Umar bin Khattab ini berlangsung dari tahun 634-644M. Sebagai sahabat nabi, (1) Sayyidina Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Beliau melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai ke Palestina, Sirya, Iraq dan Persia disebelah Utara, serta ke Mesir di Barat Daya. (2) Beliau menetapkan tahun Islam yang dikenal dengan tahun Hijriyah berdasarkan peredaran bulan (Qomariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi (Maladiyah) yang berdasarkan pada peredaran matahari atau Syamsiyah, tahun Hijriyah lebih pendek. Perbedaannya setiap tahun adalah 11 hari, sekian jam, sekian menit (Hazairin 1955). Oleh karena itu, tiap tahun permulaan puasa, misalnya, bergeser 11 hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya. Penetapan tahun Hijriyah ini dilakukan Umar pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli ilmu hisab (hitung) pada waktu itu. Dimulai sejak nabi Muhammad hijrah ke Madina. Selain itu (3) penetapan Umar yang diikuti oleh umat Islam di seluruh dunia sampai sekarang (dan juga masa yang akan datang) adalah membiasakan shalat at-tarawih, yaitu shalat sunnah malam yang dilakukan sesudah sholat isya’, selama bulan Ramadhan. Disamping itu yang perlu dicatat mengenai khalifah Umar ini adalah sikap tolerannya terhadap pemeluk agama lain. Hal ini terbukti ketika beliau hendak mendirikan masjid (yang sekarang terkenal dengan masjid Umar) di Jerussalem (Palestina) di suatu tempat dari sana menurut keyakinan beliau nabi Muhammad dahulu Mi’roj ke langit. Karena di dekat tempat itulah telah berdiri tempat ibadah orang Kristen dan Yahudi, sebelum mendirikan masjid tersebut khalifah Umar terlebih dahulu memberitahukan maksudnya dan meminta izin kepada pemimpin  agama golongan Kristen dan Yahudi di tempat itu padahal sebagai penguasa atas seluruh daerah baru tersebut, beliau tidak wajib melakukan hal itu. Namun beliau melakukan hal tersebut karena sikapnya yang toleran terhadap pemeluk agama lain.[5]
Karena usianya yang relatif masih muda dibandingkan dengan Abu Bakar, Umar lama memegang pemerintahan. Sifatnya keras dan sebagaimana biasanya, orang yang mempunyai sifat keras selalu berusaha bertindak adil melaksanakan hukum. Terkenal keberanianya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan keadaan-keadaan yang nyata pada suatu waktu tertentu. Ia mengikuti cara Abu Bakar dalam menentukan hukum. Namun demikian, khalifah Umar terkenal keberanian dan kebijaksanaannya dalam menerapkan ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an  untuk mengatasi suatu masalah yang timbul dalam masyarakat berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan umum. Sepintas lalu keputusan-keputusan (dalam kepustakaan terkenal dengan ijtihad) Umar itu seakan-akan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an, namun jika dikaji sifat hakekat ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam keseluruhanya, ijtihad yang dilakukan oleh Umar bin Khattab itu tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat tersebut. Banyak tindakan Umar di lapangan hukum, namun yang akan dikemukakan adalah (a) contoh-contoh ijtihad Umar yang telah disinggung juga dalam pembicaraan yang lalu, yakni:
·Talak tiga yang diucapkan sekaligus disuatu tempat pada suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak (dalam hal ini mantan istri) menikah lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdasarkan kepentingan wanita, karena di zamanya banyak pria yang dengan mudah mengucapkan talak tiga sekaligus pada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan wanita lain. Tujuanya adalah untuk melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar agar pria berhati-hati menggunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus yang di zaman nabi dan khalifah Abu Bakar dianggap talak satu. Umar menetapkan garis hukum yang demikian, untuk mendidik suami agar tidak menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tanganya.[6]
·Al-Qur’an telah menetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf di dalamnya, yaitu (diantaranya) orang-orang yang baru memeluk agama Islam yang seyogianya dilindungi karena masih lemah imanya dan karena ia memeluk agama Islam, hubunganya dengan keluarganya (mungkin) terputus. Pada zaman Rasulullah golongan ini memperoleh zakat tetapi khalifah Umar menghentikan pemberian zakat terhadap muallaf berdasarkan pertimbangan bahwa Islam telah kuat, umat Islam telah banyak sehingga tidak perlu lagi diberikan keistimewaan kepada golongan khusus dalam tubuh umat Islam.[7]
·Menurut AL-Qur’an surat Al Maidah (5) ayat 38 orang yang mencuri diancam dengan potong tangan. Di masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan di masyarakat semenanjung Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam Al-Qur’an tidak dilaksanakan oleh Khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan (darurat) dan kemaslahatan (jiwa) masyarakat.
·Di dalam Al-Qur’an (QS 5:5) terdapat ketentuan yang membolehkan pria muslim menikahi wanita ahlul kitab (wanita Yahudi dan Nasrani). Akan tetapi, khalifah Umar melarang perkawinan campuran yang demikian, untuk melindungi kedudukan wanita Islam dan keamanan (rahasia) negara.
Demikianlah beberapa contoh ijtihad khalifah Umar bin Khattab. Disamping itu, Umar juga mengemukakan (b) pokok-pokok pikiran mengenai peradilan seperti yang tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang menjadi hakim (kadi) di Kufah, Irak. Isinya antara lain sebagai berikut: (M.S.Madkur, 1982: 43-46) “Sesungguhnya tugas untuk memutuskan suatu masalah adalah tugas seorang hakim. Apabila kepada anda dimajukan suatu perkara, hendaklah anda pelajari dahulu (berkas) perkara itu sebaik-baiknya setelah jelas benar duduk perkaranya berilah keputusan seadil-adilnya. Keadilan harus duwujudkan dalam praktek, sebab kalau ia tidak diwujudkan tidak akan ada artinya. Selain itu, dalam pandangan dan keputusan anda, para pihak haruslah anda samakan kedudukanya. Dengan demikian, orang yang kuat tidak akan dapat mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak akan sampai putus asa karena mendambakan keadilan anda. Anda boleh mendamaikan pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi isi perdamaian itu tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan hal yang halal. Dan apabila anda telah menjatuhkan suatu keputusan, janganlah anda ragu-ragu untuk mengubahnya kembali, apabila kemudian ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan anda itu.
Jika suatu perkara yang diajukan kepada anda tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan tidak pula terdapat sunnah nabi maka bandingkanlah perkara itu dengan perkara sebelumnya. Apabila ada kasus yang sama dalam penyelesaiannya maka pergunakanlah hukum yang telah ada itu untuk menyelesaikan perkara tersebut, yang menurut pendapat anda yang paling diridhoi Allah, yang lebih sesuai serta lebih mendekati kebenaran. Hindari dari perasaan marah dan ragu-ragu dalam menyelesaikan sesuatu serta jangan menyakiti hati orang-orang yang berperkara.
Demikianlah cuplikan surat khalifah Umar bin Khattab kepada salah seorang hakim di masa pemerintahannya. Isi dan makna surat itu, agaknya masih tetap aktual dan berlaku juga untuk hakim zaman sekarang.[8]
         3. Setelah Umar bin Khattab memimpin sebagai khalifah ke-2 maka panitia pemilian khalifah memilih Sayyidina Usman menjadi khalifah ke-3 untuk menggantikan Sayyidina Umar bin Khattab, yang mana beliau telah berumur 70 tahun, dengan kepribadian yang agak lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang disekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan kekayaan. Hal ini di manfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri dari golongan Umayyah.
Banyak jasa-jasa Sayyidina Usman yang relevan untuk diuraikan seperti; tindakannya untuk menyalin dan membuat Al-Qur’an standart, yang didalam kepustakaan kadang-kadang disebut dengan kodifikasi Al-Qur’an atau peresmian Al-Qur’an. Dalam kalangan pemeluk agama Islam terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengucapkan itu menimbulkan perbedaan arti dan berita ini sampai di telinga Sayyidina Usman. Beliau membentuk panitia yang kembali dipimpin oleh Zaid ibn Tsabit untuk menyalin naskah Al-Qur’an yang telah dihimpun di masa khalifah Abu Bakar dahulu yang disimpan oleh Sayyidah Hafsah, janda nabi Muhammad. Dalam penyalinan naskah Al-Qur’an kedalam lima Mushaf (kumpulan lembaran-lembaran yang di tulis, dan Al-Qur’an itu sendiri disebut pula mushaf), untuk mengenang jasa Sayyidina Usman naskah yang disalin pada masa pemerintahannya itu disebut Mushaf Usmani atau al- Imam karena ia menjadi standart bagi Al-Qur’an yang lain.
         4. Setelah Sayyidina Usman meninggal dunia orang-orang terkemuka memilih Sayyidina Ali bin Abi Tholib menjadi khalifah ke-4. Dari kecil beliau diasuh dan dididik oleh nabi Muhammad, oleh karena itu hubungan mereka sangat erat sekali. [9]
         Semasa pemerintahannya, Sayyidina Ali tidak dapat banyak berbuat untuk mengembangkan hukum Islam. Karena keadaan negara tidak stabil. Banyak perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada perang saudara sehingga menimbulkan beberapa kelompok diantaranya Ahlus sunnah wal jama’ah (sunni) yaitu kelompok umat Islam yang berpegang teguh pada sunnah nabi Muhammad dan Syi’ah yaitu pengikut Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Perpecahan antara dua kelompok ini dimulai dengan perbedaan pendapat mengenai masalah politik yakni siapakah yang berhak menjadi khalifah, kemudian disusul dengan masalah pemahaman aqidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan kekeluargaan. Sumber hukum Islam dimasa khulafa al-Rasyidun ini adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ sahabat dan qias.
2. Sumber Hukum Islam dan Metodelogi Kajian Hukumnya
Dalam menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu, para sahabat terlebih dahulu merujuk kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Namun bila para sahabat tidak menemukan ketetapan hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud, maka disitulah para sahabat menggunakan akal pikiran yang dijiwai oleh ajararan Islam.
         Sumber-sumber hukum Islam secara keseluruhan ada 3, yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijma’ sahabat. Namun yang disepakati para ulama hanya dua yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah, karena Ijma’ sahabat hanya dirujuk oleh para ulama’ sunni, sementara ulama’ syi’ah menolaknya.
         Dalam pada itu paparan rinci tentang norma-norma hukum dari kedua sumber hukum tersebut (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) terutama untuk persoalan-persoalan diluar aspek ibadah belum menjangkau secara tegas berbagai fenomena yang terjadi pasca periode awal, sehingga diperlukan kajian-kajian lebih lanjut untuk mengetahui ketentuan-ketentuan hukumnya, dengan tetap merujuk pada makna dan semangat Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Untuk kepentingan kajian seperti ini, para ulama’ telah melahirkan berbagai metodelogi dan pendekatan kajian hukumnya, sehingga lahir metodelogi qias, istihsan, istishlah, al-dzari’ah dan ‘uruf. [10]
         Sebagaimana telah dikemukakan diatas maka dalam pembahasan ini akan terlebih dahulu menjelaskan sumber-sumber hukum Islam dengan sedikit segi-segi yang menjadi sorotannya.
1. Al-Qur’an
         Al-Qur’an sebagaimana dinyatakan al-Syaukani adalah kalam Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya Muhammad ibnu Abdullah, dalam bahasa Arab dan maknanya yang murni, yang disampaikan secara mutawatir.[11] Rangkaian kalam-kalam Allah tersebut kini telah tertuang secara sempurna dalam sebuah kitab suci yang diberi nama Al-Qur’an al karim, yang secara keseluruhan berisikan ajaran-ajaran aqidah, syari’ah (norma-norma hukum), serta norma-norma akhlak bagi umat manusia ini. Tuhan mengatur kehidupan mereka didunia ini dengan ajaran-ajaran yang langsung Dia turunkan lewat rasul-Nya ini, dalam rangka memberi petunjuk kepada mereka agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.[12]
         Dari total ayat Al-Qur’an yang mencapai 6360, ayat hukum menurut versi perhitungan Abdu Al- Wahhab Khallaf yang dikutip Harun Nasution, hanya mencapai 368 ayat atau kurang lebih 5,8% dari total keseluruhannya ayat-ayat Al-Qur’an. [13]Distribusi dari ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:
·Aspek ibadah mahdhah, seperti sholat, puasa, zakat dan haji sebanyak 140 ayat.
·Aspek kehidupan keluarga, seperti perkawinan, perceraian, mawaris dan yang sebangsanya sebanyak 70 ayat.
·Aspek perekonomian yang berkaitan dengan masalah perdagangan, sewa-menyewa, kontrak dan hutang-piutang sebanyak 70 ayat.
·Aspek kepidanaan yang berkaitan dengan norma-norma hukum tentang pelanggaran kriminal sebanyak 30 ayat.
·Aspek qadha yang berkaitan dengan persaksian dan sumpah dalam proses pengadilan sebanyak 13 ayat.
·Aspek politik dan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak-hak warga negara dan hubungan pemerintah dengan warganya sebanyak 10 ayat.
·Hubungan sosial antara umat Islam dengan non-Islam dalam negara Islam serta hubungan negara Islam dengan negara non-Islam sebanyak 25 ayat.
·Hubungan kaya-miskin, yaitu peraturan tentang pendistribusian harta terhadap orang-orang miskin, serta perhatian negara mengenai hal ini. ayat-ayat yang mengatur persoalan ini berjumlah10 ayat.[14]
Ungkapan-ungkapan Tuhan dalam Al-Qur’an banyak yang berbentuk mujmal dan mutlaq, sehingga diperlukan penjelasan-penjelasan serta pembatasan dalam aplikasinya oleh Rasulullah. Penjelasan serta pembatasan tersebut, kemudian menjadi bagian dari sunnah-sunnah nabi.
         Selain dari itu, sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa pernyataan-pernyataan Al-Qur’an, dan bahkan penjelas-penjelasannya dari Rasulullah belum menjangkau seluruh fenomena yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam masalah-masalah mu’amalah dan aspek- aspek non-ubudiah lainnya dari generasi-generasi pasca-sahabat. Oleh sebab itu untuk memberikan jawaban-jawaban yuridis terhadap kejadian-kejadian tersebut diperlukan kajian Ijtihadi dari para ulama’ mujtahid.namun untuk persoalan-persoalan ubudiah, tuntutan Ijtihad itu tidak ada selain dalam aspek ini telah sempurna disyariatkan oleh Allah pada masa kerasulan, dan tidak berubah dengan perubahan zaman, serta tidak mengalami penambahan atau penyusutan.
         Hal yang masih terus menjadi persoalan dalam Ijtihad adalah mengenai norma-norma hukum dalam aspek-aspek non-ubudiah yang diungkapkan Tuhan dalam pernyataan rinci, seperti ketentuan tentang warits, hudud dan qishash. Abdu Al-Wahab cenderung berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan hukum tersebut termasuk ibadah murni.[15] oleh sebab itu, harus ditaati apa adanya, walaupun terlihat kurang fleksibel dan tidak kondusif dengan tuntutan kultural. Namun para cendekiawan temporer melihat bahwa ayat-ayat tersebut masih dapat difahami lain lewat kajian Ijtihad, karena menyangkut kehidupan kemasyarakatan.
         Akan tetapi, kecenderungan terakhir ini belum melebar keseluruh jajaran ulama’ fiqh, sehingga terhenti hanya dalam kalangan ulama’ modernis, yang secara kualitatif kurang punya otoritas dalam bidang hukum Islam.[16]
         Disamping Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang memaparkan berbagai norma hukum juga memberikan legalitas kepada para ulama’ untuk melakukan kajian hukum lewat analisis nalar mereka.
2. Al-Sunnah
         Sebagaimana telah disinggung diatas, bahwa sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an adalah al-Sunnah, yakni segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya yang berkenaan dengan  hukum syara’.[17] Demikian menurut para ulama’ Ushul. Memang sebagaimana dinyatakan Adib Saleh, bahwa istilah al-Sunah seringkali dipergunakan untuk ketetapan Rasulullah mengenai hukum Islam, bahkan termasuk dari para sahabatnya.[18] Namun al-Sunah yang dimaksud dalam pembahasan ini terbatas pada norma-norma hukum yang yang dikeluarkan oleh Rasulullah, atau para sahabatnya yang mendapat pengesahan dari beliau.
         Akan tetapi, al-Sunah sebagai pernyataan yuridis Rasulullah, menurut Abu Rayah terbatas pada pernyataan beliau yang terkait dengan ajaran-ajaran keagamaan saja. Sedang perkataan atau perbuatannya diluar itu tidak termasuk sunah, dan menurutnya hanyalah sebagai irsyad. Lebih lanjut dia berargumentasi bahwa Muhammad sebagai Rasul itu tidak makshum selain dari konteks penyampaian ajaran-ajaran Tuhan.[19] Dengan demikian, umat Islam tidak terikat untuk mengikuti tradisi atau kebiasaan beliau diluar ajaran-ajaran keagamaannya, atau yang berkaitan atau yang berkaitan langsung dengan dimensi kemanusiaannya.
         Langkah-langkah Rasulullah memberikan penjelasan terhadap ajaran-ajaran Al-Qur’an, baik melalui perkataan ataupun perbuatan visual, telah memperoleh legalitas dari Al-Qur’an, bahkan dalam hal ini Tuhan menyuruh umat manusia untuk mengikuti perintah serta anjuran-anjurannya.Hal ini terlihat pada penggalan ayat 7 surah al-Hasyr yang berbunyi:
 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4   
“Terimalah apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, dan tinggalkanlah apa-apa yang beliau larang”. [20]
         Dilihat dari sisi kesejarahan, al-Sunah berbeda dari Al-Qur’an, yakni bahwa Al-Qur’an telah mulai ditulis sejak zaman nabi, dan telah sempurna dibukukan pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan (23-35 H.), khalifah ke-3 dari Khulafa al-Rasyidun. Sementara al-Sunah baru mulai dikodifikasi pada masa pemerintahan Sayyidina Umar bin Abdu al-Aziz (99-101 H.), dari dinasti Bani Umayah. Dan selama satu abad terus berkembang tanpa kendali, sehingga banyak penetrasi pemikiran para perawi yang masuk tanpa control. Atas dasar inilah pada abad ke-2 H., para ulama’ menyusun suatu metodelogi untuk menganalisis hadits agar dapat dipergunakan menyelesaikan masalah-masalah hukum secara meyakinkan.
         Metode analisis ini mampu mengklasifikasi hadits-hadits yang dapat dipakai dalil syara’ dan yang tidak, dengan membaginya dengan tiga kategori shahih, hasan dan dha’if. Hadits shahih adalah hadits yang memenuhi lima kriteria, sanadnya bersambung, perawinya adil dabith, tidak ada ilat serta tidak syatz[21]Sedang hadits hasan adalah hadits yang lengkap semua persyaratan hadits shahih hanya saja perawinya kurang dabith.[22] Sementara hadits dha’if adalah hadits yang tidak dapat mencapai tingkatan hasan dan apalagi shahih.[23] Hadits-hadits shahih dan hasan tergolong hadits-hadits yang ma’mul (bisa dipakai sebagai dalil syara’), sedang hadits dha’if tidak dapat dipergunakan sebagai pegangan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum, dan semua ulama’ fiqh meninggalkannya selain Ahmad bin Hambal.[24]
         Disamping itu, metode analisis hadits ini juga dapat mengklasifikasi hadits dilihat dari segi jumlah perawi pada setiap thabaqatnya, yaitu hadits mutawatir, masyhur dan ahad. Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada setiap thabaqatnya yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta[25]. Sedang hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi, yang pada thabaqat sahabat tidak mencapai jumlah minimal mutawatir, kendati pada thabaqat tabi’in dan seterusnya mutawatir. Sementara hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang dalam setiap thabaqatnya.[26]
         Hadits mutawatir dan masyhur disepakati para ulama’ fiqh untuk dijadikan sebagai dalil untuk penetapan hukum, sejauh hadits masyhur itu memenuhi kriteria hadits maqbul. Sedang hadits ahad ditolak secara mutlaq oleh Abu Hanifah, dan disisihkan oleh Imam Malik sejauh persoalan-persoalan yang dihadapinya itu terjawab oleh tradisi lokal masyarakat Madinah.
         Dengan demikian, al-Sunah yang dapat dijadikan rujukan dalam kajian hukum adalah sunah-sunah yang mutawatir, sunah masyhur yang shahih atau hasan,dan sunah ahad bagi Imam Syafi’i, Ahmad bin Hmbal, dan terkadang Imam Malik sejauh sunah-sunah tersebut tergolong sunah-sunah yang maqbul.
    Kemudian,dalam posisinya sebagai sumber hukum yang ke-2, al-Sunah lebih banyak berfungsi sebagai bayan, atau penjelasan-penjelasan terhadap berbagai ketentuan yang telah diuraikan dalam Al-Qur’an, mempertegas ketentuan-ketentuan tersebut, dan terkadang menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Qur’an.[27]
   Fungsi bayan merupakan fungsi utama dari al-Sunah, karena banyak ayat-ayat hukum yang dinyatakan Tuhan dalam ungkapan yang mujmal, umum dan mutlaq, sehingga sukar ditangkap pemahaman operasionalnya. Diantara contoh ayat yang mujmal adalah pada ayat perintah shalat dalam surah al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:
(#qßJŠÏ%r&ur  no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”.[28]                                                                                            
Ayat ini menyuruh umat Islam secara tegas untuk melaksanakan shalat, tetapi tidak ada satu ayat pun yang memberi penjelasan rinci tentang bagaimana cara melaksanakan shalat tersebut, sehingga Rasulullah memberi contoh secara sempurna lalu bersaba:                                              
                                                                                                                                    (lakukanlah shalat sebagaimana kalian lihat saya melakukannya). Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, dengan pangkal sanadnya Malik bin al-Huwairits.[29]Fungsi bayan yang lain yaitu mentaskhish ayat-ayat yang umum, membatasi ayat-ayat yang mutlaq.
         Fungsi yang kedua dari al-Sunah adalah memperkuat dan mempertegas berbagai ketentuan hukum yang telah di kemukakan oleh Al-Qur’an. Seperti sejumlah hadits yang memerintahkan untuk mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa dan haji yang kesemuanya itu telah terangkat dalam Al-Qur’an. Biasanya hal ini dilakukan pada ketentuan-ketentuan syari’ah yang amat pokok dalam istilah dan orang-orang mukallaf dituntut untuk menegakkanya secara konsisten.
         Fungsi ketiga adalah menetapkan hukum bagi persoalan-persoalan yang belum terjangkau oleh Al-Qur’an, seperti pengharaman melakukan poligami bagi seorang pria terhadap dua orang wanita yang terikat persaudaraan, antara tante dan keponakannya, sebagaimana diungkapkan dalam hadits di bawah ini:

  


“Dari Abu Hurairah ra., dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda, sekali-kali tidak boleh dikumpulkan antara seorang wanita dengan tantenya sendiri, baik dari garis ayah ataupun ibu”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[30]
Demikian pula dengan ketentuan-ketentuan tentang gugurnya qishas bagi seorang muslim yang membunuh orang kafir, bolehnya khiyar syarat, adanya hak syuf’ah dan lain-lain.
3. Ijma’ sahabat
         Sumber hukum ketiga setelah al-Sunah adalah ijma’, yaitu kesepakatan hukum  dari para mujtahid pengikut Muhammad Rasulullah SAW setelah beliau wafat pada suatu waktu tertentu. Melihat definisi ini, ijma’ itu bisa dikatakan benar kalau semua mujtahid pada waktu itu memberikan pendapatnya, baik dengan perkataan, sikap, maupun perbuatan.[31]
         Kemudian secara rinci, Wahbah al-Zuhaili menyatakan bahwa ijma’ itu bisa dikatakan sah apabila memenuhi lima rukun di bawah ini, yaitu:
1. Kesepakatan itu harus diambil oleh keseluruhan ulama’ mujtahid. Oleh sebab itu, setiap mujtahid harus diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya. Dan kalau satu orang saja dari mereka berbeda pendapat, maka ijma’nya tidak sah.
2. Ijma’ itu harus dilakukan oleh para ulama’ secara berkelompok. Oleh sebab itu, ijma’ tidak sah kalau hanya dilakukan oleh seorang mujtahid, walaupun pada saat itu hanya dia mujtahidnya.
3. Tidak boleh terjadi Ijma’ murakab, yakni perpecahan pendapat yang membentuk kelompok-kelompok kecil, sehingga terdapat dua atau tiga pendapat dengan dua atau tiga kelompok ulama’.
4. Semua ulama’ harus menyatakan pendapatnya secara jelas, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Kalau ada diantara mereka yang tidak menyatakan pendapatnya, maka secara ideal ijma’ tersebut tidak sah.
5. Para ulama’ tersebut harus dapat melahirkan keputusan-keputusan hukum pada saat mereka melakukan pembahasan.[32]
         Ijma’ dengan kriteria-kriterianya yang ideal ini pernah terjadi pada masa sahabat, yakni pada periode pemerintahan Abu Bakar  dan Umar bin Khattab dari khulafa al-Rasyidun. Seperti penyamaan posisi orang-orang ingkar zakat dengan kelompok pemberontak, sehingga hukumanya dibunuh lewat penyerangan militer. Kemudian keputusan hukum untuk tidak membagi-bagikan daerah takhlukan di Iraq dan Syria kepada prajurit perang pada masa Umar, dengan melihat kemaslahatan masyarakat setempat.[33] Dalam hal ini, mereka berbeda dengan sikap Rasulullah yang membagi-bagikan ladang pertanian Khaibar saat merebutnya dari bangsa Yahudi.
         Dengan demikian, ijma’ sahabat yang diakui eksistensinya oleh para ulama’ sunni, dan mereka jadikan rujukan dalam kajian hukum, tidak diterima oleh ulama’ Syi’ah dari sekte Ja’fariyah, karena dalam pandangannya Abu Bakar dan Umar serta para sahabat pendukung kepemimpinannya, tergolong orang-orang fasik dengan sikap politiknya merebut posisi Khalifah yang merupakan hak Ali berdasarkan wasiat.
         Sebagaimana Abdu al-Wahab Khallaf katakan bahwa jumhur ulama’ sunni tetap optimis Ijma’ ini bisa dijalankan apabila di koordinasi oleh pemerintah negara-negara Islam dengan sistem delegatif, yaitu masing-masing negara menunjuk mujtahidnya dengan kriteria-kriteria yang telah mereka sepakati.[34]
         Eksistensi ijma’ sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan al-Sunah, menurut mereka, punya dasar yang kuat, yaitu diantaranya tertuang dalam ayat 115 surat an- Nisa’ yang berbunyi:
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ  
“dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia kedalam jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”.[35]
         Dalam ayat ini, Allah menyamakan hukuman orang yang menentang terhadap produk-produk hukum para ulama’ secara kolektif, dengan yang menentang Allah dan RasulNya, yaitu sama-sama diancam dengan jahanam.
         Disamping itu para sahabat juga menggunakan metodelogi kajian hukum qias, dari segi kebahasaan, kata qias berarti ukuran, yaitu mengetahui ukuran sesuatu dengan menisbahkannya pada yang lain.[36] Sedangkan menurut istilah yang biasa digunakan para ulama’ Ushul adalah menghubungkan sesuatu yang belum dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash, kepada sesuatu yang sudah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash karena keduanya memiliki ilat hukum.[37] Berdasarkan definisi diatas maka qias itu bisa dikatakan benar apabila memenuhi empat rukun yaitu:
lAshal,  yaitu suatu kejadian yang telah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash.
lFuru’, yaitu kejadian baru yang belum diketahui ketentuan hukumnya dan belum terangkat dalam nash.
lIlat, yaitu sifat-sifat yang menjadi dasar dari ketentuan hukum Ashal.
lHukum Ashal, yaitu ketentuan hukum syara’ yang telah dinyatakan oleh nash pada ashal, dan dilekatkan pula pada furu’.
         Contoh kajian hukum lewat metode qias adalah seperti pengharaman meminum bir melalui qias terhadap khamar, karena sama-sama memabukkan. Sedangkan khamar sudah dinyatakan keharamannya oleh nash, yaitu dalam surat al-Ma’idah ayat 90 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatn keji termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.[38]                                                    
Beberapa keputusan hukum yang ditetapkan pada masa Khulafa al-Rasyidun:
· Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat; di riwayatkan, Abu Bakar sebagai Khalifah pernah memerangi orang yang menolak membayar zakat. Umar bin Khattab menegurnya dangan berkata, “saya pernah disuruh Rasulullah memerangi orang sampai mereka mengucap                                (la ilaha illa Allah). Apabila mereka sudah mengucapkannya, Allah menjaga harta dan darahnya, kecuali dengan haknya. Semua urusan ditangan Tuhan. Abu Bakar menyahut dialoknya “Demi Allah, sungguh saya akan memerangi siapa saja yang membedakan shalat dengan zakat,  sebab zakat termasuk haknya atas harta.
·Pembagian harta rampasan perang; ketika para sahabat hendak membagi harta rampasan perang mereka berbeda pendapat, apakah harta rampasan itu dibagi sama rata antara orang muhajirin dengan orang anshar, atau tidak?. Sayyidina Umar berpendapat, “Kami tidak menyamakan antara orang muhajirin dan orang anshar” sedangkan Abu Bakar berpendapat , ”Mereka masuk Islam bukan karena terpaksa tetapi karena Allah dan pahalanya pun urusan Allah. Dunia hanyalah sarana saja. Abu Bakar berdasarkan ra’yunya membagi rampasan perang sama rata antara orang muhajirin dengan orang anshar, kemudian ketika Umar menjadi Khalifah nanti, ia membagi harta rampasan berdasarkan jerihpayah masing-masing orang dalam berjuang.
Satu orang dibunuh oleh beberapa orang; Umar bin Khattab Khalifah kedua peernah dihadapkan persoalan pelik. Seorang pria telah dibunuh oleh beberapa orang. Pertanyaannya, apakah semua yang terlibat dalam pembunuhan dapat di tuntut dengan qishas? Ketika hendak mengambil keputusan demi keadilan, ia kelihatan bimbang maka Ali ra, bertanya, “Apa pendapatmu bila ada sekelompok orang bersama-sama mencuri onta: apakah engkau hendak memotong tangan mereka?” “ya”, jawab Umar. “begitulah alur piker tersebut,”andaikata penduduk San’a itu semua bersama-sama membunuh pria itu sungguh akan aku bunuh mereka semua “. Umar ra juga peernah meniadakan hukuman potong tangan  bagi pencuri karena”paceklik” (si pencuri dibuat kelaparan oleh tuannya ditempat pencuri bekerja). Sementara Al-Qur’an menyatakan bahwa hukuman














 C. Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas maka dapatlah kita menyimpulkan bahwasanya penguasa pasca sepeninggal Nabi Muhammad adalah  empat sahabat dekat nabi, yang disebut (bergelar) dengan Khulafa al-Rasyidun, yaitu Abu Bakar Shiddiq beliau adalah ahli hukum yang tinggi mutunya, sebelum masuk Islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. atas usaha dan seruanya banyak orang-orang terkemuka memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam yang terkemuka, tindakan-tindakan yang dicatat dalam sejarah Islam diantaranya:(1) pidato pelantikanya, kata-kata khaalifah Abu Bakar ini sangat penting artinya dipandang dari sudut hukum ketatanegaraan dan pemikiran politik Islam, sebab kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintahan dengan warga negara. (2) Cara yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat.yang pertama ia berpegang pada Al-Qur’an, al-Hadits apabila tidak ditemukan maka beliau mengumpulkan para shahabat untuk menentukan hukumnya. Sehingga dalam masa pemerintahan Abu Bakar inilah sering dicapai apa yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’ sahabat. (3) atas anjuran Umar, dibentuk panitia khusus yang bertugas untuk mengumpulkan catatan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ditulis di zaman nabi.
Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggantikan kedudukannya sebagai Khalifah yang ke-2. (1) Beliau melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai ke Palestina, Sirya, Iraq dan Persia disebelah Utara, serta ke Mesir di Barat Daya. (2) Beliau menetapkan tahun Islam yang dikenal dengan tahun Hijriyah berdasarkan peredaran bulan (Qomariyah).(3) penetapan Umar yang diikuti oleh umat Islam diseluruh dunia sampai sekarang (dan juga masa yang akan datang) adalah membiasakan shalat at-tarawih. Selain itu beliau sangat toleran terhadap pemeluk agama lain, selalu berusaha bertindak adil melaksanakan hukum. Terkenal sangat bijaksana dalam menerapkan ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Sayyidina Usman menjadi Khalifah ke-3 untuk menggantikan Sayyidina Umar bin Khattab, pada saat itu beliau telah berusia lanjut sehngga agak lemah, kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang disekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan kekayaan. jasa-jasa Sayyidina Usman, menyalin dan membuat Al-Qur’an standart.
Sayyidina Ali bin Abi Tholib merupakan Khalifah yang terakhir, kelompok Islam mulai terpecah karena terjadinya perang saudara sehingga menimbulkan beberapa kelompok diantaranya Ahlus sunnah wal jama’ah dan syi’ah.
         Dalam menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu, para sahabat terlebih dahulu merujuk kepada Al-Qur’an dan al-Hadits. Namun bila para sahabat tidak menemukan ketetapan hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud, maka disitulah para sahabat menggunakan akal pikiran yang dijiwai oleh ajararan Islam.
D.Skema                                                      Cycle Diagram















D. DAFTAR PUSTAKA
Daud, Muhammad Ali. 2005. Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja  Grafindo Persada
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum islam, Jakarta: Sinar Grafika
Zuhri, Muhammad. 1980. Tarikh Tayrik al-Islami, Semarang: Darul Ikhya’
Wahab, Abdul Hallaf.2005. Sejarah Hukum Islam, Bandung: Penerbit Marja
           Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta:
NV Bulan Bintang
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul fiqh, Jakarta: Logos wacana Ilmu
Ash Shididdeqy, Hasbi. 1975. Pengantar hukum Islam, Jogjakarta: Bulan Bintang
Rasyid, Marzuki, Dkk. 1986. Ushul fiqh II, Jakarta
Nasution, Harun. 1978.  Islam ditinjau dari Berbagai Aspekya, Jakarta: UI Press
Al-Zuhaili, Wahbah. 1978. Al-Wasith fi Ushulal-Fiqhal-Islami, Damaskus: Dar Al-Kitab
RI, Depak. 2005. Al-Qur’an dan Terjemhan, Jakarta: PT Syamil Cipta Media
Adib Shalih, Muhammad.1399. Lamhat fi Ushul al-Hadits, Mesir: Al-Maktab al-Islam
Abu Rayah, Muhammad.  Adwa’ala al-Sunah al-Nabawiyah. Mesir: Dar al-Ma’arif

DINAMIKA PERKEMBANGAN TARIKH TASYRI’ PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN SERTA BERBAGAI FAKTOR SITUASIONAL DAN KONDISIONAL YANG MEMPENGARUHINYA

Dibina:
Muhammad Asrori, M.Ag.
                       

Disusun Oleh:
Deny Sukma Ardiantoro (08110165)
Laela Fitriah (08110063)
Khotimatus Sholikhah (08110028)

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
April, 2009





[1]Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, 2006, hal. 68.
[2]Mohammad Ali Daud, Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 169.
[3] Mohammad Ali Daud…….hlm. 171.
[4] Mohammad Ali Daud …….hlm. 173.
[5] Mohammad Ali Daud …….hlm. 174.
[6] Mohamad Ali Daud …..hlm. 175.
[7] Mohamad Ali Daud …….hlm. 176.
[8] Mohammad Ali Daud …….hlm. 177.
[9] Mohammad Ali Daud …….hlm 178.
[10] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranta Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), Jilid III, hlm. 31.
[11] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, (Dar al-Fikr.t.th), hlm. 29.
[12] Dede Rosyada …….hlm. 32.
[13] Abdu al-Wahab Khallaf, Ilmu al-Fiqh, (Dar al-Kuwaitiyah, 1968), hlm. 32.
[14] Abdu al-Wahab Khallaf …….hlm. 33.
[15] Abdu al-Wahab Khallaf …….hlm. 34.
[16] Dede Rosyada ……. Jilid III, hlm. 33.
[17] Muhammad Ajjaj al-Khotib, Ushul al-Hadist Ulumuhu Watthawuruhu, (Dar al-Fikr, 1975), hlm. 19.
[18] Muhammad Adib Shalih, Lamhat fi Ushul al-Hadits (al-Maktab al-Islami, 1399), hlm. 31.
[19] Muhammad Abu Rayah, Adwa’ala al-Sunah al-Nabawiyah, (Mesir: Dar al-Ma’arif,t.th.), hlm. 42.
[20] Depak RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: PT Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 546.
[21] Adib Shalih …….hlm. 110.
[22] Adib Shalih …….hlm. 163.
[23] Adib Shalih …….hlm. 192.
[24] Muhammad Abu Zahra …….hlm. 329.
[25] Muhammad Ajjaj al-Khthib …….hlm. 301.
[26] Muhammad Ajjaj al-Khthib …….hlm. 302.
[27] Muhammad Adib Shalih …….hlm. 43.
[28] Depak RI …….hlm. 7.
[29] Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-Shan’ani, Shubul al-Salam, Jilid I, hlm. 200.
[30] Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-Shan’ani …….Jilid III, hlm. 124.
[31] Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Kitab, 1978), hlm. 43.
[32] Wahbah al-Zuhaili …….hlm. 44-47.
[33] Wahbah al-Zuhaili …….hlm. 40.
[34] Abdu al-Wahab Khallaf …….hlm. 49.
[35] Depak RI, Al-Qur’an ……hlm. 103.
[36] Wahba al-Zuhaili …….hlm.158.
[37] Wahba al-Zuhaili …….hlm. 160.
[38] Depak RI, Al-Qur’an ……. hlm. 123.

2 komentar: