baca selengkapnya di : http://www.poetra-anoegrah.co.cc/2010/04/cara-mengubah-judul-blog-dengan-judul.html#ixzz1Ie8isVZF

Klik Kanan

Senin, 18 Oktober 2010

Kolaborasi Nilai dan Budaya


BAB II
PEMBAHASAN
PROSESI UPACARA PERKAWINAN LORO PANGKON DI MOJOKERTO

Adat Istiadat Desa Ngoro Kec. Ngoro Kab. Mojokerto
Dalam daur kehidupannya, manusia mengalami apa yang disebut dengan siklus kehidupan, secara garis besar, siklus kehidupan manusia bisa dibedakan menjadi empat bagian utama yaitu: kelahiran, menginjak remaja, perkawinan dan kematian. Dalam melewati masing-masing peningkatan ini, manusia pada umumnya mengalami apa yang biasa disebut dengan krisis kehidupan atau masa transisi.Tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk melewati masa itu tanpa merasakan adanya goncangan dalam kehidupan kesehariannya. Karena berbagai alasan itulah maka, pada umumnya beberapa daerah di Jawa bahkan mungkin di Indonesia mempunyai berbagai upacara adat yang bertujuan untuk menetralisir kegoncangan tersebut.
Konsep Nilai
            Batasan nilai dapat mengacu pada berbagai hal, seperti minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, atraksi (daya tarik), dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan dari segi orientasinya (Papper, 1985: 7). Akan tetapi, segala sesuatu yang sifatbya manifestasi perilaku reflek atau hasil proses kimiawi dalam tubuh, itu bukanlah nilai. Rumusan nilai dapat diperluas atau dipersempit. Rumusan nilai yang luas dapat meliputi seluruh perkembangan  dan kemungkinan unsure-unsur lain, perilaku yang sempit diperoleh dari keahlian tertentu, seperti dari disiplin kajian ilmu social.
Upacara ini bisa dilihat antara lain, pada upacara melepas seorang gadis dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Pada masa transisi ini, untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan biasanya setiap orang tua melaksanakan upacara sederhana yang tujuannya sebagai pertanda bahwa anak gadisnya sudah mulai menjadi "bunga", selain itu dengan mengadakan sedikit selamatan, diharapkan para leluhur sudi memberkati anak gadisnya agar bisa mendapatkan jodoh yang baik, memudahkan rejeki dan sebagainya.
Demikian pula untuk melepaskan seorang anak dalam suatu perkawinan. Sebagian orang berkata bahwa dengan kawinnya seorang anak berarti si anak harus sudah bisa mandiri, tidak lagi artinya setelah melangsungkan perkawinan seorang anak diharuskan dapat memecahkan persoalan kehidupan tanpa bantuan orang tuanya lagi. Walaupun syarat ini di beberapa daerah tidak terlalu ketat berlaku, namun tidak berarti bahwa orang tua melepas anak ke lembaga perkawinan tanpa beban yang berat. [1]Salah satu cara untuk menyiapkan anak memasuki dunia perkawinan adalah dengan membekali kekuatan terutama dari segi spirituil untuk itulah di Kabupaten Mojokerto, desa Wates negoro, kecamatan Ngoro ini, mempunyai beberapa upacara khusus yang tujuannya antara lain untuk menyiapkan anak memasuki perkawinan. Tentu saja dengan harapan agar perjalanan anak dalam mengarungi kehidupan yang baru bisa lancar tanpa alangan suatu apa. Perkawinan khas daerah Mojokerto biasa disebut "Loro Pangkon" atau "Jago Loro Pangkon", disebut demikian karena sebelum memasuki upacara temu, pengantin pria datang dengan diawali seseorang yang membawa seekor jago. Jadi seolah-olah pengantin diibaratkan seekor jago yang sedang mendekati ayam betina. Loro berarti dua, melambangkan dua orang manusia, sedangkan Pangkon merupakan simbol bersatunya kedua orang tersebut dalam ikatan perkawinan.
Ada berbagai sifat yang kelihatannya paradoksal dari kebudayaaan,
yaitu
1. Semua masyarakat mempunyai kebudayaan, tetapi manifestasi lokal atau
regional dari kebudayaan-kebudayaan tersebut bersifat unik.
2. Kebudayaan bersifat stabil, tetapi juga dinamis, dan terus memperlihatkan
perubahan-perubahan.
3. Kebudayaan mengisi dan menentukan jalan kehidupan pendukungpendukungnya,
namun kebudayaan tersebut jarang menganggu alam
sadar kita (Herskovits, 1964:306).
            Dalam pembicaraan sehari-hari sering terdengar kata perubahan nilai,
pergeseran nilai,dan krisis nilai, walaupun seringkali sukar
mendefinisikannya, karena nilai itu bagian terabstrak dari kebudayaan.
Nilai adalah suatu konsepsi, ekspilisit atau implisit, yang menjadi
milik khusus seseorang atau ciri khusus suatu laingkungan sosial
(masyarakat) mengenai sesuatu yang diingini bersama (karena berharga)
yang mempengaruhi pemilihan berbagai cara-cara, alat-alat, dan tujuan
sebuah tindakan (Kluckhohn et.al. 1951:395). Dalam proses penilaian selalu
terlihat adanya pemilihan, penetapan nilai, dan tindakan (Simon at.al. 1972:
19). Pada konsep nilai tersembunyi bahwa pilihan nilai tersebut merupakan
suatu ukuran atau standard yang memiliki kelestarian, yang secara umum
digunakan untuk mengorganisasi sistem tingkah laku. Kumpulan nilai-nilai
yang dianut suatu masyarakat merupakan sistem nilai budaya bangsa, yaitu
suatu rangkaian konsepsi abstrak yang hidup dalam pemikiran sebagian
besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting
dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tak
berharga dalam hidup.
Sistem nilai budaya juga berfungsi sebagai pedoman dan pendorong
perilaku manusia dalam hidup sehingga juga berfungsi sebagai suatu sistem
tata kelakuan (Koentjaraningrat, 1969). Sistem ini memberi arah atau orientasi
kepada anggota-anggota suatu masyarakat. Orientasi nilai bersifat kompleks
tetapi jelas memberi pola prinsip yanag bersifat “rank ordered”, sebagai
hasildari interaksi tiga elemen penting yang bersifat analitik, yaitu yang
bersifat pengetahuan, perasaan, kemauan, yang memberi tata (order) dan
arah kepada arus pemikiran dan tindakan anggota-anggota suatu masyarakat

Salah satu tujuan suatu perkawinan adalah untuk melangsungkan keturunan suatu keluarga, selain itu perkawinan juga mempunyai tujuan mempererat tali persaudaraan. Apalagi pada masa lalu, sebagian warga Wates Negoro mempunyai kebiasaan mengawinkan salah satu keluarganya dengan kerabat satu desa. Namun saat ini perkawinan lain daerah sudah semakin sering terjadi, dan nampaknya hal tersebut tidak merupakan masalah bagi generasi tua di desa Ngoro.
Dibawah ini akan diuraikan secara garis besar, beberapa hal yang dilakukan sebelum upacara pernikahan. Pada dasarnya kegiatan ini bisa dibedakan menjadi tiga tahap yaitu:
  1. Kegiatan Pra Perkawinan :
    1. Perkenalan
    2. Melamar
    3. Upacara kirim doa
    4. Kotektan
    5. Upacara pasang terob
  2. Prosesi upacara pernikahan
  3. Kegiatan post perkawinan :
    1. Upacara sepasaran
    2. Upacara selapan
1. KEGIATAN PRA PERKAWINAN
Pada masa lalu, masyarakat di desa Ngoro, belum mengenal hubungan asmara antara dua remaja. Pada umumnya untuk mendapatkan jodoh, sangat ditentukan oleh orang tuanya. Di desa Ngoro dikenal peranan seorang "perantara" atau yang sering dikenal juga dengan sebutan "Comblang". Peranan comblang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari, sehingga umumnya orang yang menjadi comblang adalah seorang wanita yang mempunyai status baik dan disegani masyarakat sekitarnya.[2] Pada awalnya seseorang yang menginginkan calon menantu akan menghubungi sang perantara, kemudian perantara akan memilihkan beberapa nama yang dianggap memenuhi kriteria orang tersebut.[3] Setelah itu nama-nama orang yang dicalonkan tadi diseleksi. Ada juga orang yang sudah memilih, baru meminta pertolongan sang perantara untuk dihubungkan dengan orang tersebut.
Sebelum sang perantara meneruskan langkah, biasanya sang perantara akan menanyakan hari, weton, pasaran kedua orang yang bersangkutan. Apabila hari, dan pasarannya sudah cocok barulah hubungan ini dilanjutkan lagi. Orang Jawa pada umumnya sangat mempercayai nasib baik dan buruk seseorang dipengaruhi oleh hari lahirnya, karena itu orang Jawa sangat memperhatikan hitungan (naptu) hari dan pasaran seseorang. Di Mojokerto sebagaimana di Jawa pada umumnya dikenal 7 hari yang masing-masing mempunyai jumiah berlainan;
  • Akad (Minggu) jumiah naptu 5
  • Senen (Senin) jumiah naptu 4
  • Selasa (selasa)jumiah naptu 3
  • Rebo (Rabu) jumiah naptu 7
  • Kemis (Kamis) jumiah naptu 8
  • Jumuah (Jum'at)jumiah naptu 6
  • Setu (Sabtu) jumiah naptu 9
Selain hari, orang Jawa juga sangat percaya adanya watak yang diakibatkan dari pengaruh Dasaran. dikenal adanya 5 pasaran yaitu
  • Kliwon jumiah naptunya 8
  • Legi jumiah naptunya 5
  • Pahing jumiah naptunya 9
  • Pon jumiah naptunya 7
  • Wage jumiah naptunya 4
Dalam astrologi Jawa juga dikenal adanya bintang, yang biasa disebut Wuku; ada 30 wuku yang masing-masing mempunyai Dewa (Betara) pelindung (yang kemudian sering dijadikan simbol dari wuku tersebut, seperti misalnya dalam zodiak Sagitarius disimbolkan manusia dengan badan kuda sedang memanah), hari baik, hari sial, dan watak serta bakat sendiri-sendiri. Ke 30 wuku tersebut adalah sebagai berikut:
1 . Sinta dewa pelindung Dewa Betara Jamadipati
2. Landep dewa pelindung Dewa Betara Mahadewa
3. Wukir dewa pelindung Dewa Betara Mahajekti
4. Kurantil dewa pelindung Dewa Betara Langsur
5. Tolu dewa pelindung Dewa Betara Baju [4]
6. Gumbreg dewa pelindung Dewa Betara Tjandra
7. Warigalit dewa.pelindung Dewa Betara Asmara
8. Warigagung dewa pelindung Dewa Betara Maharesi
9. Djulungwangi dewa pelindung Dewa Betara Sambu
10. Sungsang dewa pelindung Dewa Betara Gana
11. Galungan dewa pelindung Dewa Betara Kamadjaja
12. Kuningan dewa pelindung Dewa Betara Indera
13. Langkir dewa pelindung Dewa Betara Kala
14. Mandasija dewa pelindung Dewa Betara Brama
15. Djulungpudjud dewa pelindung Dewa Betara Guritna
16. Pahang dewa pelindung Dewa Betara Tantra
17. Kuruwelut dewa pelindung Dewa Betara Wisnu
18. Marakeh dewa pelindung Dewa Betara Surenggana
19. Tambir dewa pelindung Dewa Betara Siwah
20. Medangkungan dewa pelindung Dewa Betara Basuki
21. Maktal dewa pelindung Dewa Betara Sakri
22. Wuje dewa pelindung Dewa Betara Kuwera
23. Manahil dewa pelindung Dewa Betara Tjitragotra
24. Prangbakat dewa pelindung Dewa Betara Bisma
25. Bala dewa pelindung Dewa Betari Durga
26. Wugu dewa pelindung Dewa Betara Singdjalma
27. Wajang dewa pelindung Dewa Betari Sri
28. Kuwalu dewa pelindung Dewa Betara Sadana
29. Dukut dewa pelindung Dewa Betara Sakri
30. Watugunung dewa pelindung Dewa Betara Anantaboga
Dalam memperhitungkan perjodohan seorang perantara harus menghitung jumlah naptu dari hari pasaran kedua calon pengantin tersebut. Menurut kepercayaan di desa wates negara, apabila naptu dari dua orang yang akan dijodohkan berjumlah 25 maka hubungan kedua belah tersebut tidak bisa dilanjutkan. Hal ini disebabkan 25 apabila dikurangi 24 tinggal satu (1) angka I ini tidak bisa dibagi dua (perkawinan melibatkan dua orang). Angka 24 ini diambil dari angka 3 dikalikan 8, jadi pada pokoknya angka yang paling dihindari adalah tiga (3). Angka tiga dianggap angka sial, karena angka ini adalah angka pati, tali yang mengikat orang mati (Jawa=Pocongan) berjumlah tiga, jumlah tali itulah yang kemudian dianggap sebagai jumlah angka yang membawa sial. Dan nampaknya orang Jawa pada umumnya masih sangat mempercayai perhitungan ini.
Selain perhitungan jumlah hari pasaran, perkawinan pada masa lalu di Ngoro juga mempunyai pantangan tertentu, seseorang tidak boleh menikah dengan orang yang RUBUH KARANG yaitu:[5]
- Orang yang tinggal saling berhadapan
- Orang yang tinggal saling membelakangi (ketemu punggung)
- Orang yang tinggal tepat bersebelahan di kanan kiri
Sebagimana disebutkan dimuka seorang perantara/comblang mempunyai peranan yang sangat besar dalam kesehari-harian masyarakat sekitarnya, seorang perantara bisa membuat perjodohan berlangsung mulus namun bisa juga memutuskan tali perjodohan yang sudah berlangsung. Hal ini bisa dipahami, karena seorang perantara sangat dipercaya oleh orang yang meminta bantuannya, apapun informasi yang didapat dari perantara selalu diterima sepenuhnya. Misalnya saja salah satu pihak calon perjodohan itu mengecewakan sang perantara, maka dengan mudah sang perantara akan mudah memberikan informasi negatif kepada pihak yang lain, dengan demikian pihak yang menerima informasi ini akan memutuskan hubungan yang sedang berlanjut. Sebaliknya apabila sang perantara sudah mengucapkan pujian pada seseorang, tidak jarang orang tua yang semula tidak menginginkan orang tersebut menjadi calon menantunya menjadi terpikat. Karena besarnya peranan sang perantara pada umumnya masyarakat sangat menghormati dan menjaga hubungan dalam kehidupan sehari-hari dengan seorang perantara. Walaupun begitu perantara tidak pernah memasang tarip khusus apabila dia berhasil menjodohkan seseorang, hanya biasanya orang tua yang meminta jasa baik perantara memberikan benda-benda tenentu sebagai ucapan terimakasih. Benda itu pada umumnya berupa seperangkat pakaian (kebaya dan kain panjang) bisa juga dilengkapi dengan tas dan selop.
Masyarakat desa watesnegoro mengenal adanya istilah Gentenan, istilah ini untuk menggambarkan adanya sifat gotong-royong sesama keluarga. Misalnya, apabila suatu keluarga (keluarga A) akan mempunyai hajat mengawinkan anaknya, biasanya tanpa rasa malu dia bisa minta bantuan saudaranya yang dianggap mampu (keluarga B), namun sebaliknya apabila Keluarga B yang dulu tetah membantu akan mempunyai hajat, keluarga-A mempunyai kewajiban untuk membantu dan apabila perlu, keluarga B tidak perlu merasa malu untuk mengingatkan hal ini kepada keluarga A.
Pada umumnya masyarakat desa Watesnegoro tidak membuat/mencetak undangan apabila mengawinkan putrinya, melainkan mereka meminta bantuan saudara dekat (kerabat) untuk memberitahukan rencana perkawinan tersebut kepada seluruh kerabat baik yang berada dalam satu desa maupun yang berdomisili di desa lain. Biasanya yang dimintai pertolongan adalah sepasang suami istri, dan memang dalam hal yang satu ini tugas hanya dikhususkan bagi yang masih lengkap berpasangan (Suami-istri), tidak boleh janda ataupun duda. Kebiasaan semacam ini disebut Warah, hanya saja pada saat ini, kebiasaan ini mulai berkurang, karena generasi muda di desa Watesnegoro sudah banyak yang mendapatkan jodoh dari luar daerahnya. Selain itu tidak sedikit pula dalam salah satu keluarga, tinggal berpencar hingga di luar Kabupaten Mojokerto. [6]
Setelah segala pembicaraan permulaan diselesaikan oleh perantara dan syarat-syarat pokok sudah disetujui oleh kedua belah pihak, maka dilanjutkan dengan acara lamaran. Lamaran ialah pendekatan (temu muka) secara resmi oleh orang tua pihak calon pengantin pria kepada orang tua pihak wanita. Biasanya hari yang dipilih adalah hari yang hitungannya genap, misalnya hari Akad Legi (5+5=10). Ketika melamar calon pengantin pria didampingi oleh kedua orang tua, sang perantara serta beberapa kerabat dekat. Biasanya jumlah keluarga yang menyertai tidak begitu banyak sekitar 5 hingga 6 orang. Dalam melamar tersebut, keluarga pihak pria membawa seperangkat pakaian yang dianggap sebagai peningset. Peningset adalah tanda bahwa kedua muda-mudi tersebut telah berpasangan, sehingga tidak dibenarkan apabila salah satu dari mereka mengadakan mengadakan hubungan dengan orang lain. Selain membawa peningset keluarga pihak pria biasanya juga membawa beberapa makanan khas daerah. Ketika menyambut kedatangan keluarga calon pengantin pria, keluarga calon pengantin wani ta bi asanya di sertai pula oleh kerabat dekat terutama orang yang dianggap tua.
Dalam upacara melamar, pada umumnya pihak keluarga pengantin pria sekaligus menawarkan hari yang dipilih untuk melangsungkan hari perkawinan. Sebagimana dalam perhitungan perjodohan, untuk memilih hari inipun dengan syarat-syarat tertentu, misalnya tidak boleh dipilih hari naas, yang dimaksud hari naas ialah hari kematian kakek, nenek atau mungkin kedua orang tua kedua belah pihak calon pengantin. Selain itu biasanya hari yang dipilih adalah hari kelahiran salah satu pengantin. Disamping hari-hari naas tersebut, ada juga hari-hari yang dihindari karena dianggap hari yang tidak baik, yaitu Rabu Legi, Minggu Paing, Kamis Pon, Selasa Wage, dan Sabtu Kliwon. Sedangkan bulan-bulan yang dianggap baik dan membawa berkah bagi pengantin adalah bulan Besar. Apabila keluarga pengantin pria belum bisa menentukan hari untuk melangsungkan perkawinan, hari yang diusulkan bisa disusulkan melalui perantara, biasanya hari yang dikehendaki keluarga pengantin pria tidak pernah ditolak oleh keluarga pengantin wanita. Setelah acara melamar selesai dan kesepakatan menentukan hari "H" sudah didapat, biasanya kedua belah keluarga calon pengantin mengadakan upacara sederhana yang bertujuan memohon restu pada leluhur. Upacara ini biasanya dilangsungkan mendekati hari "H" yang sudah disepakati.
Sebelum mengadakan hajat tertentu, sudah umum bagi masyarakat desa Watesnegoro mengadakan upacara kirim doa kepada leluhur. Dengan pengiriman doa kepada leluhur diharapkan pengantin mendapat restu dari para leluhur sehingga upacara perkawinan bisa berlangsung dengan selamat tanpa alangan suatu apa.
Selain itu dengan restu para leluhur diharapkan jalan yang harus ditempuh kedua calon pengantin akan semakin mudah baik dalam mendapatkan keturunan maupun dalam mencari rejeki.[7] Upacara yang dilaksanakan biasanya, dengan mengundang kerabat dekat sekitar 15 hingga 20 orang untuk membacakan tahlil dan yassin. Tahlilan ini dilengkapi dengan sesaji (sandingan), berupa sebuah nasi turnpeng yang dilengkapi dengan lauk pauk berupa berbagai macam sayur yang diberi bumbu dari kelapa muda parut serta ayam yang dimasak dengan santan (Ingkung) dan telur ayam direbus, juga buah pisang raja. Sesudah acara tahlilan selesai, sesaji dibagikan kepada calon pengantin serta orang-orang yang mengikuti tahlilan. Tahlilan ini biasanya dilakukan pada malam hari, nanti keesokan paginya seluruh keluarga mengadakan ziarah ke makam leluhur. Selain itu, masyarakat desa Watesnegoro bila akan mengadakan hajat baik perkawinan ataupun keperluan yang lain, seperti mengkhitankan, selalu mengirimkan semacam sesaji ke tempat tertentu yang dianggap tempat tinggal para danyang. Tempat ini bisa berupa pohon besar yang sudah tua, ataupun makam kuno yang sudah ada sebelum perkampungan itu muncul, biasanya tempat-tempat tersebut dianggap keramat dan tidak boleh dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang tidak terpuji (dianggap tempat yang angker atau bertuah).
Dengan mengadakan pengiriman sesaji tersebut diharapkan para roh/ makhluk halus yang dianggap penguasa kampung (Danyang) tidak mengganggu jalannya perhelatan, bahkan merestuinya sehingga upacara perkawinan bisa berlangsung aman dan lancar. Biasanya sandingan yang dikirimkan sama dengan yang dipakai dalam upacara tahlilan hanya dikirimkan ke tempat danyang lebih kecil dan lebih sederhana. Selain sandingan berupa tumpeng, disekililing rumah (biasanya di sudut-sudut rumah serta gereja/pintu masuk halaman rumah) juga diberi sandingan berupa kembang setaman dan sebuah telur ayam. Sandingan ini bertujuan untuk mengusir roh jahat yang akan memasuki rumah, terutama selama pesta perkawinan berlangsung.
Upacara Kote'an adalah semacam syarat apabila sebuah keluarga mengadakan perhelatan, yaitu mengawinkan putrinya. Kotektan adalah memukul-mukulkan alu ke alam lesung secara terus menerus, sehingga menimbulkan irama tertentu yang menimbulkan kesan meriah sekaligus menentramkan. Biasanya Kote'an ini dilakukan oleh para Ibu-ibu yang bertempat tinggal di sekitar rumah pengantin wanita namun kadang-kadang ada juga beberapa remaja putri yang ikut memeriahkan. Biasanya dilakukan sekitar 2 hingga 3 hari sebelum hari perkawinan dilaksanakan, hingga hari "H" dimulai. Kotek'an bermaksud sebagai tanda bahwa api dapur mulai menyala sehingga tetangga bisa mulai berdatangan baik untuk sekedar membantu maupun untuk ikut memeriahkan pesta perkawinan. Sebagaimana kehidupan di daerah-daerah tertentu di Jawa, kerukunan dan kegotong-royongan menjadi ciri khas utama kehidupan sehari-hari masyarakat desa Watesnegoro. Apabila seorang tetangga mempunyai hajat mengawinkan putra - putrinya, secara otomatis para tetangga akan berdatangan untuk membantu ada beberapa yang membantu dengan tenaga namun tidak sedikit yang membantu dengan mengirimkan bahan mentah seperti, beras, gula, kopi, teh bahkan tidak banyak yang mengirimkan bakmi kering (buwuh). Namun keluarga yang mempunyai hajat biasanya juga langsung membalas kepada para tetangga yang berdatangan dengan mengirimkan nasi lengkap dengan lauk pauknya (songgong).[8] Karena kebiasaan inilah maka pada umumnya bila sebuah keluarga mempunyai hajat mengawinkan putra/putrinya boleh dikatakan asap dapur tidak pernah berhenti menyala hingga selesainya upacara perkawinan secara keseluruhan. Kebiasaann membunyikan kotek'an ini sangat menguntungkan karena para tetangga akan mengetahui dimulainya kesibukan tanpa harus mengundang secara khusus.
Sekitar satu minggu sebelum hari perkawinan dilaksanakan, biasanya terob sudah mulai dipasang. Pada waktu dulu, terob dibuat dari daun kelapa yang sudah dikeringkan, kemudian diberi kerangka dari sayatan bambu. Apabila pada saat ini kerangka untuk memasang terob dari besi, pada waktu dulu kerangka dibuat dari bambu yang diikat dengan tali ijuk. Masing-masing terob hanya berukuran sekitar 100 cm x 250 cm, dan sistem pemasangannya hampir menyerupai pemasangan genteng. Hanya saja karena terob semacam ini sering tidak bisa menahan air, biasanya sebelum dipasang terob, paling bawah/dasar diberi plastik dahulu. Hingga sekarang untuk keluarga yang masih relatif sederhana, terob dari daun kelapa ini masih sering dipakai. Sedangkan bagi keluarga yang sudah mampu lebih memilih terob yang terbuat dari kain parasit, selain pemasangannya lebih cepat dan praktis juga tahan apabila ada hujan deras.
Dalam pemasangan terob ini juga dilakukan upacara sederhana, dengan sandingan berupa nasi tumpeng lengkap, sesudah terob terpasang beberapa tetangga yang dilibatkan dalam pemasangan terob tersebut akan membaca doa bersama, kemudian setelah itu bersama-sama pula makan nasi tumpeng yang semua dipakai sebagai sandingan. Bersamaan dengan pemasangan terob dipasang juga Tuwuhan, yang dimaksud adalah sepasang pohon pisang raja yang sudah berbuah, yang dipasang dikanan kiri pintu masuk. Menurut kepercayaan pohon pisang merupakan lambang keagungan, dan harapan agar keluarga baru ini nantinya cukup harta dan keturunannya. Selain itu biasanya dikanan kiri pintu masuk juga dihiasi dengan daun kelor, yang bermaksud mengusir segala pengaruh jahat yang akan memasuki tempat upacara, begitu juga janur (daun kelapa yang masih muda), merupakan simbol keagungan.
Sebagaimana disebutkan dimuka, dalam memasuki dunia perkawinan, biasanya seseorang diharuskan mengikuti serangkaian upacara khusus yang kesemuanya mempunyai tujuan yang sama yaitu kebahagiaan yang sempurna dan abadi tanpa rintangan suatu apa. Demikian pula pengantin Loro Pangkon dari Mojokerto ini, walaupun masih relatif sederhana namun tetap mempunyai keunikan dan ciri khas sendiri. Pengantin sekarang mempunyai kebiasaan menyelenggarakan malam midodareni yang diselenggarakan pada malam sebelum mengadakan ijab kabul, ternyata pada awalnya kebiasaan ini tidak dikenal.
Jadi walaupun kehidupan dapur sudah mulai, bahkan calon pengantin sudah memasuki masa dipingit, namun acara baru benar-benar dimulai pada saat ijab kabul dilaksanakan. Pada umumnya waktu itu, ijab kabul dilaksanakan di Kantor Urusan Agama atau Kelurahan. Sesudah melakukan ijab kabul kedua mempelai pulang kembali ke rumah masing-masing untuk dirias.[9] Setelah pengantin wanita selesai dirias, kemudian duduk di pelaminan, barulah rombongan pengantin pria memasuki tempat untuk melaksanakan upacara temu.
loro2.GIF (10014 bytes)
                                                                                                            Foto Marsudi 11 Juni 09
Pada beberapa keluarga yang relatif mampu biasanya calon pengantin pria ini datang ke tempat upacara temu, menaiki kuda kecak. Kuda kecak adalah salah satu kesenian khas Mojokerto juga, yang berupa seekor kuda yang diberi berbagai macam hiasan mulai dari semacam selimut untuk badan yang diberi rumbai-rumbai dari benang emas, mahkota hingga bagian kaki diberi gelang klinting. Karena mengenakan gelang klinting, maka setiap kali kuda bergerak selalu terdengar bunyi klintingan. Setelah menurunkan pengantin pria kuda ini akan menari dengan diiringi musik kendang, sehingga merupakan tontonan yang menarik bagi sebagian massa yang tidak ikut memasuki arena tempat berlangsungnya upacara temu.
Sebagaimana umumnya, pengantin pria juga datang diiringi rombongan keluarga ditambah dengan beberapa orang yang mempunyai tugas masing-masing. Secara lengkap rombongan pengantin pria adalah sebagai berikut:
- Pembawa tombak pusaka.
Pada umumnya, calon pengantin pria desa Watesnegoro selalu membawa sebuah tombak pusaka. Tombak pusaka ini selalu merupakan awal rombongan (Jawa = cucukin lampah), karena merupakan simbol atau legitimasi bahwa calon pengantin pria bukan dari keluarga sembarang. Melainkan dari keluarga yang terpandang dan terhormat, namun begitu pada umumnya tombak itu bukan merupakan koleksi pribadi. Kemungkinan pada awalnya seseorang (pria) diharuskan mempunyai tombak untuk menaikkan harga dirinya, namun sekarang fungsi tombak lebih mengarah pada simbol. Walaupun tetap tidak bisa dihapuskan karena memang merupakan bagian dari pengantin pria itu sendiri. Tombak pusaka ini harus dibawa oleh seorang remaja laki-laki yang juga sudah mendekati usia perkawinan.
- Pembawa kembar mayang / sekar rontek
Di desa Watesnegoro masyarakatnya sering menyebut kembar mayang dengan Kembang mayang. Seperti juga halnya di Jawa Tengah, kembar mayang dibuat dari daun kelapa muda (janur), yang dibentuk khusus dan disebut bentuk keris- kerisan. Rangkaian janur kemudian disusun dengan bantuan pohon pisang yang sudah dipotong sesuai kebutuhan dan kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bokor kuningan. Namun pada saat ini, kembar mayang lebih sering dibuat rangkaian kertas berwarna-warni yang dirangkai dan disusun menyerupai janur, sehingga selain dianggap lebih praktis dan mudah mendapatkannya juga tahan lama (bahkan ada beberapa perias pengantin yang juga menyewakan kembar mayang dari kertas). Selain itu karena adat mengharuskan adanya saling tukar- menukar kembar mayang antara wakil dari pengantin pria dan wakil pengantin wanita, maka dengan ringannya berat dari rangkaian kembar mayang sangat menguntungkan terutama bagi pihak pengantin wanita. Kembar mayang berjumlah sepasang., dan dibawa oleh dua orang jejaka.
- Pembawa Jago
Pembawa jago dari pihak pengantin pria dipilih seorang yang pandai berkata-kata serta harus menguasai gending. Istilah untuk pembawa jago adalah "Besasaken Jago". Sebetulnya tidak ada syarat khusus bagi orang yang ingin membawa jago, namun jelas orang yang membawa jago dan menerima jago harus orang yang pandai berbicara (parikan) dan memahami berbagai macam gending. Karena harus pandai berkata-kata, maka biasanya seseorang yang mempunyai hajat menyewa orang-orang tertentu yang berprofesi sebagai pembawa jago. Jago yang dibawa bukan jago sungguhan (binatang hidup), melainkan buatan. Ada yang dibuat sangat mirip dengan aslinya, namun tidak jarang yang sudah dimodifikasi.
Bagi keluarga mampu, biasanya jago digambarkan membawa sebuah cincin emas di paruhnya, sedangkan bagian ekor dihiasi dengan kain berwarna menyolok. Kain ini nantinya harus dibuat sebagai bahan pakaian oleh pengantin putri.
Sebelum melakukan upacara "Temu", pembawa jago dari pihak pengantin pria dan penerima jago dari pihak pengantin wanita akan saling berdialog. Pihak pengantin wanita menanyakan asal pengantin, benda-benda apa saja yang dibawa serta maknanya dan maksud serta tujuan kedatangnnya. Sebaliknya keluarga pihak pria banyak melontarkan pertanyaan yang berhubungan dengan persiapan yang telah dilakukan keluarga pengantin wanita. Panjang pendeknya dialog sangat tergantung pada pandai atau tidaknya pembawa jago dan wakil dari pihak pengantin wanita untuk "menyerang" wakil pengantin pria. Biasanya dalam dialog tersebut banyak diselipkan kata-kata yang menarik dan lucu, sehingga pada waktu dulu, acara ini banyak ditunggu-tunggu oleh para tamu. Dialog akan diuraikan secara lengkap dalam Lampiran.
Namun dengan berjalannya waktu, yang menuju pada kepraktisan dan mengikuti perkembangan jaman (mode), maka pada saat dialog antara pembawa jago dan penerima jago sangat dibatasi dan digantikan dengan ceramah agama.
- Pengantin Pria
Sebagimana disebutkan dimuka, pengantin pria menggunakan tata rias dan busana yang disebut Surya Majapahit. Inti dari tata rias ini untuk mengenang kembali kejayaan yang pernah dicapai kerajaan Majapahit. Sehingga warna yang mendominasi busana adalah kuning prada dan kuning keemasan.
- Pembawa gawan
Pembawa gawan bisa dibedakan menjadi
dua,
1. pertama, gawan berupa perlengkapan bubak kawak.
2. kedua, gawan yang merupakan sangu / pemberian dari keluarga pengantin pria kepada keluarga pengantin putri.

1. Perlengkapan bubak kawak
Tradisi bubak kawak, adalah tradisi yang dilakukan oleh sebuah keluarga yang mempunyai hajat mengawinkan anaknya dengan cara membawa peralatan dapur yang nantinya dibagikan pada seluruh tamu dengan cara berebutan. Pada umumnya semua perlengkapan dapur dibawa di dalam ongkek (rak kecil yang dibuat dari bambu), dan peralatan/ inipun dalam bentuk yang relatif kecil karena fungsinya hanva sebagai simbol bahwa tuan rumah mulai membuka rumahnya untuk membagikan rejekinya kepada seluruh tamu.
Yang menarik dari tradisi ini ialah, apabila di Jawa Tengah, bubak kawak hanya dilakukan keluarga pihak pengantin wanita itupun pada saat pertama mereka mengawinkan anaknya untuk kali berikutnya keluarga tersebut sudah tidak perlu mengadakan tradisi bubak kawak lagi. Namun di desa setiap keluarga yang mempunyai hajat mengawinkan anaknya selalu disertai dengan tradisi bubak kawak pula, dan yang melaksanakan bukan dari pihak pengantin putri melainkan dari pihak pengantin pria.
Peralatan dapur yang dibawa dalam ongkek antara lain, dandang dan kekep, centong, panci kecil, cerek kecil, kendi, wajan, sotil, dan berbagai peralatan dapur yang lain. Bahkan ada beberapa keluarga yang menyertakan ayam atau kambing, namun hanya dilakukan pada keluarga yang relatif kaya saja. Untuk mempercantik penampilan, biasanya alat-alat dapur tersebut dihiasi dengan berbagai kertas warna-warni. Pada umumnya alat-alat dapur ini menjadi rebutan ibu-ibu, terutama yang mempunyai anak gadis sehingga bisa segera tertulari mengawinkan putrinya.
2. Pembawa Gawan Pemberian Keluarga Pengantin Pria
Pembawa gawan bisa dibedakan menjadi dua, yaitu gawan berupa makanan yang dimasukkan ke dalam jodhang. Jodhang adalah sebuah kotak yang terbuat dari kayu, berbentuk persegi dengan tutup berbentuk seperti atap rumah. Jodhang nantinya dibawa dengan cara memanggul di bahu dan biasanya dibawa oleh minimal dua orang laki-laki yang sudah dewasa. Pada bagian tutupnya biasanya dihiasi dengan ukiran kerawang motif sulur-suluran. Jodhang selain untuk membawa makanan basah juga dipergunakan untuk membawa makanan kering bahkan pakaian.
Di desa Watesnegoro, setiap pengantin pria, ketika datang untuk melaksanakan upacara temu, selalu membawa jodhang minimal dua buah, yang sebuah berisi makanan kering sehingga sering disebut jodhang garing sedangkan yang sebuah lagi disebut jodhang mambu. Jodhang garing berisi antara lain, makanan kering yang terbuat dari ketan (rengginan), kerupuk, kembang goyang, tempe keripik dan sebaginya. Jodhang mambu, berisi antara lain, segala macam jenang-jenangan, wajik, tetel dan sebaginya, karena makanan ini bisa basi dan busuk maka disebut jodhang mambu.
Selain jodhang yang berisi makanan, rombongan pengantin pria juga membawa apa yang disebut kudang-kudangan. Kudang-kudangan adalah sesuatu (bisa berupa benda atau ucapan), yang pernah diucapkan oleh nenek atau orang tua pengantin putri sebagai semacam syarat apabila ada orang yang ingin menyuntingnya. Sebelum sampai pada hari pernikahan, biasanya benda yang merupakan kudang-kudangan ini sudah disepakati ketika pihak pengantin pria melamar. Pada umumnya jumiah benda yang dikehendaki tidak terlalu memberatkan calon pengantin pria, seperti misalnya kunang-kunang sekarung, tidak berarti kunang-kunang satu karung penuh melainkan beberapa kunang- kunang (I sampai 5) yang dimasukkan dalam satu karung. Kadang-kadang ada juga yang minta dibawakan sepotong kain panjang motif tertentu. Bahkan tidak sedikit yang menghendaki calon suami membacakan sebuah surat yang diambil dari kitab Al"Quran.
Rombongan pengantin pria yang terakhir adalah sanak saudara dan kerabat dekat.
Urut-urutan Pengantin Wanita
Sebagaimana pengantin pria, pengantin wanita ketika memasuki arena upacara temu menaiki kereta (dokar) yang tentu saja sudah dihiasi dengan meriah dan anggun, diiringi oleh kedua orang tuanya.
Setelah sampai di tempat upacara, biasanya ketika menunggu datangnya pengantin pria, pengantin wanita sudah duduk di pelaminan. Sebelum pengantin pria memasuki tempat upacara temu, akan terdengar suara gending dan pengantin putri yang diikuti beberapa rombongan berjalan ke muka pintu untuk menyongsong kedatangan pengantin pria.
Rombongan pengantin wanita terdiri dari:
- Dua orang gadis kocil yang bertugas mengipasi kedua mempelai apabila upacara temu sudah usai, dan kedua mempelai duduk di pelaminan.
- Pengantin putri, yarig mengenakan tata rias dan busana Paes Mojoputri.
- Dua orang remaja yang bertugas membawa sepasang kembar mayang/sekar rontek.
- Beberapa orang gadis yang masing-masing membawa air kelapa muda, telur ayam serta ramuan air daun kelor.
- Terakhir adalah keluarga dekat pengantin putri.
Sebelum kedua mempelai bertemu, pembawa jago dari pihak pengantin pria dan pengantin wanita saling mengadakan dialog, yang pada intinya menanyakan apa saja yang dibawa rombongan pengantin pria serta persiapan pengantin wanita yang tentu saja diselingi dengan dialog-dialog yang lucu namun penuh nasihat bagi kedua mempelai.
Setelah dialog selesai dan jago yang semula dibawa pihak pengantin pria diterima oleh seorang ibu muda yang cantik dari pihak pengantin wanita kemudian jago tersebut dibawa masuk lebih dahulu ke belakang.

Berikutnya adalah saling bertukar kembar mayang, dari pihak pengantin pria menyerahkan kepada pihak pengantin wanita, selanjutnya kembar mayang dari pihak pengantin pria diletakkan masing-masing disisi kanan dan kiri kursi pelaminan.Sedangkan kembar mayang dari pihak pengantin wanita dibuang sampai ke atas atap rumah kediaman pengantin wanita.
Acara selanjutnya adalah upacara temu, yang dimaksud upacara temu adalah upacara mempertemukan kedua belah mempelai. Upacara ini biasanya dipimpin oleh Patah ( Perias Pengantin), atau orang yang dianggap sesepuh dalam kelurga. Desa Watesnegoro mempunyai kebiasaan yang menarik dalam rangkaian upacara temu, pertama kedua mempelai diharuskan minum air kelapa muda yang sudah dipersiapkan di dalam siwur (gayung yang terbuat dari batok kelapa), namun sekarang karena dianggap tidak etis digantikan dengan gelas. Tujuannya adalah agar kedua mempelai nantinya saling mencintai, memahami, selalu bersama-sama dalam suka maupun duka. Setelah kedua mempelai minum air tersebut bergantian, maka oleh patah, masing-masing mempelai diberi percikan air seduhan daun kelor. Tujuannya adalah untuk menghilangkan segala bentuk pengaruh buruk yang akan mengganggu kedua mempelai. Terakhir sebuah telor ayam dipukulkan perlahan ke dahi pengantin pria kemudian ke dahi pengantin putri. Menurut kepercayaan apabila telor tersebut pecah maka anak pertama kemungkinan besar perempuan, sebaliknya apabila telor tidak pecah, maka anak pertama laki-laki.
Setelah semua selesai, pengantin putri sungkem kepada pengantin pria , sebagai tanda bukti serta hormat kepada pengantin pria selaku kepala keluarga. Kemudian kedua mempelai berjalan bersama menuju kursi pelaminan (pada masa lalu kursi pelaminan tidak seperti sekarang, lebih sederhana yang penting ada tempat khusus bagi kedua mempelai di mana semua tamu bisa melihat tanpa ada halangan). Rombongan ini diawali dengan membawa tombak pusaka, gadis kecil pengipas pengantin, kedua mempelai, orang tua pengantin putri dan putri domas.
Sesudah mengadakan semacam resepsi ( yang pada waktu dulu mestinya masih relatif sederhaha tidak seperti sekarang), kedua mempelai tidak bisa langsung pulang kerumah, melainkan diarak dahulu mengelilingi desa. Kadang-kadang pengantin putri di bawa dengan tandu, sedangkan pengantin pria naik kuda. Diiringi dengan jidoran (Jidoran keiompok permainan musik terbang yang dilengkapi dengan penari). Kadang-kadang juga kedua pengantin naik becak yang dihias meriah diiring oleh seluruh keluarga, kerabat bahkan teman-teman kedua mempelai. Biasanya rombongan ini datang ke rumah keluarga-keluarga dekat terutama yang dianggap sesepuh dari keluarga pengantin putri serta Pamong desa. Setelah semua keluarga dikunjungi (kadang-kadang untuk menyingkat waktu kunjungan hanya sebatas pintu masuk rumah), maka kedua pengantin diiring kembali ke rumah.
3. UPACARA POST PERKAWINAN
Sebagimana orang Jawa pada umumnya, rangakaian pesta perkawinan tidak hanya sampai pada upacara ijab kabul dan temu. Namun sekitar lima (5) hari sesudah ijab kabul masih ada sebuah upacara sederhana yang selalu diselenggarakan bagi kedua mempelai. Upacara ini biasa disebut Selamatan Sepasaran, di desa Watesnegoro upacara sepasaran diselenggarakan oleh masing-masing keluarga baik dari pihak pengantin pria maupun keluarga pengantin wanita. Karena lebih sederhana biasanya dalam selamatan ini kesempatan bagi saudara dan kerabat untuk lebih berkenalan dengan kedua pengantin. Bentuk selamatan sangat sederhana hanya melibatkan keluarga dan tetangga dekat, serta beberapa orang yang dimintai tolong untuk membacakan surat dari kitab Al'Quran, yang tujuan untuk memohon berkah demi kebahagiaan kedua pengantin. Selain itu sebagai sandingan berupa nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk serta jajan pasar (makanan kecil yang biasa dijual di pasar- pasar) Pada waktu itu ada pula beberapa pasangan pengantin memanfaatkan untuk kembali ke rumah orang tuanya. Apabila sesudah upacara temu mereka tinggal di rumah keluarga pengantin putri maka sesudah sepasar mereka berpindah tinggal di keluarga pengantin pria.
Upacara yang pamungkas dari keseluruhan rangkaian upacara pengantin di desa Walesnegoro adalah Selamatan Selapan. Selamatan ini diadakan setelah 35 hari dari hari perkawinan. Sebagaimana selamatan sepasaran, selamatan ini juga diadakan oleh kedua keluarga. Urutan acaranya sama, yaitu membaca surat-surat dari kitab Al'Quran kemudian makan bersama. Selamatan ini biasanya juga tidak melibatkan banyak orang, hanya keluarga dan tetangga dekat. Sekaligus kedua orang tua pengantin mengucapkan terima kasih kepada keluarga dan tetangga yang telah membantu, karena rangkaian keseluruhan dari acara perkawinan putra-putrinya telah usai dengan selamat.



Soelaeman Moenandar, Ilmu Budaya Dasar, <Bandung : Penerbit PT. Refika Aditama, 1998>. Hlm. 35.
Habib Mustopo, Ilmu Budaya dasar, <Surabaya: Usaha Nasional>, hlm. 31.
Soerjanto Poespowarjojo, Strategi kebudayaan, <Jakarta: PT. Gramedia,1993>, hlm 41-44


David Kaplan, 1999. Teori Budaya, <Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 1999>, hlm. 29.

David Kaplan, 1999. Teori Budaya, <Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 1999>, hlm. 29-31.



Van Peursen,  Strategi Kebudayaan,<Yogyakarta:  PT. Kanisius, 1993>, hlm. 44-47.

Pande Made Kutanegara,  Budaya Barat Dalam Kacamata Timur, <Bandung: PT. Pustaka Pelajar, 2006>, hlm. 22-28.
http//pplq.wordpress.com/2008/12/18/kolaborasi norma dan nilai, diambil dari Log cit,A.khudori soleh, hal 120

Djoko Widhagdho, dkk,  Ilmu Budaya Dasar, <Jakarta: CV. Bumi Aksara, 1993>, hlm. 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar